Menyoal PPN Atas Pemberian Cuma-Cuma di Tengah Pandemi Covid-19
Karsino Miarso
|
Tuesday, 07 April 2020
Dunia tengah dilanda pandemi virus corona jenis baru, Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Di Indonesia, berbagai kebijakan mitigasi penyebaran virus diupayakan oleh semua pihak, baik pemerintah, korporasi, hingga level keluarga. Apa implikasi perpajakan dari kepedulian sosial yang dilakukan korporasi?
Pemerintah telah menetapkan memilih opsi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam menghambat penyebaran Covid-19, yang hingga hari Senin 6 April 2020 tercatat 2.491 kasus positif Covid-19, dengan 192 pasien telah sembuh dan 209 orang pasien meninggal. Dalam pelaksanaannya, pemerintah mulai membatasi akses lalu lintas manusia dari dan menuju suatu wilayah, menggelontorkan stimulus ekonomi, mengimbau masyarakat untuk menjaga jarak satu sama lain hingga melarang gelaran acara yang melibatkan banyak orang (social dan physical distancing).
Di level korporasi, salah satu kepedulian sosial sederhana yang dilakukan sejumlah perusahaan adalah dengan membagikan cuma-cuma barang sanitasi dan medis, seperti masker, hand sanitizer, dan disinfectant, baik kepada karyawan maupun masyarakat sekitar lingkungan kerja.
Baca Juga: Solusi Alternatif Sengketa Pajak Internasional
Nah, penulis tidak akan mengelaborasi terlalu jauh soal pandemi Covid-19 karena memang bukan kompetensi penulis. Fokus penulis adalah implikasi perpajakan dari contoh kepedulian sosial yang dilakukan korporasi tersebut. Dalam hal ini perlakuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap pemberian cuma-cuma Barang Kena Pajak (BKP) oleh perusahaan selaku Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang PPN, di antara jenis-jenis transaksi yang terkena PPN adalah transaksi pemakaian sendiri dan pemberian cuma-cuma atas Barang Kena Pajak (BKP). Atas pemakaian sendiri dan pemberian cuma-cuma tersebut masing-masing dikenakan PPN sebesar 10% dari harga jual atau nilai penggantian setelah dikurangi laba kotor. Ketentuan ini diatur lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2012.
“Pemakaian sendiri” diartikan sebagai pemakaian BKP untuk kepentingan pengusaha, pengurus, atau karyawan, baik berupa barang produksi sendiri maupun bukan. PPN dikecualikan atas pemakaian sendiri BKP untuk tujuan produktif atau yang berkaitan dengan kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen perusahaan. Artinya, PPN hanya dikenakan atas “pemakaian sendiri” BKP yang sifatnya konsumtif atau tidak ada kaitannya dengan kegiatan bisnis perusahaan.
Sedangkan yang dimaksud dengan “pemberian cuma-cuma” adalah pemberian yang diberikan tanpa pembayaran, baik barang produksi sendiri maupun bukan. Bahkan, pemberian contoh barang untuk promosi kepada relasi atau pembeli juga termasuk sebagai objek pengenaan PPN atas pemberian cuma-cuma. Poin terakhir inilah yang menjadi menarik untuk diperbincangkan kembali.
Esensi Nilai Tambah
Sebelumnya, mungkin kita perlu menafsirkan kembali filosofi dari “pertambahan nilai” atau “nilai tambah” yang menjadi dasar pengenaan PPN. Seperti halnya yang ditulis oleh Alan A. Tait dalam buku legendarisnya; Value Added Tax: International Practice and Problems (Washington D.C: International Monetery Fund, 1988; 4), value added adalah nilai yang ditambahkan oleh produsen ke bahan mentah atau pembeliannya (selain tenaga kerja) sebelum menjual produk atau layanannya. Dengan kata lain, nilai tambah dapat dilihat dari sisi aditif (upah plus keuntungan) atau dari sisi subtraktif (output dikurangi input).
Adam Smith dalam Haula Rosdiana dan Rasin Tarigan (Perpajakan: Teori dan Aplikasi, 2005; 215) mendefinisikan value added sebagai selisih antara penjualan dan pembelian yang dilakukan oleh sebuah perusahaan dalam suatu periode akutansi tertentu.
Baca Juga: Menimbang Rasionalitas Pemangkasan Pajak Korporasi di Tengah Pandemi
Dalam hal ini, penulis—seperti halnya anggapan umum—mendefinisikan nilai tambah sebagai selisih antara harga produk atau jasa yang dihasilkan (output) dan biaya yang habis dipakai selama proses produksi barang dan jasa tersebut (input). Dalam mekanisme PPN yang dianut di Indonesia, output terwakili oleh Pajak Keluaran, sedangkan input terwakili oleh Pajak Masukan yang merupakan kredit pajak (pengurang) dari Pajak Keluaran. Sehingga, hakikat PPN adalah Pajak Keluaran dikurangi Pajak Masukan.
Apabila kita cermati kasus di atas, peralatan sanitasi dan medis yang dibagikan gratis sejatinya bukan merupakan output atau produk yang dijual oleh perusahaan—kecuali perusahaan farmasi. Dengan demikian, tidak ada nilai tambah yang didapatkan oleh perusahaan dari membagikan secara cuma-cuma barang-barang tersebut. Justru hal tersebut menjadi biaya tambahan bagi perusahaan karena harus membeli produk eksternal.
Sama halnya dengan membagikan sampel produk secara gratis kepada calon pelanggan atau memberikan suplemen/merchandise seperti kalender, payung, topi, atau barang-barang promosi lain dalam rangka pemasaran produk oleh perusahaan. Dalam strategi marketing, membagikan barang-barang promosi secara cuma-cuma adalah hal yang lazim guna mempopulerkan brand, yang diharapkan berdampak positif terhadap target penjualan.
Baca Juga: Rain Tax, Instrumen Fiskal Pengendali Banjir?
Pertanyaannya adalah apakah peralatan medis dan barang promosi/merchandise yang dibagikan cuma-cuma oleh perusahaan termasuk kategori output? Isu ini menjadi relevan untuk diperbincangkan mengingat tidak semua produk yang dibagikan gratis masuk kategori output yang diproduksi dan diperjual-belikan oleh perusahaan.
Dalam konteks pemberian sample produk, sekalipun memenuhi kategori output, secara biaya pengadaan sebenarnya sudah diperhitungkan ketika menetapkan harga jual produk (output). Artinya, sekalipun ada nilai tambah dari pemberian cuma-cuma barang sample, sejatinya PPN-nya sudah dikenakan berdasarkan harga paket penjualan produk.
Pertanyaan selanjutnya adalah apakah barang suplemen atau promosi yang diberikan cuma-cuma masuk kategori output? Tentu saja jawabannya adalah bukan. Akan tetapi, mengapa perusahaan masih harus menanggung lagi PPN atas pemberian cuma-cuma barang suplemen atau promosi? Dengan demikian, pengenaan PPN atas pemberian cuma-cuma ini justru telah keluar dari teori Pajak Pertambahan Nilai. Selain itu, permasalahan ini justru menjadi kontra produktif dengan semangat Indonesia memperbaiki peringkat kemudahan berusaha dan menciptakan iklim investasi yang bersahabat.
Momentum Omnibus Law
Kalau konteksnya ingin memajaki pemberian secara gratis BKP/JKP dari sisi penilaian harganya, terutama atas transaksi dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa (karyawan, pemegang saham, atau perusahaan afiliasi), sejatinya itu sudah diatur pada Pasal 2 UU PPN, yang menekankan pada harga yang wajar (arm’s length). Dengan demikian, dalam transaksi afiliasi berupa pemberian cuma-cuma atas BKP/JKP (yang memenuhi kategori output), seyogianya PPN tidak dikenakan dengan menggunakan dalil pemberian cuma-cuma, melainkan menggunakan dalil harga wajar. Penegasan ini penting agar pengenaan PPN atas pemberian cuma-cuma (Pasal 1 huruf d UU PPN) tidak bertabrakan dengan ketentuan transfer pricing (Pasal 2 UU PPN).
Sudah waktunya semua pihak duduk bersama meluruskan kembali prinsip pertambahan nilai, terutama terkait penerapan PPN atas pemberian cuma-cuma. Terlebih, pemerintah dan parlemen tengah memacu pembahasan amendemen sejumlah ketentuan perpajakan menggunakan skema Omnibus Law. Setidaknya, wabah Covid-19—yang memaksa semua pihak menjaga jarak—memberikan waktu bagi Pemerintah dan Parlemen untuk menghela nafas sejenak dan menyisir kembali poin-poin perubahan Undang-Undang Perpajakan di jeda social distancing. Jangan sampai revisi kebijakan yang dipaksakan cepat justru meninggalkan “Pekerjaan Rumah” yang justru krusial di bidang perpajakan.
*) Tulisan ini telah terbit di Investor Daily, Selasa, 7 April 2020.
Disclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.