Reformulasi PTKP dan Mimpi Tax Ratio Tinggi
Meydawati
|
Thursday, 24 August 2017
“In terms of quantity, we need more employees. In terms of quality… How qualified are we?”
Kalimat itu dilontarkan Mantan Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Fuad Rahmany pada medio 2012, sebagai respons atas tren pencapaian penerimaan pajak yang jauh dari harapan. Pernyataan sekaligus pertanyaan Fuad itu menggambarkan kapasitas Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang belum mumpuni untuk bisa mencapai target penerimaan tinggi.
Dalam 10 tahun terakhir, baru sekali Pemerintah Indonesia berhasil mencapai target penerimaan pajak. Itu pun berkat program sunset policy yang sukses menyumbang kontribusi 15,2% terhadap surplus penerimaan pajak pada 2008. Tahun-tahun setelahnya, realisasi penerimaan pajak selalu lebih rendah dibandingkan dengan target. Alhasil, rasio pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) atau tax ratio menyusut dari 13,3% pada 2008 menjadi 10,3% pada akhir 2016.
Isunya bergeser saat ini. Bukan lagi soal kapasitas DJP yang terbatas dalam memungut pajak, melainkan lebih pada erosi basis pajak yang makin parah dan membuat tax ratio Indonesia semakin terjerembab.
Salah Hitung
Dalam beberapa kesempatan, Pemerintah menilai rendahnya tax ratio Indonesia dibandingkan dengan negara-negara tetangga lebih karena perbedaan cara perhitungan. Indonesia selama ini menghitung rasio pajak hanya berdasarkan penerimaan pajak yang diterima oleh Pemerintah Pusat. Sementara di banyak negara, tax ratio memperhitungkan semua iuran yang dibayarkan masyarakat mulai dari royalti, jaminan sosial, hingga pajak daerah.
Tentu hasilnya menjadi lain jika penghitungan rasio pajak Indonesia menggunakan best practice internasional. Mungkin ini pula yang menjadi dasar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjanjikan tax ratio tembus 16% pada 2019. Target pajak yang dinilai banyak kalangan terlalu ambisius dan bisa berdampak serius terhadap stabilitas ekonomi Indonesia jika terlalu dipaksakan.
Dapat disimpulkan bahwa sebenarnya ini hanya soal rumus penghitungan yang selama ini keliru digunakan. Kekeliruan yang lama dibiarkan dan baru dipermasalahkan atau mungkin baru disadari dalam beberapa tahun terakhir.
Kalau masalahnya sesederhana itu, seharusnya solusinya juga sederhana. Tinggal duduk bersama antara Pemerintah, parlemen, dan pemangku kepentingan terkait lainnya guna menyempurnakan formulasi penghitungan tax ratio.
Namun realitasnya tentu tidak semudah itu. Terlalu kompleks bicara soal pajak di Indonesia. Belum lagi bumbu-bumbu politik yang terlalu pedas dan kerap menambah rumit penyelesaian masalah. Terlalu banyak kepentingan sehingga tak jarang banyak hal penting yang justru terabaikan.
Dilema Daya Beli
Kemudian muncul gagasan dari Pemerintah untuk menyesuaikan besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dengan acuan Upah Minimum Provinsi (UMP). Wacana penerapan PTKP dengan sistem zonasi provinsi ini muncul setelah PTKP—yang naik dua kali dalam dua tahun terakhir—dianggap menggerus basis pajak secara signifikan.
Pada 2015, Pemerintah menaikkan batas PTKP dari Rp 24,3 juta per tahun menjadi Rp 36 juta per tahun. Besaran PTKP kemudian dinaikkan lagi pada 2016 menjadi Rp 54 juta per tahun. Berdasarkan kajian DJP, akibat dari kebijakan menaikkan dua kali PTKP dalam dua tahun terakhir, jumlah Wajib Pajak Orang Pribadi yang penghasilannya di bawah PTKP bertambah 3,6 juta orang. Alhasil, setoran Pajak Penghasilan (PPh) berkurang signifikan.
Perlu dicatat, hampir tidak ada tuntutan publik agar PTKP dinaikkan ketika kebijakan itu dirilis. Alasan Pemerintah saat itu murni untuk menaikkan daya beli yang efek positifnya akan meningkatkan penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Artinya, potensi PPh yang hilang seharusnya terkompensasi oleh setoran PPN yang meningkat.
Ibarat uang, yang seharusnya masuk dari kantong kanan tetapi memilih masuk lewat kantong kiri. Sebenarnya ini soal preferensi Pemerintah, mau memaksimalkan sumber penerimaan dari mana, PPh atau PPN. Idealnya, tentu semua jenis pajak bisa dimaksimalkan pemungutannya.
Anggaplah kebijakan PTKP dengan sistem zonasi mampu mengembalikan 3,6 juta Wajib Pajak yang sempat terdegradasi kembali membayar PPh. Plus meningkatnya basis pajak karena bertambahnya jumlah Wajib Pajak baru.
Sepintas argumentasi itu terlihat bagus dan adil, karena PTKP ditetapkan dengan mempertimbangkan komponen biaya hidup Wajib Pajak yang berbeda di setiap daerah. Namun tidak ideal juga kalau hanya basisnya UMP—yang nilainya lebih rendah dari PTKP.
Patut diingat, belum ada sejarah PTKP diturunkan di Indonesia. Kalaupun nantinya ada, harus dipertimbangkan dampak negatifnya terhadap penurunan daya beli masyarakat dan risiko berkurangnya penerimaan PPN. Belum lagi efek politik dan sosialnya yang dapat dipastikan akan sangat menguras energi.
Sebenarnya, penetapan PTKP berdasarkan keadaan keluarga (continuing exemption) yang selama ini berlaku di Indonesia sudah cukup baik. Tentu akan lebih baik lagi jika komponen biaya hidup Wajib Pajak diperhitungkan dalam menetapkan PTKP. Namun kurang tepat jika acuannya UMP, karena secara administrasi akan sangat merepotkan pemotong dan petugas pajak jika Wajib Pajak pindah domisili.
Menjaga Konsistensi
Pada hakikatnya, PTKP merupakan manifestasi dari asas equality (keadilan) dan equity (kepatutan), di mana pajak berlaku sama bagi setiap Wajib Pajak dan adil secara khusus untuk suatu kasus tertentu. Hal itu merupakan amanat Pasal 6 ayat (3) UU PPh, yang menyebutkan bahwa “kepada Orang Pribadi sebagai Wajib Pajak Dalam Negeri diberikan pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak...”
Sah-sah saja bagi Pemerintah jika ingin merumuskan ulang tax ratio dan PTKP, selama tidak melupakan persoalan yang paling esensial. Mulai dari tingkat kepatuhan Wajib Pajak yang rendah, tingginya aksi penghindaran pajak (tax avoidance), sistem dan administrasi perpajakan yang ketinggalan zaman, hingga sumber daya DJP yang terbatas.
Selanjutnya bukan lagi soal optimistis atau pesimistis, tetapi dengan kondisi seperti sekarang mungkin yang lebih tepat jika Pemerintah bersikap realistis. Terlebih di tengah ketidakpastian ekonomi yang menuntut konsistensi kebijakan.
*Versi singkat artikel ini telah terbit di Bisnis Indonesia, 24 Agustus 2017
Disclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.