Menyoal “Pungutan Liar” PPN Luar Negeri
Monday, 16 April 2018
Dalam konsep hukum Belanda dikenal istilah ouver schuldig de betaling, yang secara garis besar dapat diartikan sebagai pembayaran yang tidak diwajibkan atau pembayaran karena khilaf. Idealnya, tentu saja penerima pembayaran yang tidak seharusnya itu mengembalikannya ke pengirim yang khilaf. Namun, tak jarang ada penerima dana yang tidak punya iktikad baik untuk mengembalikannya, sehingga berujung pada sengketa.
Namun, Kitab Undang-Undang Hukum (KUH) Perdata di Pasal 1360 menegaskan, “Barangsiapa khilaf atau dengan mengetahuinya, telah menerima sesuatu yang tidak harus dibayarkan kepadanya, diwajibkan mengembalikan barang yang tidak harus dibayarkan itu kepada orang dari siapa telah menerimanya”.
Khusus untuk transaksi keuangan, mitigasi sekaligus solusi untuk kasus salah bayar diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana, yang salah satu pasalnya mengatur tentang pengembalian dana dalam keadaan memaksa.
Pasal 47 ayat (1) UU Transfer Dana menyebutkan, “Dalam hal Perintah Transfer Dana tidak terlaksana karena keadaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) serta Pengirim Asal meminta pembatalan Perintah Transfer Dana dan pengembalian Dana Transfer dari Penyelenggara Pengirim Asal, Penyelenggara Pengirim Asal wajib mengembalikan Dana kepada Pengirim Asal.”
Kemudian dipertegas pada ayat (2), “Dalam hal Penyelenggara Pengirim Asal terlambat mengembalikan Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyelenggara Pengirim Asal wajib membayar jasa, bunga, atau kompensasi.”
Ketentuan hukum di atas berlaku tegas bagi seluruh warga negara yang sama kedudukannya di hadapan hukum. Namun, tidak sepenuhnya berlaku bagi penyelenggara negara dalam hal ini otoritas pajak yang berkiblat pada peraturan perundang-undangannya sendiri.
Mustahil Restitusi
Contohnya dalam kasus pembayaran pajak yang tidak seharusnya akibat kesalahan teknis administrasi pengisian Surat Setoran Pajak (SSP) Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak (BKP) Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar negeri. Dokumen, yang populer dengan istilah SSP JLN, ini merupakan bukti setor pembayaran PPN yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) dari pemasok barang tidak berwujud ataupun jasa kena pajak dari luar negeri.
Kewajiban memungut dan menyetorkan PPN atas barang dan jasa luar negeri menggunakan SSP JLN sejatinya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Penghitungan, Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean.
PMK tersebut sebenarnya sudah merinci secara jelas identitas siapa saja yang harus tertulis dalam SSP JLN sebelum PPN disetorkan ke kas negara. Namun, masih banyak Wajib Pajak yang melakukan kesalahan dalam pengisian SSP JLN, khususnya pada bagian nama dan alamat Wajib Pajak, serta Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Wajib Pajak biasanya melakukan kesalahan dengan mengisi kolom tersebut dengan identitas Wajib Pajak sendiri, padahal kolom tersebut seharusnya diisi dengan identitas dari pihak lawan transaksi.
Akan tetapi, siapa sangka bahwa kesalahan pengisian SSP JLN yang terkesan sepele dan bersifat administratif ternyata memiliki konsekuensi yang besar terhadap kewajiban perpajakan Wajib Pajak. Bobot konsekuensinya bisa berbedabeda, tergantung pada tahap mana kekeliruan pengisian SSP ditemukan, apakah pada tahap penelitian atau pemeriksaan.
Baru pada tahap penelitian saja, jika kantor pajak ketika melakukan uji dokumen menemukan kesalahan pengisian SSP JLN misalnya tidak mencantumkan identitas pemberi jasa di luar negeri maka SSP dianggap keliru.
Sesuai dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak (DJP) Nomor SE-147/SE/2010, pengisian SSP JLN yang tidak memenuhi ketentuan PMK-40/PMK.03/2010 maka pembayaran PPN-nya tidak dapat dikreditkan. Konsekuensinya, kantor pajak akan mengirimkan surat himbauan kepada wajib pajak untuk menyetor kembali PPN terutang dengan pengisian SSP yang benar tanpa ada toleransi perpanjangan waktu pembayaran. Apabila lewat batas waktu yang sudah ditetapkan (tanggal 15 bulan berikutnya setelah masa terutangnya PPN), penyetoran kembali PPN dianggap terlambat dan dikenai tambahan sanksi administrasi berupa denda/bunga sebesar 2% dari dasar pengenaan pajak.
Sedangkan pada tahap pemeriksaan, kesalahan pengisian SSP JLN biasanya menjadi temuan pemeriksa, yang tidak jarang mengungkit kembali berkas-berkas pajak beberapa tahun setelah masa pajak terutang PPN. Sayangnya, pada tahap ini Wajib Pajak sudah tidak bisa melakukan penyetoran kembali PPN JLN karena sudah tidak memungkinkan untuk melakukan penyetoran pajak pada saat pemeriksaan sedang berlangsung. Dalam hal ini, pemeriksa pajak akan langsung melakukan koreksi atas PPN JLN yang telah dikreditkan oleh Wajib Pajak sebagai PPN Masukan.
Konsekuensinya bisa bemacam-macam tergantung kondisi Wajib Pajak. Apabila berdasarkan hasil koreksi terjadi kurang bayar, maka sanksinya bisa mencapai 100% dari PPN masukan yang sudah dikompensasi.
Dengan demikian, selain ada risiko dua kali pembayaran PPN JLN karena setoran pertama tidak dapat direstitusi akibat kesalahan pengisian SSP, Wajib Pajak juga berpotensi membayar denda keterlambatan.
Haram Pindah Buku
Bagaimana dengan pemindahbukuan pajak yang tidak seharusnya terbayar? Bukankah hal itu dimungkinkan dalam rezim perpajakan di Indonesia?
Mekanisme pemindahbukuan pajak memang dimungkinkan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 242/ PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pembayaran dan Penyetoran Pajak. Beleid tersebut menjelaskan di Pasal 1 Angka 28, “pemindahbukuan adalah suatu proses memindahbukukan penerimaan pajak untuk dibukukan pada penerimaan pajak yang sesuai.”
Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2) PMK Nomor 242/PMK.03/2014 menegaskan bahwa Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pemindahbukuan kepada DJP dalam hal terjadi kesalahan pembayaran atau penyetoran pajak, serta kesalahan pengisian data melalui sistem pembayaran pajak secara elektronik sebagaimana tertera dalam Bukti Penerimaan Negara (BPN).
Namun, pemindahbukuan diharamkan atas pembayaran pajak dengan Surat Setoran Pajak, Pabean, dan Cukai (SSPCP) yang statusnya dipersamakan degan faktur pajak. Penegasan tersebut tertulis jelas di Pasal 16 ayat (9) PMK Nomor 242/PMK.03/2014, sebagai berikut:
Pemindahbukuan atas pembayaran pajak dengan SSP, SSPCP, BPN, dan Bukti Pbk tidak dapat dilakukan dalam hal:
- Pemindahbukuan atas SSP yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak, yang tidak dapat dikreditkan berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (8) UndangUndang PPN;
- Pemindahbukuan ke pembayaran PPN atas objek pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak dengan menggunakan SSP yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak; atau
- Pemindahbukuan ke pelunasan Bea Meterai yang dilakukan dengan membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan mesin teraan meterai digital.
Ketentuan tersebut kemudian diperkuat oleh Peraturan DJP Nomor PER-33/PJ/2014 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan DJP Nomor PER-10/PJ/2010 tentang Dokumen Tertentu yang Kedudukannya Dipersamakan dengan Faktur Pajak. Dalam peraturan tersebut, salah satu dokumen yang dipersamakan dengan faktur pajak adalah SSP JLN.
Kesimpulannya, PPN yang sudah terlanjur disetor ke kas negara menggunakan SSP JLN yang keliru dalam pengisiannya tidak dapat dikreditkan maupun dipindahbukukan. Bahkan, Wajib Pajak yang bersangkutan diharuskan menyetorkan kembali PPN menggunakan SSP JLN yang benar sesuai dengan nilai yang seharusnya terutang.
Wajib Pajak harus membayar mahal atas kekhilafan tersebut. Konsekuensi yang sering terjadi adalah pembayaran PPN JLN yang tidak seharusnya tertahan di kas negara tanpa jelas peruntukan dan nasib pengembaliannya. Ibarat “sumbangan terpaksa”, Wajib Pajak mau tidak mau harus mengikhlaskan setoran pajak yang tidak seharusnya dibayarkan ke kas negara hanya karena kesalahan sepele yang sifatnya manusiawi.
Modifikasi Hukum
Jenis penerimaan apapun di Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) termasuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan hibah sekalipun, ada aturan legalnya. Pertanyaannya kemudian, apa dasar hukum dari “sumbangan terpaksa” SSP JLN? Demikian pula jika dikaitkan dengan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), pos penerimaan mana di APBN yang khusus diperuntukan menampung setoran tak jelas tersebut?
Ibarat “pungutan liar”, kasus SSP JLN sebenarnya sudah banyak terjadi dan sayangnya tidak pernah menjadi temuan audit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Untuk itu, harus ada sarana pembetulan SSP JLN yang memungkinkan pemindahbukuan ataupun pengembalian PPN yang tidak seharusnya dibayarkan. Setidaknya, modifikasi hukum bisa dilakukan untuk mengakomodir hal itu sekaligus memperbaiki sistem pengelolaan pajak yang berkeadilan dan sesuai dengan SAP.
*Versi singkat artikel ini telah terbit di Investor Daily, 4 April 2018
https://mucglobal.com/upload/taxguide/files/TaxGuide2018-13_Indonesia.pdfDisclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.