Akses Informasi Keuangan Sasar Beneficial Owners
Friday, 01 June 2018
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 mewajibkan lembaga keuangan bank maupun non-bank melaporkan data rekening nasabah, baik secara otomatis ataupun berdasarkan permintaan langsung otoritas pajak. Maka, efektif mulai tahun pajak 2018, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) bisa mengakses informasi keuangan yang selama ini kerahasiaannya dilindungi oleh Undang-Undang Perbankan.
Kebijakan ini merupakan implementasi dari perjanjian pertukaran informasi keuangan secara otomatis antarnegara atau Automatic Exchange of Information (AEoI) yang diprakarsai oleh OECD dan G-20. Selain untuk memerangi praktik penghindaran pajak global, kebijakan ini juga bertujuan untuk mengungkap pemilik yang sebenarnya dari penghasilan berupa dividen, bunga, dan/atau royalti (Beneficial Owner).
Untuk mengetahui lebih jauh mengenai sistem pelaporan rekening keuangan nasabah dan prosedur teknis pertukaran informasi antarnegara, Tax Guide berkesempatan berdialog langsung dengan Kepala Sub Direktorat Pertukaran Informasi, Direktorat Perpajakan Internasional DJP Leli Listianawati, Rabu, 11 April 2018. Simak obrolannya berikut ini:
Bagaimana kesiapan Indonesia melaksanakan AEoI?
Ada persyaratan-persyaratan AEoI yang harus kita penuhi. Pertama, harus ada legal basis-nya untuk bertukar informasi antarnegara. Ada tiga dasar hukum untuk international agreement yang bisa kita gunakan untuk pertukaran informasi. Yang paling utama dengan (menggunakan) MAC (Mutual Administrative Assistance in Tax Matters), kemudian Tax Treaty, kemudian bisa juga dengan (menggunakan) TIA (Tax Implementation Agreements). Nah, Indonesia sudah menandatangani MAC. Tax Treaty juga kita sudah punya dengan 65 negara.
Untuk bisa mengimplementasikannya, kita mewajibkan lembaga keuangan menyampaikan informasi secara otomatis ke otoritas perpajakan. Regulasinya sudah lengkap, mulai dari Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) yang ditetapkan menjadi UU Nomor 9 Tahun 2017; PMK Nomor 70/PMK.03/2017 yang diubah dengan PMK Nomor 73/PMK.03/2017 dan terakhir (diamandemen) dengan PMK Nomor 19/PMK.03/2018 dengan hanya sedikit saja perubahannya; juga peraturan turunannya berupa Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 04/PJ/2018. Peraturan-peraturan domestik itu sudah sesuai standar CRS (Common Reporting Standard).
Bagaimana dengan kerahasiaan data Wajib Pajak?
Kerahasiaan ini juga menjadi concern dari forum global. Jadi, semua negara dilakukan penilaian dulu atas confidentiality (dan) data safeguard-nya atau kerahasiaan dan perlindungan datanya. Nah, semua negara harus dilakukan assesment. Kalau kita (suatu negara) tidak lulus sesuai dengan standar internasional, negara tersebut akan dianggap non-reciprocal. Artinya, negara tersebut hanya wajib memberi (data keuangan), tetapi tidak akan menerima (pertukaran data) sampai assesmentnya lulus.
Jadi, ada tiga tahapan penilaian oleh OECD yang langsung datang ke sini dan mengajukan kuesioner. Pertama, dari sisi legislasi untuk menjaga kerahasiaan itu. Adakah sanksinya bagi yang membocorkan (data)? Bagaimana sanksinya? Apakah sanksinya efektif atau tidak? Itu dilihat legislasinya.
Kemudian, kedua, yang dilihat dari masalah enforcement-nya. Kemudian, dari sisi sumber daya manusia juga dilihat. Kita sudah melalui itu dan sudah dinyatakan lulus. Sehingga, kita sudah bisa bertukar data secara resiprokal.
Regulasi terakhir yang terbit adalah PMK Nomor 19/ PMK.03/2018, apa perubahan yang paling substansial dari PMK sebelumnya?
Begini, setelah dilakukan checklist assesment oleh OECD global forum, ada yang direkomendasikan diubah karena tidak sesuai dengan kalimat di CRS. Misalnya, mengenai periode penyimpanan informasi. Di PMK Nomor 73/PMK.03/2017, kita sampaikan bahwa periode penyimpanan atau retensi dokumentasi itu lima tahun “sejak menerima dokumen”. (Namun), seharusnya “sejak tahun pelaporan”.
Jadi, kalau tahun pelaporan, misalnya, kita terima dokumen tahun 2017, tetapi pelaporannya ‘kan tahun 2018, maka hitungannya dari tahun 2018. Sehingga, batas waktunya (berdasarkan PMK lama adalah) tahun 2022. Tapi, kalau dihitungnya sejak diterima ‘kan nantinya jadi kurang satu tahun (dari yang seharusnya). Itu saja temuannya untuk pertukaran internasional.
Untuk kepentingan domestik pun (harus) sesuai dengan CRS, kecuali diatur lain. Meskipun tidak sepenuhnya sama, tetapi mostly kita saat ini mengikuti CRS.
Bagaimana dengan perubahan istilah kepemilikan menjadi “held by”, apa alasannya?
Itu merupakan notes (dari OECD), bukan rekomendasi. Kalau notes hanya catatan saja. Tidak perlu diubah sebenarnya, hanya saja interpretasinya terhadap implementasinya jangan beda. Tetapi, kita memilih untuk mengubah saja. Sebab, awalnya kita menerjemahkan dipegang itu “on by”, (tapi) harusnya “held by”. Jadi, itu untuk kepentingan supaya yang dilaporkan itu pemilik yang sesungguhnya, bukan hanya yang tercatat (dalam dokumen).
Tujuan pengembangan PLB generasi kedua apa? Berarti, ada kaitannya dengan Beneficial Ownership?
Iya, itu kaitannya dengan Beneficial Ownership. Misalnya, (kepemilikan) tercatatnya atas nama si A, tetapi sebenernya (punya) si B. Yang diinginkan oleh CRS bukan (pihak) yang tercatat, tetapi si B (pemilik sebenarnya). Makanya, menggunakan istilah “held by” bukan “dipegang”.
Nantinya bagaimana Beneficial Owner bisa diketahui, mengingat yang dicatat di dokumen ‘kan “dipegang”?
Itu akan diketahui pada saat due diligent.
Bagaimana dengan pelaporan data warisan yang belum terbagi, apakah hanya untuk Wajib Pajak Luar Negeri atau termasuk Wajib Pajak Dalam Negeri?
Karena sekarang mengacunya sudah sama, ke CRS, berarti (pelaporan diwajibkan) termasuk juga untuk Wajib Pajak Dalam Negeri. Tetapi begini, konsepnya itu sudah ada di CRS. Di PMK Nomor 73/PMK.03/2017 (konsepnya) juga sudah diatur, tetapi di lampiran. Sekarang kita tarik ke batang tubuh (PMK tersebut), supaya lebih jelas.
Jadi, itu bukan peraturan yang baru, sudah diatur sebelumnya. Hal ini juga menjadi hal yang ditanyakan oleh industri ketika sosialisasi. Kebanyakan industri yang sudah internasional, mereka pastinya di luar negeri juga sama mengacunya ke CRS. Karena ada pertanyaanpertanyaan itu kita terpikir untuk memasukkan ini ke batang tubuh, supaya tidak banyak (pihak) yang bertanya (hal yang sama).
Hal ini (rekening) juga dilaporkan (meski) ketika si pemilik, misalnya Tuan A punya rekening di Bank X, kemudian meninggal. Itu tetap dilaporkan sepanjang ahli warisnya belum menyerahkan semacam surat kematian. Kalau ahli warisnya sudah menyerahkan surat (yang menerangkan) bahwa Tuan A sudah meninggal, misalnya dari RT/RW, terus diserahkan ke Bank, maka menjadi rekening yang dikecualikan untuk dilaporkan.
Artinya pelaporan data warisan yang belum terbagi bukan hanya untuk pertukaran informasi keuangan antarnegara, tetapi juga untuk kepentingan perpajakan domestik?
Untuk kedua-duanya. Sebetulnya, ini sudah in line dengan ketentuan Undang-Undang PPh yang menyatakan warisan yang belum terbagi menjadi subjek pajak juga. Karena memang DJP butuh kepastian. Karena bisa saja (rekening) itu disalahgunakan.
(Warisan yang belum terbagi merupakan subjek pajak) kecuali sudah ada akta warisnya, (sehingga) sudah jelas siapa yang menerima pembagian harta tersebut. Jadi, selama instansinya hanya mencatat rekening tersebut milik orang yang sudah meninggal, maka dianggapnya (rekening itu) masih ada. Sebetulnya, tujuannya supaya tidak ada penyimpangan atas warisan tersebut.
Artinya ada kesamaan antara kepentingan PPh dengan AEoI?
Mungkin agak sedikit berbeda. Kalau untuk kepentingan PPh, nanti warisan itu dianggap menghasilkan dan jadi penghasilan. Tetapi yang jelas, di CRS aturannya seperti itu (yang dijelaskan sebelumnya) dan kita harus benarbenar mengikutinya. Kalau dilihat itu jelas sekali, bahwa sepanjang belum ada pemberitahuan dari ahli waris bahwa orang yang mempunyai rekening tersebut sudah meninggal, (rekening akan) masih dilaporkan.
Karena bank mana tahu, ya. Meskipun, katakanlah (pemegang rekening adalah) orang terkenal, tetapi ‘kan tidak ada bukti (bahwa pemilik rekening telah meninggal). Tetap saja si ahli waris harus menyampaikan surat kematian. Jadi, kita membuat PMK ada dasarnya.
Kenapa Kontrak Investasi Kolektif (KIK) juga wajib dilaporkan?
Iya, (ini untuk) KIK yang masuknya sebagai bagian dari custodian, penghasilan dari reksadana, dan yang wajib lapornya adalah Manager Investasi. Manager Investasi ‘kan sudah memiliki siapa sih yang menjadi pemegang rekeningnya.
Sudah berapa lembaga keuangan yang sudah mendaftar ke DJP?
Kalau tidak salah, 3.400-an dan masih akan bertambah. Karena DJP juga memiliki kewenangan untuk menetapkan secara jabatan, apabila kita punya data, bahwa lembaga keuangan ini harusnya (dikategorikan) menjadi lembaga pelapor atau non-pelapor.
Kami mengumpulkan populasinya terlebih dahulu dari setiap KPP (Kantor Pelayanan Pajak). Wajib Pajak yang bergerak di sektor keuangan ‘kan sudah terdaftar di KPP, nanti pasti akan kita cross-check dengan yang sudah terdaftar.
Ada batas waktu yang diberikan bagi lembaga keuangan untuk mendaftarkan sebelum ditetapkan secara jabatan?
Kalau batas waktu, sih, tidak ada. Tetapi, pendaftaran itu tidak menunda kewajiban pelaporan. Di dalam PMK ada pasal yang menyatakan bahwa meskipun dia (suatu institusi) belum mendaftar tetapi kewajiban pelaporannya tetap berjalan. Jadi, yang rugi adalah lembaga keuangan kalau dia tidak mendaftar, misalnya, (karena) dia menunggu untuk ditetapkan secara jabatan. Lembaga keuangan bisa kena sanksi pidana karena dia untuk lapor harus mendaftar terlebih dahulu. Kita akan secara persuasif dengan KPP untuk sosialisasi karena ada kewajiban pelaporan yang batasnya April tahun ini untuk yang domestik maupun yang internasional, baik yang LJK (Lembaga Jasa Keuangan) lainnya atau entitas lainnya.
Kita sudah memberikan kriteria lembaga keuangan yang wajib menjadi (institusi) pelapor dan non-pelapor. Sejak itu, seharusnya dia sudah paham bahwa dia (dikategorikan sebagai pihak yang) wajib (lapor). Jadi, walaupun batas pendaftaran itu kemarin akhir Maret, tetapi (pendaftarannya) tetap dibuka terus bagi lembaga keuangan yang mau mendaftar, terutama (untuk) yang baru tahu (mengenai peraturan ini).
https://mucglobal.com/upload/taxguide/files/TaxGuide2018-14_Indonesia.pdf