Opinion

Mengejar Pajak Google Cs : Harapan dan Tantangan

58 | Tuesday, 17 December 2019

Mengejar Pajak Google Cs : Harapan dan Tantangan

Pertemuan pemimpin negara-negara G-20 pada 28-29 Juni 2019 di Osaka, selain berhasil mengurangi tensi perang dagang (trade-war) antara dua adidaya dunia—AS dan China—juga melahirkan kesepakatan penting terkait dengan ekonomi digital. Para delegasi 20 negara dengan ekonomi terbesar di dunia tersebut menyepakati apa yang disebut dengan Data Free Flow with Trust. Kesepakatan yang diusulkan oleh delegasi Jepang—yang diwakili oleh Perdana Menteri Shinzo Abe—tersebut berisi kesepahaman antar-anggota mengenai pentingnya tata kelola dunia untuk pengaturan arus data antar-yuridiksi yang bisa dipercaya oleh semua pihak.

Kesepakatan tersebut cukup vital bagi negara-negara anggota G-20 yang mewakili 90% perekonomian dunia, termasuk Indonesia. Ini terkait dengan ambisi setiap negara di dunia dalam mengejar potensi penerimaan pajak dari aktivitas bisnis penyedia layanan konten—berupa data, informasi, dan multimedia—berbasis jaringan internet atau yang biasa disebut dengan perusahaan over the top. Perusahaan raksasa digital dunia seperti Google, Facebook, Amazon, dan Netflix selama ini ditengarai melakukan penghindaran pajak, yang jika ditaksir nilai penciutan pajaknya sekitar 10% dari total penerimaan pajak korporasi global. Pengaturan arus data lintas yurisdiksi tersebut diharapkan mempermudah negara-negara anggota G20 dalam menghitung potensi pajak yang seharusnya diterima dari aktivitas bisnis “Google cs”.

Beberapa pekan sebelumnya, tepatnya pada 8-9 Juni 2019, para Menteri Keuangan negara-negara G20 telah lebih dahulu bertemu. Mengambil tempat di Fukuoka, berjarak sekitar 600 km dari arah barat Osaka, mereka membahas pelbagai permasalahan pajak global. Pertemuan pendahuluan tersebut melahirkan dua pilar utama dalam mengejar kepatuhan pajak perusahaan-perusahaan over the top. 

Pilar pertama adalah new profit allocation rights, yang fokus pada pemajakan transaksi berdasarkan lokasi penjualan barang atau penyerahan jasa sehingga dapat menyasar pula perusahaan yang tidak memiliki kantor fisik di negara yang bersangkutan. 

Pilar kedua adalah minimum effective taxation yang merupakan konsep pengenaan tarif pajak minimum oleh setiap yurisdiksi berdasarkan standar tarif minimum dan konsensus global. Sasarannya adalah perusahaan-perusahaan multinasional yang selama ini mencatatkan laba di negara-negara berpajak rendah. 

Sesuai kesepakatan, negara-negara yang tergabung dalam G-20 memiliki waktu hingga tahun 2020 untuk menyusun peraturan untuk dapat diratifikasi oleh seluruh anggota. Walaupun konsep pelaksanaan dari kedua pilar itu masih samar atau belum secara jelas mengatur teknis pemajakan over the top, setidaknya pemegang kuasa di 20 kawasan ekonomi terbesar di dunia tersebut telah mencapai konsensus baru untuk mencari solusi bersama perpajakan digital ekonomi. 

Bagi Indonesia, kedua pertemuan penting G-20 tersebut memberi angin segar guna meningkatkan penerimaan pajak dari sektor ekonomi digital. Terlebih, Indonesia merupakan negara yang paling potensial untuk bisa memajaki transaksi ekonomi berbasis digital. Tengok saja hasil riset Google dan Temasek (e-Conomy SEA, 2018), nilai ekonomi digital Indonesia diprediksi akan menembus angka US$100 miliar pada tahun 2025 atau menyumbang sekitar 40% dari total nilai ekonomi digital Asia Tenggara yang ditaksir mencapai US$ 240 milliar.

Informasi tersebut merupakan peluang yang sangat besar bagi Pemerintah Indonesia untuk meningkatkan penerimaan pajak. Karenanya, sudah sewajarnya jika otoritas pajak Indonesia aktif berupaya menggali potensi pajak dari sektor ekonomi digital. Meskipun itu bukan perkara mudah mengingat transaksi digital menambah daftar sektor ekonomi yang belum terjamah sistem perpajakan Indonesia (underground economy). Namun, bukan hanya Indonesia yang kesulitan menggali potensi pajak dari aktivitas bisnis digital, pun sebagian besar negara-negara di dunia menghadapi kendala yang hampir sama. 

Selama ini, keuntungan terbesar justru diraup oleh negara-negara surga pajak (tax heaven country). Dengan tarif pajak yang relative rendah atau bahkan bebas pajak, banyak perusahaan di dunia yang akhirnya dengan sengaja memindahkan sebagian besar penghasilannya ke kawasan tersebut guna meminimalkan beban pajaknya. 

Praktek demikian bisa terjadi karena masih terdapat celah dalam peraturan perpajakan internasional yang berlaku secara umum—yang ketika dirancang mempertimbangkan model bisnis yang lazim terjadi dalam beberapa dekade silam. Apabila melihat evolusi zaman, regulasi perpajakan internasional yang berlaku selama ini menjadi tidak relevan lagi jika dikaitkan dengan perkembangan model bisnis terkini, khususnya model bisnis digital.

Berdasarkan BEPS Action 1, secara umum terdapat tiga tantangan yang dihadapi oleh pembuat kebijakan dalam menentukan pajak atas transaksi digital. 

Tantangan pertama adalah menentukan nexus. Meningkatnya aktivitas digital, yang dalam banyak kasus menyebabkan kehadiran bentuk fisik tidak diperlukan lagi untuk menjalankan suatu usaha. Terlebih dengan meningkatnya jaringan usaha yang disebabkan karena interaksi antar-pelanggan. Semua itu menimbulkan pertanyaan, masih relevankah peraturan perpajakan saat ini?

Sebagai contoh, beberapa dekade lalu, untuk menjalankan kegiatan bisnis seorang individu maupun sebuah entitas membutuhkan bentuk fisik untuk melakukan produksi, pemasaran, dan distribusi guna mendapatkan manfaat ekonomi dari sebuah pasar. Alhasil, peraturan pajak yang disepakati saat itu sangat bergantung kepada bentuk fisik dari sebuah kegiatan bisnis. Namun hal yang berbeda terjadi saat ini. Untuk mendapatkan manfaat ekonomi dari sebuah pasar, suatu individu maupun entitas tidak selalu membutuhkan bentuk fisik karena banyak kegiatan yang dapat dilakukan secara digital. Model bisnis demikian akan semakin berkembang seiring berkembangan zaman. Di sisi lain, peraturan perpajakan, baik domestik maupun internasional, saat ini belum sepenuhnya mengakomodir model bisnis demikian.

Tantangan berikutnya adalah yang terkait dengan data. Pertumbuhan kecanggihan teknologi informasi memungkinkan perusahaan dalam ekonomi digital untuk mengumpulkan dan menggunakan informasi lintas batas hingga tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Hal ini menimbulkan masalah tentang bagaimana mengaitkan nilai tambah yang diciptakan dari pembuatan data melalui produk dan layanan digital, dan bagaimana perlakuan perpajakannya.

Tidak dapat dipungkiri, di era digital data merupakan komoditas yang sama vitalnya dengan komoditas konvensional yang selama ini diperdagangkan. Pertukaran informasi dan data dapat memberikan manfaat ekonomi yang sangat besar bagi perusahaan-perusahaan digital. Perusahaan teknologi seperti Google dan Facebook, sangat bergantung pada data pengguna yang mereka dapatkan guna menentukan preferensi iklan yang akan ditampilkan. Sementara itu, dalam peraturan perpajakan tradisional, belum mengatur secara spesifik bagaimana suatu informasi maupun data dapat memberikan nilai tambah ekonomi yang sebagai dasar pemajakannya.

Terakhir adalah menentukan karakteristik. Pengembangan produk digital baru atau sarana pemberian layanan menciptakan ketidakpastiaan terkait dengan karakteristik pembayaran yang tepat yang dilakukan dalam konteks model bisnis baru, khususnya terkait dengan cloud computing.

Kehadiran Secara Ekonomi

Berdasarkan tiga tantangan tersebut di atas, para pembuat kebijakan di dunia—khususnya kelompok G-20, tengah mengupayakan solusi Bersama. Kesepakatan Fukuoka yang melahirkan dua pilar utama ekonomi digital diharapkan mampu menggantikan ketentuan perpajakan yang selama ini bergantung pada physical presence menjadi economic presence, yang tampaknya lebih relevan digunakan saat ini. Dengan menitikberatkan penentuan perpajakan pada kehadiran ekonomi (economic presence), diharapkan akan tercipta keadilan pada sistem perpajakan. 

Selama ini, perusahaan konvensional yang belum memiliki teknologi digital harus memiliki bentuk fisik dan mendaftarkan usahanya pada sebuah yuridiksi untuk memasuki pasar. Selain menanggung biaya pengadaan fisik yang lebih besar, perusahaan tersebut juga berpotensi menanggung beban pajak yang lebih besar daripada perusahaan digital yang menerima manfaat ekonomi yang sama atau bahkan lebih besar. Dari sisi pemerintah, hal tersebut juga dirugikan karena pada dasarnya perusahaan-perusahaan digital tersebut menggunakan fasilitas publik yang dibiayai oleh pajak untuk mendapatkan manfaat ekonomi dari pasar.

Selain itu adanya kesepakatan mengenai Data Free Flow with Trust juga menjadi satu peluang bagi negara-negara G-20 untuk mendapatkan data terpercaya yang dibutuhkan guna mengejar pajak perusahaan digital dunia. Diharapkan dengan adanya kesepahaman ini, pertukaran informasi antar negara menjadi lebih transparan dan saling menguntungkan.

Di dalam negeri sendiri, Pemerintah melalui Kementerian Keuangan telah mengeluarkan PMK No. 35/PMK.03/2019 tentang Penentuan Bentuk Usaha Tetap. Dalam PMK tersebut diatur, setiap badan asing maupun individu asing yang menjalankan kegiatan usaha di Indonesia, diwajibkan mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Artinya, jika badan asing maupun individu asing menjalankan usaha di Indonesia maka juga memiliki kewajiban perpajakan di Indonesia.

Walaupun demikian, aturan tersebut tidak mengubah definisi dari BUT. Namun, dengan terbitnya PMK tersebut diharapkan menjadi jalan bagi pemerintah untuk dapat menarik pajak berdasarkan economic value yang dihasilkan dari Indonesia. Hal yang menarik lainnya dari peraturan ini adalah perihal penentuan tempat usaha sebagai salah satu syarat timbulnya Bentuk Usaha Tetap (BUT). Dalam pasal 5 ayat 1 huruf (l) PMK tersebut, disebutkan bahwa tempat usaha yang dimaksud dapat berupa komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan Orang Pribadi Asing atau Badan Asing untuk menjalankan usaha melalui internet. Dengan adanya pasal tersebut, setiap badan asing menjalakan usaha melalui internet (digital) dengan menggunakan perangkat keras (hardware), dianggap memiliki BUT di Indonesia.

Dapat disimpulkan bahwa perkembangan ekonomi digital yang sangat pesat telah menghasilkan manfaat ekonomi yang sangat besar pagi perekomian dunia pada umumnya dan Indonesia pada khususnya. Namun ternyata hal tersebut juga memberikan tantangan bagi sistem perpajakan dunia. Model atau sistem perpajakan yang saat ini berlaku secara umum, ternyata belum mampu memberikan manfaat maksimal bagi penerimaan negara. Sebaliknya, yang terjadi justru praktik non-double taxation dilakukan oleh raksasa-raksasa digital dunia dengan menghilangkan potensi pajak yang sangat besar. Selain menimbulkan ketidakadilan, praktik tersebut juga merugikan bagi negara-negara yang memiliki potensi besar dalam ekonomi digital seperti Indonesia. 

Namun demikian, adanya konsesus bersama yang dibangun dalam kelompok G-20 untuk menghadapi tantangan ekonomi digital menjadi angin segar bagi Indonesia untuk memanfaatkan potensi tersebut. Hal ini karena Indonesia sebagai bagian dari komunitas Internasional tidak bisa bekerja sendiri untuk menghadapi tantangan yang dihadirkan oleh ekonomi digital. Dibutuhkan kerjasama dan kesepahaman bersama dengan para pemangku kepentingan dunia. Selain kebijakan ekonomi yang disepakati bersama, juga dibutuhkan kemauan politik yang kuat dari masing-masing pihak untuk merumuskan kebijakan yang bermanfaat bagi semua pihak.

 
*) Tulisan ini merupakan Juara III MUC Consulting Writing Contest 2019, yang telah melalui proses editing dan updating data. 



Disclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.


Global Recognition
Global Recognition | Word Tax     Global Recognition | Word TP
Contact Us

Jakarta
MUC Building
Jl. TB Simatupang 15
Jakarta Selatan 12530

+6221-788-37-111 (Hunting)

+6221-788-37-666 (Fax)

Surabaya
Graha Pena 15th floor
Jl. Ahmad Yani 88
Surabaya 60231

 

Subscribe

For more updates and information, drop us an email or phone number.



© 2020. PT Multi Utama Consultindo. All Rights Reserved.