Opinion

Perempuan Tiang Negara, Bukan Warga Kelas Dua!

Sekaring Ratri Adaninggar | Tuesday, 04 May 2021

Perempuan Tiang Negara, Bukan Warga Kelas Dua!

Dunia baru saja memperingati Hari Perempuan Internasional pada 8 Maret 2021. Selang beberapa pekan kemudian, Perempuan Indonesia merayakan ulang di Hari Kartini pada 21 April 2021. Kedua momentum tersebut mempertegas eksistensi perempuan dalam memperjuangkan emansipasi dan kesetaraan di tingkat nasional dan global.

Isu ”kesetaraan” semakin nyaring didengungkan di tengah perkembangan dunia yang faktanya tidak bisa hanya mengandalkan dominasi laki-laki. Ini sekaligus sebagai pengingat bahwa sampai hari ini masih terjadi praktik diskriminasi dalam banyak hal. Tulisan ini akan berfokus pada peran perempuan dalam bidang ekonomi dan perpajakan.

World Economic Forum dalam laporan The Global Gender Gap Index 2020 menyebutkan, Indonesia berada di peringkat 85 dari 153 negara dengan skor 0.70. Angka tersebut menunjukkan kesetaraan gender di Indonesia tidak mengalami perubahan sejak 2018.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menilai kiprah perempuan dalam perekonomian domestik maupun global tidak bisa dipandang sebelah mata. Menurutnya, jika perempuan diberikan kesempatan yang sama dalam perekonomian maka ekonomi global mampu terdongkrak hingga US$12 triliun pada 2025. Dia mengkalkulasi potensi ekonomi perempuan bisa mencapai US$28 triliun atau 26% dari PDB dunia, asal diberikan kesempatan yang setara. Pernyataan itu sebenarnya terkonfirmasi dari Data Perkembangan Usaha Mikro, Kecil, Menengah dan Besar (2014-2018), yang menunjukkan bahwa 99,99% dari total 64 juta unit usaha di Indonesia adalah UMKM dan lebih dari 50%-nya adalah perempuan.

Kepatuhan Pajak

Besarnya kontribusi perempuan terhadap perekonomian idealnya berbanding lurus terhadap penerimaan pajak. Catatannya lagi dan lagi adalah asalkan perempuan benar-benar diperlakukan setara dan tanpa diskriminasi. Apalagi menurut beberapa penelitian, gender dapat mempengaruhi kepatuhan wajib pajak.

Berdasarkan hasil penelitian University of Exeter, Inggris yang berjudul Gender, Social Value Orientation (SVO) and Tax Compliance (2018), perempuan terbukti lebih patuh pajak dibanding laki-laki. Penelitian yang dilakukan di lima negara yakni Italia, Amerika Serikat, Inggris, Swedia dan Rumania tersebut, juga menyebutkan bahwa perempuan lebih jujur dalam melaporkan besaran pajaknya. Hasil penelitian ini didukung oleh sebuah studi yang dilakukan Kerstin Grosch dan Holger Rau (2017) yang menegaskan bahwa perempuan memang lebih jujur dibanding laki-laki. Hal ini terkait sifat prososial yang umumnya dimiliki perempuan. Intinya perempuan lebih mudah melakukan hal-hal yang sifatnya sukarela ketimbang laki-laki.

Hasil riset Janne Chung dan Viswanath Umashanker Trivedi (2003) juga menyatakan hal serupa. Dengan menggunakan metode pendekatan yang bersahabat (friendly persuasion), dapat dibuktikan bahwa perempuan secara signifikan lebih bersedia melaporkan penghasilan yang sebenarnya dari pada laki-laki.

Kemudian, dalam studi bertajuk Women in Control and Tax Compliance, dibahas adanya hubungan erat antara posisi atau jabatan perempuan di perusahaan dengan kadar kepatuhan pajak perusahaan. Studi tersebut didukung hasil survei World Bank Enterprise yang melibatkan 23.178 perusahaan swasta di 98 negara, dengan fokus pada negara-negara berkembang. Berdasarkan hasil studi tersebut, para perempuan yang berada pada posisi top manager memiliki pengaruh besar terhadap tingkat kepatuhan pajak perusahaan. Begitu juga dengan perusahaan yang dinahkodai seorang perempuan, cenderung memiliki kepatuhan pajak yang baik. Untuk itu, dalam studi tersebut disimpulkan bahwa perusahaan yang ingin meningkatkan kepatuhan pajaknya sebaiknya mulai merancang kebijakan yang memungkinkan perempuan berada di level top managerial, termasuk sebagai pemimpin perusahaan.

Dari sejumlah penelitian di atas, membuktikan bahwa perempuan memiliki tax awareness yang lebih tinggi dibanding laki-laki, meskipun  tidak mutlak. Beberapa penelitian yang dilakukan di Indonesia justru menunjukkan tidak ada perbedaan antara perempuan dan laki-laki dalam hal kepatuhan atau kesadaran akan pajak. Salah satunya penelitian Khansa Chetisa Putri dan Lintang Venusita (2019), yang mengungkapkan bahwa gender tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap kepatuhan pajak. Sebab, baik perempuan maupun laki-laki menilai pajak adalah beban yang mengurangi biaya finansial. Justru tingkat nasionalisme yang berperan besar dalam kepatuhan pajak.

Lalu, pada penelitian lainnya yang berjudul Dampak Faktor-Faktor Demografi Terhadap Kepatuhan Perpajakan di Indonesia, juga memberikan kesimpulan serupa. Dalam penelitian oleh Ganda Frisno Pasaribu dan Christine Tjen (2016), menunjukkan bahwa responden perempuan maupun laki-laki mempunyai kepatuhan perpajakan yang sama. Penelitian yang menyasar 304 responden itu mengungkapkan bahwa kepatuhan pajak dipengaruhi faktor-faktor lain seperti tingkat pendidikan, jenis pekerjaan dan tingkat penghasilan.

Tiang Negara

Secara etimologis asal kata “perempuan” adalah “empu” yang berarti tuan, orang yang mahir atau berkuasa. Kata perempuan juga berhubungan dengan kata ”ampu” yang artinya sokong, memerintah, penyangga, penjaga keselamatan, bahkan wali.

Menteri Koordinator Politik, Hukum dan HAM Mahfud MD pernah menyitir hadits nabi yang menyebutkan bahwa perempuan adalah tiangnya negara. Jika sebuah negara baik dan kuat, maka itu berkat peran perempuan.

Seperti kata peribahasa Afrika, "If you educate a man you educate an individual but if you educate a woman you educate a whole nation." Artinya, perempuan memiliki peran yang sangat penting dalam mendidik generasi masa depan. Untuk itu, perempuan harus terdidik dengan baik.

Dalam konteks pajak, perempuan juga seharusnya bisa diberdayakan untuk meningkatkan kesadaran wajib pajak. Karena perempuan bisanya lebih cermat, disiplin dan taat pada aturan. Terlebih, jika perempuan terlibat aktif dalam perekonomian dan teredukasi secara baik di bidang perpajakan.

Anomali

Sayangnya, sistem perpajakan di Indonesia—yang menganut penghasilan keluarga sebagai satu kesatuan (joint-family taxation)—masih kurang berpihak pada kaum hawa. Konsep ini cenderung merugikan perempuan, khususnya bagi yang sudah menikah.

Bagi perempuan bekerja yang masih lajang, mereka memperoleh hak yang sama dengan laki-laki terkait pembayaran pajak. Asal memiliki penghasilan di atas PTKP maka otomatis wajib membayar pajak yang terutang atas dirinya.

Berbeda halnya dengan perempuan bekerja yang sudah menikah. Mereka memang memiliki keleluasaan untuk menggabungkan NPWP dengan suami atau memilih terpisah. Otoritas pajak menilai ini sebagai bentuk kebebasan dan keleluasaan perempuan di bidang perpajakan.

Namun, keleluasaan yang dimaksud bisa beda tipis dengan diskriminasi. Karena sistem perpajakan menganggap keluarga sebagai satu kesatuan, maka ketika seorang istri memilih NPWP terpisah atau menjalankan kewajiban perpajakannya sendiri, dia justru harus membayar pajak tinggi dibanding laki-laki. Dengan tarif progresif, penghasilan istri bisa dikenakan tarif tertinggi yang dicapai penghasilan suami. Kebebasan ini justru seakan "memaksa" perempuan untuk menggabungkan kewajiban perpajakannya dengan suami.

Contoh kasus lainnya, perempuan menikah dengan suami yang tidak bekerja. Untuk bisa mengajukan pertanggungan dalam perhitungan PTKP, perempuan harus meminta surat keterangan dari pejabat perangkat desa atau kecamatan. Syarat administrasi ini tidak berlaku bagi laki-laki. Perbedaan perlakuan inilah yang menjadi isu diskriminasi gender di bidang perpajakan. Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa perempuan dan laki-laki ternyata tidak sejajar dalam hal perpajakan.

Kalau memang serius dengan isu gender, terutama di bidang pajak, sudah waktunya bagi pemerintah mengubah basis perhitungan penghasilan kena pajak dari berbasis keluarga menjadi berbasis individu. Konsep semacam ini ternyata telah banyak diteliti dan disarankan beberapa lembaga internasional, termasuk International Monetary Fund (IMF). Dengan perubahan basis perhitungan ini, bukan tidak mungkin kontribusi perempuan dalam penerimaan pajak akan melonjak. Ingat, perempuan adalah tiang negara, bukan warga kelas dua!



Disclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.


Global Recognition
Global Recognition | Word Tax     Global Recognition | Word TP
Contact Us

Jakarta
MUC Building
Jl. TB Simatupang 15
Jakarta Selatan 12530

+6221-788-37-111 (Hunting)

+6221-788-37-666 (Fax)

Surabaya
Graha Pena 15th floor
Jl. Ahmad Yani 88
Surabaya 60231

 

Subscribe

For more updates and information, drop us an email or phone number.



© 2020. PT Multi Utama Consultindo. All Rights Reserved.