Isu Pajak di Tengah Polemik Kenaikan BPJS Kesehatan
Karsino Miarso,
Friday, 29 May 2020
Sudah sekitar tiga bulan Indonesia menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) guna meredam pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Selama itu—sejak Maret 2020, teramat banyak peraturan atau kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, baik terkait dengan PSBB maupun tidak. Hampir setiap regulasi mendapatkan sorotan publik, dan tidak sedikit yang menuai kontroversi dan menjadi polemik.
Salah satunya adalah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Perpres ini merupakan revisi atas ketentuan sebelumnya (Perpres Nomor 75 Tahun 2019) yang melalui Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) menetapkan kenaikan hampir 100% iuran BPJS Kesehatan per 1 Januari 2020, sebelum kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA) atas gugatan Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI). Dalam putusannya (Nomor 7 P/HUM/2020), MA berpendapat bahwa kenaikan iuran peserta bukan solusi atas permasalahan defisit BPJS Kesehatan yang dinilai akibat kesalahan dan kecurangan (fraud) dalam pengelolaan dan pelaksanaan program jaminan kesehatan nasional.
Namun, pemerintah selalu punya cara untuk menyiasati ketentuan. Alih-alih mengembalikan iuran peserta yang sudah terlanjur dinaikan sejak Januari 2020, pemerintah justru memoles ulang kenaikan iuran BPJS kesehatan—dengan menerbitkan Perpres Nomor 64 Tahun 2020—di saat masyarakat tengah mengencangkan ikat pinggang akibat tekanan ekonomi akibat pandemi Covid-19. Iuran peserta mandiri kelas I naik 87,5% dari Rp80 ribu menjadi Rp150 ribu, kelas II naik 96,07% dari Rp51 ribu menjadi Rp100 ribu, dan kelas III naik 37,25% dari Rp25.500 menjadi Rp35 ribu.
Tabel Perkembangan Iuran BPJS Kesehatan
Jenis Kepesertaan | Perpres No. 82/2018 | Perpres No. 75/2019 | Perpres No. 64/2020 |
Peserta Bukan Penerima Upah/Bukan Pekerja (Mandiri) | |||
Kelas 3* | Rp25.500 | Rp42.000 | Rp35.000 |
Kelas 2 | Rp51.000 | Rp110.000 | Rp100.000 |
Kelas 1 | Rp80.000 | Rp160.000 | Rp150.000 |
Penerima Bantuan Iuran (PBI)-ditanggung pemerintah | |||
Kelas 3 | Rp25.500 | Rp42.000 | Rp35.000 |
Peserta Pekerja Penerima Upah** | |||
ASN/TNI/Polri (4% pemerintah dan 1% peserta) | 5% dari Gaji per bulan | 5% dari Gaji per bulan | 5% dari Gaji per bulan |
BUMN/BUMD/Swasta (4% pemberi kerja dan 1% peserta) | 5% dari Gaji per bulan | 5% dari Gaji per bulan | 5% dari Gaji per bulan |
(Sumber: BPJS Kesehatan dan berbagai sumber, diolah)
Keterangan:
*) Tahun 2020: Peserta Kelas 3 hanya bayar Rp25.500 dan selisihnya Rp16.500 disubsidi pemerintah
Tahun 2021: Peserta Kelas 3 hanya bayar Rp35.000, dan selisihnya Rp7.000 disubsidi pemerintah
**) Iuran termasuk kepesertaan anggota keluarga tertanggung (istri dan 3 anak)
Iuran keluarga tambahan (anak ke 4 dan seterusnya, ayah, ibu dan mertua) 1% dari dari gaji per bulan, dibayar pekerja.
Earmarking Tax
Akar persoalan dari kenaikan iuran jaminan kesehatan tidak lain adalah defisit anggaran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang semakin membengkak. Berdasarkan Rencana Kegiatan Anggaran Tahunan (RKAT) BPJS Kesehatan tahun 2019, sebagaimana tertuang dalam putusan MA Nomor 7 P/HUM/2020, pengeluaran pembiayaan kesehatan direncanakan sebanyak Rp102,02 triliun dan pemasukan diperkirakan Rp88,8 triliun, sehingga selisih defisit ditaksir Rp14 triliun. Apabila ditambah dengan defisit 2018, pemerintah memperkirakan defisit akan melebar sekitar 27%-32% menjadi Rp28 triliun sampai Rp32 triliun di akhir tahun 2019. Dengan defisit JKN tersebut, BPJS Kesehatan diasumsikan tidak akan mampu membayar klaim layanan kesehatan sekitar empat bulan. Bahkan berdasarkan perhitungan aktuaria terbaru, defisit BPJS Kesehatan diproyeksi akan menembus Rp75 triliun di tahun 2023. Atas pertimbanagn itulah pemerintah untuk kesekian kalinya menaikkan iuran BPJS Kesehatan.
Sementara itu, Mahkamah Agung punya catatan lain mengenai defisit BPJS Kesehatan. Dalam putusannya MA menyatakan bahwa salah satu penyebab defisit JKN disinyalir karena kesalahan dan kecurangan (fraud) dalam pengelolaan dan pelaksanaan program jaminan sosial oleh BPJS Kesehatan. MA juga mempertimbangkan kebijakan Penyertaan Modal Negara (PMN) ke BPJS Kesehatan dan kenaikan iuran peserta yang telah dilakukan terbukti tidak mampu mengatasi persoalan defisit JKN.
Atas dasar itu, MA menilai defisit JKN tidak boleh dibebankan kepada masyarakat, dengan menaikkan Iuran bagi Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Peserta Bukan Pekerja (BP) sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 34 ayat 1 dan 2 Perpres No. 75 Tahun 2019. MA menegaskan bahwa pemerintah harus mencari jalan keluar yang baik dan bijaksana dengan memperbaiki kesalahan dan kecurangan pelaksanaan JKN tanpa harus memaksa masyarakat menanggung kerugian yang ditimbulkan.
Tabel Proyeksi Keuangan BPJS Kesehatan (Dalam Rp Triliun)
2019 | 2020 | 2021 | 2022 | 2023 | |
Pendapatan | 89,40 | 96,49 | 104,83 | 113,47 | 122,73 |
Biaya Jaminan | 118,45 | 136,64 | 156,10 | 173,81 | 192,30 |
Biaya Operasional | 4,09 | 4,44 | 4,82 | 5,23 | 5,68 |
(Defisit) | (33,14) | (44,59) | (56,08) | (65,57) | (75,25) |
(Sumber: Putusan Mahkamah Agung No. 7 P/HUM/2020)
Selain harus manut terhadap putusan MA, pemerintah sebenarnya punya opsi lain untuk menambal defisit JKN. Misalnya, dengan menerapkan earmarking tax, berupa penggunaan instrumen perpajakan untuk mengatasi permasalahan kesehatan. Earmarking tax merupakan pemungutan jenis pajak tertentu untuk tujuan tertentu yang telah ditetapkan pemerintah. Dalam hal ini, penerimaan pajak tersebut digunakan sepenuhnya untuk membiayai kegiatan-kegiatan yang terkait dengan tujuan dan peruntukannya.
Penggunaan dana bagi hasil cukai dan pajak rokok daerah merupakan salah satu earmarking tax yang seharusnya bisa dioptimalkan pemungutan dan peruntukannya. Earmarking tax ini juga sesuai dengan amanat Undang-Undang No. 39/2007 tentang Cukai, yang menugaskan pemerintah untuk mengendalikan konsumsi barang-barang tertentu yang dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup. Kendati hanya sebagai alat pengendali konsumsi, sumbangan cukai terhadap penerimaan negara ternyata cukup signifikan, jika dibandingkan dengan kebutuhan anggaran JKN setiap tahunnya. Artinya, kalau saja penerimaan cukai diperuntukan separuhnya untuk JKN, operasional BPJS Kesehatan tidak seharusnya terkendala defisit.
Tabel Perbandingan Penerimaan Cukai & Kebutuhan Anggaran JKN
Anggaran (Rp Triliun) | 2014 | 2015 | 2016 | 2017 | 2018 | 2019 | 2020* |
Penerimaan Cukai | 118,09 | 144,64 | 143,53 | 153,29 | 159,69 | 172,42 | 172,90 |
Kebutuhan JKN | 42,66 | 57,11 | 67,4 | 74,25 | 94,3 | ? | ? |
(Dari berbagai sumber, diolah)
Menyoal Pajak
Satu hal lagi yang penting untuk disoroti adalah aspek pajak dalam penerapan JKN. Selama ini, iuran BPJS Kesehatan karyawan—yang 4%-nya ditanggung pemberi kerja atau perusahaan—dianggap sebagai penghasilan karyawan sehingga dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21. Alasan iuran BPJS Kesehatan dikenakan pajak adalah karena iuran JKN tersebut dipersamakan dengan premi asuransi kesehatan pada umumnya. Alhasil, perusahaan tidak hanya harus menanggung 4% iuran BPJS karyawan, tetapi juga wajib menyetorkan PPh 21 atas iuran JKN tersebut.
Dalam konteks ini, kita perlu menelaah kembali semangat positif dari program JKN yang sifatnya memaksa atau mewajibkan seluruh pemberi kerja menanggung 4% iuran BPJS Kesehatan setiap karyawannya. Dalam perspektif penulis, seharusnya ini bisa dilihat sebagai konstribusi perusahaan terhadap negara guna menyukseskan program JKN. Bukan transaksi business to business antara perusahaan dengan BPJS Kesehatan. Dengan kata lain, iuran BPJS yang dibayarkan perusahaan jangan dimaknai sebagai premi asuransi, melainkan sebagai kontribusi perusahaan kepada negara dalam rangka ikut menjamin ketersediaan jaminan kesehatan bagi setiap warga negara.
Kepatuhan perusahaan membayar iuran JKN karyawan seharusnya menjadi nilai plus di tengah isu diskriminasi pelayanan kesehatan serta kegagalan BPJS Kesehatan menindak kecurangan pelaksanaan JKN, seperti yang dinyatakan Mahkamah Agung.
Kalau semangat partisipatif dan kontributif yang dikedepankan, apakah patut iuran JKN dikenakan PPh pasal 21? Seharusnya tidak.
***
*) Tulisan ini telah terbit di Republika Online, 27 Mei 2020
Republika Online
Disclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.