Opinion
Aku Belanja (Online) Maka Aku Dipajaki

MUC Tax Research Institute | Friday, 10 November 2017

Aku Belanja (Online) Maka Aku Dipajaki

“Cogito ergo sum. Aku berpikir, maka aku ada.” Ungkapan tersebut merupakan hasil pergulatan pikiran Rene Descartes, seorang filsuf dan matematikawan asal Perancis, ketika meragukan semua hal dan mencari kepastian yang hakiki pada abad ke-15. ‘Pikiran’, menurut Decartes, adalah sesuatu yang pasti sebagai bentuk eksistensi diri setiap manusia.

Namun, perkembangan gaya hidup manusia seolah membantah adagium Descartes tersebut.  Belanja, contohnya. Bagi sebagian orang, terutama kelas menengah ke atas, belanja dipandang sebagai bentuk eksistensi diri yang riil dalam pergaulan modern. Tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan, belanja kini sudah menjadi salah satu simbol interaksi sosial.

Belanja juga menjadi sebuah siklus ekonomi yang dianggap negara sebagai wujud kemakmuran rakyat. Sebagai perwujudan negara, pemerintah menggunakan pajak untuk mengutip manfaat ekonomi dari pola interaksi masyarakat dalam berniaga. 

Sejalan dengan perkembangan teknologi, muncul masalah ketika pasar mengubah pola interaksinya. Salah satunya adalah tren belanja online saat ini, yang menghadirkan gaya baru berniaga di era digital. Penjual dan pembeli hanya perlu menyentuhkan jari pada layar ponsel atau sekedar menggeser tetikus (mouse) dan mengetuk keyboard, serta memanfaatkan jejaring layanan nirkabel perbankan, dan dalam sekejap barang dan uang pun berpindah tangan. Istilahnya adalah ‘e-commerce’, yang membuat transaksi jual-beli menjadi lebih praktis dan efisien karena penjual dan pembeli tak perlu lagi bertatap muka. 

Potensi pasar e-commerce sangat besar. Bahkan Indonesia disebut-sebut sebagai pasar e-commerce terbesar di kawasan ASEAN. Apalagi kalau bukan karena keunggulan demografi (jumlah populasi penduduknya yang besar) selain perilaku konsumtifnya yang juga tinggi. Karenanya wajar jika konsumsi rumah tangga atau swasta selalu menjadi penyumbang terbesar Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. 

Kementerian Keuangan menyebutkan, nilai transaksi e-commerce di Indonesia pada tahun 2014 mencapai kisaran AS$1,1 miliar. Pertumbuhannya dari tahun ke tahun cukup signifikan, mengikuti tren penggunaan internet yang meningkat pesat. 

Berdasarkan survei Asosiasi Pengguna Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2016, jumlah penduduk Indonesia yang melek internet mencapai 132,7 juta orang atau 51,8% dari total populasi penduduk 256,2 juta orang. Menariknya, sekitar 62% pengguna internet (82,2 juta orang) berselancar di jejaring digital hanya untuk belanja online. 

Fenomena digital ini tak hanya menjadikan Indonesia pasar online yang menarik bagi investor lokal maupun global, tetapi juga menjadi target baru bagi otoritas pajak untuk mendongkrak penerimaan negara. Terlebih, dengan bermunculannya perusahaan-perusahaan digital rintisan (start-up) dan masuknya sejumlah pemain digital raksasa dunia, seperti eBay, Alibaba dan Jingdong, Indonesia pun kini menjelma menjadi surga belanja online di tengah sistem perpajakan yang masih tertatih-tatih mengikuti perkembangan digital. 

Sejauh ini, ada empat model transaksi e-commerce yang ditangkap pemerintah. Pertama, kegiatan menyediakan tempat usaha seperti internet mall, yang menyediakan tempat bagi online marketplace merchant untuk menjual. Kedua, model bisnis daftar iklan baris atau classified ads. Ketiga, jasa penawaran promo atau diskon produk dalam jangka waktu tertentu atau daily deals. Keempat, toko ritel atau online retail. 

Lintas Batas

Namun, jangan dulu terbuai oleh potensi besar pasar e-commerce Indonesia jika belum punya alat untuk menggalinya. Alih-alih bicara potensi ekonomi dan pajak, penulis justru menganggap fenomena ini sebagai tantangan berat bagi otoritas pajak untuk bisa memajakinya. 

Terlebih, hampir tidak ada sekat atau batasan transaksi dagang di era digital. Pembeli atau penjualnya bisa di dalam negeri, tetapi lawan transaksinya bisa jadi berada di negeri antah berantah yang keberadaan dan fisiknya sulit dideteksi. Sementara itu, uang dan barang atau jasa berpindah dalam sekejap melintasi batas-batas teritori negara tanpa sempat terlacak oleh sistem pajak konvensional saat ini. 

Pemerintah Indonesia sudah lama menyadari akan potensi dan tantangan ini. Dalam waktu dekat, otoritas terkait akan menerbitkan regulasi khusus—Peraturan Menteri Keuangan (PMK)—untuk memajaki penghasilan dan manfaat yang diperoleh wajib pajak dari pasar e-commerce

PMK tersebut nantinya hanya akan mengatur mengenai tata cara pemungutan pajak atas transaksi e-commerce, tanpa menambah jenis dan jumlah subjek maupun objek pajak. Dalam prosesnya, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) akan melibatkan pihak ketiga sebagai pemotong pajak, yakni pihak-pihak yang memfasilitasi transaksi e-commerce, seperti toko online maupun penyedia jasa kurir. 

Ada kalangan yang menganggap, e-commerce adalah sektor ekonomi potensial baru yang banyak melahirkan wirausaha pemula, yang notabene didominasi oleh Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Kelompok ini beranggapan, pendekatan pajak yang terlalu agresif justru akan menghambat pengusaha-pengusaha pemula (start-up) dalam membesarkan bisnis e-commerce-nya. 

Namun, jangan lupa bahwa e-commerce juga menjadi daya tarik bagi para pemain digital raksasa dunia, seperti eBay, Alibaba, dan Jingdong yang sudah menancapkan kukunya di Indonesia.  Bukan mustahil—bahkan sangat mungkin—pangsa pasar e-commerce Indonesia dikuasai oleh segelintir pemain besar tersebut. Tanpa adanya pajak, justru kekhawatiran akan kompetisi yang tidak seimbang antara pemain lokal dan global bisa saja terjadi. 

Prof. Jan J. P. de Goede, Pakar Hukum Perpajakan Eropa dan Internasional dari Universitas Lodz, Polandia, menilai bahwa memang sudah seharusnya regulasi perpajakan Indonesia disesuaikan mengikuti perkembangan digital. 

Selama ini, basis pemajakan mengacu pada dua model klasik. Pertama, berbasis sumber (sourced theory), di mana dari sisi penawaran pendapatan perusahaan dihasilkan dari penggunaan alat-alat produksi secara fisik. Kedua, berbasis manfaat (benefit theory), yakni negara dapat memungut pajak atas manfaat atau keuntungan yang didapat dari penggunaan barang dan layanan publik. 

Sementara, di dunia digital objek pajaknya bergerak dan transaksinya tidak kasat mata sehingga diperlukan kebijakan yang fleksibel untuk bisa memajakinya. Model baru bisnis digital ini, menurut Jan, secara efektif mengurangi hak pemajakan negara. Sebab, model bisnisnya meniadakan kehadiran fisik bagi perusahaan untuk memperoleh pendapatan. Karenanya, sistem perpajakan yang menginduk pada dua teori klasik harus diperbaharui dan disesuaikan terhadap realita terkini dan yang akan datang. 

Namun, Ia mengingatkan, potensi ekonomi digital bukan hanya e-commerce. Jenis transaksinya cukup beragam, seperti perdagangan aplikasi (app-stores), pariwara daring (online advertisement), jasa penyimpanan data digital (cloud computing), pemanfaatan jaringan bersama (participative networking platforms), serta jasa pembayaran super cepat (high speed trading payment services).

Guru Besar Perpajakan Universitas Indonesia, Prof. Dr. Gunadi M.Sc., Ak menilai, perubahan pola konsumsi dari konvensional ke digital sebetulnya membuka peluang bagi DJP untuk mengefisienkan proses bisnis perpajakan. Namun, nilai lebih itu sampai saat ini belum bisa dimanfaatkan oleh otoritas karena minimnya kesiapan.

Agar bisa memungut pajak transaksi e-commerce, DJP dituntut untuk ikut mengembangkan sistem pajak berbasis digital. Dengan demikian, setiap transaksi yang terjadi akan secara otomatis terekam melalui mekanisme pembayaran dan pelaporan pajak. Termasuk ketika pemeriksaan pajak, fiskus akan lebih mudah menelusuri transaksi belanja online. Sebab, semua transaksi e-commerce akan tercatat dalam database digital.

Karenanya, membangun sistem pajak yang terintegrasi dengan sistem pembayaran nasional (National Payment Gateway) menjadi suatu keharusan. Itu semua hanya bisa dilakukan jika akses terhadap laporan transaksi keuangan wajib pajak bukan lagi menjadi barang haram bagi otoritas pajak. 

Dilema Self-Assessment 

Sejak reformasi perpajakan jilid I diterapkan pada 1983, sistem perpajakan di Indonesia memberikan hak penuh kepada wajib pajak untuk menghitung, membayar, dan melaporkan kewajiban pajaknya sendiri (self-assessment) kepada otoritas. Sebelum itu, kewenangan untuk menetapkan besaran pajak terutang berada di tangan fiskus (official assessment). 

Perubahan sistem perpajakan ini secara tidak langsung mereduksi peran dari petugas pajak. Ibarat formasi sepakbola, dari yang sebelumnya aktif mengejar bola menjadi terkesan bertahan atau menunggu bola datang. 

Gunadi melihat, cara kerja seperti ini tidak akan berguna menghadapi pola transaksi digital yang dinamis dan mungkin hanya sebagian kecil tercatat oleh sistem perbankan. Untuk itu, otoritas pajak harus lebih aktif dengan menaikkan garis pertahanannya, minimal bisa sejajar dalam garis yang sama dengan wajib pajak ketika transaksi terjadi.

Artinya, khusus untuk transaksi e-commerce, sistem perpajakan self-assessment perlu disesuaikan guna memberikan diskresi yang sepadan kepada fiskus, tanpa mengurangi hak-hak wajib pajak. Dengan demikian, tambahan nilai ekonomi yang muncul dari transaksi (termasuk e-commerce) tak akan luput dari pajak.  



Disclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.

Related


Global Recognition
Global Recognition | Word Tax     Global Recognition | Word TP
Contact Us

Jakarta
MUC Building
Jl. TB Simatupang 15
Jakarta Selatan 12530

+6221-788-37-111 (Hunting)

+6221-788-37-666 (Fax)

Surabaya
Graha Pena 15th floor
Jl. Ahmad Yani 88
Surabaya 60231

+6231-828-42-56 (Hunting)

+6231-828-38-84 (Fax)

Subscribe

For more updates and information, drop us an email or phone number.



© 2020. PT Multi Utama Consultindo. All Rights Reserved.