Revisi RUU PDRD: Pemerintah Pusat Bisa Intervensi Tarif
Friday, 27 April 2018
JAKARTA. Pemerintah pusat akan diberi kewenangan untuk mengintervensi tarif pajak daerah terhadap seluruh jenis pajak daerah melalui peraturan presiden (Perpres).
Kewenangan intervensi tersebut tengah dibahas dalam rumusan perubahan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Intervensi diperlukan sebagai langkah untuk meminimalkan biaya dan administrasi pajak daerah.
Boediarso Teguh Widodo, Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan, mengatakan bahwa selain meminimalkan biaya, skema ini perlu diterapkan untuk menguatkan pengawasan dan pengendalian terhadap berbagai bentuk pungutan di daerah dalam rangka pengendalian fiskal nasional.
"kami telah melakukan rapat pembahasan termasuk menghimpun masukan bersama dengan pemda, asosiasi pengusaha, dan Kementerian Dalam Negeri ," kata Boediarso, Rabu (25/4).
Proses pembahasan revisi UU PDRD sudah lama bergulir baik di internal maupun eksternal otoritas fiskal. Terhitung sejak 2016, Kementerian Keuangan bersama dengan tim ahli telah membahas rumusan naskah akademik dan draf undang-undang PDRD.
Pemerintah juga terus berkomunikasi dengan pihak terkait untuk mematangkan draf undang-undang tersebut. Tahun lalu misalnya, bersama dengan ahli dari luar negeri yang juga dihadiri pemerintah daerah dan para pelaku usaha, Kemenkeu telah menerima masukan terkait perubahan undang-undang tersebut.
Adapun selain melalui intervensi tarif, upaya untuk meminimalkan beban berusaha juga dilakukan dengan merasionalisasi retribusi daerah yang semula berjumlah 32 jenis menjadi 9 jenis, beberapa jenis retribusi yang dirasionalisasi misalnya retribusi izin gangguan, izin tempat penjualan minuman beralkohol, biaya cetak KTP dan catatan sipil, hingga pengujian kendaraan bermotor.
Dari sisi pajak daerah, otoritas fiskal juga tengah melakukan restrukturisasi pajak daerah dengan mengelompokkan jenis pajak sesuai dengan karakteristiknya atau dengan kata lain penyederhanaan jenis pajak. Restrukturisasi pajak daerah ini juga ditujukan untuk mengurangi biaya penyusunan peraturan daerah (perda), biaya administrasi pemungutan dan pemenuhan perpajakan bagi wajib pajak (WP).
"Penguatan administrasi ini mencakup ketentuan umum perpajakan daerah yang lebih rinci, mengatur joint audit, pertukaran data, mengatur soal pasal gugatan, dan penetapan jenis pajak baik self assessment maupun official assessment," jelasnya.
Tak hanya penyederhanaan mengenai mekanisme pemungutan pajak dan retribusi, UU tersebut juga akan mengubah skema pemberian insentif. Skema insentif menurut Boediarso diubah dari semula berdasarkan target dan realisasi menjadi pencapaian realisasi dibandingkan dengan potensinya.
"Termasuk dalam hal ini adalah penyelesaian tunggakan pajak, peningkatan kualitas pelayanan pajak dan pencapaian target penjaringan WP Baru," imbuh Boediarso.
Catatan Kementerian Keuangan menunjukkan sejak berlakunya Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), yang memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah dalam perpajakan, penerimaan PDRD setiap tahun terus meningkat dari Rp63,9 triliun pada 2010 menjadi Rp165,8 triliun pada 2016, dan jumlah ini naik menjadi Rp177,8 triliun pada 2017.
Peningkatan penerimaan PDRD tersebut telah berhasil meningkatkan peranan penerimaan PAD dalam pendanaan APBD secara nasional dari 14,2% dalam 2010 menjadi 23,1% pada 2017.
Meski demikian, peranan PDRD terhadap PAD relatif berbeda antara provinsi dan kabupaten/kota. Berdasarkan data 2016, kontribusi PDRD provinsi terhadap PAD provinsi relatif cukup besar, yaitu mencapai sekitar 81,3%, tetapi kontribusi PAD provinsi terhadap pendanaan APBD provinsi baru mencapai 48,3%.
Bisnis Indonesia