Menebak Arah Reformasi & Resolusi Pajak Dalam Kendali Robert Pakpahan
Tuesday, 02 January 2018
Menjelang pergantian tahun 2017, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memiliki pemimpin baru, yang sejatinya merupakan tokoh lama di instansi tersebut. Adalah Robert Pakpahan, mantan Direktur Jenderal Pembiayaan dan Pengelolan Risiko (DJPPR), yang sebelumnya mengabdi sebagai fiskus di DJP selama lebih dari tiga dekade (35 tahun). Robert diminta pulang ke DJP oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati untuk menduduki kursi kosong yang ditinggal Ken Dwijugisteadi pensiun.
Setumpuk “Pekerjaan Rumah” sudah menunggu Robert. Selain memastikan penerimaan pajak di tahun-tahun mendatang aman (mencapai target), ia juga dituntut untuk membawa soft landing DJP di penghujung tahun 2017.
Yakni dengan memperkecil potensi shortfall pajak atau paling tidak menjaga pelebaran defisit anggaran negara tidak terlalu besar, alih-alih mencapai target pajak di APBNP 2017 yang mustahil tercapai di sisa waktu sebulan.
Lebih dari itu, Robert juga memiliki tugas penting lain, selain masalah penerimaan pajak yang selalu meleset dari target. Menteri Keuangan dalam sambutan pelantikannya menekankan kepada Robert agar DJP menjaga suasana investasi dan kegiatan ekonomi tetap kondusif. Intinya, kebijakan pajak jangan sampai menghambat atau mengurangi akselerasi ekonomi.
Di hadapan para pengusaha, dalam sebuah forum dialog yang diselenggarakan Kamar Dagang Industru Indonesia (KADIN) dan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) pada Rabu (20/12/2017), Robert Pakpahan mencurahkan pemikiran dan mengungkapkan berbagai strateginya untuk menjawab tantangan reformasi pajak di masa depan. Berikut nukilan pernyataannya:
Anda menjabat sebagai Direktur Jenderal Pajak sebulan sebelum tutup tahun 2017. Sebelum bicara mengenai arah kebijakan, bagaimana pandangan Anda mengenai kondisi dan kinerja pajak pada tahun lalu?
Bisa kita lihat target penerimaan DJP Rp 1.283 triliun di APBNP 2017 dan telah terealisasi Rp1.058,41 triliun hingga 15 Desember 2017. Angka ini kalau dilihat pertumbuhannya dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu tumbuh 3,87%.
Tetapi perlu dicatat, tahun lalu itu ada penerimaan dari pengampunan pajak lebih dari Rp100 triliun. Jadi, (realisasi tahun) ini cukup menggembirakan, secara total positif. Kalau dibandingkan dengan target itu 82,46%.
Kalau tanpa memperhitungkan uang tebusan tax amnesty dan pajak penghasilan atas revaluasi aset, realisasi penerimaan pajak tahun 2016 sebesar Rp516 triliun. Ini hanya mencoba menggambarkan, kalau kita netralkan, apple to apple, sebenernya penerimaan PPh tahun 2017 tumbuh 16,08% dan PPN tumbuh 16,52%, sehingga overall penerimaan pajak tumbuh 15,57% dan itu menunjukan perbaikan kinerja yang didorong oleh pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kepatuhan wajib pajak.
Apakah pertumbuhan penerimaan pajak itu sudah mencerminkan kondisi fundamentalnya?
Pertumbuhan ini adalah sesuatu yang cukup impresif menurut pandangan kami, karena ekonomi kita pertumbuhannya secara riil hanya 5,1% dengan inflasi 3,6%. Sektor utama yang tumbuh postif, kalau kita lihat per sektor industri: penerimaan pajak dari sektor industri pengolahan tumbuh 15,2%, pajak dari sektor perdagangan tumbuh 20,4%, dan jasa keuangan tumbuh 7,7%.
Coba kita lihat industri pengolahan, growth Pendapatan Domestik Bruto (PDB) sampai dengan kuartal III 2017 tumbuh 4,2%, tetapi penerimaan pajaknya tumbuh 15,2%. Sangat bagus. PDB sektor perdagangan tumbuhnya 4,8%, tetapi penerimaan pajaknya tumbuh 20,4% atau lebih tinggi dari pertumbuhan sektoralnya. Sementara yang paling bagus itu sektor pertambangan. PDB sektor pertambangan tumbuh 1,1%, tapi penerimaan pajaknya tumbuh 41,8%.
Kemudian kalau kita lihat per jenis pajak, supaya kita bisa melihat hubungan antara penerimaan pajak dengan denyut ekonomi, PPh pasal 21 tumbuh 7,45% dari tahun lalu (2016) (sebesar) -3,73%. Ini kan PPh yang dibayarkan dari gaji karyawan, menunjukan adanya aktivitas (bisnis). PPh pasal 22 impor tumbuh 14,69%, sedangkan tahun lalu itu -7,18%. Artinya, perdagangan internasional indonesia sekarang positif, di mana ekspor minus impor sudah postif.
Yang paling impresif adalah PPh orang pribadi tumbuh 46,78%, tahun lalu -18,67%. Ini karena peningkatan kepatuhan orang pribadi, dampak dari pengampunan pajak. Pajak Penghasilan (PPh) badan juga tumbuh 18,03%, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dalam negeri 13,78%, PPN impor 22,09%. Jadi, banyak gambaran yang bagus kalau dilihat dari pos-pos penerimaan pajak. Ini menunjukan kegiatan ekonomi kita tidak jelek-jelek amat.
Berdasarkan realisasi dan fakta kondisi perpajakan yang Anda jelaskan, apa rencana dan strategi DJP ke depan?
Saya menjabat sebagai Dirjen Pajak sejak 2-3 minggu lalu. Yang kami paparkan ini masih bersifat highlight, masih secara global. Pertama, langkah kami untuk meningkatkan penerimaan adalah dengan melaksanakan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2017 yang telah ditandatangani oleh presiden. Ini adalah pengenaan PPh atas penghasilan tertentu berupa harta bersih yang dianggap sebagai penghasilan. Sebelum menjadi Dirjen Pajak saya sudah mendengar banyak kebingungan mengenai aturan ini.
Pada dasarnya PP 36 adalah turunan dari UU Pengampunan Pajak. UU pengampunan pajak juga memberikan pemutihan kepada harta yang belum dilaporkan ke dalam sistem perpajakan, dengan tarif yang murah 2%, 3% dan 5%. Selain itu, ada pasal di UU tersebut yang mengatakan, setelah pemutihan apabila fiskus menemukan ada wajib pajak yang belum melaporkan semua hartanya, maka dia dikenakan tariff normal ditambah denda 200%. Pasal ini untuk mendorong supaya orang patuh men-declare seluruh hartanya. Hal ini berlaku bagi mereka yang belum melaporkan seluruh hartanya, baik yang telah ikut tax amnesty maupun yang tidak ikut tax amnesty. Saya perlu menggaris bawahkan, bagi Wajib Pajak yang sudah melaporkan hartanya di SPT, baik yang ikut tax amnesty maupun tidak, tidak perlu menghiraukan PP 36 ini. Ini hanya bagi mereka yang belum melaporkan dan apabila ditemukan atau hanya ditemukan oleh fiskus.
Banyak pihak menilai PP Nomor 36 Tahun 2017 bertentangan dengan semangat UU Tax Amnesty, terutama perihal kewenangan otoritas dalam menilai kembali aset yang diungkap dalam tax amnesty. Bagaimana tanggapan Anda?
Nanti saya akan bicara lagi dari aspek legalnya, apakah memang bertentangan atau tidak. Nanti saya coba diskusikan kembali.
Terkait kebijakan pengungkapan aset sukarela dengan tarif pajak final, banyak wajib pajak yang masih bingung dengan kebijakan ini dan menganggapnya sebagai tax amnesty jilid II. Bagaimana penjelasan Bapak?
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 165/PMK.03/2017 kami sebut dengan istilah Pengungkapan Aset Sukarela dengan Tarif Final atau PASFINAL. Aturan ini merupakan kelanjutan dari tax amnesty dan juga pelaksanaan dari PP Nomor 36 Tahun 2017. Jadi kalau wajib pajak memiliki harta, belum ditemukan dan belum di tax amnesty tetapi secara sukarela datang dan mengungkapkan, akan mendapat tarif pajak normal. Pemerintah menjamin tidak ada denda.
Jadi ini sebenernya opsi yang lain, penawaran yang cukup baik dari pemerintah. Sebelum ditemukan pemerintah, kalau (wajib pajak) mau voluntarily bisa saja harta tersebut subject to normal rate. Kemudian nanti sanksi dendanya semua dijamin dihapus. Jadi ini offering dari pemerintah cukup bagus, meskipun sedikit meng-create confused karena ada duality terhadap pengampunan pajak. Ini berlaku selamanya, sampai sebelum atau sepanjang surat perintah pemeriksaan belum diterbitkan oleh DJP.
Bagaimana dengan Automatic Exchange of Information (AEoI)? Apa komitmen Anda untuk memastikan pertukaran informasi keuangan untuk perpajakan berjalan sesuai tujuannya?
Ini merupakan salah satu hal yang akan mempengaruhi langkah kami di tahun 2018 dan going forward. Yaitu, UU Nomor 9 tahun 2017, yang tadinya berupa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan. Dunia saat ini sedang bergerak kepada keterbukaan informasi keuangan. AEoI tidak bisa dihindari, maka pemerintah mengambil langkah ini dan mengusulkan ke DPR, sah menjadi UU. DJP akan mempunyai akses otomatis dari lembaga keuangan di Indonesia maupun dari luar negeri mulai tahun 2018.
Tepatnya, mulai April 2018 untuk penyerahan data keuangan dari institusi keuangan domestik ke DJP, dengan batasan nilai rekening di bawah Rp1 miliar, secara otomatis masuk ke DJP. Namun yang tidak secara otomatis bisa juga dipergunakan by request. Kemudian bulan September 2018, AEoI dari institusi keuangan luar negeri, atas aset warga negara indonesia otomatis juga akan dikirim ke kita.
Kami sedang mempersiapkan diri bagaimana menyiapkan tata kelola. Pertama, (tata kelola) supaya masuknya data as soon as possible melalui gateway yang rapih. Kemudian tata kelola di dalam akan kami pastikan terkelola dengan baik dengan sistem informasi, karena ini harus ditangani secara otomatis atau tidak lagi ditangani secara manual. Kami tidak membayangkan data ini datangnya satu, dua, ini jutaan datanya.
Wajib pajak kita ada 33 juta, data itu pasti jutaan dari sektor keuangan. Ini kami pastikan akan kami bangun sistem yang baik, sehingga data masuk secara proper dikelola dan dipastikan ditindaklanjuti tidak ada abuse oleh aparat perpajakan. Jadi, ini juga kebijakan yang akan mempengaruhi kami bekerja di tahun 2018. Di samping data keuangan, juga ada data-data yang lain yang kami akan perlakukan sama.
Salah satu tantangan besar yang dihadapi Bapak sebagai Dirjen Pajak adalah menuntaskan reformasi perpajakan. Apa langkah bapak ke depan dengan agenda ini?
Kami akan melakukan reformasi yang sifatnya administratif yang akan kami kerjakan sendiri. Saya sendiri akan mengetuainya (tim reformasi pajak) mulai Januari 2018. (Selama ini ketua tim pelaksana reformasi pajak diketuai oleh Staf Ahli Menteri Keuangan Suryo Utomo).
Ada lima pilar yang akan kami reformasi dan improve di DJP. Pertama, organisasi yang selalu berkembang. Wajib pajaknya tambah makin banyak dan bukan hanya itu juga, sebetulnya struktur ekonomi juga berubah. Ada digital era, e-commerce, yang bisnis modelnya bingung, perlakuan pajaknya tidak ada di aturannya. Sehinga kita merasa lingkungan ini berubah, organisasi juga perlu dipersiapkan perubahannya, misalnya apakah e-commerce juga perlu ada dedicated office, itu juga yang kami pikirkan di dalam menyesuaikan perkembangan ekonomi di lingkungannya.
Sumber Daya Manusia (SDM) akan kami tambah dan kapasitasnya juga akan kami perbaiki. Teknologi informasi sangat kritikal, juga akan kita perbaki. Karena lagi-lagi sekarang ini DJP menggunakan Sistem Informasi (SI) DJP, yang sistem utamanya tergolong cukup tua sehingga agak lambat. Tetapi kami bantu dengan aplikasi satelit disekitarnya untuk membantu analisis dan sebagainya. Sudah waktunya untuk diganti dengan sistem integrasi yang baru itu yang sedang di-procure. Proses bisnis juga beberapa ada yang kita perbaiki.
Bagaimana dengan proses bisnis DJP, apa saja yang akan diperkuat?
Khusus untuk proses bisnis, ini yang kritikal. Proses bisnis perpajakan itu kan ada dua rumpun. Satu, rumpun yang sifatnya pelayanan. Apakah itu untuk menjawab wajib pajak, apakah untuk mendaftarkan wajib pajak, masalah pembayaran, penerimaan laporan SPT, e-filing. Itu adalah proses bisnis yang sifatnya pelayanan. Ini sudah banyak perbaikan di DJP, ada e-filing, sistem informasi menyediakan hal tersebut. Tetapi kami pikir masih banyak ruang yang bisa diperbaiki, karena masih banyak keluhan dari wajib pajak yang tidak mengerti bagaimana mengisi SPT, formulir mana yang mau dipakai. Mau setor suratnya yang mana, mau nanya kemana. Jadi, saya juga bisa merasakan hal tersebut. Mungkin itu yang akan kami lakukan besok, dan kami bersedia untuk menampung masukan-masukan. Tetapi proses bisnis dalam rumpun pelayanan akan kami coba attack bagaimana meng-improve pelayanan sehingga bagaimana membayar, melapor, mendaftar, bertanya itu sesuatu yang mudah dilakukan. Dan kita tidak perlu dikhawatirkan oleh wajib pajak.
Proses bisnis yang kedua adalah pengawasan. Pengawasan, karena ini sistem self-assessment maka harus di counter check oleh DJP untuk memastikan yang disampaikan adalah benar, meskipun tidak 100%. Pengawasan itu ada berbagai layer. Dari mulai pengawasan oleh Account Representative, melakukan pengawasan sendiri, mencari data, profiling, itu pengawasan yang soft di level yang pertama. Itu juga masih banyak ruang untuk dilakukan perbaikan proses bisnis untuk memastikan adanya Quality Assurance.
Kemudian pemeriksaan, itu juga masuk di dalam rumpun pengawasan. Ini banyak ruang yang akan kita address. Banyak isu di sini mengenai kualitas pemeriksaan. Apakah wajib pajak mendapat kesempatan yang penuh untuk menyampaikan keluhannya? Apakah pemeriksaan dilakukan secara transparan? Apakah seseorang dipilih untuk diperiksa itu betul-betul berdasarkan kriteria yang sudah mapan atau menghindari seseorang yang sudah patuh terperiksa? Ini ruang yang akan kami perbaiki untuk memperbaiki proses pemeriksaan. Ada juga proses bisnis penyidikan dan lain sebagainya.
Jadi, banyak yang kami pikirkan diproses ini yang akan kita address. Untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan juga meningkatkan kualitas pengawasan.
Terakhir, apa hal penting lain yang perlu dibenahi dalam kaitannya dengan reformasi internal DJP?
Critical point-nya mengenai pengembangan Informasi Teknologi yang sophisticated. Karena merupakan core tax system untuk membantu proses-proses kita. Pengelolaan akses data juga sangat penting. Tata kelola (yang dilakukan dengan) menyeimbangkan pelayanan dan pengawasan agar DJP lebih adil dan lebih andal. Ini yang utamanya secara highlight yang kami pikirkan, yang akan kami kerjakan bersama tim kami di DJP juga bersama staf ahli Kementerian Keuangan dibantu oleh beberapa pihak, tentu dengan berdialog dengan publik. Menerima masukan adalah sesuatu yang wajib kami lakukan dari waktu ke waktu untuk menemukan sistem perpajakan yang baik di republik ini. (ASP)
https://mucglobal.com/upload/taxguide/files/TaxGuide2018-11-Indonesia.pdfDisclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.