Beli Sekarang, Tahun Depan PPN dan Harga-Harga Naik
Karsino Miarso,
Monday, 01 November 2021
”Beli sekarang. Senin harga naik.” Bahasa marketing ini mungkin membekas kuat di benak konsumen Indonesia setelah dipopulerkan oleh salah satu pengembang properti nasional. Kampanye pemasaran seperti ini mungkin akan marak selama jeda perluasan objek dan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) mulai triwulan kedua 2022.
Seperti kita tahu, pemerintah dan DPR kembali merombak aturan perpajakan dengan menerbitkan Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan (UU HPP). Diantara poin penting amandemen perpajakan kali ini adalah adanya penambahan jenis barang dan jasa kena PPN serta dinaikannya tarif PPN dari 10% menjadi 11% mulai April 2022 dan menjadi 12% paling lambat 1 Januari 2025. Tarif PPN tersebut dapat diubah menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi 15%.
Terkait kenaikan tarif, karena bahasa undang-undangnya menegaskan ”paling…” maka sah-sah saja jika pemerintah mempercepat kenaikan tarif PPN menjadi 12% atau bahkan 15% sebelum 2025. Bahkan, bukan tidak mungkin pada tahun depan tarif PPN naik dua kali.
Walaupun ruang penurunan tarif PPN (menjadi paling rendah 5%) tetap terbuka, meskipun kecil kemungkinannya.
Satu hal yang pasti adalah perluasan objek dan kenaikan tarif PPN bukan kebijakan populis yang diharapkan publik karena bakal diikuti kenaikan harga barang dan jasa. Terlebih di tengah pandemi dan krisis seperti sekarang. Kebijakan ini bisa jadi semacam disinsentif bagi masyarakat luas yang baru saja dihantui resesi.
Namun, sebagian kalangan mungkin punya perspektif berbeda, alih-alih meratapinya. Terutama pelaku usaha yang melihat momentum untuk marketing campaign sebelum benar-benar terkena PPN atau tarifnya naik. Setidaknya masih ada waktu hingga akhir Maret 2022 bagi mereka untuk mendongkrak penjualan dengan mengobral barang dagangan.
Fenomena ini sudah pasti bakal berpengaruh signifikan terhadap penyesuaian harga-harga produk, termasuk barang-barang kebutuhan primer masyarakat (sandang, pangan dan papan serta kendaraan).
Dari perspektif pengusaha, tidak hanya penjualan, pembelian pun bisa terjadi lonjakan pada akhir tahun ini hingga awal tahun depan. Tidak hanya konsumen yang bisa ”terhasut” woro-woro ”PPN dan harga akan naik”, pada saat yang sama pelaku usaha atau produsen bisa saja berpikiran sama dengan memajukan waktu pengadaan bahan baku, barang modal, atau barang operasional. Setidaknya untuk mengurangi beban biaya yang bakal melonjak mulai April 2022.
Tarif Khusus
Dalam UU HPP juga terdapat penambahan klausul baru terkait pemungutan PPN oleh PKP sektor usaha tertentu, yang dapat diterapkan tarif PPN final dengan besaran tertentu. Meskipun tidak disebutkan berapa tarif khususnya, tetapi Kementerian Keuangan memberikan contoh kisaran 1%; 2%; atau 3% dari peredaran usaha. Semua itu pada akhirnya akan tergantung kebutuhan APBN dan kebijaksanaan Menteri Keuangan untuk menetapkannya.
Hanya saja, dengan diberlakukannya dua skema tarif (normal dan final) maka akan berlaku multitarif PPN mulai tahun depan. Persoalannya kemudian bagaimana dengan implementasi dan pengawasannya.
Dalam berbagai kesempatan, pemerintah mengakui C-Efficiency PPN Indonesia hanya 63,58%. Artinya Indonesia baru bisa mengumpulkan 63,58% dari total PPN yang seharusnya bisa dipungut.
Bila perluasan objek PPN diyakini akan menaikkan penerimaan pajak, lantas apakah menaikan tarif PPN juga bakal meningkatkan efektifitas pemungutannya? Coba lihat negara tetangga, Filipina misalnya, dengan tarif 12% efektifitas pemungutan PPN-nya masih jauh di bawah Indonesia.
Penyakitnya berarti bukan soal tarif yang kerendahan. Melainkan proses administrasi pemungutan dan pengawasannya yang harus semakin disempurnakan.
Dengan booming digital, kita semua tahu bahwa optimalisasi dan efektivitas kegiatan apapun akan sangat tergantung dengan penguasaan informasi dan teknologi. Poin inilah yang seharusnya semakin mendapatkan perhatian serius pemerintah untuk perbaikan birokrasi. Terutama dalam hal ini adalah pengembangan sistem administrasi perpajakan secara elektronik yang mampu beradaptasi dengan perkembangan teknologi digital.
**) Versi singkat tulisan ini telah terbit di Kompas.com, 27 Oktober 2021.
Kompas.com
Disclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.