Berburu Pajak di Tengah Geliat Bisnis Fintech
Tuesday, 15 January 2019
Oleh: Nendi Bahtiar & Bayu Cahyadiputra
Dewasa ini, layanan keuangan berbasis teknologi atau financial technology (fintech) tumbuh pesat dan semakin menyemarakan industri keuangan nasional maupun global. Namun, sejatinya layanan fintech bukanlah hal baru, melainkan respons atas teknologi yang senantiasa bergerak aktif. Dalam hal ini, teknologi internet menjadi faktor utama yang mendukung transformasi sistem penyedia jasa keuangan, yang membuat pelayanan fintech menjadi tanpa batas.
Ragam jasa keuangan yang ditawarkan fintech pun tergolong mirip dengan jasa keuangan konvensional, mulai dari jasa perbankan, asuransi, investasi, hingga sistem pembayaran. Perbedaannya adalah fintech memungkinkan pelanggan untuk dapat mengakses seluruh jasa keuangan tersebut hanya dengan bantuan gawai (gadget). Bahkan pelanggan kini bisa mendapatkan nasihat keuangan otomatis tanpa harus berinteraksi dengan manusia lain.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendefinisikan fintech sebagai aktivitas pembaruan proses bisnis, model bisnis, dan instrumen keuangan yang memberikan nilai tambah baru di sektor jasa keuangan dengan melibatkan ekosistem digital. Ada empat kategori jasa keuangan berbasis online versi OJK. Pertama, fintech yang bisnis intinya berupa jasa pembayaran (payment), kliring (clearing), dan penyelesaian (settlement).
Kedua, fintech yang sifatnya mengumpulkan berbagai informasi pilihan layanan keuangan— berupa persandingan, mulai dari harga, fitur, hingga manfaat produk keuangan—untuk kemudian ditawarkan kepada calon konsumen (market aggregator).
Ketiga, fintech yang berfokus pada manajemen risiko dan investasi dengan mengembangkan perangkat lunak sistem perencanaan keuangan melalui pemetaan situasi dan kondisi keuangan berdasarkan informasi dasar yang diinput pengguna.
Keempat, fintech pengepul dana atau pembiayaan melalui aplikasi yang memfasilitasi interaksi antarindividu yang bertindak sebagai debitur dan kreditur. Fintech jenis ini dikenal dengan crowd funding dan Peer-to-Peer (P2P) Lending.
Jenis fintech yang terakhir, yakni jasa pinjaman P2P merupakan fintech dengan nilai transaksi yang cukup signifikan di Indonesia. OJK mencatat nilai penyaluran kredit P2P per Agustus 2018 mencapai Rp11,68 triliun. Otoritas memprediksi angka penyaluran pembiayaan industri P2P Lending bakal menembus nominal Rp20 triliun hingga akhir tahun 2018. (Bisnis Indonesia, Oktober 2018)
Baca Juga: Tantangan Pajak di Era Revolusi Industri 4.0
Sumber Masalah
Harus diakui bahwa keberadaan fintech memberi banyak manfaat, seperti waktu akses jasa keuangan yang lebih efektif serta kenyamanan yang dapat disesuaikan dengan mobilitas pelanggan, sehingga biaya yang dikeluarkan oleh pelanggan maupun penyedia jasa keuangan menjadi lebih efisien. Walaupun demikian, bukan berarti fintech bebas dari risiko.
Hingga 8 November 2018, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta telah menerima pengaduan dari 283 debitur pinjaman online terkait berbagai bentuk pelanggaran hukum oleh penyedia jasa fintech P2P Lending. Bentuk pelanggarannya bermacam-macam, mulai dari cara penagihan yang tidak beradab hingga penyalahgunaan data pribadi. Sumber masalahnya adalah bunga tinggi yang membuat nasabah seolah dijebak oleh “rentenir digital” berkedok P2P Lending. (CNBC Indonesia, November 2018)
Model bisnis fintech yang berbeda dengan penyedia jasa keuangan konvensional mempersulit regulator melakukan identifikasi atas hak dan kewajiban yang ditanggung oleh penyedia layanan tersebut dan pelanggan. Minimnya pertemuan antara pelanggan dan penyedia fintech membuat keputusan yang diambil pelanggan menjadi rentan terhadap sengketa akibat asimetri informasi. Selain itu, fintech juga rentan terhadap gangguan, bahkan penyalahgunaan data dan informasi pribadi karena berbasis teknologi yang dijalankan secara daring.
OJK telah membuat aturan main bagi para pelaku industri fintech, yang antara lain diatur dalam POJK Nomor 77/POJK.01/2016 (POJK 77/2016) tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi dan POJK Nomor 13/POJK.02/2018 (POJK 13/2018) tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan. Tujuannya adalah untuk menciptakan ekosistem yang kondusif di dalam industri keuangan digital serta melindungi pihak-pihak yang bertransaksi.
Melalui paket regulasi tersebut, OJK secara rinci mengatur profil penyelenggara maupun penguna. Khusus penyelenggara, OJK masih membatasi status badan hukum hanya yang berbentuk perseroan terbatas atau koperasi yang dinyatakan sebagai lembaga jasa keuangan lainnya. Selain bentuk badan hukum, dari sisi kepemilikan pun OJK mewajibkan lembaga tersebut didirikan atau dimiliki oleh warga negara dan/atau badan hukum asing, dengan porsi kepemilikan maksimal sebesar 85%.
Selain itu, penyelenggara juga wajib memenuhi Regulatory Sandbox atau program uji coba sistem dan layanan dengan rentang waktu antara 6-12 bulan sebelum bisnis dioperasikan secara penuh. Dengan demikian, OJK dapat menilai risiko transaksi dan keandalan proses bisnis, model bisnis, instrumen keuangan, dan tata kelola penyelenggara.
Terkait pengguna—dalam hal ini adalah penerima dan pemberi pinjaman—OJK mempersilakan warga negara dan/atau badan usaha asing termasuk lembaga internasional untuk turut serta menjadi pemberi pinjaman. Namun, penerima pinjaman hanya diperuntukkan bagi warga negara dan/atau badan hukum yang berasal dan berdomisili di Indonesia.
Baca Juga: Aturan Pajak E-commerce Terbit, Marketplace Wajib Pungut Pajak
Menyoal Pajak
Apabila melihat masifnya pertumbuhan industri fintech, nilai transaksi jasa keuangan berbasis teknologi sangat signifikan. Pun demikian seharusnya dengan potensi pajak yang menyertainya.
Untuk P2P Lending, misalnya, potensi pinjaman yang dapat disalurkan nilainya bisa mencapai Rp2 miliar untuk setiap penerima pinjaman. Apabila memperhitungkan bunga atas pinjaman, bayangkan berapa besar potensi pajak yang dapat masuk ke kas negara dari bisnis ini.
Pada prinsipnya, setiap tambahan penghasilan atau kekayaan wajib dikenakan pajak. DJP dalam berbagai diskusi dengan pelaku industri digital kerap menjabarkan aspek perpajakan yang melekat terhadap jasa layanan keuangan, tanpa terkecuali fintech. Pendekatan pajak disesuaikan dengan klasifikasi industri keuangan, yang berdasarkan kajian DJP terdapat lima jenis aktivitas fintech.
Pertama, fintech jasa pembayaran seperti crowd funding atau P2P Lending. Berdasarkan ketentuan perpajakan, keuntungan yang didapat dari pelaku bisnis ini seharusnya dikenakan PPh Pasal 23 sebesar 2% dari total pendapatan dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10% atas penyerahan jasa.
Kedua, fintech perdagangan software keuangan. Pajak yang menyasar fintech jenis ini adalah PPN sebesar 10% atas penyerahan barang tidak berwujud.
Ketiga, fintech jasa riset penilaian kredit. Sama halnya dengan sebelumnya, fintech jenis ini juga dapat dikenakan PPN sebesar 10% atas penyerahan jasa penilaian kredit.
Keempat, fintech di bidang manajemen investasi. Fintech jenis ini dikenakan PPh Pasal 23 sebesar 2% dari total pendapatan dan PPN sebesar 10% atas penyerahan jasa.
Kelima, fintech yang bergerak di bidang jasa keuangan dan asuransi—termasuk tabungan, pinjaman, dan permodalan—secara umum dikenakan PPh Pasal 23 sebesar 15% atas pendapatan yang berasal dari bunga pinjaman, dividen, atau keuntungan lainnya.
Namun, pada hakekatnya Indonesia mengadopsi sistem perpajakan self-assessment. Artinya, Wajib Pajak diberikan kepercayaan untuk menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri pajak yang seharusnya terutang. Karenanya, “kepatuhan” Wajib Pajak menjadi kata kunci dan, untuk itu, himbauan saja tidaklah cukup.
Sayangnya, belum ada regulasi khusus yang mengatur mekanisme pemajakan atas keuntungan atau penghasilan dari bisnis fintech—utamanya P2P Lending. Karenanya, wajar jika DJP kesulitan untuk menentukan subjek pajak dan mengidentifikasi pendapatan dari bisnis pinjaman online di Indonesia.
Ada sejumlah isu yang menjadi tantangan DJP untuk bisa memajaki bisnis fintech. Antara lain, cara untuk menentukan objek dan subjek pajak, menetapkan tarif pajak yang proporsional, serta mengenakan pajaknya. Selain itu, ketersediaan data transaksi yang terbatas dan cara melacak keberadaan pelaku fintech juga menjadi pekerjaan rumah bagi Fiskus.
Belum lagi cara memetakan media transfer dana dalam transaksi fintech, serta menentukan metode pemajakan yang berkeadilan. Itu semua belum masuk pada ranah perpajakan internasional, yang mana hak pemajakan Indonesia terikat pada Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (tax treaty).
Baca Juga: Menebak Arah Reformasi & Resolusi Pajak Dalam Kendali Robert Pakpahan
Sejauh ini, pemerintah berharap adanya kesadaran dan kepatuhan dari para pegiat fintech untuk menunaikan kewajiban perpajakannya secara baik dan benar. Regulasi yang dijadikan pemanis untuk merayu Wajib Pajak saat ini baru Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018, yang memberikan fasilitas pajak murah bagi pelaku Wajib Pajak dengan nilai peredaran bruto tertentu (UMKM) dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 197 Tahun 2013 tentang batasan pengusaha kecil kena PPN.
Ketika Otoritas Pajak Indonesia masih terpincang-pincang merespons dinamika bisnis fintech, sejumlah negara di dunia telah lari kencang dengan teknologi dan kebijakan perpajakannya yang dinamis. Pemerintah Inggris, misalnya, melalui Financial Conduct Authority (FCA) mereka berupaya untuk mengakomodasi industri ini melalui regulasi terkait P2P Lending, termasuk soal perpajakannya. Mengacu pada the Introduction of the Innovative Finance ISA pada April 2016, bunga dan keuntungan P2P Lending dibebaskan dari pajak. Caranya dengan menambahkan pendapatan bunga yang didapatkan pemberi pinjaman ke dalam penghasilan kena pajak mereka.
P2P Lending dengan nilai pinjaman £10.000 akan memperoleh pendapatan bunga 10% per tahun atau £1.000 per tahun. Sehingga, tarif dasar (basic rate) yang harus dibayarkan oleh Wajib Pajak adalah 20% dari nilai £1.000, atau £200. Tingkat pendapatan bunga yang lebih tinggi (higher rate) akan membuat Wajib Pajak membayar pajak yang lebih tinggi (40%). Adapun Wajib Pajak dengan tarif pajak yang lebih tinggi lagi (additional rate) diharuskan membayar pajak sebesar 45%. Meskipun demikian, Personal Saving Allowance pada bulan April 2016 memperkenankan Wajib Pajak kecil (lower rate) untuk mendapatkan £1.000 sebagai bunga bebas pajak.
Mekanisme pajak yang demikian, pada prinsipnya, mirip dengan mekanisme pajak orang pribadi di Indonesia. Pendapatan dari P2P Lending diklasifikasikan sebagai penghasilan lain-lain yang secara otomatis menaikkan jumlah pendapatan kotor WP. Namun, untuk kasus P2P Lending, Indonesia belum memiliki dasar hukum untuk mengenakan pajak atas penghasilan tersebut. Walhasil, P2P Lending masih menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh Otoritas Pajak Indonesia.
Disclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.