Mutual Trust dan Integrasi Data Modal Utama Reformasi Pajak
Friday, 02 March 2018
Dalam konteks bernegara, peran fiskus dan Wajib Pajak sama pentingnya dalam mendanai pembangunan nasional lewat pajak. Pelayanan yang efektif dan efisien, yang diimbangi dengan pengawasan melekat menjadi aktivitas kunci untuk memastikan relasi keduanya setara dan harmonis.
Karenanya, peran Ombudsman pajak menjadi begitu penting untuk memastikan pengelolaan sistem perpajakan yang transparan dan berkeadilan. Di Indonesia, fungsi ini diemban oleh Komite Pengawas (Komwas) Perpajakan sesuai dengan amanat Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Untuk mengetahui bagaimana sepak terjang Komwas Perpajakan dalam mengawal reformasi pajak selama satu dekade terakhir, Tax Guide berkesempatan berdiskusi langsung dengan Wakil Ketua Komisi Pengawas Perpajakan, Prof. Dr. Gunadi, M.Sc., Ak. Berikut nukilan dialognya:
Bagaimana peran Komite Pengawas Perpajakan dalam proses reformasi perpajakan sejauh ini?
Komwas Perpajakan dibentuk berdasarkan Pasal 36C UU KUP. Tugasnya membantu Menteri Keuangan dalam melakukan pengawasan terhadap instansi atau lembaga perpajakan, yang terdiri dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC). Pengawasan ini (dilakukan) kepada pelaksanaan tugas kedua lembaga ini yang menjalankan UU perpajakan, (yaitu) UU Pajak, dan UU Bea dan Cukai. Itu awal mulanya. Tapi kemudian, dimulai pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tahun lalu, tugas Komwas diperluas juga menyangkut pengawasan terhadap kebijakan. Jadi mulai tahun kemarin, yang diawasi tak hanya menyangkut tax administration tetapi juga tax policy.
Sebenarnya Komwas ini kan disejajarkan dengan semacam Ombudsman pajak. Jadi kami harus menyampaikan aspirasi masyarakat Wajib Pajak. Dikomunikasikan dengan lembaga perpajakan (tentang) nanti bagaimana dalam perumusan kebijakannya dan pelaksanaan undang-undangnya itu. Jadi hak-hak mereka dilindungi.
Bagaimana Komwas Perpajakan menyerap aspirasi publik?
Kami melakukan apa yang kami sebut dengan komunikasi publik (Komplik), yang setiap tahun ada empat kali dilakukan komunikasi publik. Melalui komunikasi publik ini kami ingin mengetahui aspirasi masyarakat terhadap pelaksanaan sistem perpajakan. Semacam Focus Group Disscussion (FGD). jadi masyarakat menyampaikan keluhan-keluhan kemudian itu kami sampaikan kepada pemangku kepentingan, yaitu Kantor Wilayah DJP maupun DJBC kalau lingkupnya lokal. Untuk dikonfirmasi, pertama apakah itu betul. Kalau betul, kemudian kami minta solusinya supaya ada kepastian hukum dan keadilan bagi mereka (Wajib Pajak).
Apa saja rekomendasi Komwas Perpajakan yang sifatnya nasional, baik yang sudah maupun yang belum dilaksanakan otoritas pajak?
Ada beberapa rekomendasi. Kalau rekomendasi-rekomendasi itu umumnya kami melakukan studi, kami teliti dulu, kumpulkan fakta-fakta, kemudian kami sampaikan rekomendasi ke Menteri Keuangan. Banyak yang sudah kami sampaikan. Ada yang sudah dilaksanakan, ada pula yang belum.
Pertama, menyangkut efektivitas. Ini ketika Menteri Keuangan Pak Chatib Basri. Kami menyampaikan rekomendasi tentang pajak pertambahan nilai (PPN) atas kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO). Saat itu CPO dianggap barang strategis untuk menjamin ketersediaan minyak goreng, makanya PPN dibebaskan untuk ke konsumen. Sedangkan pengusaha-pengusaha tetap dikenakan dan itu tidak bisa dikreditkan.
Namun waktu itu ada pelik-pelik, berdasarkan keputusan Mahkamah Agung (MA) yang baru, kalau kebun sawit diintegrasikan dengan pabrik CPO maka itu (PPN) bisa dikreditkan. Itu kami sampaikan syarat, bahwa kami lihat unsur atau zatnya seperti apa. Kalau unsur atau zatnya tidak bisa dikreditkan, apapun bentuknya itu juga tidak bisa dikreditkan. Padahal dulu ada PMK Nomor 21/PMK.011/2014 yang membolehkan itu. Dulu Pak Chatib Basri meminta dissenting opinion dari Komwas untuk memperkuat kebijakan-kebijakannya. Kami berikan kepada beliau bahwa PMK ini bertentangan dengan UU karena mengembalikan pajak yang tidak seharusnya. Kemungkinan merugikan negara kalau itu dikreditkan. Dan itu sudah dijalankan.
Tapi kemudian, ternyata ada legal review ke MA atas Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007. MA menegaskan (pembebasan PPN) itu bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Dampaknya meluas ke produk-produk hasil pertanian, yang ternyata jadi dikenakan pajak, sehingga dapat dikreditkan lagi.
Kalau rekomendasi yang belum dijalankan, misalnya, bagaimana melakukan pemeriksaan pajak menjadi lebih efektif. Kami mengusahakan pemeriksaan jangan sampai jadi masalah. Karena banding dan keberatan itu kan memakan waktu dan ongkosnya juga tinggi. Itu juga menyebabkan masyarakat disibukkan terus menerus dengan urusan pajak. Kami merekomendasikan bahwa seleksi pemeriksaan itu betul-betul harus berdasarkan data. Harus punya data yang valid dan konkret bahwa penghasilan itu tidak dilaporkan. Jadi kalau tidak ada datanya, jangan diributkan. Pemeriksaan itu kan umumnya menyangkut transfer pricing. Itu dilakukan Advance Pricing Agreement (APA) saja. Kalau di-APA kan dirundingkan sejak semula, profitnya berapa. Jadi pengusaha jangan diributin, jangan direcokin dengan masalah pajak. Biar dia menekuni usahanya biar lebih maju.
Bagaimana rekomendasi Komwas Perpajakan terkait revisi paket UU Perpajakan?
Terutama UU KUP, kami merekomendasikan prinsip-prinsip self-assessment harus dipertahankan. Prinsip self-assessment ini kan harus memberikan kepercayaan kepada masyarakat. Jadi percaya dulu apapun yang diterima, itu harus prinsipnya berbaik sangka. Kecuali terbukti dia ini salah, baru boleh diperiksa. Tetapi awalnya harus percaya, mutual trust. Dengan mutual trust itu maka kemudian pemeriksaan harus transparan. Jadi ketetapan pajak kurang bayar itu tidak binding (mengikat). Karena kewenangan ada pada masyarakat, jadi yang benar dia. Jadi kantor pajak kalau menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) kan sifatnya hanya koreksi. Kalau koreksi ini disetujui masyarakat yang dikoreksikan oke, dia harus dibayar. Tetapi kalau tidak setuju, dia keberatan maka koreksi ini kan menjadi sengketa. Jadi, kalau tidak ada (koreksi) itu tidak binding. Jadi jangan terlalu banyak merecokin pengusaha. Kalau bisa KUP itu harus probisnis, harus adil, berusaha mendapatkan penerimaan yang lebih banyak tetapi dengan usaha-usaha yang sedikit. Jangan meributkan itu, karena kantor pajak kan tenaga kerjanya terbatas sekali, jangan terlalu agresif. Agresif boleh kalau ada bukti. Kalau tidak ada bukti jangan.
Kalau terkait dengan reformasi kelembagaan, apa yang menurut Komwas sangat dibutuhkan otoritas perpajakan?
Sebenarnya, self-assessment itu menuntut pengawasan yang bagus. Yang terjadi di lapangan saat ini pengawasannya kedodoran. Kenapa kedodoran, karena organisasinya belum kuat, lemah. Kenapa lemah, karena ITbased-nya belum jalan. Yang pertama, data itu harus valid. Kedua, harus komperehensif. Dan ketiga, sistemnya harus terintegrasi. Ini kan masih terpecah-pecah. Integrasi sistem itu perlu karena nantinya segala sesuatunya akan diproses dengan IT-based. Semakin banyak WP-nya akan semakin sulit dengan menggunakan sistem manual. Pemeriksaan itu bisa dilakukan secara otomatis, bukan manual.
Misalnya, sistem PPN yang kuncinya adalah faktur pajak. Ada pajak masukan di si pembeli dan ada pajak keluaran di si penjual. Jadi kalau tidak ada pajak yang disetor oleh penjual, berarti tidak bisa dikreditkan. Kalau ada pasangannya, itu nanti restitusinya otomatis saja, tidak usah diperiksa segala macam. Otomatis saja. Sama juga dengan Pajak Penghasilan (PPh). PPh itu kan ada biaya-biaya yang menjadi objek potongan. Seperti biaya upah dan gaji, itu ada pasangannya yaitu PPh Pasal 21. Kalau ada PPh Pasal 21 yang dibayarkan ya bisa dikurangkan.
Struktur kelembagaan otoritas perpajakan kita idealnya seperti apa? Apakah berbentuk badan semi-otonom yang terpisah dari Kementerian Keuangan atau tetap seperti sekarang?
Itu adalah dua model yang sama-sama produktif juga. Otoritas pajak yang otonom di Asia, misalnya Singapura, Malaysia, Filipina. Tetapi seperti di Thailand dan Vietnam, Direktorat Jenderal Pajak-nya tidak terpisah dari Kementerian Keuangan, tapi produktif juga. Ini cuma masalah man behind-nya saja, tergantung orangnya.
Sejauh ini bagaimana Komwas Perpajakan menilai kinerja dan koordinasi otoritas perpajakan, dalam hal ini DJP dan DJBC?
DJP dan DJBC adalah sama-sama bagian dari Kementerian Keuangan. Kenapa tidak bisa dipersatukan? Misalnya, ekspor-impor semuanya melalui DJBC. Kenapa DJP tidak menggunakan angka (data) DJBC terkait transfer pricing? Kan DJBC mengerti juga soal itu. Karena kan profilingnya sama, perusahaan yang diperiksanya sama. Kalau bisa antara DJBC dan DJP satu kesatuan, bahkan kalau bisa satu opininya, satu pendapat. Jadi, bisa tidak sih disederhanakan misalnya kalau impor dan ekspor single submission. Jadi yang dilaporkan DJBC berguna juga untuk DJP. Jadi (saat ini) belum terintegrasi, masih sebatas pertukaran data. Karena kan masih ada kepentingan masing-masing.
Sama juga di internal DJP, pola pikir konsep nasionalnya belum muncul. Karena masing-masing Kantor Pelayanan Pajak (KPP) masih bersaing rebutan penerimaan. Harusnya pola nasional, bukan masing-masing atau lokal.
Bicara soal pengawasan, apakah kewenangan Komwas saat ini sudah cukup efektif untuk mengawal reformasi perpajakan?
Dulu dalam draf reformasi pajak 2007, ide awalnya adalah membentuk Komisi Pengawas Perpajakan yang bersifat mandiri, karena maunya DJP berubah menjadi badan. Tetapi ternyata situasi politiknya belum memungkinkan. Karena DJP tidak jadi badan, maka Komisi Pengawas Perpajakan diubah menjadi Komite Pengawas Perpajakan. Sampai saat ini kami belum melihat DJP yang kuat seperti di eranya Pak Marie Muhammad sama Pak Darmin Nasution. Jadi kalau mau jadi lembaga sendiri harus ada strong man.
Soal perluasan peran Komwas yang mencakup juga pengawasan kebijakan, bagaimana Komwas menilai kebijakan-kebijakan pajak belakangan ini? Terutama Tax Amnesty?
Tax Amnesty itu diperlukan dalam rangka ada suatu perubahan dalam sistem pajak. Baik perubahan perilaku maupun perubahan administrasi yang mendasar. Pengampunan itu artinya menghilangkan dosa-dosa Wajib Pajak di masa lalu, dengan iktikad ingin memulai yang baik. Nah, memulai yang baik ini yang tidak dirintis, misalnya, menertibkan data-data. Jangan urusin yang gede-gede dulu, tetapi menertibkan data-data Wajib Pajak sesuai dengan yang sebenarnya. Tetapi kan belum ada rintisan ke arah integrasi data itu sampai sekarang. Jadi pola dan lagunya sama saja dengan amnesti-amnesti zaman dulu.
Data sekarang kan disimpan. Lho kok disimpen, tidak didiseminasikan kepada masing-masing Wajib Pajak. Maunya itu perbaikan ke depan itu harus ada data konkretnya. Harapan kami dengan sistem yang baru, sistem perpajakan bisa beradaptasi seperti bank. Bank itu kan sampai kampung-kampung seluruh rekeningnya ketahuan. Mestinya sistem informasi perpajakan seperti itu, real time.
Maksudnya seperti jaringan informasi perbankan atau integrasi data keuangan?
Modelnya saja kayak rekening bank. Kalau Bank Rakyat Indonesia (BRI) saja yang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) (jaringan informasinya) bisa sampai ke desa-desa. Masa DJP yang pemerintah tidak bisa seperti itu. Harus dicoba, tidak usah banyak-banyak dulu, mulai saja dengan Pengusaha Kena Pajak (PKP). PKP itu kan jumlahnya sekitar 650.000. Dan yang berperan terhadap 93% penerimaan itu cuma sekitar 17% atau kira-kira 105.000 Wajib Pajak. Mulai dulu dengan mengakses data 105.000 Wajib Pajak ini. Harus diketahui betul membeli dari mana, menjualnya kepada siapa. Itu otomatis ketahuan semua yang menjual kepada PKP dan akan ketahuan omzet seluruh pengusaha itu di Indonesia. Tidak usah periksa macam-macam.
Gagasan-gagasan ini sudah disampaikan ke pemerintah? Responsnya seperti apa?
Sudah kami sampaikan, tapi kalau menyangkut itu tidak mudah. Lebih mudah membuat kebijakan, sehari jadi. Yang harus diperjelas itu kan, kita harus menggunakan model yang mana. Ini ada berbagai model, misalnya ikut saja model Australia, model mana saja yang bagus. Sudah ada software yang jadi dan bagus. Untuk apa otak-atik buat desain sendiri. Kayak perbankan sekarang jadi jaringan global, semua perbankan harus bisa match. Seperti sistem tiket itu kan, jaringan global. Itu perusahaan saja bisa, kantor pajak harusnya juga bisa.
Mengenai Automatic Exchange of Information (AEoI), bagaimana Komwas melihatnya?
Data ini kan urat nadinya pajak. Kunci dari self-assessment adalah itu. Karena segala sesuatunya, inisiatif dari setiap kegiatan perpajakan ada di Wajib Pajak. Otoritas pajak tugasnya hanya mengawasi, bahwa yang dilaporkan itu benar sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Cara memeriksanya bukan dengan cara seperti paranormal, tetapi sebagai orang biasa harus ada data-data pendukungnya. Di Belanda, misalnya, tidak ada potongan pajak atas hasil bunga simpanan di bank. Tetapi pada akhir tahun, banknya itu lapor ke kantor pajak.
Apakah integrasi data, keterbukaan informasi, dan reformasi kelembagaan dapat menutup celah penghindaran pajak?
Wajib Pajak patuh atau tidak patuh bukan karena manusianya malaikat semua, bukan. Tetapi karena sistem, yang dibuat sedemikian rupa sehingga orang terpaksa tidak ada pilihan lain, kecuali patuh. Nah yang buat itu, ya, administrasi pajaknya. Jadi datanya itu, sistem pajaknya itu harus diperkuat untuk pengamanan penerimaan, dan itu harus melekat dengan sistem pembayaran. Sistem pembayaran maksudnya dengan potongan, pungutan. Kalau disuruh setor sendiri ya mana mau. Makanya dimulai, jangan sampai kalau menyangkut transaksi jual-beli, kantor pajak itu sampai mengalah. Ini kan sesuatu keadaan yang seharusnya tidak terjadi. Kalau transaksi penjualan antara PKP dengan konsumen tidak pakai data pembeli, tidak apa-apa. Tetapi kalau antarpengusaha itu datanya harus. Kalau PKP itu doing business ada profit motive sementara pembeli ini kan rakyat.
Menyikapi tren global, di saat banyak negara menurunkan tarif pajak, apakah Indonesia harus mengikutinya?
Harus mengikuti. Kalau tidak, daya saing pajaknya lemah. Indonesia ini negara yang menarik untuk pemasaran produk. Oleh karena itu, nanti orang akan mengekspor ke Indonesia tetapi profitnya akan dialihkan atau Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) ke negara yang tarifnya rendah.
Apakah penurunan tarif pajak akan diikuti dengan meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak?
Kepatuhan itu sifatnya bertolak belakang (terhadap tarif). Kalau semakin rendah tarifnya, kepatuhannya naik. Semakin tinggi kepatuhannya. Karena nilai ekonomi kepatuhan pajak itu besar sekali. Jadi itu (penurunan tarif) juga berdampak kepatuhan meningkat.
Bagaimana tantangan perpajakan di tahun 2018?
Tahun 2018 kan pertumbuhan ekonominya diharapkan naik jadi 5,4%. Diharapkan pula semakin banyak potensi pajak yang bisa direalisasikan. Sekarang masalahnya instrumen pajaknya apa untuk merealisasikan itu. Sekarang kan pendekatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ke sektor-sektor atau pos-pos ekonomi yang dianggap booming. Kembali lagi, sistem pajak itu harus melekat ke sektor itu sehingga kemungkinan tax ratio-nya akan lengket sesuai masing-masing sektor tersebut.
Thailand misalnya, dengan tarif PPN 7%, tax ratio-nya 5,6% terhadap Produk Dometik Bruto (PDB). Indonesia, dengan tarif PPN 10%, rasio pajaknya hanya 3,9%. Kenapa Thailand bisa lebih besar, karena basis pajaknya lebih luas dari kita. Sektor-sektor yang mudah dikenakan pajak, seperti keuangan, asuransi, dan pasar modal dikenakan pajak. Saham-saham di bursa dikenakan pajak namanya special business tax dengan tarif 3%, lebih rendah dari tarif umum 7%.