Exclusive Interview
Suryo Utomo: Tarik Pajak Tanpa Kegaduhan!

Thursday, 09 November 2017

Suryo Utomo: Tarik Pajak Tanpa Kegaduhan!

Reformasi bukan sekedar frasa yang selalu diucap ulang ketika terjadi perubahan kebijakan. Melainkan sebuah keharusan untuk dapat menyesuaikan dengan tuntutan zaman. Pun demikian dengan sistem perpajakan Indonesia, yang masih dirasa belum sempurna, meski telah berkali-kali disempurnakan. 

Ibarat lomba lari, tongkat estafet reformasi perpajakan tidak boleh berhenti. Ini merupakan komitmen yang harus dijaga dan dilakukan secara terus menerus lintas generasi. Hal ini ditekankan Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak sekaligus Ketua Tim Pelaksana Reformasi Perpajakan, Suryo Utomo dalam sebuah seminar memperingati Hari Oeang ke-71. Berikut nukilan pernyataan lengkap beliau: 

Bagaimana perkembangan reformasi perpajakan? 

Reformasi adalah bukan sesuatu yang selesai dalam satu waktu tertentu. Sebab, reformasi perpajakan adalah suatu aktivitas yang bergulir dari masa ke masa. Seperti halnya kita, manusia yang setiap hari selalu memperbaiki diri. Demikian juga dengan institusi perpajakan yang setiap hari harus memperbaiki diri. Karena dengan institusi yang lebih baik, berinteraksi dengan wajib pajak akan lebih baik, dan pada akhirnya kita akan memperoleh penerimaan. 

Kalau kita sudah gandengan dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), dengan kementerian atau lembaga yang lain, saya pikir penerimaan pajak bukan sesuatu yang mustahil untuk ditingkatkan. Tapi sekarang bagaimana kita bisa bergandengan? Kita menghormati hak dari masing-masing pihak untuk menjalankan tugas dan fungsinya masing-masing. Kami memiliki tugas mengumpulkan penerimaan negara dengan tidak menimbulkan kegaduhan, dengan memberikan sebaik mungkin pelayanan kepada wajib pajak untuk melaksanakan kewajiban perpajakan. 

Apa yang dipersiapkan untuk menyukseskan reformasi perpajakan?

Sedikit flashback ke tahun 2016 dan 2017. Dalam dua tahun terakhir, ada sesuatu yang bergerak dan mengalami dinamika mengenai kebijakan perpajakan. Pertama, adanya program pengampunan pajak, di mana kita melakukan rekonsiliasi antara institusi negara dengan wajib pajak dengan lahirnya UU Pengampunan Pajak, yang berjalan dalam sembilan bulan dan berakhir di bulan Maret 2017. Hasilnya patut kita apresiasi. Bahwa, hal-hal yang selama ini belum muncul ke permukaan, menjadi muncul ke permukaan. Itu memang yang menjadi spirit UU Pengampunan Pajak. Jadi kita rekonsiliasi, kita sama-sama menunjukan bahwa kita berawal dari sesuatu yang sama. 

UU pengampunan pajak ini memiliki tujuan untuk mereformasi sistem administrasi perpajakan yang lebih berkeadilan. Dengan rekonsiliasi kita sudah memberikan kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk ke depan kita sama-sama melakukan kewajiban perpajakan. Jadi ground zero-nya adalah di UU pengampunan pajak. 

Pada akhir tahun 2016 ada yang namanya Tim Reformasi Perpajakan, yang  fokus terhadap beberapa permasalahan seperti SDM, proses bisnis, dan juga mengenai sistem administrasi dan regulasi. [Mereka] memetakan mana-mana yang harus dilakukan penyesuaian, perbaikan. Tujuannya itu tadi, untuk kemudian kita meletakan posisi Tax Amnesty sebagai basis untuk kewajiban perpajakan. Di samping kita juga harus memperbaiki menajemen. 

Kemudian, bagaimana kita bisa mendapatkan akses informasi melalui UU No.9 tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan dan juga pelaksanaan UU Pengampunan Pajak, PP Nomor 36 Tahun 2017. Itu adalah suatu paket kebijakan yang memang diimplementasikan sejak tahun 2016. Jadi sangat erat kaitannya dengan bagaimana kita melakukan aktivitas ke depan. Bagaimana kita betul-betul menyolidkan organisasi, memberikan pelayanan yang lebih bagus kepada wajib pajak dan melakukan pengawasan yang lebih baik kepada wajib pajak sesuai dengan rules of the game aturan pajak yang berlaku. Jadi, ini kira-kira dalam dua tahun terakhir kami mencoba untuk membuat preview apa yang terjadi. 

Apakah secara organisasi dan SDM sudah siap untuk direformasi? 

Kita coba melihat bahwa organisasi, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) khususnya, yang terkait dengan Wajib Pajak adalah Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Kita memiliki empat KPP besar, 28 kantor pajak menegah, dan 309 kantor pajak kecil atau pratama. Apakah dengan kantor pajak yang kita miliki kita sudah efektif? Terus terang saja, dalam konteks reformasi kita mencoba melihat kembali.

Organisasi dan staf SDM adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan, jika kita ingin membangun organisasi yang akuntabel. Secara prinsip, bahwa esensi reformasi adalah bagaimana membuat institusi yang kuat dan akuntabel. Kemudian yang jelas, kalau kita bicara akuntabel, bahwa apa yang kita lakukan harus fungsional dan berkeadilan. Karena tadi, esensi reformasi adalah menuju sistem yang fungsional dan berkeadilan. Bagaimana kita bisa mempertanggungjawabkan pekerjaan kita kepada seluruh stakeholder yang ada. 

Oleh karena itu, kita tidak boleh bekerja sendirian. Not just for institution, tetapi bagaimana kita bisa men-delivery kepada wajib pajak sangat mutlak kita lakukan. Engagement antara kami dengan para pelakupun harus dipererat. Kita harus melakukan sinergi, tidak hanya dengan DJBC semata, tetapi dengan seluruh stakeholder. 

Apa yang menjadi prioritas untuk dilakukan segera?

Secara prinsip, untuk mendapatkan institusi dalam konteks dapat mengoptimalkan penerimaan negara, ada beberapa hal yang harus dan akan kita lakukan perbaikan: organisasi, SDM, proses bisnis, IT system. Basis data juga harus kita perbaiki, karena kita bicara sistem tanpa data kuat dan akurat, kita tidak akan dapat melakukan pengawasan terhadap wajib pajak dengan tepat. 

Satu lagi, masalah perundang-undangan. Kami pun berkomitmen untuk mengurangi multitafsir dalam pelaksanaan UU. Dengan mulai melakukan simplifikasi dan segala macam guna memudahkan wajib pajak dalam melakukan aktivitasnya. 

Bisa dijelaskan tahapan prosesnya?

Dalam melakukan reformasi perpajakan, kami membaginya menjadi dua kelompok besar. Kelompok pertama, bagaimana kami mengembangkan institusi, yang kita harapkan pada tahun 2020 tercipta organisasi yang betul-betul kuat, akuntabel dan kredibel dan dapat meng-cover seluruh geografis Indonesia, meng-cover seluruh potensi ekonomi yang ada dan memberikan pelayanan. Itu harapan besar kita, di sana. Nah kita coba bagaimana untuk mulai meredesain organisasi. Jadi, kita ini bicara dalam konteks bagaimana organisasi ini di tahun 2020. 

Jadi betul-betul kami berjalan dalam dua koridor. Koridor bagaimana kita menyiapkan atau membangun suatu institusi yang lebih baik dari institusi yang sekarang ada, dalam konteks service dan segala macamnya. Nah, di sinilah kita melakukan aktivitas bagaimana kita memformulasikan organisasi, dan memformulasikan wajib pajak yang ada di dalam organisasi itu sendiri. 

Kita tidak bisa memisahkan organisasi dengan wajib pajak, dan juga bagaimana kita melakukan proses bisnis kita sesuai dengan tugas dan fungsinya. Jangan sampai yang tugasnya, misalnya, memeriksa malah melakukan tugas tidak dalam konteks kemampuan dan kapasitas dia. Atau sebaliknya, orang yang tidak pernah memeriksa kita suruh memeriksa. 

Salah satu tugas institusi adalah penegakkan hukum melalui pemeriksaan pajak. Nah, di sinilah bagaimana kita menyusun manajemen SDM sesuai dengan konteks organisasi yang akan kita buat. Bagaimana kita mengolah perjalanan seseorang dari satu titik ke titik tertentu. Dalam perjalanan waktu, kita bicara pola mutasi, pola karier, serta pola remunerasi. Kemudian bagaimana kita mengembangkan talenta-talenta kita, untuk itu tadi membackup organisasi yang betul-betul akan kita harapkan. Jadi itu sesuatu yang tidak terpisahkan antara organisasi dengan SDM, kita melihat dimensi itu. 

Selain penguatan organisasi dan SDM apa lagi?

Ke depan perkembangan zaman akan bergerak ke arah digitalisasi, elektronifikasi, automatisasi sudah merupakan keniscayaan dan keharusan. Nah, bagaimana kita meng-address isu itu? Kita akan mulai coba mengembangkan. Kami memiliki sistem infomasi yang sekarang ada, untuk meng-capture seluruh data informasi yang dimiliki dalam rangka melaksanakan aktivitas tugas fungsi DJP. 

Dalam perkembangannya, kami akan mengubah sistem informasi yang sudah ada sejak 15 tahun lalu. Supaya apa? Tidak hanya untuk kepentingan internal kami, tetapi juga menjadi bagian dari tugas kita untuk men-delivery kepada Wajib Pajak. Bagaimana kita mengembangkan channel service yang lebih luas melalui sistem informasi yang baru, bagaimana memudahkan wajib pajak misalnya dengan tidak perlu menyampaikan SPT dengan manual. Tetapi dengan bukti potong yang ada, misalnya karyawan, dengan bukti potong PPh karyawan kita akan ada surat pemberitahuan tahunan untuk karyawan yang bersangkutan secara sistematis ke dalam sistem. Jadi kita akan mengurangi hal-hal yang bisa dilakukan melalui sistem informasi. Untuk saat ini memang belum sepenuhnya pelayanan atau yang dilakukan wajib pajak belum bisa diberikan oleh sistem informasi yang ada.

Termasuk juga mengenai basis data akan kita lakukan perbaikan. Kita memiliki prinsip sistem bagaimana memigrasi ke yang baru. Ini aktivitas internal sebelumnya.

Bagaimana dengan regulasi?

Terus terang saja, kalau bicara regulasi, interaksi antara otoritas dengan Wajib Pajak atau dengan Wajib Bea Cukai itu basisnya regulasi. Tidak mungkin kita melakukan interaksi tanpa basis regulasi. Kita sekarang sedang ada pembahasan revisi UU KUP. Sudah hampir dua tahun kita berjalan. UU perpajakan yang lain sudah masuk ke proses penyusunan dan pembahasan di internal Kemenkeu. Jadi harapan kami ke depan, kalau ada UU perpajakan yang dirasakan masih belum mencerminkan keadilan, kemudahan, dan kepastian hukum, mari kita coba bahas bersama. UU PPh, misalnya, begitu juga dengan UU PPN, apa yang harus dilakukan perbaikan? 

Di sini kami mencoba untuk mengeliminasi ketentuan-ketentuan yang mungkin dirasakan oleh masyarakat atau wajib pajak masih belum cukup clear atau menimbulkan penafsiran yang berbeda, [atau] kadang juga overlapping dengan yang lain. 

Dalam konteks yang kami lakukan selama tahun 2017 ini, kami mencoba untuk bagaimana mengkonsolidasikan. Kita mapping dulu baru dikonsolidasikan. Bagaimana kita bisa mensinkronisasikan regulasi yang tujuannya memudahkan [Wajib Pajak], tetapi tumpang tindih. Kita lakukan simplifikasi atau sinkronisasi bersama-sama. Kami komitmen untuk menyusun regulasi yang mudah dibaca, dipahami dan dijalankan bersama-sama. Tapi tidak menghilangkan hak dan kewajiban untuk membayar pajak atau kepabeanan kepada negara. Itu kira-kira gambaran kami di tahun 2020.

Apa yang bisa dirasakan dalam jangka pendek?

Kami ingin sedikit update kejadian di tahun 2017. Ada beberapa hal, pertama, bagaimana kita meningkatkan mutu pelayanan kepada WP by regulation. Jadi bagaimana kita membuka jaringan-jaringan baru secara otomasi bagi WP untuk menyampaikan kepada kami. Misalnya, pendekatan SPT dengan online system. Ini juga udah mulai terbuka. Elektronik bukti potong juga sudah kita jalankan. Bagaimana memudahkan si pemotong untuk menyampaikan SPT. Kemudian bagaimana memudahkan masyarakat wajib pajak berpartisipasi, daftarnya tidak susah, melaksanakan kewajibannya tidak susah. Jadi membayarnya kami harapkan juga tidak susah. 

Kemudian inklusi perpajakan, kami sangat berharap pemahaman akan perpajakan bukan hanya didapat oleh WP yang sudah saatnya membayar pajak. Kami mencoba menginklusifkan diri kepada calon Wajib Pajak 20 tahun mendatang. Kami mulai meninklusikan ke anak-anak SD, SMP, SMA. Kita juga mengembangkan program pajak bertutur, kita bercerita kepada komunitas. Di tahun 2017 beberapa agenda ini sudah dijalankan.

Kemudian di tahun 2017 kita melakukan program pengembangan penguatan pengawasan dan penegakan hukum. Kita membuat pedoman interaksi dengan wajib pajak, khususnya dalam melakukan pemeriksaan. Model pemeriksaan kita sudah mulai berubah. Pemeriksaan harus didukung dengan basis data dan analisis yang baik, pemeriksaan tidak boleh di luar kantor. Walaupun tidak menutup kemungkinan memeriksa tempat wajib pajak untuk mendapatkan gambaran proses bisnis wajib pajak. 

Untuk proses bisnis, pengawasan juga sama, dengan menggunakan data yang kami miliki. Kemudian bagaimana men-deliver-nya ke wajib pajak dan harus didukung data yang lengkap. 

Kemudian apa lagi?

Kemudian, bagaimana kita bersinergi dengan pihak lain. DJP tidak bisa berjalan sendirian. Makanya muncul UU akses keuangan. Bagaimana kita meningkatkan koordinasi dengan banyak pihak, salah satunya dengan DJBC. Kalau dulu pengguna jasa kepabeanan memiliki Nomor Induk Kepabeanan, sekarang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Artinya, anggota DJBC adalah anggota DJP. Kami sudah mencoba membuat program bersama, Single identity, joint analysis, joint operation. Kami mengecek bersama dengan DJBC ke kawasan berikat, pelabuhan. Kami juga melakukan joint dokumen, misalnya DJP melakukan dokumentasi dokumen yang disusun oleh DJBC. 

Satu lagi, ini yang akan kita lakukan ke depan bagaimana meningkatkan compliance. Terutama kami sudah menyusun konsep VAT compliance improvement. Tidak hanya VAT, tetapi juga PPh. Kami sudah menyiapkan aktivitas yang akan dilakukan tahun 2018. Itu gambaran aktivitas reform yang sudah bergulir di DJP, kami tidak sendirian karena disuport oleh banyak pihak.



Related


Global Recognition
Global Recognition | Word Tax     Global Recognition | Word TP
Contact Us

Jakarta
MUC Building
Jl. TB Simatupang 15
Jakarta Selatan 12530

+6221-788-37-111 (Hunting)

+6221-788-37-666 (Fax)

Surabaya
Graha Pena 15th floor
Jl. Ahmad Yani 88
Surabaya 60231

+6231-828-42-56 (Hunting)

+6231-828-38-84 (Fax)

Subscribe

For more updates and information, drop us an email or phone number.



© 2020. PT Multi Utama Consultindo. All Rights Reserved.