Tantangan Perpajakan dalam Menghadapi Revolusi Industri 4.0
Ardi Nurdianto
|
Monday, 26 August 2019
“Beradaptasi atau musnah? Sebuah keniscayaan yang tak bisa ditawar-tawar lagi saat ini.” -H.G. Wells, A Short History of the World (1992)
Kondisi dunia saat ini sangatlah dinamis dan tidak dapat dibendung perkembangannya. Perubahan terjadi begitu cepat sebagai dampak dari adanya arus perkembangan teknologi yang begitu signifikan. Perkembangan teknologi tersebut menciptakan inovasi-inovasi baru yang memudahkan setiap sisi kehidupan manusia. Kita dapat melihat bagaimana mudahnya manusia dalam melakukan berbagai aktivitas sehari-hari. Hanya dengan bermodalkan smartphone di genggamannya, seluruh kebutuhan dapat terpenuhi.
Berbagai pihak berlomba-lomba untuk menciptakan aplikasi yang dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan manusia. Sebut saja raksasa-raksasa digital seperti Uber, Grab, Gojek, Traveloka, Tokopedia, Amazon, Alibaba dan brand-brand ternama lainnya baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Berbagai barang dan jasa ditawarkan melalui aplikasi tersebut mulai dari toko online, jasa bersih-bersih rumah, jasa transportasi, jasa pemesanan makanan, jasa antar barang dan masih banyak yang lainnya. Seolah-olah teknologi tersebut berambisi untuk dapat memenuhi segala kebutuhan dan keinginan manusia.
Perkembangan teknologi membawa banyak perubahan yang signifikan bagi kehidupan manusia. Sebelumnya, seseorang yang akan berbelanja untuk memenuhi kebutuhan sandang dan pangan, harus pergi ke pasar. Orang tersebut dapat menggunakan kendaraan pribadi untuk pergi ke pasar. Jika tidak memiliki kendaraan pribadi, mereka dapat menggunakan transportasi umum. Namun, mereka akan menghabiskan waktu untuk menunggu transportasi umum tersebut. Saat ini, mereka cukup memesan kendaraan baik berupa taksi online maupun ojek online melalui smartphone mereka. Jika mereka enggan untuk datang langsung ke pasar, mereka juga dapat membeli berbagai kebutuhan yang diinginkan melalui toko online. Di toko online tersebut, tidak kalah lengkap dengan pasar pada umumnya, bahkan pembeli akan lebih mudah menemukan barang yang diinginkan.
Baca Juga: IdEA: Aturan Pajak Jangan Hambat E-Commerce!
Selain kemudahan-kemudahan yang ditawarkan oleh raksasa teknologi seperti yang telah disebutkan sebelumnya, terdapat teknologi lain yang juga mulai masif dikembangkan. Teknologi tersebut yaitu robot. Beberapa negara yang sudah masif dalam mengembangkan robot yaitu Jepang, Cina, Amerika, Korea Selatan, dan Jerman. Jenis robot yang dikembangkan oleh negara-negara tersebut juga bervariasi. Amerika Serikat, Jerman, dan Jepang mendominasi produksi berupa robot industri dan medis yang bernilai tinggi. Sementara itu, Korea Selatan dan Cina merupakan produsen utama robot yang berorientasi kepada konsumen dengan harga yang terjangkau.
Di Jepang, robot sudah mulai banyak menggantikan pekerjaan manusia di sektor-sektor tertentu. Hal ini bukan tanpa alasan, kebijakan imigrasi Jepang yang cukup ketat dalam membatasi jumlah pekerjanya, menjadikan robot sebagai alternatif untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Jenis pekerjaan yang mulai digantikan dengan robot, biasanya pekerjaan yang berbahaya, kotor, melelahkan, dan tidak banyak melibatkan interaksi personal. Namun saat ini, robot sudah banyak merambah sektor lain seperti dunia pelayanan dan perawatan, yang notabene menuntut keterampilan personal. Beberapa perusahaan seperti Toyota dan Honda bersaing dalam menciptakan robot.
Perkembangan teknologi yang begitu signifikan yang tengah terjadi saat ini merupakan tahap baru dari revolusi industri. Revolusi industri sendiri pertama kali dimulai pada tahun 1784, yaitu pada saat ditemukannya mesin uap yang digunakan untuk mekanisasi sistem produksi. Selanjutnya, revolusi industri kedua dimulai pada saat penggunaan listrik untuk kegiatan produksi masal, yang dimulai pada tahun 1870. Kemudian, revolusi industri yang ketiga dimulai pada tahun 1969 yang ditandai dengan penggunaan kekuatan elektronik dan teknologi informasi untuk otomatisasi proses produksi. Sedangkan saat ini, perkembangan yang pesat dari teknologi sensor, interkoneksi, dan analisis data memunculkan gagasan untuk mengintegrasikan seluruh teknologi tersebut ke dalam berbagai bidang industri. Gagasan ini yang diprediksi akan menjadi revolusi industri yang berikutnya (Revolusi industri 4.0).
Revolusi industri 4.0 memiliki segudang manfaat yaitu mengenai perbaikan kecepatan fleksibilitas produksi, peningkatan layanan kepada pelanggan dan peningkatan pendapatan. Semua hal tersebut akan berdampak positif terhadap perekonomian suatu negara. Namun, selain memberikan dampak positif terhadap perekonomian suatu negara, revolusi industri 4.0 juga menjadi tantangan bagi suatu negara.
Di Indonesia, gelombang revolusi industri 4.0 mulai dirasakan beberapa waktu yang lalu. Hal tersebut terlihat dari munculnya berbagai start-up berbasis teknologi seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Kemunculan start-up berbasis teknologi yang mengarah pada digital ekonomi berpengaruh terhadap perekonomian di Indonesia, salah satunya di bidang perpajakan.
Adanya inovasi baru seperti toko dan transportasi berbasis digital, menyebabkan terjadinya perpindahan keuntungan dari kegiatan ekonomi yang berbentuk fisik ke kegiatan ekonomi digital. Jika dilihat dari aspek perpajakan, kegiatan ekonomi digital, belum diatur secara khusus di Indonesia. Padahal, penghasilan yang diperoleh dari kegiatan ekonomi digital sangat signifikan. Hal ini dapat dilihat dari penerimaan yang diperoleh oleh salah satu kegiatan ekonomi digital yaitu e-commerce pada tahun 2018 yang mencapai $9,478 juta.
Penerimaan yang signifikan seharusnya berbanding lurus dengan kontribusi terhadap penerimaan pajak. Namun kenyataannya peningkatan konsumsi yang berasal dari e- commerce tidak seluruhnya berasal dari entitas yang berada di Indonesia. Beberapa contoh entitas luar negeri yang sudah banyak melakukan transaksi di Indonesia adalah Amazon dan Alibaba. Ketika kita membeli barang di Amazon ataupun Alibaba yang berbasis di luar negeri, maka Indonesia tidak memiliki hak untuk memajaki penghasilan yang diperoleh entitas luar negeri tersebut.
Kendala pemerintah dalam memajaki entitas luar negeri seperti Amazon dan Alibaba dikarenakan tidak adanya bentuk usaha tetap (BUT) dari entitas tersebut di Indonesia. Ekonomi digital memang tidak memerlukan kehadiran fisik untuk dapat melakukan transaksi lintas negara. Hal ini yang membuat entitas tersebut dapat leluasa bertransaksi lintas negara meskipun tidak memiliki BUT di negara-negara pasarnya. Di dalam tax treaty juga belum diatur mengenai ekonomi digital. Sehingga meskipun Indonesia memiliki tax treaty dengan Amerika, Indonesia tidak berhak untuk mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber dari Indonesia. Hal ini dikarenakan tidak ada pasal yang mengatur tentang ekonomi digital di dalam tax treaty tersebut.
Dengan kondisi seperti ini, seharusnya pemerintah segera mengambil langkah untuk melakukan adaptasi dalam menghadapi revolusi industri 4.0. Pemerintah harus merespon dengan sigap, terkait dengan isu digital ekonomi ini. Hal tersebut supaya tidak terjadi kebocoran potensi penerimaan pajak. Alih-alih menunggu perubahan tax treaty yang akan memakan waktu yang lama, pemerintah harus menerbitkan aturan yang dapat digunakan sebagai payung hukum untuk mengenakan pajak pada transaksi digital ekonomi. Sebelumnya pemerintah telah menerbitkan peraturan terkait dengan perlakuan perpajakan atas transaksi e-commerce. Peraturan tersebut adalah Peraturan Menteri Keuangan No. 210/PMK.010/2018. Namun peraturan tersebut dicabut sebelum diberlakukan. Hal ini menunjukan bahwa pemerintah belum siap dalam menghadapi revolusi industri 4.0.
Selain harus menyiapkan peraturan sebagai payung hukum, pemerintah juga harus menyesuaikan diri di bidang teknologi. pemerintah harus dapat mengembangkan teknologi yang dapat dengan mudah mendeteksi potensi perpajakan dan teknologi yang memudahkan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Hal ini agar dapat meningkatkan kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.
Selain ekonomi digital seperti e-commerce, pemerintah juga harus mewaspadai munculnya artificial intelligence yang akan berpengaruh terhadap penerimaan pajak. Artificial intelligence diprediksi akan banyak menggantian pekerjaan manusia di sektor- sektor tertentu seperti yang sudah dijelaskan di atas. Itu artinya akan banyak pengurangan tenaga kerja karena digantikan oleh artificial intelligence seperti robot. Secara umum hal tersebut akan meningkatkan angka pengangguran, dan berdampak pada penurunan pajak penghasilan orang pribadi.
Ketika tenaga kerja banyak yang digantikan oleh robot, tentu saja belum ada aturan perpajakan yang mengatur mengenai hal tersebut. Pemerintah harus mulai memikirkannya jika dalam waktu dekat benar-benar terjadi banyak pergantian tenaga manusia ke robot. Karena perubahan di era revolusi industri 4.0 sangat cepat maka pemerintah juga harus meresponnya dengan cepat pula. Hal ini bertujuan agar, potensi- potensi pajak dari sektor baru yang signifikan dapat dioptimalkan sebagai penerimaan pajak.
Jika pemerintah tidak segera beradaptasi dengan kondisi yang ada saat ini, maka negara akan banyak kehilangan potensi penerimaan pajak. Jangan sampai Indonesia hanya menjadi pasar bagi brand-brand luar negeri tanpa bisa memajakinya. Selain itu, akan banyak industri yang menggunakan artificial intelligence sebagai pengganti tenaga kerja manusia guna meningkatkan efisiensi produksi dan meningkatkan laba usaha. Pemerintah harus mulai memikirkan bagaimana dapat memengut pajak atas teknologi tersebut. hal ini bertujuan untuk memaksimalkan penerimaan pajak dalam momentum adanya revousi industri 4.0. Mau tidak mau, suka tidak suka, perubahan pasti akan terjadi. Perubahan tidak dapat dicegah, kita hanya perlu menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut, agar dapat bertahan di tengah arus perubahan yang terus terjadi.
Sumber:
- www.statista.com
- www.pajak.go.id
- Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.010/2018 Tentang Perlakuan Perpajakan Atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (E-Commerce)
- Prasetyo, Hoedi dan Wahyudi Sutopo. “ Industri 4.0: Telaah Klasifikasi Aspek dan Arah Perkembangan Riset”. Jurnal Teknik Industri UNDIP, 2018.
- Tjandrawinata, Raymond R. “Industri 4.0: Revolusi Industri Abad Ini dan Pengaruhnya Pada Bidang Kesehatan dan Bioteknologi”. Dexa Medica Group, 2016.
- Ross, Alec. The Industries of The Future. New York: Simon & Schuster, 2016
** Artikel ini merupakan juara 1 MUC Writing and Contest 2019
Disclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.