UU HPP Ubah Sederet Aturan di UU PPN dan PPnBM, Simak Rinciannya.
Wednesday, 13 October 2021
Terbitnya Undang-undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), telah mengubah Sejumlah ketentuan yang ada di dalam UU nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).
Secara umum ada tujuh pasal dari UU PPN dan PPnBM yang mengalami perubahan, seperti pasal 4A, pasal 7, pasal 8A, pasal 9, pasal 9A, pasal 16B dan pasal 16G.
Jika disimpulkan, ketujuh pasal tadi mengatur lima pokok kebijakan, yang terdiri dari pengurangan objek dan fasilitas PPN, kenaikan tarif PPN, mekanisme pengkreditan pajak masukan, penyederhanaan prosedur, serta pendelegasian wewenang.
Penambahan Objek PPN
UU HPP telah menghapus sejumlah barang dan jasa dari daftar yang tidak dikenai PPN sebagaimana diatur di dalam pasal 4A ayat (3) UU PPN dan PPnBM. Dengan demikian barang dan jasa tersebut kini menjadi objek pajak.
Namun demikian, meski ditetapkan sebagai objek PPN, barang dan jasa tersebut akan mendapatkan fasilitas pembebasan PPN. Pemberian fasilitas itu ditegaskan di dalam pasal 16B UU PPN dan PPnBM. Berikut daftar barang dan jasa yang mendapat fasilitas pembebasan PPN:
Barang | Jasa Layanan Kesehatan | Jasa Layanan Sosial | Jasa Keuangan | Jasa Asuransi | Jasa Pendidikan | Jasa angkutan umum | Jasa Tenaga Kerja |
|
Jasa Kesehatan Tertentu:
Jasa kesehatan BPJS |
|
|
|
|
|
|
Sementara itu, beberapa jenis barang dan jasa seperti makanan, uang atau emas batangan, jasa keagamaan, jasa perhotelan, jasa pemerintahan, jasa parkir dan jasa catering tetap bukan objek PPN. Mengingat barang dan jasa tersebut merupakan objek pajak dan retribusi daerah (PDRD).
Tarif PPN Naik Bertahap Jadi 12%
UU HPP menyebutkan bahwa mulai 1 April 2022 hingga 31 Desember 2024 tarif Pajak Pertambahan Nilai ditetapkan menjadi 11%, lebih tinggi dari tarif yang berlaku saat ini 10%.
Kemudian mulai 1 Januari 2025 dan seterusnya, tarif PPN akan kembali dinaikkan menjadi 12%. Ketentuan itu diatur di dalam perubahan Pasal 7 ayat (1), ayat (3).
Selain itu, seperti yang diatur juga di dalam UU PPN dan PPnBM, UU HPP juga menegaskan pemerintah boleh mengubah besaran tarif, asalkan tidak melewati batas yang ditetapkan yaitu minimal 5% dan maksimal 15%.
Yang membedakan dari aturan sebelumnya, UU HPP memperbolehkan pemerintah mengubah besaran tarif dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) setelah disetujui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), melalui mekanisme APBN.
PPN Final Untuk Barang dan Jasa Tertentu
UU HPP memungkinkan Pengusaha Kena Pajak (PKP) tertentu bisa menghitung PPN dengan tarif final berdasarkan nilai peredaran bruto atau omzet.
Hal tersebut tertuang di dalam pasal 8A ayat (1) UU HPP, yang menyebutkan penghitungan PPN dapat berdasarkan harga jual, nilai penggantian, nilai impor dan nilai lain yang akan ditetapkan pemerintah.
Sebetulnya, secara eksplisit penggunaan PPN final ini tidak disebutkan di dalam UU HPP, namun hal itu ditegaskan pemerintah dalam sejumlah kesempatan.
Pemerintah menyebut tarif PPN final yang mungkin akan diterapkan adalah sebesar 1%, 2% atau 3% dari peredaran usaha. PKP yang bisa menggunakan tarif PPH final tersebut di antaranya yang memiliki nilai peredaran usaha tertentu.
Selain itu, UU HPP juga menegaskan setiap pajak masukan yang dasar pengenaan pajaknya menggunakan nilai lain, dapat dikreditkan. Penegasan ini disebutkan di dalam ketentuan tambahan yaitu, pasal 8A ayat (3).
Fasilitas PPN Dipangkas
Jumlah fasilitas PPN yang sebelumnya berjumlah 15 dipangkas menjadi hanya 10 fasilitas saja. Hal tersebut tertuang di dalam pasal 16B UU HPP, yang mengubah penejelasan pasal 16B UU PPN dan PPnBM.
Beberapa fasilitas yang dicabut di antaranya adalah:
• PPN tidak dipungut untuk pengadaan peralatan oleh TNI/POLRI
• PPN tidak dipungut untuk pengadaan terkait data batas wilayah dan foto udara oleh TNI
• Pembebasan PPN atas penyediaan rumah sederhana, sangat sederhana dan sumah susun sederhana untuk masyarakat miskin
• PPN tidak dipungut untuk pengembangan armada darat, air dan udara
• Pembebasan PPN untuk ketersediaan barang strategis seperti bahan baku kerajinan perak
• Pembebasan PPN terkait penyediaan air bersih dan listrik
Dengan demikian, fasilitas PPN yang masih berlaku di antaranya meliputi
• PPN tidak dipungut untuk mendorong ekspor dan hilirisasi industri
• Pembebasan PPN terkait perjanjian perdagangan dan investasi dengan negara lain atau konvensi internasional yang telah diratifikasi.
• Pembebasan PPN terkait program vaksinasi nasional
• Pembebasan PPN untuk tujuan peningkatan kualitas pendidikan
• Pembebasan PPN terkait pembangunan tempat ibadah
• PPN tidak dipungut untuk proyek pemerintah yang dibiayai hibah atau pinjaman luar negeri
• PPN tidak dipungut untuk mengakomodasi perjanjian internasional
• Pembebasan PPN dalam rangka penanganan bencana alam
• PPN tidak dipungut untuk penyediaan angkutan udara untuk kepentingan umum
• Pembebasan PPN untuk barang strategis, termasuk di dalamnya kebutuhan pokok dan jasa tertentu
Ketentuan Pengkreditan Pajak Masukan Dipertegas
UU HPP juga telah mempertegas ketentuan terkait pengkreditan pajak masukan. Terutama untuk pengusaha yang dalam satu masa pajak menyerahkan barang terutang pajak, namun tidak semua pajak masukannya dapat dikreditkan.
Maka pengusaha tersebut hanya dapat mengkreditkan bagian pajak masukannya yang boleh dikreditkan saja, berdasarkan catatan atau pembukuan yang dimiliki.
Sementara jika jumlah pajak masukan atas penyerahan barang tersebut tidak dapat diketahui secara pasti, pengusaha dapat menggunakan pedoman pengkreditan pajak masukan. Ketentuan itu diatur di dalam perubahan Pasal 9 ayat (5) dan ayat (6) UU HPP.
Sementara di dalam Pasal 9 ayat (5) UU PPN dan PPnBM sebelumnya, hanya diatur tentang pengkreditan pajak masukan atas penyerahan barang yang terutang pajak dan tidak terutang pajak oleh pengusaha dalam satu masa saja. Beleid lama tidak secara tegas menyebutkan status barang yang diserahkan, apakah dapat dikreditkan atau tidak.
Pemerintah mengatakan, perubahan-perubahan itu dilakukan untuk memperluas basis pajak dengan cara memasukkan barang dan jasa yang selama ini bukan objek PPN menjadi barang dan jasa kena pajak.
Hal itu dilakukan mengingat kemampuan otoritas pajak dalam mengumpulkan penerimaan PPN masih rendah. Terbukti dari nilai C-efficiency PPN Indonesia yang masih sebesar 63,58%. (asp)