Mekanisme Pengkreditan PPh Luar Negeri Diperjelas
Thursday, 10 January 2019
Kementerian Keuangan merevisi dan mempertegas ketentuan pengkreditan pajak atas penghasilan luar negeri dalam rangka memberikan kepastian dan mendorong Wajib Pajak untuk mengklaim manfaat Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau tax treaty.
Pokok pengaturan antara lain meliputi: penegasan penentuan sumber, jenis, dan besaran penghasilan luar negeri; penentuan besarann Pajak Penghasilan (PPh) luar negeri yang dapat dikreditkan; pengaturan mengenai pengkreditan oleh suami-istri yang menjalankan kewajiban perpajakan secara terpisah; serta persyaratan administrasi.
Revisi dan penegasan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 192/PMK.03/2018 tentang Pelaksanaan Pengkreditan Pajak Atas Penghasilan dari Luar Negeri, yang efektif berlaku per 31 Desember 2018. Dengan terbitnya PMK ini maka Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 164/KMK.03/2002 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.
Baca Juga: Menyoal “Pungutan Liar” PPN Luar Negeri
Apabila sebelumnya penentuan sumber penghasilan luar negeri belum diatur secara jelas, dalam PMK Nomor 192/PMK.03/2018 hal itu diperjelas bersama dengan penegasan jenis dan besaran penghasilan yang diterima dari luar negeri.
Untuk menentukan besarnya PPh Luar Negeri yang dapat dikreditkan, yakni dengan membandingkan antara:
- jumlah PPh yang harusnya terutang, dibayar atau dipotong di luar negeri dengan memperhatikan P3B atau tax treaty;
- jumlah PPh Luar Negeri; dan
- jumlah tertentu.
Hanya nilai yang paling kecil di antara ketiganya yang boleh dikreditkan. Adapun yang dimaksud dengan jumlah tertentu dihitung berdasarkan formula sebagai berikut:
Masih merujuk pada beleid yang sama, untuk penghasilan dari luar negeri yang dapat digabungkan—baik yang berasal dari dalam maupun dari luar negeri—hanya yang tahun perolehannya sama dengan tahun perolehan penghasilan di dalam negeri.
Sementara untuk penghasilan yang berasal dari Kontrak Investasi Kolektif (trust), tahun perolehannya mengacu pada saat pengenaan pajak di luar negeri. Intinya, jika penghasilan dari trust sudah dikenakan pajak maka tahun perolehannya adalah saat penghasilan diperoleh. Namun, bila penghasilan dari trust tersebut tidak dikenai pajak di luar negeri, maka tahun perolehannya bisa saat penghasilan diterima atau saat penghasilan diperoleh, tergantung mana yang lebih dulu terjadi.
Baca Juga: Mutual Trust dan Integrasi Data Modal Utama Reformasi Pajak
Untuk pembuktian bahwa penghasilan Wajib Pajak telah dipajaki di luar negeri bisa dengan menunjukkan bukti pembayaran atau bukti potong PPh di luar negeri, atau salinan bukti lainnya yang menunjukan adanya pembayaran PPh luar negeri, serta memuat nama Wajib Pajak dalam negeri dan jumlah PPh luar negeri.
Sementara terkait penghasilan yang diterima dari trust, Wajib Pajak dalam negeri bisa menggunakan surat pemberitahuan tahunan PPh yang disampaikan trust atau disampaikan oleh cabang/perwakilan Wajib Pajak di luar negeri.
Tidak Dapat Direstitusi
Penegasan lain dalam aturan terbaru adalah, bila jumlah PPh luar negeri yang dibayarkan ternyata lebih besar dari PPh luar negeri yang dapat dikreditkan, maka kelebihan tersebut tidak dapat diperhitungkan dengan PPh yang terutang. Kelebihan itu juga tidak boleh juga dibebankan sebagai biaya atau pengurang penghasilan dan tidak bisa direstitusi.
Sementara itu, bila ternyata PPh luar negeri yang sudah dikreditkan ternyata kemudian dikurangkan atau dikembalikan kepada Wajib Pajak, maka itu bisa mengurangi atau mengompensasi PPh terutang pada tahun pajak saat pengembalian atau restitusi.
Unduh: TaxBlitz#4_Mekanisme Pengkreditan PPh Luar Negeri Diperjelas