Opinion

Motivasi Sewa Konsultan Pajak: Kepatuhan atau Ketidakpatuhan?

Ahmad Komara | Monday, 17 June 2019

Motivasi Sewa Konsultan Pajak: Kepatuhan atau Ketidakpatuhan?

Dalam menjalankan perannya pada sistem perpajakan, konsultan pajak sering diasosiasikan dengan hal-hal yang bersifat negatif, sebut saja misalnya aggressive tax planning, tax avoidance dan tax evasion. Hal tersebut tentu bukan tanpa dasar. Konsultan pajak dengan keahliannya dapat mengedukasi Wajib Pajak untuk patuh tetapi pada waktu yang bersamaan, dengan keahliannya juga, dapat menjadi promotor ke arah ketidakpatuhan. 

Meskipun demikian, perlu dipahami bahwa konsultan pajak memberikan jasa perpajakan kepada Wajib Pajak karena mereka disewa oleh Wajib Pajak yang bersangkutan. Berdasarkan perjanjian tertentu, konsultan pajak kemudian akan menjalankan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak yang menjadi kliennya. Sebagai imbalan, konsultan pajak tentu akan mendapatkan sejumlah fee yang didasarkan kepada kesepakatan kedua belah pihak. Dengan demikian, pola kerja dan arah pekerjaan konsultan pajak akan diwarnai oleh motivasi Wajib Pajak yang menyewa mereka. 

Pertanyaannya kemudian adalah apakah motivasi yang mendorong Wajib Pajak untuk menyewa konsultan pajak? Tulisan ini akan menguraikan beberapa hasil penelitian di berbagai negara tentang motivasi Wajib Pajak menyewa konsultan pajak. Praktik di Indonesia juga akan diuraikan berdasarkan hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh penulis. Temuan-temuan penelitian tersebut diharapkan dapat memberikan gambaran tentang apa sebenarnya hal-hal yang mendorong Wajib Pajak mempekerjakan konsultan pajak dalam menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya. 

Konsultan pajak berperan sangat strategis dalam sistem perpajakan suatu negara. Mereka dapat mempengaruhi keputusan Wajib Pajak terkait kepatuhan pajak yang nilainya mungkin sangat signifikan. Di satu sisi dengan keahliannya, mereka dapat mendukung integritas sistem perpajakan karena dapat membantu Wajib Pajak memahami ketentuan peraturan perundangan perpajakan sehingga Wajib Pajak menjadi patuh. Di sisi lain, mereka juga dapat melemahkan sistem perpajakan manakala mereka mengarahkan atau mengajak Wajib Pajak untuk melakukan apa yang dinamakan unucceptable tax planning.

Berdasarkan hal tersebut, peran konsultan pajak dapat digambarkan berada di suatu wilayah pada sebuah garis yang membentang antara pemerintah di satu titik dan Wajib Pajak di titik yang lain. Pada saat mereka berada di wilayah yang dekat dengan pemerintah, mereka dapat dikatakan sebagai government supporter. Sementara itu, apabila mereka berperan lebih dekat dengan Wajib Pajak maka dapat disebut sebagai taxpayers’ ally. Mereka dapat juga menjaga independensi sehingga tetap berada di tengah-tengah antara pemerintah dan Wajib Pajak. Dalam kondisi demikian, mereka dapat disebut berperan sebagai hybrid agents. Satu peran lain yang dapat dimainkan oleh konsultan pajak adalah sebagai government sparring partner saat mereka ikut bersumbangsih dalam penyusunan kebijakan pemerintah terkait perpajakan atau menggugat dan mempertanyakan kebijakan pemerintah yang berlaku di pengadilan pajak misalnya.

Kecenderungan konsultan pajak untuk melakukan peran-peran tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor. Salah satu faktor yang paling relevan adalah motivasi Wajib Pajak menyewa mereka dalam pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakannya. Hal ini tentunya karena jenis jasa yang diberikan oleh konsultan pajak biasanya dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan Wajib Pajak. Selain itu, konsultan pajak pun memperoleh imbalan dari Wajib Pajak yang menjadi kliennya. Dengan demikian, faktor pendorong Wajib Pajak menyewa konsultan pajak dapat dipastikan memberikan pengaruh terhadap peran yang dijalankannya. 

Di negara maju seperti Amerika Serikat (AS), Australia, dan negara-negara Eropa, sebagian besar laporan pajak (Surat Pemberitahuan/SPT) yang disampaikan oleh Wajib Pajak disiapkan oleh konsultan pajak. Oleh karena itu, tidak heran bahwa di negara-negara tersebut penelitian tentang peran konsultan pajak termasuk yang terkait dengan motivasi Wajib Pajak menyewa konsultan pajak pun telah banyak dilakukan. Penelitian terkait konsultan pajak dimaksud telah dimulai sejak dekade 1980-an dan berkembang pesat pada dekade 1990-an. Pelopor penelitian di bidang ini, antara lain adalah Slemrod dan Sorum (1984), Long dan Caudill (1987), Milliron (1988), dan Beck et al. (1989). 

Dari berbagai penelitian tersebut, secara umum ada empat motivasi utama Wajib Pajak menyewa konsultan pajak. Pertama, mereka bermaksud mematuhi ketentuan peraturan perundangan perpajakan. Kedua, Wajib Pajak berkeinginan untuk menghindari pengenaan sanksi perpajakan. Ketiga, mereka berusaha menurunkan risiko dilakukannya pemeriksaan pajak oleh otoritas pajak. Terakhir, Wajib Pajak menyewa konsultan pajak untuk mengurangi jumlah pembayaran pajak. 

Secara lebih spesifik, berdasarkan penelitian pada 1980-an, diketahui bahwa Wajib Pajak menganggap sistem perpajakan sebagai suatu hal yang kompleks, penuh dengan ketidakpastian dan ambiguitas. Untuk mengurangi ketidakpastian tersebut mereka kemudian menyewa konsultan pajak sehingga mereka dapat menyampaikan laporan pajak yang paling akurat. Temuan penelitian ini didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan pada dekade berikutnya, yakni pada tahun 1990-an. Hite et al. (1992) mengindikasikan bahwa 88% responden penelitian menyewa konsultan pajak agar SPT yang akan disampaikan disiapkan dengan benar.

Senada dengan hasil penelitian ini adalah penelitian di AS pada 1998 yang mengungkapkan bahwa 70% responden menyatakan mereka menyewa konsultan pajak karena ingin menyampaikan SPT yang benar dan akurat. Hasil penelitian ini dikonfirmasi oleh penelitian lain di Selandia Baru yang juga menyatakan bahwa Wajib Pajak menyewa konsultan pajak terutama untuk dapat menyampaikan SPT dengan akurat sesuai ketentuan perpajakan yang berlaku. Di samping itu, Hite dan McGill (1992) mengindikasikan bahwa Wajib Pajak lebih cenderung menginginkan rekomendasi yang konservatif dari konsultan pajak. Meskipun demikian, hal terakhir tampaknya bertentangan dengan hasil penelitan yang dilakukan Schisler (1995) yang mengindikasikan bahwa sikap konsultan lebih dipengaruhi oleh agresivitas dari klien. 

Motivasi berikutnya yang mendorong Wajib Pajak menyewa konsultan pajak adalah untuk menghindari terkenanya sanksi perpajakan. Penelitian di AS pada 1992 dan di Selandia Baru pada 1999 mengungkapkan bahwa motivasi utama lainnya dari Wajib Pajak menggunakan konsultan pajak adalah untuk mencegah pengenaan sanksi perpajakan. Klepper et al. (1991) juga menyatakan bahwa konsultan pajak dapat melakukan strukturisasi atau karakterisasi transaksi yang dapat meningkatkan penghasilan setelah pajak. Hal ini dilakukan dengan cara mengorganisasi transaksi sedemikian rupa sehingga sanksi perpajakan dapat diminimalisasi meskipun ketidakpatuhan yang dilakukan dapat dideteksi oleh otoritas pajak. 

Di samping itu, kurangnya informasi yang dimiliki oleh Wajib Pajak terkait masalah perpajakan dapat menyebabkan Wajib Pajak keliru dalam menerapkan suatu ketentuan. Kekeliruan tersebut meskipun mungkin benar-benar tidak disengaja tetapi tetap akan menimbulkan kemungkinan pengenaan sanksi perpajakan. Konsultan pajak yang disewa dapat menjadi sumber informasi bagi Wajib Pajak sehingga information asymmetry tersebut dapat dihilangkan yang kemudian sanksi perpajakan dapat dihindari. 

Selanjutnya, motivasi Wajib Pajak menyewa konsultan pajak adalah untuk menurunkan risiko pemeriksaan pajak. Penelitian oleh Hite dan Morrison (1987) mengungkapkan bahwa salah satu dari tiga motivasi utama Wajib Pajak menyewa konsultan pajak adalah untuk mengurangi resiko kemungkinan diaudit oleh otoritas pajak. Konsisten dengan hasil penelitian tersebut, Klepper et al. (1991) menyatakan bahwa klien menyewa konsultan pajak untuk menurunkan resiko pemeriksaan pajak. 

Hasil penelitian tersebut dikonfirmasi oleh penelitian pada 1992 oleh Hite et al. yang juga mengindikasikan bahwa 46% responden penelitian setuju bahwa menurunkan probabilitas dilakukannya pemeriksaan merupakan salah satu alasan utama mereka menyewa konsultan pajak. Beberapa tahun berikutnya, Tan (1999) juga melaporkan bahwa 48% responden penelitian saat ditanya tentang motivasi menyewa konsultan pajak menyatakan bahwa pengurangan kemungkinan pemeriksaan merupakan salah satu faktor yang utama. 

Meskipun kelihatannya bukan merupakan motivasi utama, mengurangi jumlah pembayaran pajak ternyata memang telah menjadi sebuah pendorong Wajib Pajak dalam menyewa konsultan pajak. Salah satu penelitian awal oleh Yankelovich (1984) mengindikasikan bahwa 13% responden berharap dengan menyewa konsultan pajak, Wajib Pajak akan mendapatkan pengurangan jumlah beban pajak yang harus dibayar. Collins et al. (1989) juga mengindikasikan bahwa 25% responden penelitian di AS memiliki motivasi untuk mengurangi beban pajak dengan menyewa konsultan pajak. Selain itu, Christensen (1992) juga melaporkan bahwa Wajib Pajak menginginkan konsultan untuk membantu mereka mengembangkan tax planning yang dapat meminimalisasi pajak. 

Tidak seperti di negara maju, di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, data statistik tentang penggunaan konsultan pajak oleh Wajib Pajak atau data mengenai berapa banyak SPT Wajib Pajak yang disiapkan oleh konsultan pajak sulit untuk didapatkan. Meskipun demikian, sejauh yang penulis ketahui, di Indonesia hampir seluruh Wajib Pajak besar, baik perusahaan maupun orang pribadi, telah menggunakan jasa konsultan pajak. Di samping itu, meningkatnya jumlah konsultan pajak dari tahun ke tahun juga menunjukkan besarnya permintaan atas jasa konsultan pajak. 

Di luar negeri, penelitian tentang konsultan pajak paling tidak sudah meliputi empat bidang, yaitu peran konsultan pajak, motivasi Wajib Pajak menggunakan konsultan pajak, faktor yang mempengaruhi konsultan pajak dalam memberikan rekomendasi, dan pengaruh konsultan pajak pada kepatuhan. Sayangnya, di Indonesia sangat sedikit atau mungkin bahkan belum ada penelitian yang mendalam serta komprehensif mengenai hal-hal tersebut. Padahal, dalam konteks self-assessment, peran konsultan pajak sangatlah penting. Wajib Pajak dalam sistem self-assessment telah diberikan kewenangan oleh negara untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan pajak-pajaknya sendiri. Untuk dapat melakukan hal tersebut Wajib Pajak dituntut untuk mengetahui dan memahami seluruh ketentuan peraturan perundangan perpajakan yang berlaku. 

Sementara itu, untuk mengetahui dan memahami ketentuan perpajakan secara komprehensif dan up to date bukan merupakan perkara yang mudah. Wajib Pajak tidak hanya memerlukan waktu yang cukup lama untuk dapat memahami ketentuan-ketentuan dengan baik tetapi juga perlu senantiasa memperbaharui informasi yang dimiliki. Hal ini tentunya karena ketentuan perpajakan dari waktu ke waktu terus berubah. Di sisi lain, Wajib Pajak pun harus mengurusi operasional bisnisnya dengan cermat. Oleh karena itu, konsultan pajak berperan untuk mengisi kebutuhan yang tercipta tersebut. 

Di bawah ini akan diuraikan motivasi Wajib Pajak menyewa konsultan pajak berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis saat menyusun desertasi doktoral di Australia. Perlu disampaikan bahwa motivasi-motivasi yang akan dijelaskan tersebut dilihat dari sudut pandang konsultan pajak profesional di Indonesia dan bukan dari sudut pandang Wajib Pajak. Oleh karena itu, diharapkan bahwa pandangan tersebut lebih objektif dan kredibel. 

Kurang kapasitas

Motivasi pertama dan utama dari Wajib Pajak menyewa konsultan pajak adalah karena mereka tidak memiliki kapasitas yang cukup untuk melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan. Ada tiga wilayah kapasitas yang dianggap oleh mereka kurang memadai. Pertama, Wajib Pajak menganggap bahwa mereka tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang perpajakan sehingga mereka merasa perlu untuk menyewa konsultan pajak. Kedua, Wajib Pajak memiliki pengetahuan yang memadai tapi tidak memiliki cukup waktu untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya karena lebih fokus terhadap bisnisnya. Ketiga, untuk Wajib Pajak Badan yang memiliki kompleksitas transaksi yang tinggi, kekurangan jumlah sumber daya manusia telah menjadi kendala yang mengharuskan mereka menggunakan konsultan pajak. 

Motivasi Wajib Pajak karena kekurangan kapasitas tampaknya bersesuaian dengan hasil penelitian di negara lain bahwa sistem perpajakan dianggap kompleks dan mengandung banyak hal yang ambigu. Wajib Pajak merasa perlu untuk menyewa konsultan pajak untuk meminimalisasi situasi dan kondisi tersebut melalui seseorang yang ahli di bidangnya, yakni konsultan pajak. Ketidakpastian dan ambiguitas tersebut dapat merupakan risiko yang harus diantisipasi oleh Wajib Pajak dan konsultan pajak merupakan sosok yang dianggap tepat untuk melakukan hal itu. 

Taat Aturan

Motivasi kedua bagi Wajib Pajak menyewa konsultan pajak adalah agar dapat mematuhi ketentuan peraturan perundangan perpajakan. Mereka menggunakan konsultan pajak dengan harapan dapat memberikan informasi yang cukup dan atau bantuan mekanikal yang baik dalam menyiapkan skema transaksi atau SPT sehingga sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan perpajakan. Meskipun motivasi ini di Indonesia berada di urutan kedua, tetapi tampaknya tetap merupakan salah satu alasan yang utama. Hal ini mengkonfirmasi hasil penelitian yang telah dilakukan di luar negeri, yakni bahwa Wajib Pajak menyewa konsultan pajak untuk dapat mematuhi ketentuan perpajakan yang berlaku. 

Secara khusus Wajib Pajak menyewa konsultan pajak untuk maksud ini berkaitan dengan proses penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan (PPh). Hal ini kemungkinan karena SPT tersebut dapat dianggap sebagai proxy bagi tingkat kepatuhan Wajib Pajak terhadap perpajakan. Wajib Pajak yang mampu menyampaikan SPT Tahunan PPh secara tepat waktu akan dianggap sebagai Wajib Pajak yang relatif patuh meskipun dalam batas kepatuhan formal. Ini tentunya tidak terlepas dari fakta bahwa kepatuhan material merupakan hal yang tidak mudah untuk diketahui karena harus melalui pemeriksaan. Sementara itu, Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) mengatur bahwa SPT Wajib Pajak apa pun isinya akan dianggap benar sepanjang otoritas pajak tidak mendapat data yang menyatakan sebaliknya.

Mitigasi Risiko

Wajib Pajak menyewa konsultan pajak dalam rangka memitigasi risiko perpajakan. Dengan menyewa konsultan pajak, diharapkan Wajib Pajak mendapatkan perhitungan yang tepat dan cermat mengenai risiko yang mungkin muncul dari sebuah transaksi yang akan dilakukan. Dengan kata lain, konsultan pajak diharapkan dapat memberikan pilihan strategi yang terbaik dari sisi perpajakan yang tidak harus dalam pengertian negatif. Misalnya, apakah dengan melakukan suatu transaksi tertentu akan menimbulkan beban pajak yang baru atau tidak. Terlebih dalam transaksi yang tergolong grey area, Wajib Pajak berharap konsultan pajak dapat mengukur kemungkinan risiko pajak yang muncul apabila transaksi tersebut dilaksanakan. 

Di samping itu, banyak Wajib Pajak yang menganggap bahwa pemeriksaan pajak yang dilakukan otoritas pajak mengandung risiko perpajakan yang tinggi. Hal ini karena pemeriksaan dapat menjadi pintu gerbang bagi terbukanya masalah-masalah perpajakan yang lain. Oleh karena itu, Wajib Pajak cenderung akan menyewa konsultan pajak dalam menangani pemeriksaan pajak. Dengan konsultan pajak, Waji Pajak berharap bahwa risiko pajak yang mungkin muncul akibat pemeriksaan dapat diantisipasi. Konsultan pajak diharapkan dapat menutup atau paling tidak melokalisasi permasalahan pajak yang timbul akibat pemeriksaan. 

Berbeda dengan hasil penelitian di luar negeri, Wajib Pajak di Indonesia tampaknya memberikan gambaran yang lebih umum tentang risiko perpajakan. Apabila di luar negeri Wajib Pajak secara ekplisit menyatakan bermaksud mengurangi kemungkinan pemeriksaan, maka di Indonesia Wajib Pajak cenderung bertujuan lebih umum, yaitu untuk memitigasi risiko perpajakan. Mitigasi risiko perpajakan mencakup tidak hanya atas pemeriksaan tetapi atas segala hal termasuk transaksi-transaksi bisnis mereka. 

Efisiensi

Motivasi lain dari wajib pajak menyewa konsultan pajak adalah untuk mengurangi jumlah pembayaran pajak. Tidak dapat disangkal bahwa Wajib Pajak menyewa konsultan pajak dengan harapan mendapatkan efisiensi pajak. Di samping itu, kinerja konsultan pajak pun dilihat oleh klien salah satunya adalah dari kemampuan mereka mengefisienkan pajak yang harus dibayar. Pengertian efisien di sini dapat berarti dua hal. Pertama, seluruh ketentuan perpajakan diikuti dengan benar sehingga tidak timbul risiko perpajakan, termasuk pengenaan sanksi. Kedua, konsultan pajak dapat memberikan alternatif perlakuan perpajakan yang aman dan paling rendah jumlah pajak yang harus dibayarnya saat menghadapi transaksi yang masuk ke dalam lingkup grey area. 

Meskipun demikian, tujuan untuk mengurangi pembayaran pajak tidak semata-mata didorong oleh keinginan memaksimalkan keuntungan dengan cara menghindari pajak. Wajib Pajak menyewa konsultan pajak agar dapat menggunakan semua fasilitas perpajakan yang tersedia dengan maksimal. Penggunaan fasilitas perpajakan tersebut dianggap dapat secara langsung memberikan tax saving. Di samping itu, Wajib Pajak berusaha mengurangi pembayaran pajak dengan menyewa konsultan pajak untuk menunda pengeluaran dana karena kebutuhan biaya operasional. Dana yang seharusnya untuk membayar pajak oleh Wajib Pajak dialokasikan untuk membiayai operasional bisnisnya. Mereka menyadari bahwa suatu saat aksi penundaan ini diketahui oleh otoritas pajak, misalnya melalui pemeriksaan pajak. Akan tetapi, mereka telah siap untuk menanggung risikonya. Mereka menganggap bahwa keberlangsungan bisnisnya merupakan hal yang harus diutamakan. 

Di samping empat motivasi utama tersebut, terdapat dua motivasi lain dari Wajib Pajak di Indonesia menyewa konsultan pajak. Pertama, Wajib Pajak menyewa konsultan pajak untuk mencegah tindakan sewenang- wenang dari petugas pajak. Tampaknya masih ada beberapa Wajib Pajak yang berpandangan bahwa petugas pajak kadang kala bertindak tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Oleh karena itu, mereka merasa perlu untuk menggunakan konsultan pajak yang dianggap dapat meminimalkan tindakan abusive dari petugas pajak dimaksud. Motivasi ini berkaitan dengan motivasi yang kedua, yaitu Wajib Pajak mencari perantara yang dapat menjembatani kepentingan mereka dengan otoritas pajak. Konsultan pajak dianggap merupakan sosok yang mampu melakukan hal itu karena memiliki jaringan yang luas dengan para petugas pajak dan mampu melokalisasi permasalahan pajak yang dihadapi oleh Wajib Pajak.

Diskusi 

Berdasarkan uraian di atas, tampak bahwa motivasi utama Wajib Pajak menyewa konsultan pajak di Indonesia berbeda dengan hasil penelitian di negara lain. Motivasi utama Wajib Pajak di luar negeri adalah untuk dapat menyampaikan SPT dengan benar dan akurat. Sementara itu, motivasi di Indonesia lebih didominasi oleh kurangnya kapasitas Wajib Pajak. Kekurangan kapasitas dapat merupakan hal yang faktual, dalam arti Wajib Pajak memang benar-benar kekurangan dalam hal pengetahuan, sumber daya manusia dan waktu, atau dapat juga karena persepsi Wajib Pajak terhadap tingkat kompleksitas sistem perpajakan. Hal yang terakhir tidak dapat dipungkiri karena sistem perpajakan di Indonesia tampaknya memang masih tergolong dalam kelompok yang harus diturunkan lagi tingkat kompleksitasnya. Di samping itu, hasil penelitian Deloitte menunjukkan bahwa sistem perpajakan di negara ini pun termasuk yang perlu dibenahi konsistensinya dan ditingkatkan predictability-nya. 

Di samping itu, Wajib Pajak di luar negeri kemungkinan memiliki tingkat pemahaman tentang perpajakan yang lebih tinggi dibandingkan Wajib Pajak di Indonesia. Hal ini tampak dari argumen mereka yang tidak memunculkan masalah kekurangan kapasitas sebagai faktor pendorong dalam menggunakan konsultan pajak. Kemungkinan lainnya adalah bahwa Wajib Pajak di Indonesia lebih senang kewajiban perpajakannya diserahkan kepada orang lain daripada dikerjakan sendiri. Hal ini tentu dapat dimaklumi karena penelitian yang telah dilakukan lebih banyak di negara-negara maju yang notabene masyarakatnya mungkin sudah lebih memahami hukum. 

Meskipun demikian, motivasi utama Wajib Pajak untuk menyewa konsultan pajak karena kurangnya kapasitas juga menunjukkan bahwa iklim hubungan antara Wajib Pajak dan konsultan pajak di Indonesia cukup sehat. Hal ini karena kebutuhan Wajib Pajak akan konsultan pajak didorong oleh ketidakmampuan mereka memenuhi kewajiban perpajakan. Berbeda halnya apabila Wajib Pajak menggunakan konsultan pajak karena menginginkan dilakukannya eksploitasi atas ketentuan perpajakan dalam rangka menurunkan jumlah pembayaran pajak seperti tax planning yang agresif misalnya. 

Berusaha mematuhi ketentuan peraturan perundangan perpajakan dengan baik dan benar telah menjadi motivasi utama yang pertama dari Wajib Pajak di luar negeri dan kedua di Indonesia. Hal ini dengan jelas mendukung kerangka berpikir bahwa sebagian besar Wajib Pajak bukanlah sosok yang egois dan rasional secara ekonomi sehingga selalu ingin menghindar pajak jika itu dianggap menguntungkan. Sebaliknya, mayoritas Wajib Pajak tampak merupakan warga masyarakat yang memiliki kesadaran bahwa membayar pajak merupakan sebuah keharusan. Hal ini bersesuaian dengan paradigma penelitian tentang kepatuhan pajak yang saat ini telah bergeser dari economic deterrence ke fiscal psychology. 

Motivasi Wajib Pajak menyewa konsultan pajak untuk memitigasi risiko perpajakan telah menjadi salah satu pendorong utama bagi Wajib Pajak baik di luar negeri maupun di Indonesia. Perbedaan yang terlihat adalah bahwa Wajib Pajak di luar negeri lebih berfokus pada memitigasi risiko kemungkinan diperiksa sedangkan Wajib Pajak di Indonesia lebih bersifat umum. Hal ini dapat menunjukkan bahwa Wajib Pajak di Indonesia memiliki kekhawatiran yang lebih luas terhadap perpajakan ketimbang Wajib Pajak di luar negeri. Setiap langkah bisnis dianggap memiliki risiko perpajakan yang harus diantisipasi oleh konsultan pajak. 

Menurunkan jumlah pembayaran pajak, meskipun berada di urutan paling bawah, telah secara nyata menjadi salah satu faktor pendorong Wajib Pajak menyewa konsultan pajak. Tidak dapat disangkal bahwa faktor efisiensi pembayaran pajak merupakan hal yang diharapkan oleh Wajib Pajak saat menyewa konsultan pajak. Bahkan, kinerja konsultan pajak di mata Wajib Pajak salah satunya diukur dari seberapa signifikan efisiensi pajak yang dapat ditawarkan. Meskipun demikian, sebagaimana diungkapkan di atas, penurunan jumlah pembayaran pajak tidak selalu karena Wajib Pajak ingin menghindari pembayaran pajak semata. Hal ini ternyata sering kali juga merupakan upaya penundaan saja karena masalah operasional bisnis Wajib Pajak. Di samping itu, motivasi untuk menurunkan pembayaran pajak juga dipengaruhi oleh karakter spesifik dari Wajib Pajak itu sendiri dan tidak dapat digeneralisasi. 

Rekomendasi 

Berbeda dengan di luar negeri, motivasi Wajib Pajak menggunakan konsultan pajak di Indonesia didominasi oleh faktor kurangnya kapasitas. Meskipun demikian, penggunaan konsultan pajak untuk dapat menyampaikan SPT dengan baik dan benar juga merupakan motivasi utama. Hal ini menunjukkan bahwa Wajib Pajak dalam menyewa konsultan pajak lebih didasari oleh hal yang positif, yakni mengarah kepada kepatuhan pajak. Kondisi ini dapat menjadi salah satu pertimbangan bagi otoritas pajak dalam menentukan paradigma kepatuhan mana yang sebaiknya digunakan, apakah lebih kepada economic deterrence atau behavioural cooperation. 

Pendekatan economic deterrence menekankan kepada pandangan bahwa Wajib Pajak merupakan sosok yang rasional secara ekonomi sehingga akan selalu berusaha untuk memaksimalkan keuntungan atau kekayaan. Mereka tidak segan-segan untuk melakukan pengelakan dan penghindaran pajak. Atas dasar ini, pendekatan yang dikedepankan dalam meningkatkan kepatuhan dilakukan melalui hal-hal yang bersifat pengawasan dan penegakan hukum. Sementara itu, behavioural cooperation didasari oleh kerangka berpikir bahwa Wajib Pajak memiliki kesadaran untuk melaksanakan kewajiban perpajakan dengan baik dan benar. Oleh karena itu, pendekatan untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak lebih ditekankan kepada pola kerja sama dan kemitraan. Pemberian edukasi, kemudahan pelaporan dan pembayaran, serta peningkatan tax morale merupakan bagian dari pendekatan yang dilakukan. 

Di sisi lain, hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian Wajib Pajak ternyata menyewa konsultan pajak juga untuk menurunkan jumlah pembayaran pajak. Meskipun motivasi ini tidak selalu didasari oleh keinginan untuk menghindar pajak, melainkan hanya berupa penundaan pembayaran pajak, tapi hal seperti ini tentu harus diantisipasi dengan baik. Otoritas pajak harus bekerja sama dengan konsultan pajak dalam memitigasi risiko ketidakpatuhan dimaksud. Hal ini penting karena konsultan pajak memegang peranan penting dalam sistem perpajakan. Dengan keahliannya mereka dapat mempengaruhi Wajib Pajak untuk menjadi patuh atau sebaliknya. Oleh karena itu, otoritas pajak sudah semestinya memberikan perhatian yang lebih memadai terhadap profesi tersebut.

*Ahmad Komara merupakan pegawai Direktorat Jenderal Pajak  yang menyandang gelar PhD Hukum Bisnis dari Curtin University dan Master of Arts in International Development Policy dari Duke University, Australia.   

**Artikel ini telah terbit di buku "Pajak 4.0"




Disclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.


Global Recognition
Global Recognition | Word Tax     Global Recognition | Word TP
Contact Us

Jakarta
MUC Building
Jl. TB Simatupang 15
Jakarta Selatan 12530

+6221-788-37-111 (Hunting)

+6221-788-37-666 (Fax)

Surabaya
Graha Pena 15th floor
Jl. Ahmad Yani 88
Surabaya 60231

 

Subscribe

For more updates and information, drop us an email or phone number.



© 2020. PT Multi Utama Consultindo. All Rights Reserved.