Exclusive Interview

Indonesia Sambut Era Keterbukaan Informasi Perpajakan

Friday, 03 March 2017

Indonesia Sambut Era Keterbukaan Informasi Perpajakan

Tahun 2018 akan menjadi era baru keterbukaan informasi perpajakan secara global. Automatic Exchange of Information (AEoI) menjadi komitmen para pemimpin dunia untuk menghentikan aksi penghindaran pajak dan melacak jejak transaksi keuangan para pelakunya. 

Meskipun dalam praktiknya tidak mudah, mau tidak mau, siap atau tidak, Indonesia harus ikut serta dalam AEoI jika tidak ingin dikucilkan dalam komunitas global. Untuk lebih jauh menggali informasi mengenai AEoI dan kesiapan pemerintah melaksanakannya pada Juni 2018 nanti, MUC Tax Guide berkesempatan berdiskusi dengan Direktur Perpajakan Internasional Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Prof. Poltak Maruli John Liberty Hutagaol. Berikut petikan percakapannya: 

Apa latar belakang dicetuskannya AEoI dan bagaimana keterlibatan Indonesia di sana?

Kami menyadari bahwa perubahan variabel-variabel di lingkungan internasional di mana Indonesia berada ini sangat dinamis. Seperti, perkembangan teknologi informasi, atau produk-produk keuangan dan perbankan yang sangat canggih. Kemudian, kita juga melihat ada negara-negara yang kita labeli sebagai financial center. Mereka tidak hanya menawarkan fasilitas keuangan yang canggih, tetapi juga menawarkan kerahasiaan informasi, selain menawarkan tarif pajak yang murah. Kemudian yang tidak kalah penting adalah struktur dan tarif pajak di masing-masing negara berbeda-beda. Ini menjadi loophole. Lalu, investasi global itu sangat terbatas, masing-masing negara, (atau) yuridiksi berlomba-lomba menggunakan instrumen pajak sebagai penarik investasi. Itu akan menjadi ‘race to the bottom’. Semua itu berbahaya.

Dari kondisi lingkungan tadi kita sudah melihat adanya risiko-risiko yang akan muncul. Pertama, transfer pricing, kemudian thin capitalization, harmful tax competition, kemudian banyak sekali masalah di bidang perpajakan, termasuk profit shifting. Ini semua akan menggerus basis perpajakan masing-masing negara. Menurut perhitungan IMF (International Monetary Fund), ada potensi penerimaan pajak sebesar US$200 miliar yang hilang setiap tahunnya di negara-negara berkembang karena profit shifting. Tentu potensi pajak yang hilang dari Indonesia juga besar. Menyadari semua risiko tadi, pada saat G-20 leader summit di London 2009, pemimpin dunia tadi menyatakan, bank secrecy atau kerahasiaan perbankan  itu sudah berakhir. 

Apa yang dimaksud dengan berakhir? Apakah sudah tidak perlu lagi jaminan kerahasian nasabah?

Berakhir maksudnya begini. Bank secrecy itu tetap penting, (dan) harus dijaga. Cuma untuk tujuan perpajakan diberikan pengecualian. Karena semua negara, termasuk Indonesia dan bahkan Amerika Serikat (AS), tulang punggung APBN-nya dari pajak. Makanya, mereka mengecualikan kerahasian untuk kepentingan pajak, tetapi untuk yang lain tetap rahasia. Kalau dibuka untuk semuanya bisa hancur industri perbankan. Karena kepercayaannya (nasabah) bisa hancur. Itulah yang mendorong Indonesia dengan banyak negara bergabung melaksanakan pertukaran informasi. Indonesia dengan 100 negara atau yurisdiksi lain sudah berkomitmen melaksanakan ini. 

Tujuan utama dari pertukaran data perpajakan ini apa?

Mendorong keterbukaan informasi keuangan secara global untuk tujuan perpajakan (supaya) lebih cepat. Keuntungannya: Pertama, Wajib Pajak Indonesia akan lebih patuh, secara sukarela, karena semua sudah dibuka. Kedua, ini tentu akan membuat basis pajak lebih besar. Coba kita lihat deklarasi aset di luar negeri, yang diungkapkan dalam program tax amnesty hanya Rp1.000 triliun. Padahal potensinya lebih besar, bisa mencapai Rp3.600 triliun.

Bagaimana jika ada negara yang tidak mau berkomitmen ikut AEoI?

Ya, tentu bagi negara yang tidak berkomitmen akan ada sanksi moral. Dia akan dikucilkan dari komunitas internasional. Selain itu, dunia internasional tidak akan memercayai lagi. Sehingga dia (negara tersebut) akan sulit mendapatkan pinjaman-pinjaman luar negeri dari organisasi internasional. Dia juga akan menghadapi masalah dunia sendirian. Kalau ikut (AeoI) kan, kita menghadapi masalah dunia di bidang perpajakan secara gotong-royong. 

Data dan informasi apa saja nanti yang akan dipertukarkan?

Data nasabah di perbankan, pasar modal, asuransi, dan lembaga industri keuangan lainnya. Data itu bisa berupa identitas wajib pajak seperti nama, alamat, kemudian nomor rekening, saldo dan pendapatan yang diperoleh dan dilaporkan di rekeningnya. Kalau korporasi, siapa saja pemegang sahamnya, (atau) pengendalinya harus dibuka. Data dan informasi ini akan diterima dari OJK dan dipertukarkan kantor pajak dengan pihak luar. 

Apa syarat yang harus dipenuhi, agar Indonesia bisa melaksanakan AEoI pada 2018?

Untuk bisa melaksanakan AEoI, maka masing-masing negara yurisdiksi yang berkomitmen harus memiliki level of playing field yang sama. Kalau salah satu negara (atau) yurisdiksi tidak memenuhi persyaratan maka mereka tidak diikutkan di dalam program ini.

Pertama, negara tersebut harus berkomitmen secara internasional dengan menandatangani semua perjanjian-perjanjian internasional yang dipersyaratkan. Antara lain Tax Treaty atau Tax Information Exchange Agreement, kemudian Mutual Administrative Assistance in Tax Matters (MAC), Mutual Competent Authority Agreement (MCAA). Kedua, harus menandatangani Bilateral Competent Authority Agreement. Indonesia saat ini baru menandatangani MAC dan sudah memiliki perjanjian dalam bentuk Tax Treaty, sementara MCAA belum dilakukan. 

Syarat lainnya, semua aturan domestik mulai dari undang-undang hingga turunannya harus memenuhi persyaratan untuk bisa dilakukan pertukaran informasi secara global. Artinya, informasi tersebut tidak boleh terkendala oleh aturan yang ada.  Jadi masing-masing otoritas pajak di masing-masing negara harus punya power to access of exchange of information. Setiap informasi harus bisa diakses secara otomatis tanpa syarat apa pun untuk kepentingan pajak. Terutama dalam hal ini informasi keuangan, baik dari perbankan atau lembaga keuangan lain dan pasar modal. 

Artinya harus merubah sejumlah undang-undang?

Betul, Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (KUP), UU Perbankan, Undang-Undang Keuangan Syariah, dan Undang-Undang Pajak Penghasilan idealnya harus diamandemen.

Bagaimana dengan rencana presiden mengeluarkan Perppu?

Perppu juga bisa menjadi solusi, tetapi idealnya adalah mengamandemen UU yang ada. Tetapi waktunya memang sangat mendesak, sebab pada tanggal 30 Juli 2017 ini kita harus sudah memiliki primary legislation, aturan setingkat undang-undang yang bisa mengakomodir pertukaran informasi. Perppu ini sedang dalam pembahasan. Intinya, supaya Indonesia bisa melaksanakan pertukaran informasi. Perppu ini akan membuat kita semakin kuat dari sisi legislasi. 

Apakah Perppu ini hanya untuk membuka data nasabah asing saja atau semua nasabah yang ada di Indonesia? 

Memang hanya data nasabah asing saja yang diperlukan untuk ikut dalam AEoI. Sebab, data ini akan dipertukarkan untuk memenuhi kebutuhan otoritas pajak negara lain, yang ingin mengetahui informasi keuangan warga negaranya yang ada di Indonesia. Seperti halnya Indonesia yang akan meminta data keuangan warga negara Indonesia yang ada di luar negeri. Sementara pembukaan data rekening nasabah seluruh masyarakat itu kepentingannya berbeda, bukan AEoI. 

Dalam Undang-Undang Perbankan sebenarnya sudah ada mekanisme ini, tapi sifatnya voluntary. Bank tidak usah menunggu kesediaan nasabah karena pihak bank biasanya sudah menginformasikan calon nasabah (asing) ketika pengisian form—bahwa untuk membuka rekening, nasabah tersebut harus membuat surat pernyataan bahwa mereka harus siap untuk dibuka (data rekeningnya).

Bagaimana pemerintah menjamin kerahasiaan data nasabah dan memastikan data keuangan wajib pajak tidak bocor ke pihak-pihak yang tidak berkepentingan?

Tentunya dari seluruh data dan informasi tadi, sistem transmisinya harus diatur, harus qualified. Kita tadi sudah mendengar, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah menyiapkan sistem informasi yang akan mengatur arus informasi dari lembaga keuangan ke OJK hingga ke DJP. Sistem yang dibangun OJK itu bernama Sistem Penyampaian Informasi Nasabah Asing (SIPINA). Sedangkan sistem yang dibangun antara DJP dengan otoritas pajak di negara lain yang disiapkan adalah Common Transmission System (CTS). Setiap negara sudah berkomitmen menjaga kerahasiaan informasi. Masyarakat jangan panik karena ini komitmen internasional. Jadi tidak ada alasan capital flight karena baik Singapura maupun Hong Kong juga harus menerapkan kebijakan yang sama. 

Lead-nya nanti siapa dalam melaksanakan AEoI? Apakah DJP atau OJK?

OJK itu mitra kita yang sangat diharapkan (dukungannya) bersama dengan lembaga dan industri keuangan. Sementara yang melakukan pertukaran itu tetap competent authority. Competent authority itu, ya, DJP, Kementerian Keuangan. 

Data dan informasi yang didapatkan nanti diolah untuk kepentingan apa saja? Apakah ada pembatasan peruntukan?

Data ini tentu untuk dipertukarkan. Kedua, data ini akan memperkuat basis data perpajakan. Ini akan menjadi data pajak dulu baru dipertukarkan. Data itu akan digunakan untuk perpajakan sesuai dengan peraturan. Tidak hanya pemeriksaan.  Bayangkan tahun 2019 dan seterusnya, kantor pajak akan menerima data dan informasi mengenai orang Indonesia yang menempatkan asetnya di luar negeri, termasuk korporasi. Betapa beratnya DJP menghadapi arus bah data aset orang Indonesia di luar negeri. 

Apabila ditemukan data aset mencurigakan dan terindikasi untuk menghindari pajak, apa sanksinya bagi WP? 

Tentu nanti akan diperiksa dulu, apakah aset tersebut ada di SPT. Kalau tidak, tentu akan dieksekusi. Kalau WP Orang Pribadi, atas aset yang tidak dilaporkan langsung kena (denda) 30%. Ada sanksinya: pidana atau adminsitrasi. Kalau khusus kesengajaan, ada sanksi pidana bisa (denda) 400%, bisa 200%. Kalau sanksi administrasi, 2% per bulan.

Selain AEoI, kebijakan apa lagi yang akan dilakukan pemerintah untuk mencegah aksi penghindaran pajak?

Untuk mengatasi tax avoidance, baik di domestik maupun offshore kami kombinasikan semua standar internasional. Pertama adalah AEoI. Untuk yang ke dalam kita perkuat regulasi BEPS (Base Erosion Profit Shifting) Action 13 dengan menerbitkan PMK Nomor 213 Tahun 2016. Kita perkenalkan three tier approach untuk transfer pricing documentation, dengan mewajibkan wajib pajak badan yang melakukan transaksi afiliasi untuk membuat master file, local file, dan CBC Report untuk mengetahui benar tidaknya transaksi, wajar (atau) tidak. 

Lalu, kami akan mengeluarkan aturan soal CFC, Controlled Foreign Company, karena banyak praktik-praktik trust di luar negeri, misalnya perusahaan melakukan profit shifting ke subsidiary-nya di sana. Misalnya dengan merekayasa macam-macam transaksi keuangan, misalnya ekspor ke sana (ke subsidiary), (penghasilannya) di-pooling di luar negeri, tapi tidak bayarkan dividen ke Indonesia. Itu bisa kita tarik (seolah-olah telah ditarik ke Indonesia). 




Global Recognition
Global Recognition | Word Tax     Global Recognition | Word TP
Contact Us

Jakarta
MUC Building
Jl. TB Simatupang 15
Jakarta Selatan 12530

+6221-788-37-111 (Hunting)

+6221-788-37-666 (Fax)

Surabaya
Graha Pena 15th floor
Jl. Ahmad Yani 88
Surabaya 60231

 

Subscribe

For more updates and information, drop us an email or phone number.



© 2020. PT Multi Utama Consultindo. All Rights Reserved.