Opinion
Tantangan Pajak 2020: Bukan Faktor Global Semata

Asep Munazat Zatnika | Saturday, 29 February 2020

Tantangan Pajak 2020: Bukan Faktor Global Semata

Dunia baru saja memasuki dekade baru, yang ditandai dengan pergantian tahun 2019 ke tahun 2020. Pasca krisis keuangan pada 2009, ekonomi dunia dalam sepuluh tahun terakhir dhadapkan pada sejumlah tantangan. Beberapa catatan penting selama periode 2010-2019 di antaranya, kebijakan Amerika Serikat (AS) melakukan normalisasi ekonomi melalui kebijakan Quantitative Easing (QE). Kebijakan yang berdampak besar terhadap negara-negara ekonomi berkembang, termasuk Indonesia. Kemudian, krisis politik di timur tengah yang memicu fluktuasi harga komoditas global juga menjadi sumber masalah lain. Terakhir, perang dagang antara AS dan China telah membuat limbung ekonomi negara-negara di dunia dan menyeretnya dalam situasi ketidakpastian dan perlambatan yang semakin dalam.  

Memasuki tahun 2020, sebagian dari tantangan itu masih dirasakan. Sejumlah Lembaga keuangan global, memprediksi ekonomi dunia akan tumbuh sedikit lebih baik pada tahun 2020. Optimisme yang selalu muncul di awal tahun, meski hasil akhirnya kerap meleset dari ekspektasi. Bank dunia, misalnya, dalam laporan yang dirilis pada Januari 2020 memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia akan tumbuh sebesar 2,5% atau lebih tinggi dari proyeksi tahun ini yang diperkirakan sebesar 2,4%. Dalam konteks proyeksi, selisih kenaikan hanya o,1% bukanlah gambaran optimisme Bank Dunia yang diharapkan banyak pihak. Sementara itu, Dana Moneter internasional (IMF) meramalkan pertumbuhan ekonomi dunia 3,3% pada 2020, lebih tinggi dari proyeksi pertumbuhan tahun lalu yang sebesar 2,9%. 

Prospek pertumbuhan ekonomi 2010, yang sejatinya kurang signifikan, setidaknya akan dihadapkan pada sejumlah tantangan yang patut diwaspadai. Gejolak geopolitik di Timur Tengah dan Amerika Selatan, serta isu perang dagang masih akan berpengaruh signifikan terhadap eskalasi perdagangan global. Karenanya, ancaman resesi menjadi perhatian sejumlah kalangan, terutama para pemerhati ekonomi.  

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Sejalan dengan proyeksi ekonoomi global, ekonomi Indonesia diperkirakan masih akan bertumbuh dan bahkan diyakini lebih baik dari tahun 2019, yang hanya tumbuh 5,02%. Dalam APBN 2020, target pertumbuhan ekonomi Indonesia disepakati pemerintah dan DPR di level 5,3%. Untuk mencapai target tersebut tentunya dengan beberapa catatan. Tidak cukup hanya mengandalkan pola kebijakan dan cara penyikapan ketidakpastian ekonomi seperti biasanya. Perlu terobosan dan formula kebijakan pemerintah yang lebih cakap lagi untuk merespon berbagai permasalahan ekonomi dan risiko ketidakpastian yang semakin sulit ditebak. Ketika aktivitas  perdagangan lesu dan ekspor sulit diandalkan, peranan investasi terhadap ekonomi nasional memang sudah seharusnya dioptimalkan.  

Pemerintah bukannya tanpa upaya, bahkan mungkin terlalu berlebihan. Berbagai insentif fiskal telah disiapkan dalam beberapa tahun terakhir, mulai dari tax allowance, tax holiday, hingga super deduction tax. Hambatan investasi yang berpusat dibirokrasi juga coba didobrak dengan menghilangkan layanan perizinan tatap muka menjadi lebih terpusat melalui satu akses daring yang bernama Online Single Submission (OSS). Semua itu—meski belum sepenuhnya optimal—merupakan bentuk komitmen pemerintah untuk menciptakan iklim kemudahan berusaha yang lebih berkeadilan. Harapannya, investasi bisa menjadi motor ekonomi baru—selain konsumsi swasta—yang bisa mengeluarkan Indonesia dari jebakan ekonomi berpendapatan menengah (middle income trap). Seperti kita tahu, ekonomi Indonesia relatif stagnan dalam beberapa tahun terakhir dengan tingkat pertumbuhan rata-rata hanya 5%.  

Namun, berbagai upaya untuk mendorong investasi tersebut bukannya tanpa risiko. Selalu ada yang dikorbankan dari obral insentif fiskal. Apalagi kalau bukan penerimaan negara dari pajak yang bakal tergerus signifikan dalam jangka pendek dan menengah. Relaksasi kebijakan investasi di satu sisi memang bertujuan meningkatkan geliat transaksi ekonomi Indonesia, yang pada gilirannya akan meningkatkan penerimaan pajak. Namun di sisi lain, menunggu sampai mimpi itu terwujud akan selalu ada fase memprihatinkan dari sisi keuangan negara akibat penerimaan pajak yang semakin menyusut. Kalau sumbangan pajak menurun maka defisit fiskal berpotensi melebar, yang untuk menutupnya biasanya dengan menarik utang.  

Hal itu sudah terlihat dari postur APBN 2019. Defisit anggaran yang awalnya direncanakan hanya 1,8% dari PDB, pada akhirnya membengkak menjadi 2,2% dari PDB di penghujung tahun. Pelebaran defisit APBN itu selaras dengan realisasi penerimaan pajak yang sebesar Rp 1.332,1 triliun atau mengalami kekurangan (shortfall) sebesar  Rp 245 triliun dari target yang seharusnya. Secara nominal setoran pajak memang meningkat 1,4% dibandingkan dengan relaisasi tahun 2018, namun level pertumbuhan tersebut merupakan yang terendah dalam satu dekade terakhir. 

Apabila ditelisik lebih dalam, sumbangan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) migas yang rendah menjadi penghambat pertumbuhan penerimaan pajak. Kedua jenis setoran pajak tersebut mencatatkan pertumbuhan negatif pada tahun 2019, masing-masing -0,8% dan -1,8%. Apalagi kalau bukan karena perlambatan ekonomi akibat lesunya aktivitas perdagangan, faktor harga komoditas yang rendah, serta tren penurunan produksi minyak dan gas Indonesia.  

Berkaitan dengan rendahnya penerimaan PPN dan PPnBM, selain karena pelambatan ekonomi, relaksasi kebijakan restitusi juga menjadi penggerus setoran. Sepanjang tahun 2019, pemerintah telah mencairkan restitusi untuk PPN dalam negeri sebesar Rp 102,14 triliun, melonjak 25,2% dari realisasi restitusi tahun sebelumnya. Tingginya restitusi merupakan dampak dari kebijakan pemerintah yang mempermudah permohonan restitusi pendahuluan. Fasilitas ini merupakan satu diantara sejumlah insentif pajak yang diberikan pada tahun 2019. 

Selain itu, pemerintah juga mempermudah  pemberian tax holiday dan tax allowance, serta keringanan pajak bagi perusahaan yang menyelenggarakan kegiatan pelatihan dan vokasi (superdeduction tax).  

Uraian 

(Rp triliun) 

2019 

2020 

APBN 

Realisasi 

APBN 

Penerimaan Pajak 

  1.577,56  

  1.332,10  

 1.642,60  

? 

Pajak Penghasilan 

     894,45  

     770,30  

     929,90  

? 

·         PPh Migas 

       66,50  

       59,10  

       57,40  

? 

·         PPh Nonmigas 

     828,29  

     711,20  

     872,50  

? 

PPN dan PPnBM 

     655,39  

     532,90  

     685,90  

? 

PBB 

       27,71  

       28,90  

       18,90  

Bea dan Cukai 

     208,82  

    213,27  

     223,10  

? 

Bea Masuk 

       38,90  

       37,45  

       40,00  

? 

Cukai 

     165,50  

     172,33  

     180,50  

? 

Bea Keluar 

          4,42  

         3,49  

          2,60  


Efek Bola Saju 

Perlu dicatat, kemudahan tax holiday dan superdeduction tax belum akan memberikan dampak signifikan terhadap penerimaan pajak dalam waktu dekat. Kebijakan ini juga baru efektif berlaku tahun 2019 sehingga belum banyak wajib pajak yang memanfaatkannya.  

Besar kemungkinan, dampak dari semua insentif itu terhadap penerimaan negara baru akan terasa pada 2020. Jadi tidak perlu kaget jika shortfall kembali terulang, terutama dari sisi potensi penerimaan PPh Badan yang bakal menguap signifikan. Ibarat “bola salju”, dampak dari obral insentif fiskal terhadap penerimaan negara yang berkurang akan terus menggelinding selama beberapa periode hingga ada momentum positif untuk membalikan keadaan.   

Dalam APBN 2020, target penerimaan pajak dipatok Rp1.642 triliun atau tumbuh 23% dari realisasi sementara tahun 2019—yang kembali meleset dari target APBN. Apabila mengacu pada pertumbuhan alamiah penerimaan pajak 8,4%—mengacu pada pertumbuhan ekonomi (5,3%) ditambah inflasi (3,1%)—maka perlu upaya ekstra dari pemerintah untuk mencapai target tersebut. Artinya masih ada ruang pertumbuhan sebesar 14,1% yang tidak cukup hanya ditutup dengan kebijakan intensifikasi dan ekstensifikasi yang konvensional. Lagi-lagi yang dibutuhkan adalah terobosan untuk mencari dan menggali sumber-sumber penerimaan pajak baru. Dan itu  bukan perkara mudah ditengah ancaman resesi global dan pelambatan ekonomi nasional.  

Memang ada harapan dari pertukaran informasi perpajakan, yang sudah berjalan efektif sejak tahun lalu. Namun, hal ini masih perlu waktu untuk menjadi sebuah potensi penerimaan negara karena data-data tersebut masih membutuhkan verifikasi lebih lanjut.  

Hal lainnya yang seharusnya bisa dioptimalkan otoritas pajak adalah potensi penerimaan dari transaksi digital, yang dalam beberapa tahun terakhir menunjukan pertumbuhan yang cukup signfikan. Hanya saja, hal ini menemui kendala dari sisi regulasi. Pemajakan atas transaksi digital, terutama atas penghasilan yang diterima perushaaan digital dari Indonesia masih sulit dilakakukan. Terlebih, belum ada kesepakatan diantara negara-negara atas mekanisme pemajakan transaksi digital lintas negara. Setidaknya, negara-negara di dunia dengan inisiasi dari OECD baru akan membuat konsensus atas pemajakan transaksi digtal pada tahun 2020. Sementara itu, Indonesia baru pada tahap merancang skema pemajakan transaksi digital yang masih akan dibahas bersama parlemen dalam dalam amandemen undang-undang perpajakan melalui skema Omnibus Law. Melaui Omnibus Law pula segala bentuk pemberian insentif perpajakan akan diberikan payung hukum yang lebih kuat demi menarik sebesar-besarnya investasi.  

Melihat besarnya porsi pajak terhadap penerimaan negara yang mencapai 68% pada tahun 2019, pemerintah tampaknya harus lebih berhati-hati dalam memberikan insentif. Terlebih, pemberian insentif fiskal selama ini belum menunjukan dampak yang signifikan terhadap investasi, jika tidak ingin dikatakan tidak optimal. Dalam hal ini neraca keuangan pemerintah akan menjadi pertaruhan. Jika setoran pajak berkurang maka peran stimulus belanja negara akan terganggu dan dampaknya terhadap perekonomian bisa negatif.  

Ada baiknya fokus pemerintah diarahkan pada pembangunan sistem perpajakan yang lebih modern. Jangan lupa, rasio pajak Indonesia yang rendah merupakan “Pekerjaan Rumah” pemerintah yang belum selesai sampai saat ini. Untuk itu, sudah waktunya sumber daya otoritas pajak dikerahkan untuk membangun sistem perpajakan yang lebih melayani (bukan menghakimi) dan lebih memudahkan (bukan menyusahkan). (AGS)



Disclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.

Related


Global Recognition
Global Recognition | Word Tax     Global Recognition | Word TP
Contact Us

Jakarta
MUC Building
Jl. TB Simatupang 15
Jakarta Selatan 12530

+6221-788-37-111 (Hunting)

+6221-788-37-666 (Fax)

Surabaya
Graha Pena 15th floor
Jl. Ahmad Yani 88
Surabaya 60231

+6231-828-42-56 (Hunting)

+6231-828-38-84 (Fax)

Subscribe

For more updates and information, drop us an email or phone number.



© 2020. PT Multi Utama Consultindo. All Rights Reserved.