Pada 4 Februari 2022, terbit Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Jaminan Hari Tua. Peraturan ini sekaligus mencabut Permenaker Nomor 19 Tahun 2015 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua.
Jaminan Hari Tua (JHT) adalah manfaat uang tunai yang dibayarkan sekaligus pada saat peserta memasuki usia pensiun, meninggal dunia, atau mengalami cacat total tetap. Pesertanya adalah setiap orang, termasuk orang asing, yang bekerja paling singkat enam bulan di Indonesia dan telah membayar iuran.
Sebelumnya, blue collar worker bisa dengan mudah mencairkan manfaat JHT dengan datang ke kantor BPJS Ketenagakerjaan atau memprosesnya secara daring, ketika berhenti bekerja atau kena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Namun, di aturan terbaru yang berlaku mulai April 2022, ditegaskan bahwa manfaat JHT baru bisa dicairkan pada saat peserta mencapai usia 56 tahun atau memasuki masa pension. Ketentuan ini berlaku pula dalam kondisi yang bersangkutan berhenti bekerja karena alasan mengundurkan diri; terkena PHK; dan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.
Alhasil, para mantan pekerja formal harus berlapang dada dan bersabar menanti hingga usia pensiun 56 tahun untuk bisa menggunakan simpanan JHT-nya. Kecuali, mantan pekerja mengalami cacat total—dibuktikan dengan surat keterangan dokter pemeriksa dan/atau dokter penasihat, bisa mencairkan manfaat JHT tanpa harus menunggu usia pensiun.
Sementara bagi peserta yang meninggal dunia, ahli waris dapat mengklaim manfaat JHT yang bersangkutan dengan melampirkan berkas-berkas yang dipersayaratkan sebagai berikut:
- Kartu Peserta BPJS Ketenagakerjaan,
- Surat keterangan kematian dari dokter atau pejabat yang berwenang,
- Surat keterangan ahli waris dari pejabat yang berwenang atau surat penetapan ahli waris dari pengadilan,
- Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau bukti identitas lain dari ahli waris; dan
- Kartu keluarga.
Apabila tidak ada dokumen pendukung tersebut, ahli waris bisa kehilangan manfaat JHT nya dan manfaat JHT dikembalikan ke Balai Harta Peninggalan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kebijakan Menteri Tenaga Kerja ini kemudian menuai protes dari para pekerja dan pengamat sosial karena dianggap tidak pro pekerja. Mereka beragumen manfaat JHT merupakan hak pekerja yang digunakan sebagai modal usaha atau untuk memperpanjang hidup keluarga selama menganggur atau mencari pekerjaan baru.
Ada pula yang menduga, kebijakan ini terbit demi menyelamatkan neraca keuangan BPJS Ketenagakerjaan yang terancam krisis di tengah masifnya PHK dan maraknya klaim JHT dalam beberapa tahun terakhir. Sampai tulisan ini terbit, petisi penolakan atas kebijakan baru Kemenaker ini semakin deras berkumandang di berbagai media sosial.
Namun, ada juga pihak-pihak yang memaklumi kebijakan Menaker baru ini. Menurutnya, ketentuan JHT yang baru mengajarkan pekerja untuk lebih bersabar hingga masuk masa pensiun. Dengan harapan, semoga kesabaran tersebut dapat berbuah senyum di hari pensiun kelak. Tentu saja jika pekerja yang bersangkutan berumur panjang. Pertanyaannya, senyum siapa yang akan merekah? BPJS Ketenagakerjaan atau pesertanya? Sekedar catatan, tidak ada yang bisa menebak umur sesorang selain Yang Maha Kuasa.
*Penulis Kiki Amarully Utami, Partner MUC Attorney at Law
*Artikel ini telah terbit di Kumparan.com, 14 Februari 2022