Wajib pajak harus hati-hati dengan perluasan objek pajak pertambahan nilai (PPN). Sebab, ada potensi masalah di balik kebijakan ini. Terutama dengan berubahnya kriteria barang dan jasa yang selama ini "tidak terutang" pajak menjadi barang/jasa strategis yang "dibebaskan" pajak.
Pemerintah melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan menghapus sejumlah barang dan jasa dari negative list atau daftar tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Tujuannya adalah memperluas basis pemajakan atau meningkatkan penerimaan pajak.
Ada 13 item di Pasal 4A UU PPN yang dicoret dari negative list berdasarkan UU HPP, yaitu:
- barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya;
- barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak;
- jasa pelayanan kesehatan medis;
- jasa pelayanan sosial;
- jasa pengiriman surat dengan perangko;
- jasa keuangan;
- jasa asuransi;
- jasa pendidikan;
- jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan;
- jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri;
- jasa tenaga kerja;
- jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam; dan
- jasa pengiriman uang dengan wesel pos.
Meskipun dihapus, beberapa item seperti kebutuhan pokok, jasa keuangan, jasa asuransi, jasa kesehatan, dan jasa pendidikan dikategorikan ulang sebagai barang dan jasa strategis yang direncanakan mendapatkan fasilitas pembebasan PPN.
Menjadi ambigu karena secara substansi sebenarnya hampir sama. Barang dan jasa yang berubah status dari ”tidak terutang” menjadi ”dibebaskan” toh sama-sama tetap tidak dikenakan PPN.
Meskipun substansinya hampir sama, tetapi secara administrasi justru berpotensi semakin merepotkan wajib pajak maupun otoritas pajak.
Potensi permasalahan itu mengemuka dalam Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan MUC Consulting secara daring, Senin (18/10/2021).
Faktur Pajak
Antara lain terkait kewajiban menerbitkan faktur pajak bagi pelaku usaha yang selama ini produk barang atau jasanya masuk dalam negative list atau tidak terutang PPN. Dengan dihapusnya negatif list dan berubahnya status menjadi barang kena pajak (BKP) atau jasa kena pajak (JKP) maka ada kewajiban memungut PPN dan menerbitkan faktur pajak.
Implikasi secara administratif ini akan menjadi ”pekerjaan rumah” yang harus diantisipasi oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP), terutama yang produk barang atau jasanya dicoret dari negative list. Seperti produsen barang kebutuhan pokok, penyedia jasa pelayanan medis, jasa pelayanan sosial, jasa keuangan, jasa pendidikan, jasa asuransi, dan jasa tenaga kerja.
Selama ini wajib pajak di sektor usaha tersebut hanya perlu menyampaikan total nilai penyerahan yang tidak terutang pajak di SPT PPN. Dengan berlaku UU HPP maka ke depannya wajib pajak harus menerbitkan faktur pajak.
Ini akan menjadi beban kepatuhan baru bagi wajib pajak dan berdampak cukup serius terhadap iklim kemudahan berusaha di Indonesia. Sebab, membuat dan menerbitkan faktur pajak untuk transaksi yang tak sedikit membutuhkan waktu dan ketelitian yang tinggi.
Selain tidak boleh telat menerbitkan faktur pajak, kode faktur juga tidak boleh keliru. Otoritas pajak menetapkan kode faktur yang berbeda untuk transaksi penyerahan barang/jasa yang mendapatkan fasilitas dibebaskan (faktur 08) dan yang tidak atau normal (faktur 01). Atas keterlambatan atau kesalahan menerbitkan faktur pajak ada sanksi denda 1% dari harga jual.
Kecuali, pemerintah memutuskan lain nanti, misalnya, dengan tidak mewajibkan faktur pajak bagi pengusaha kena pajak (PKP) yang produk barang dan jasanya ”dibebaskan” PPN.
Pengkreditan Pajak
Sebenarnya ada satu jenis fasilitas lagi terkait kebijakan PPN, yakni “tidak dipungut” pajak. Fasilitas ini memang tidak masuk dalam revisi peraturan perpajakan dalam UU HPP.
Dengan demikian, ada tiga pendekatan dalam rezim PPN Indonesia, yakni “tidak terutang”, “tidak dipungut”, dan “dibebaskan” pajak.
Sekilas ketiga frasa tersebut sama saja: tidak kena PPN. Namun, bagi wajib pajak masing-masing frasa memiliki implikasi yang berbeda. Terutama menyangkut kewajiban menerbitkan faktur pajak dan pengkreditan pajak masukan.
“Tidak terutang” dalam rezim PPN Indonesia berarti tidak kena pajak dan tidak diwajibkan membuat faktur pajak. Dalam hal ini, wajib pajak tidak dapat mengkreditkan pajak masukannya.
Sementara itu, PPN “tidak dipungut” dan “dibebaskan” adalah fasilitas dari pemerintah yang sama-sama tidak mengenakan pajak atas barang atau jasa yang seharusnya terutang PPN. Namun, pengusaha kena pajak (PKP) yang menerima kedua fasilitas tersebut diwajibkan menerbitkan faktur pajak setiap melakukan penyerahan barang atau jasa.
Bedanya, PKP penerima fasilitas “tidak dipungut” PPN dapat mengkreditkan pajak masukan. Sedangkan, PKP penerima fasilitas “dibebaskan” PPN tidak dapat mengkreditkan pajak masukan.
Dengan tidak dapat dikreditkannya pajak masukan, maka harga jual produk atau jasa berpotensi naik. Lazimnya, pengusaha cenderung akan melimpahkan beban pajak ini ke konsumen.
Dengan demikian, penyesuaian objek PPN dapat berimplikasi ganda. Pertama, PKP dituntut menerbitkan faktur pajak, yang jika tidak patuh atau terlambat menunaikan akan dikenakan sanksi administratif berupa denda 1% dari harga jual.
Kedua, beban ekonomi konsumen berpotensi bertambah akibat pajak masukan yang tidak dapat dikreditkan atas penyerahan barang/jasa yang “dibebaskan” PPN.
Jadi, wajib pajak harus hati-hati dengan perluasan objek PPN karena ada implikasi serius yang akan menyertai. Terutama dengan berubahnya kriteria barang dan jasa yang selama ini "tidak terutang" pajak menjadi barang/jasa strategis yang "dibebaskan" pajak.
**) Versi singkat tulisan ini telah terbit di Kompas.com, 1 November 2021.