Opinion

Menyoal Inkonsitensi Penerapan PPN Jasa Agen Asuransi

Muhammad Ridho, Thursday, 17 November 2022

Menyoal Inkonsitensi Penerapan PPN Jasa Agen Asuransi
Ilustrasi inkonsitensi penerapan aturan PPN atas jasa agen Asuransi (Photo: Pexels)

Sejalan dengan harmonisasi peraturan perpajakan, pemerintah—melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 67/PMK.03/2022—mempertegas penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas jasa agen asuransi, jasa pialang asuransi, dan jasa pialang reasuransi. Beleid tersebut mengatur mengenai jenis-jenis penyerahan terkait asuransi dan reasuransi yang merupakan objek PPN.

Secara konsep PPN, kebijakan tersebut sudah tepat karena mempertegas bahwa yang merupakan objek PPN bukan asuransinya, melainkan jasa-jasa terkait penyerahannya. Namun, dalam penerapannya menjadi inkonsisten dan menimbulkan kebingungan. Sebab, otoritas pajak dapat menenetapkan secara jabatan agen asuransi yang memiliki NPWP sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP).

Hal ini tidak sesuai dengan definisi PKP dalam Undang-Undang PPN, serta bertentangan dengan PMK 197/PMK.03/2013, yang menegaskan hanya Wajib Pajak dengan peredaran bruto lebih dari Rp4,8 miliar setahun yang dapat ditetapkan sebagai PKP.

Dalam UU PPN dijelaskan, pengusaha adalah orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaann untuk menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar daerah pabean, menyediakan jasa—termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean.

Sementara itu, PKP didefinisikan sebagai pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP).

Lantas, apakah setiap pengusaha dapat ditetapkan atau mengajukan diri sebagai PKP? Bagaimana dengan pengusaha kecil beromset kurang dari Rp4,8 miliar?

Pengusaha kecil sejatinya bisa memilih untuk dikukuhkan menjadi PKP atau tidak, sebagaimana diatur pada Pasal 3A Ayat 1 dan 1a UU PPN.

“(1). Pengusaha yang melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, huruf c, huruf f, huruf g, dan huruf h, kecuali pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, dan wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang.”


“(1a). Pengusaha Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.”

Ketentuan tersebut kemudian dipertegas melalui PMK No. 197/PMK.03/2013, yang menjadikan nilai peredaran bruto setahun tidak lebih dari Rp4,8 miliar sebagai batasannya. Dengan demikian, selama peredaran usaha Wajib Pajak belum melebihi Rp4,8 miliar maka masuk kategori pengusaha kecil yang bisa memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP atau tidak.

Beban dan Sanksi Administrasi

Dalam praktiknya, penetapan Wajib Pajak sebagai PKP memiliki konsekuensi dan implikasi secara administrasi. Dalam hal ini, Wajib Pajak menjadi berkewajiban memungut PPN atas setiap transaksi penyerahan BKP dan/atau JKP. Selanjutnya, PKP wajib menyetorkan pajak yang dipungut kepada otoritas, serta menyusun laporan dan menyampaikan SPT Masa PPN. Apabila melalaikan kewajibannya sebagai PKP, Wajib Pajak terancam terkena sanksi administratif hingga pidana.

Dengan demikian, setidaknya ada dua isu yang patut dipersoalkan dengan diterapkannya PMK No. 67/PMK.03/2022. Pertama, inkonsitensi penetapan agen asuransi sebagai PKP yang menjadikan NPWP sebagai basisnya. Berbeda halnya dengan penetapan PKP di sektor usaha lain, yang mengacu pada nilai peredaran bruto lebih dari Rp4,8 miliar dalam setahun. Dengan menyebut istilah PKP Agen Asuransi, dapat disimpulkan bahwa penetapan PKP dalam PMK No. 67/PMK.03/2022 didasarkan pada objek pajaknya, bukan nilai peredaran bruto.

Kedua, inkonsitensi kewajiban PKP Agen Asuransi. Dalam hal ini, PKP Agen Asuransi berkewajiban memungut PPN dan membuat faktur pajak atau dokumen yang dipersamakan. Bicara kewajiban maka selalu ada sanksi yang mengancam bagi yang lalai atau abai.

Apabila merujuk pada regulasi PPN secara umum, dokumen faktur pajak wajib dibuat penjual, sekalipun lawan transaksinya adalah pihak yang juga Wajib Pungut (WAPU) pajak. Dalam kasus PKP Agen Asuransi, biasanya perusahaan asuransi sebagai pemungut PPN (pihak WAPU) yang membuat faktur pajak atas komisi yang diberikan kepada agen asuransi. Agen asuransi sebagai pihak yang memberikan jasa hanya berkewajiban untuk melaporkan penyerahan jasanya kepada pihak pemungut pajak pada SPT masa PPN.

Pertanyaannya kemudian, siapa yang akan menanggung sanksi administrasi atas kelalaian, keterlambatan atau ketidakbenaran dalam pembuatan faktur pajak?

Sayangnya, PMK No. 67/PMK.03/2022 tidak menjelaskan secara detail mengenai itu. Apabila mengacu ketentuan Faktur Pajak yang berlaku umum, sanksi administrasi dikenakan kepada pihak penjual yang berkewajiban menerbitkan Faktur Pajak, meskipun bertransaksi dengan WAPU.

Karenanya, dalam kasus penyerahan jasa asuransi, agen asuransi sebagai pihak penjual asuransi tidak bisa disalahkan atas potensi kealpaan atau kelalaian administrasi mengingat Faktur Pajak diterbitkan secara sistematis oleh perusahaan asuransi (pihak WAPU). (AGS)

*Disclaimer: Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis dan tidak mencerminkan kmencerminkan sikap institusi di mana penulis bekerja.

*Artikel ini telah terbit di Kumparan.com, 17 November 2022

Kumparan.com

Disclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.


Global Recognition
Global Recognition | Word Tax     Global Recognition | Word TP
Contact Us

Jakarta
MUC Building
Jl. TB Simatupang 15
Jakarta Selatan 12530

+6221-788-37-111 (Hunting)

+6221-788-37-666 (Fax)

Surabaya
Graha Pena 15th floor
Jl. Ahmad Yani 88
Surabaya 60231

 

Subscribe

For more updates and information, drop us an email or phone number.



© 2020. PT Multi Utama Consultindo. All Rights Reserved.