Penerimaan Negara Bukan Pajak
(1) | Seluruh aktivitas, hal, dan/atau benda, yang menjadi sumber penerimaan negara di luar perpajakan dan hibah dinyatakan sebagai objek PNBP. |
(2) | Objek PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki kriteria:
|
(1) | Objek PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 meliputi:
|
(2) | Objek PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dirinci menurut jenis. |
(3) | Jenis PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan/atau Peraturan Menteri. |
(1) | Subjek PNBP meliputi:
|
(2) | Subjek PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Wajib Bayar dalam hal memiliki kewajiban membayar PNBP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Tarif atas jenis PNBP yang berasal dari Pemanfaatan Sumber Daya Alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a terdiri atas:
|
(2) | Tarif atas jenis PNBP yang berasal dari Pemanfaatan Sumber Daya Alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dengan mempertimbangkan:
|
(3) | Tarif atas jenis PNBP yang berasal dari Pemanfaatan Sumber Daya Alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Undang-Undang, kontrak, dan/atau Peraturan Pemerintah. |
(1) | Tarif atas jenis PNBP yang berasal dari Pelayanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b terdiri atas:
|
(2) | Tarif atas jenis PNBP yang berasal dari Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dengan mempertimbangkan:
|
(3) | Tarif atas jenis PNBP yang berasal dari Pelayanan diatur dengan Peraturan Pemerintah dan/atau Peraturan Menteri. |
(1) | Tarif atas jenis PNBP yang berasal dari Pengelolaan Kekayaan Negara Dipisahkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c disusun dengan mempertimbangkan:
|
(2) | Tarif atas jenis PNBP yang berasal dari Pengelolaan Kekayaan Negara Dipisahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Undang-Undang dan/atau dalam rapat umum pemegang saham. |
(1) | Tarif atas jenis PNBP yang berasal dari Pengelolaan Barang Milik Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d disusun dengan mempertimbangkan nilai guna aset tertinggi dan terbaik, serta kebijakan Pemerintah. |
(2) | Tarif atas jenis PNBP yang berasal dari Pengelolaan Barang Milik Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah dan/atau Peraturan Menteri. |
(1) | Tarif atas jenis PNBP yang berasal dari Pengelolaan Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf e disusun dengan mempertimbangkan hasil dan manfaat terbaik serta kebijakan Pemerintah. |
(2) | Tarif atas jenis PNBP yang berasal dari Pengelolaan Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. |
(1) | Tarif atas jenis PNBP yang berasal dari Hak Negara Lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f disusun dengan mempertimbangkan:
|
(2) | Tarif atas jenis PNBP yang berasal dari Hak Negara Lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan/atau Peraturan Menteri. |
(1) | Instansi Pengelola PNBP terdiri atas:
|
(2) | Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dipimpin oleh Menteri/Pimpinan Lembaga selaku pengguna anggaran/pengguna barang. |
(3) | Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dipimpin oleh Menteri selaku Bendahara Umum Negara. |
(1) | Pimpinan Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) mempunyai kewenangan untuk mengelola PNBP pada Instansi Pengelola PNBP yang dipimpinnya. |
(2) | Dalam mengelola PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pimpinan Instansi Pengelola PNBP bertugas:
|
(1) | Menteri selaku Bendahara Umum Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3) berwenang menetapkan PNBP tertentu sebagai PNBP yang dikelola oleh Bendahara Umum Negara. |
(2) | Terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri/Pimpinan Lembaga tetap menjalankan tugas dan fungsi meliputi perumusan kebijakan teknis, pelaksanaan urusan teknis, pembinaan, dan pengawasan. |
(1) | Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dapat dibantu oleh Mitra Instansi Pengelola PNBP untuk melakukan pemungutan, penyetoran, dan/atau penagihan PNBP berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Mitra Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melakukan penatausahaan dan menyampaikan laporan PNBP kepada Instansi Pengelola PNBP. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai Mitra Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. |
(1) | Perencanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf a dilakukan untuk penyusunan rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara perubahan dengan mengikuti siklus anggaran pendapatan dan belanja negara. |
(2) | Perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dalam bentuk rencana PNBP berupa:
|
(3) | Rencana PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun secara realistis, optimal, dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Rencana PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 wajib disampaikan oleh Instansi Pengelola PNBP kepada Menteri untuk tahun anggaran yang direncanakan. |
(2) | Rencana PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri dengan mempertimbangkan masukan dari Instansi Pengelola PNBP. |
(3) | Dalam hal Instansi Pengelola PNBP tidak menyampaikan rencana PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri menetapkan rencana PNBP untuk Instansi Pengelola PNBP yang terkait. |
(4) | Rencana PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dituangkan dalam rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara perubahan. |
(1) | Instansi Pengelola PNBP wajib melakukan verifikasi atas PNBP Terutang yang dihitung oleh Wajib Bayar. |
(2) | Instansi Pengelola PNBP yang tidak melakukan verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Instansi Pengelola PNBP wajib melaksanakan pemungutan PNBP berdasarkan jenis dan tarif PNBP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Instansi Pengelola PNBP yang tidak melaksanakan pemungutan PNBP berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Wajib Bayar wajib membayar PNBP Terutang ke Kas Negara melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri. |
(2) | Dalam hal tertentu, Wajib Bayar dapat melakukan pembayaran PNBP Terutang melalui Instansi Pengelola PNBP atau Mitra Instansi Pengelola PNBP. |
(3) | Instansi Pengelola PNBP atau Mitra Instansi Pengelola PNBP yang menerima pembayaran PNBP dari Wajib Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib menyetorkan seluruh PNBP pada waktunya ke Kas Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(4) | Instansi Pengelola PNBP atau Mitra Instansi Pengelola PNBP yang tidak melaksanakan penyetoran PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Wajib Bayar wajib membayar PNBP Terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) paling lambat pada saat jatuh tempo sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Wajib Bayar yang tidak melakukan pembayaran PNBP Terutang sampai dengan jatuh tempo sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif. |
(3) | Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa denda sebesar 2% (dua persen) per bulan dari jumlah PNBP Terutang dan bagian dari bulan dihitung satu bulan penuh. |
(4) | Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenakan untuk waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan. |
(1) | Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a dapat mengusulkan penggunaan dana PNBP yang dikelolanya kepada Menteri. |
(2) | Terhadap usulan penggunaan dana PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri memberikan persetujuan atau penolakan dengan mempertimbangkan:
|
(3) | Penggunaan dana PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat digunakan oleh Instansi Pengelola PNBP untuk unit-unit kerja di lingkungannya dalam rangka:
|
(4) | Penggunaan dana PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan dengan tetap memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dan Pasal 29. |
(1) | Menteri dapat meninjau kembali persetujuan penggunaan dana PNBP kepada Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2). |
(2) | Peninjauan kembali terhadap persetujuan penggunaan dana PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3). |
(1) | Dalam hal Wajib Bayar belum melakukan pembayaran PNBP Terutang, Instansi Pengelola PNBP mencatat PNBP Terutang sebagai piutang PNBP. |
(2) | Instansi Pengelola PNBP wajib mengelola piutang PNBP yang menjadi tanggung jawabnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang piutang negara. |
(3) | Instansi Pengelola PNBP yang tidak melaksanakan pengelolaan piutang PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Dalam hal terjadi kurang bayar terhadap PNBP Terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2), Instansi Pengelola PNBP atau Mitra Instansi Pengelola PNBP menetapkan PNBP Terutang. |
(2) | Penetapan PNBP Terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada:
|
(1) | Penetapan PNBP Terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2) huruf a, huruf c, dan huruf d, wajib dilakukan oleh Instansi Pengelola PNBP atau Mitra Instansi Pengelola PNBP dengan menerbitkan dan menyampaikan Surat Tagihan PNBP kepada Wajib Bayar. |
(2) | Penetapan PNBP Terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2) huruf b, wajib dilakukan oleh Instansi Pengelola PNBP atau Mitra Instansi Pengelola PNBP dengan menerbitkan dan menyampaikan Surat Ketetapan PNBP kurang bayar dan Surat Tagihan PNBP kepada Wajib Bayar. |
(3) | Dalam hal Instansi Pengelola PNBP atau Mitra Instansi Pengelola PNBP tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Dalam hal Wajib Bayar tidak setuju atas Surat Tagihan PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1), Wajib Bayar dapat mengajukan permohonan koreksi terhadap Surat Tagihan PNBP secara tertulis kepada Instansi Pengelola PNBP dan/atau Mitra Instansi Pengelola PNBP. |
(2) | Instansi Pengelola PNBP dan/atau Mitra Instansi Pengelola PNBP memberikan jawaban kepada Wajib Bayar atas permohonan koreksi terhadap Surat Tagihan PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(1) | Penetapan PNBP Terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun sejak saat terutangnya PNBP. |
(2) | Penetapan PNBP Terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap dapat diterbitkan setelah jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun, dalam hal Wajib Bayar melakukan tindak pidana di bidang PNBP. |
(1) | Instansi Pengelola PNBP dan Wajib Bayar yang menghitung sendiri PNBP Terutang wajib menatausahakan PNBP. |
(2) | Penatausahaan PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib diselenggarakan di wilayah yurisdiksi Indonesia dan disusun dalam:
|
(3) | Dokumen yang menjadi dasar penatausahaan PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun. |
(4) | Dalam hal Instansi Pengelola PNBP tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(5) | Dalam hal Wajib Bayar tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). |
(1) | Dalam rangka pertanggungjawaban PNBP, Wajib Bayar yang menghitung sendiri PNBP Terutang wajib menyampaikan laporan realisasi PNBP dan laporan PNBP Terutang kepada Instansi Pengelola PNBP. |
(2) | Laporan realisasi PNBP dan laporan PNBP Terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat jenis, periode, dan jumlah PNBP. |
(3) | Laporan realisasi PNBP dan laporan PNBP Terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib disampaikan secara periodik paling lama 20 (dua puluh) hari kalender setelah periode laporan tersebut berakhir. |
(4) | Dalam hal Wajib Bayar tidak menyampaikan laporan realisasi PNBP dan laporan PNBP Terutang sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah). |
(1) | Dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, Instansi Pengelola PNBP wajib menyampaikan laporan realisasi penerimaan dan penggunaan dana PNBP dalam lingkungan Instansi Pengelola PNBP yang bersangkutan kepada Menteri. |
(2) | Laporan realisasi penerimaan dan penggunaan dana PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat jenis, periode, jumlah PNBP, dan jumlah penggunaan dana PNBP. |
(1) | Setiap Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) melaksanakan pengawasan intern atas Pengelolaan PNBP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Pengawasan intern atas Pengelolaan PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh aparat pengawasan intern pemerintah yang bertanggung jawab langsung kepada Menteri/Pimpinan Lembaga. |
(1) | Untuk meningkatkan kualitas perencanaan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban PNBP, Menteri melakukan pengawasan terhadap Instansi Pengelola PNBP. |
(2) | Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam bentuk verifikasi, penilaian, dan/atau evaluasi. |
(3) | Untuk efektivitas pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat melakukan penguatan organisasi yang melaksanakan fungsi dimaksud sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. |
(1) | Terhadap Wajib Bayar yang menghitung sendiri kewajiban PNBP Terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf c, atas permintaan Pimpinan Instansi Pengelola PNBP, dapat dilakukan Pemeriksaan PNBP oleh instansi pemeriksa. |
(2) | Permintaan Pimpinan Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan berdasarkan:
|
(1) | Dalam hal tertentu, Menteri dapat meminta instansi pemeriksa untuk melakukan Pemeriksaan PNBP terhadap Wajib Bayar yang menghitung sendiri kewajiban PNBP Terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf c. |
(2) | Hal tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), termasuk:
|
(3) | Dalam pelaksanaan Pemeriksaan PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri berkoordinasi dengan Instansi Pengelola PNBP. |
(1) | Dalam hal tertentu, Menteri dan/atau Pimpinan Instansi Pengelola PNBP dapat meminta instansi pemeriksa untuk melakukan Pemeriksaan PNBP terhadap Wajib Bayar yang kewajiban PNBP Terutang dihitung oleh Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf a atau dihitung oleh Mitra Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf b. |
(2) | Hal tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), termasuk:
|
(1) | Menteri dapat meminta instansi pemeriksa untuk melakukan Pemeriksaan PNBP terhadap Instansi Pengelola PNBP. |
(2) | Permintaan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan:
|
(1) | Menteri dan/atau Pimpinan Instansi Pengelola PNBP dapat meminta instansi pemeriksa untuk melakukan Pemeriksaan PNBP terhadap Mitra Instansi Pengelola PNBP. |
(2) | Permintaan Menteri dan/atau Pimpinan Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan:
|
(1) | Pemeriksaan PNBP terhadap Wajib Bayar yang kewajiban PNBP Terutang dihitung oleh Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf a dan/atau Mitra Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf b meliputi pemeriksaan atas dokumen terkait pemenuhan kewajiban PNBP dan pemenuhan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang PNBP. |
(2) | Pemeriksaan PNBP terhadap Wajib Bayar yang menghitung sendiri kewajiban PNBP Terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf c termasuk pemeriksaan atas:
|
(3) | Pemeriksaan PNBP terhadap Instansi Pengelola PNBP termasuk pemeriksaan atas:
|
(4) | Pemeriksaan PNBP terhadap Mitra Instansi Pengelola PNBP termasuk pemeriksaan atas:
|
(1) | Dalam pelaksanaan Pemeriksaan PNBP, Wajib Bayar, Instansi Pengelola PNBP, dan/atau Mitra Instansi Pengelola PNBP, wajib memberikan, mémperlihatkan, dan/atau menyampaikan dokumen, keterangan, dan/atau bukti lain yang diminta oleh instansi pemeriksa. |
(2) | Dalam hal Wajib Bayar tidak melakukan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PNBP Terutang ditetapkan secara jabatan ditambah sanksi administratif berupa denda sebesar 2 (dua) kali jumlah PNBP Terutang yang tidak dibayar atau kurang bayar. |
(3) | Instansi Pengelola PNBP yang tidak melakukan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(4) | Mitra Instansi Pengelola PNBP yang tidak melakukan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dan/atau berdasarkan perjanjian/kontrak antara Instansi Pengelola PNBP dengan Mitra Instansi Pengelola PNBP. |
(1) | Instansi pemeriksa dapat meminta dokumen, keterangan, dan/atau bukti lain dalam rangka Pemeriksaan PNBP kepada pihak lain yang terdiri dari orang pribadi dan Badan. |
(2) | Pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memberikan dokumen, keterangan, dan/atau bukti lain yang dimiliki sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Instansi pemeriksa wajib membuat laporan hasil Pemeriksaan PNBP dan menyampaikannya kepada Menteri dan/atau Pimpinan Instansi Pengelola PNBP. |
(2) | Laporan hasil Pemeriksaan PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib ditindaklanjuti oleh Menteri dan/atau Pimpinan Instansi Pengelola PNBP. |
(1) | Dalam hal berdasarkan laporan hasil Pemeriksaan PNBP terhadap Wajib Bayar terdapat kekurangan pembayaran PNBP Terutang, Pimpinan Instansi Pengelola PNBP atau pejabat kuasa pengelola PNBP menindaklanjuti dengan menerbitkan dan menyampaikan Surat Ketetapan PNBP Kurang Bayar dan Surat Tagihan PNBP kepada Wajib Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2). |
(2) | Dalam hal hasil Pemeriksaan PNBP terhadap Wajib Bayar terdapat kelebihan pembayaran PNBP, Pimpinan Instansi Pengelola PNBP atau pejabat kuasa pengelola PNBP menerbitkan Surat Ketetapan PNBP Lebih Bayar dan menyampaikan surat pemberitahuan kepada Wajib Bayar. |
(3) | Dalam hal hasil Pemeriksaan PNBP terhadap Wajib Bayar tidak terdapat kekurangan atau kelebihan pembayaran PNBP, Pimpinan Instansi Pengelola PNBP atau pejabat kuasa pengelola PNBP menerbitkan Surat Ketetapan PNBP Nihil dan menyampaikan surat pemberitahuan kepada Wajib Bayar. |
(1) | Wajib Bayar dapat mengajukan keberatan kepada Instansi Pengelola PNBP atas:
|
(2) | Keberatan diajukan secara tertulis dengan mengemukakan alasan pengajuan keberatan. |
(3) | Pengajuan keberatan terhadap Surat Ketetapan PNBP Kurang Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak menunda kewajiban membayar PNBP Terutang. |
(4) | Pembayaran PNBP Terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling sedikit sejumlah PNBP Terutang yang telah disetujui oleh Wajib Bayar dalam pembahasan akhir hasil Pemeriksaan PNBP sebelum surat keberatan disampaikan. |
(1) | Pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) disertai dokumen pendukung yang lengkap dan diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal Surat Ketetapan PNBP. |
(2) | Batas waktu pengajuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikecualikan dalam hal Wajib Bayar dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kemampuan Wajib Bayar atau kondisi kahar. |
(3) | Paling lambat dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah surat keberatan dan dokumen pendukung diterima secara lengkap, Pimpinan Instansi Pengelola PNBP atau pejabat kuasa pengelola PNBP, mengeluarkan penetapan atas pengajuan keberatan. |
(4) | Apabila Pimpinan Instansi Pengelola PNBP atau pejabat kuasa pengelola PNBP tidak mengeluarkan penetapan sesuai jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pengajuan keberatan yang diajukan Wajib Bayar tersebut dianggap dikabulkan. |
(5) | Pimpinan Instansi Pengelola PNBP atau pejabat kuasa pengelola PNBP yang tidak mengeluarkan penetapan atas pengajuan keberatan sampai dengan jangka waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Penetapan oleh pimpinan Instansi Pengelola PNBP atau pejabat kuasa pengelola PNBP atas pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 bersifat final. |
(2) | Dalam hal Wajib Bayar tidak setuju terhadap penetapan atas pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Bayar dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. |
(1) | Dalam hal tertentu, Wajib Bayar dapat mengajukan permohonan keringanan PNBP Terutang kepada Instansi Pengelola PNBP. |
(2) | Hal tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(3) | Pimpinan Instansi Pengelola PNBP atau pejabat kuasa pengelola PNBP dapat menerbitkan surat persetujuan atau penolakan atas permohonan keringanan PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(4) | Surat persetujuan atas permohonan keringanan PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (3), meliputi:
|
(5) | Surat persetujuan atas permohonan keringanan PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c dan huruf d, diterbitkan oleh Pimpinan Instansi Pengelola PNBP atau pejabat kuasa pengelola PNBP setelah mendapat persetujuan Menteri. |
(6) | Surat persetujuan atas permohonan keringanan PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c dan huruf d terhadap kondisi kesulitan likuiditas, diterbitkan oleh pimpinan Instansi Pengelola PNBP atau pejabat kuasa pengelola PNBP setelah mendapat pertimbangan aparat pengawasan intern pemerintah atau rekomendasi instansi pemeriksa dan persetujuan Menteri. |
(7) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian keringanan PNBP diatur dengan Peraturan Pemerintah. |
(1) | Permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran PNBP dapat diajukan oleh Wajib Bayar dalam hal terdapat:
|
(2) | Permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis kepada Instansi Pengelola PNBP. |
(3) | Terhadap permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pimpinan Instansi Pengelola PNBP atau pejabat kuasa pengelola PNBP menerbitkan surat persetujuan atau penolakan. |
(4) | Batas waktu permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf f, dan huruf g, tidak melebihi jangka waktu 5 (lima) tahun sejak terjadinya kelebihan pembayaran PNBP. |
(5) | Batas waktu permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan huruf e tidak melebihi jangka waktu 2 (dua) tahun sejak ditetapkannya putusan pengadilan atau diterbitkannya laporan hasil pemeriksaan. |
(1) | Pengembalian atas kelebihan pembayaran PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) diperhitungkan sebagai pembayaran di muka atas jumlah PNBP Terutang berikutnya. |
(2) | Dalam kondisi tertentu, pengembalian atas kelebihan pembayaran PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) dapat diberikan secara langsung melalui pemindahbukuan. |
(3) | Kondisi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
|
(1) | Pendapatan yang diperoleh badan layanan umum merupakan PNBP. |
(2) | Pendapatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat digunakan langsung untuk membiayai belanja badan layanan umum yang bersangkutan. |
(3) | Ketentuan mengenai Pengelolaan PNBP oleh badan layanan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, terhadap hak dan kewajiban Wajib Bayar yang belum diselesaikan sebelum Undang-Undang ini mulai berlaku, penyelesaiannya mengikuti peraturan perundang-undangan di bidang PNBP yang ditetapkan sebelum berlakunya Undang-Undang ini. |
(2) | Penyelesaian hak dan kewajiban Wajib Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat 6 (enam) bulan sejak Undang-Undang ini mulai berlaku. |
(3) | Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat dipenuhi, penyelesaian hak dan kewajiban Wajib Bayar mengikuti ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini. |
Disahkan di Jakarta pada tanggal 23 Agustus 2018 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. JOKO WIDODO |
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 23 Agustus 2018 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. YASONNA H. LAOLY |
I. | UMUM Untuk pencapaian tujuan bernegara sebagaimana tercantum dalam alinea IV Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dibentuk pemerintahan negara yang menyelenggarakan fungsi pemerintahan dalam berbagai bidang. Pembentukan pemerintahan negara tersebut menimbulkan hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang yang perlu dikelola dalam suatu sistem pengelolaan keuangan negara. Sebagai suatu negara yang berkedaulatan rakyat, berdasarkan hukum, dan menyelenggarakan pemerintahan negara berdasarkan konstitusi, sistem pengelolaan keuangan negara harus sesuai dengan aturan pokok yang ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dalam Pasal 23A menyebutkan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang. Pelaksanaan tugas dan fungsi Pemerintah dalam pelayanan, pengaturan, pelindungan masyarakat, kepastian hukum, dan pengelolaan kekayaan negara, termasuk pemanfaatan sumber daya alam, dapat mewujudkan suatu bentuk penerimaan negara yang disebut sebagai PNBP. PNBP pada prinsipnya memiliki dua fungsi, yaitu fungsi penganggaran (budgetary) dan fungsi pengaturan (regulatory). Selaku fungsi penganggaran (budgetary), PNBP merupakan salah satu pilar pendapatan negara yang memiliki kontribusi cukup besar dalam menunjang anggaran pendapatan dan belanja negara, melalui optimalisasi penerimaan negara. Sedangkan selaku fungsi pengaturan (regulatory), PNBP memegang peranan penting dan strategis dalam mendukung kebijakan Pemerintah untuk pengendalian dan pengelolaan kekayaan negara termasuk pemanfaatan sumber daya alam. Pengendalian dan pengelolaan tersebut sangat penting artinya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat, kemandirian bangsa, dan pembangunan nasional yang berkelanjutan dan berkeadilan. PNBP telah memberikan kontribusi dalam pembangunan nasional, namun demikian pengelolaan PNBP masih menghadapi berbagai permasalahan dan tantangan, antara lain adanya pungutan tanpa dasar hukum, terlambat/tidak disetor ke Kas Negara, penggunaan langsung PNBP, dan PNBP dikelola di luar mekanisme anggaran pendapatan dan belanja negara. Untuk mengoptimalkan penerimaan negara, meningkatkan pelaksanaan tugas dan fungsi Pemerintah dalam pelayanan, pengaturan, pelindungan masyarakat, kepastian hukum, dan pengelolaan kekayaan negara, termasuk pengelolaan sumber daya alam yang berkesinambungan, perlu dilakukan penyempurnaan pengaturan atas pengelolaan PNBP agar lebih profesional, terbuka, serta bertanggung jawab dan berkeadilan. Sampai dengan saat ini, pengelolaan PNBP didasarkan pada ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak. Undang-Undang tersebut dinilai sudah tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan pengelolaan PNBP yang sesuai dengan tuntutan perkembangan ekonomi, sosial, dan teknologi, termasuk tuntutan adanya partisipasi masyarakat dalam pembangunan nasional. Oleh karena itu, perlu mengatur kembali ketentuan di bidang PNBP dengan Undang-Undang baru. Penyempurnaan pengaturan pengelolaan PNBP dalam Undang-Undang ini berlandaskan asas keadilan, asas kepastian hukum, asas daya pikul, asas manfaat, asas keterbukaan, dan asas akuntabilitas. Di samping itu, penyempurnaan pengaturan dalam Undang-Undang ini bertujuan untuk:
Undang-Undang tentang PNBP ini merupakan pengganti Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak yang memuat arah perubahan sebagai berikut:
Dengan Undang-Undang ini mempertegas komitmen Pemerintah untuk menyederhanakan atau mengurangi jenis dan/atau tarif PNBP, khususnya yang berkaitan dengan layanan dasar, tanpa mengurangi tanggung jawab Pemerintah untuk tetap menyediakan layanan dasar berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pemberlakuan Undang-Undang ini yang diikuti dengan implementasi secara konsekuen dan konsisten akan menjadikan pengelolaan PNBP semakin profesional, transparan, dan bertanggung jawab. |
II. | PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Pelaksanaan tugas dan fungsi Pemerintah mencakup kewenangan Pemerintah untuk bertindak, membuat keputusan, memerintah, dan melimpahkan tanggung jawab kepada pihak lain dalam pelaksanaan fungsi pemerintahan. Huruf b Yang dimaksud dengan "penggunaan dana yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara" adalah seluruh kegiatan Pemerintah yang dalam pelaksanaannya menggunakan dana yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara. Huruf c Yang dimaksud dengan “pengelolaan” meliputi perencanaan dan penganggaran, pengadaan, penggunaan, pemanfaatan, pengamanan dan pemeliharaan, penilaian, penghapusan, pemindahtanganan, penatausahaan, pembinaan, pengawasan, dan/atau pengendalian. Yang dimaksud dengan "kekayaan negara" mencakup seluruh kekayaan yang dimiliki dan/atau dikuasai negara, termasuk sumber daya alam, baik bergerak maupun tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud, dan dipisahkan maupun tidak dipisahkan. Huruf d Yang dimaksud dengan "penetapan peraturan perundang-undangan" adalah seluruh kegiatan, peristiwa, dan kondisi yang berdasarkan peraturan perundangan-undangan dapat menimbulkan PNBP. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Huruf a Yang dimaksud dengan "tarif spesifik" adalah tarif yang ditetapkan dengan nilai nominal uang. Contoh: Tarif a = Rp5.000.000,00/satuan. Huruf b Yang dimaksud dengan "tarif ad valorem" antara lain tarif yang ditetapkan dengan persentase dan formula. Contoh: Tarif a = 10% x dasar perhitungan tertentu. Dasar perhitungan tertentu antara lain harga patokan, harga jual, indeks harga, atau keuntungan bersih. Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Kebijakan Pemerintah dalam penyusunan tarif atas jenis PNBP yang berasal dari Pemanfaatan Sumber Daya Alam memperhatikan antara lain kepentingan nasional dan kesinambungan pengelolaan sumber daya alam antargenerasi. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan "Pelayanan dasar" adalah Pelayanan Pemerintah dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasar warga negara antara lain Pelayanan di bidang pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Dengan mempertimbangkan bahwa Pelayanan dasar sangat penting dalam meningkatkan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, Pemerintah dalam penetapan tarif Pelayanan dasar perlu memperhatikan pemenuhan kebutuhan dasar warga negara. Huruf b Yang dimaksud dengan "Pelayanan nondasar" adalah Pelayanan Pemerintah dalam rangka pemenuhan kebutuhan nondasar warga negara antara lain pelayanan di bidang perhubungan, perdagangan, perindustrian, dan pariwisata. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Kebijakan Pemerintah dalam penyusunan tarif atas jenis PNBP yang berasal dari Pelayanan memperhatikan antara lain hubungan atau perjanjian internasional. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Kebijakan Pemerintah dalam penyusunan tarif atas jenis PNBP yang berasal dari Pengelolaan Kekayaan Negara Dipisahkan memperhatikan antara lain program Pemerintah yang ditugaskan kepada badan usaha milik negara dalam rangka pelindungan kesejahteraan masyarakat dan peningkatan kegiatan ekonomi nasional. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "Undang-Undang" antara lain Undang-Undang mengenai Perseroan Terbatas. Pasal 10 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "nilai guna aset tertinggi dan terbaik" yang dikenal dengan istilah the highest and best use of assets adalah analisis terhadap kegunaan tertinggi dan terbaik dari suatu aset antara lain analisis kelayakan secara peraturan, fisik, keuangan, dan produktivitas. Kebijakan Pemerintah dalam penyusunan tarif atas jenis PNBP yang berasal dari Pengelolaan Barang Milik Negara memperhatikan antara lain manfaat sosial dan program Pemerintah. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Kebijakan Pemerintah dalam penyusunan tarif atas jenis PNBP yang berasal dari Pengelolaan Dana memperhatikan antara lain program pembangunan nasional. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Kebijakan Pemerintah dalam penyusunan tarif atas jenis PNBP yang berasal dari Hak Negara Lainnya memperhatikan antara lain program pembangunan nasional dan pengelolaan keuangan negara. Ayat 2 Pasal 13Cukup jelas. Yang dimaksud dengan “pertimbangan tertentu” antara lain penyelenggaraan kegiatan sosial, kegiatan keagamaan, kegiatan kenegaraan, dan pertimbangan karena keadaan di luar kemampuan Wajib Bayar atau kondisi kahar, serta bagi masyarakat tidak mampu, mahasiswa berprestasi, dan usaha mikro, kecil, dan menengah. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan "target PNBP" adalah perkiraan PNBP yang akan diterima dalam tahun yang direncanakan. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Yang dimaksud dengan "instansi pemeriksa" adalah badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan keuangan negara dan pembangunan nasional (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan/BPKP). Huruf g Menteri berwenang menetapkan Pengelolaan PNBP yang berpotensi menimbulkan perselisihan di antara Instansi Pengelola PNBP atau menimbulkan ketidakefisienan Pengelolaan PNBP. Huruf h Yang dimaksud dengan "kewenangan lain di bidang PNBP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan" antara lain kewenangan yang diamanatkan oleh undang-undang mengenai anggaran pendapatan dan belanja negara. Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Menteri/Pimpinan Lembaga selaku pengguna anggaran/pengguna barang pada hakikatnya merupakan Chief Operational Officer, termasuk di dalamnya Menteri selaku pengguna anggaran/pengguna barang. Ayat (3) Selain menjalankan fungsi sebagai pengguna anggaran/pengguna barang (Chief Operational Officer), Menteri juga menjalankan fungsi Bendahara Umum Negara (Chief Financial Officer). Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Yang dimaksud dengan "tugas lain" antara lain tugas yang diamanatkan oleh undang-undang mengenai anggaran pendapatan dan belanja negara. Pasal 18 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "PNBP tertentu" antara lain PNBP dari Pengelolaan Kekayaan Negara Dipisahkan, PNBP yang penghitungan dan/atau penetapannya membutuhkan earning process melalui rekening khusus yang dibentuk oleh Menteri, misalnya PNBP dari bagian Pemerintah atas kerja sama sektor minyak dan gas bumi, dan pengusahaan panas bumi, serta PNBP yang merupakan pelaksanaan kewenangan Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Yang dimaksud dengan "sistem anggaran pendapatan dan belanja negara adalah rangkaian atau proses kegiatan dalam rangka perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pelaporan, dan pertanggungjawaban anggaran pendapatan dan belanja negara sesuai dengan undang-undang mengenai keuangan negara dan undang-undang mengenai anggaran pendapatan dan belanja negara. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Ayat (1) Pasal 23Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Rencana PNBP berupa target PNBP disusun oleh seluruh Instansi Pengelola PNBP. Huruf b Rencana PNBP berupa target dan pagu penggunaan dana PNBP disusun oleh Instansi Pengelola PNBP yang telah memperoleh persetujuan penggunaan dana PNBP. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "realistis" dalam rencana PNBP antara lain mempertimbangkan data historis, potensi, asumsi, dan informasi terkait yang dapat dipertanggungjawabkan. Yang dimaksud dengan "optimal" dalam rencana PNBP adalah jumlah PNBP yang paling baik yang bisa dicapai dalam suatu kondisi pada saat menyusun rencana PNBP. Rencana PNBP disusun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan termasuk memperhatikan rencana jangka pendek dan jangka menengah. Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Sanksi dikenakan kepada pejabat pengelola PNBP di lingkungan Instansi Pengelola PNBP. Yang dimaksud dengan "ketentuan peraturan perundang-undangan" antara lain peraturan perundang-undangan di bidang disiplin untuk Aparatur Sipil Negara dan peraturan perundang-undangan di bidang pengawasan. Pasal 28 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Sanksi dikenakan kepada pejabat pengelola PNBP di lingkungan Instansi Pengelola PNBP. Yang dimaksud dengan "ketentuan peraturan perundang-undangan" antara lain peraturan perundang-undangan di bidang disiplin untuk Aparatur Sipil Negara dan peraturan perundang-undangan di bidang tindak pidana. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Ayat (1) Yang dimaksud dengan membayar" adalah melunasi kewajiban PNBP Terutang oleh Wajib Bayar. Yang dimaksud dengan "tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri adalah bank/pos persepsi atau lembaga lain yang ditunjuk oleh Menteri untuk menerima pembayaran PNBP. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "hal tertentu" untuk pembayaran PNBP antara lain kondisi geografis, jumlah PNBP yang disetorkan tidak signifikan, dan/atau kurangnya sarana prasarana. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Sanksi dikenakan kepada pejabat pengelola PNBP di lingkungan Instansi Pengelola PNBP atau Mitra Instansi Pengelola PNBP. Yang dimaksud dengan "ketentuan peraturan perundang-undangan" antara lain peraturan perundang-undangan di bidang disiplin untuk Aparatur Sipil Negara dan peraturan perundang-undangan di bidang tindak pidana. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Ayat (1) Pasal 34Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Ayat (3)Yang dimaksud dengan "kondisi keuangan negara" adalah mempertimbangkan kemampuan negara untuk membiayai belanja negara. Pemberian izin penggunaan dana PNBP harus dilakukan secara selektif, baik dari besaran penggunaan maupun jenis kegiatan. Huruf b Yang dimaksud dengan "kebijakan fiskal" antara lain kebijakan untuk meningkatkan kapasitas pendapatan negara dan kebijakan prioritas pengalokasian belanja pada bidang atau sektor tertentu. Huruf c Kebutuhan pendanaan Instansi Pengelola PNBP untuk pelayanan PNBP menjadi prioritas utama untuk dibiayai. Huruf a Yang dimaksud dengan "kegiatan lainnya" adalah kegiatan di luar tugas dan fungsi unit yang menghasilkan PNBP, terutama untuk peningkatan pelayanan. Huruf b Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Pasal 35 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Sanksi dikenakan kepada pejabat pengelola PNBP di lingkungan Instansi Pengelola PNBP. Yang dimaksud dengan "ketentuan peraturan perundang-undangan" antara lain peraturan perundang-undangan di bidang disiplin untuk Aparatur Sipil Negara dan peraturan perundang-undangan di bidang tindak pidana. Pasal 36 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "kurang bayar" dapat berupa jumlah pokok PNBP Terutang dan/atau denda. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan "sumber lainnya" antara lain hasil temuan audit Badan Pemeriksa Keuangan. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "Wajib Bayar tidak setuju" antara lain disebabkan kesalahan tulis dan kesalahan hitung. Ayat (2)Permohonan koreksi disampaikan dengan surat tertulis kepada pejabat yang menetapkan Surat Tagihan PNBP, yaitu Pimpinan Instansi Pengelola PNBP, pejabat kuasa pengelola PNBP, atau Pimpinan Mitra Instansi Pengelola PNBP. Jawaban kepada Wajib Bayar dapat berupa penetapan kembali jumlah PNBP Terutang yang sama atau jumlah PNBP Terutang baru, disertai dengan penjelasan atas disetujui atau ditolaknya permohonan koreksi oleh Instansi Pengelola PNBP. Pasal 39 Ayat (1) Hak untuk mengeluarkan penetapan PNBP Terutang diberikan kepada Instansi Pengelola PNBP atau Mitra Instansi Pengelola PNBP dengan batas waktu tertentu guna memberikan kepastian hukum. Ayat (2) Dalam hal Wajib Bayar melakukan tindak pidana di bidang PNBP, Instansi Pengelola PNBP atau Mitra Instansi Pengelola PNBP tetap dapat menetapkan jumlah PNBP Terutang terhadap Wajib Bayar yang bersangkutan dengan tidak mempertimbangkan batas waktu tertentu. Pasal 40 Ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah antara lain penentuan PNBP Terutang, jatuh tempo pembayaran PNBP, tata cara pembayaran dan penyetoran PNBP, penagihan PNBP, pemberian jawaban atas permohonan koreksi Wajib Bayar, penggunaan dana PNBP, dan penetapan pengelolaan PNBP lintas Instansi Pengelola PNBP. Pasal 41 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Penatausahaan PNBP yang disusun dalam bahasa asing disertai dengan terjemahan bahasa Indonesia. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Sanksi dikenakan kepada pejabat pengelola PNBP di lingkungan Instansi Pengelola PNBP. Yang dimaksud dengan "ketentuan peraturan perundang-undangan" antara lain peraturan perundang-undangan di bidang disiplin untuk Aparatur Sipil Negara. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 42 Ayat (1) Laporan dapat disampaikan antara lain secara tertulis atau melalui aplikasi. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 43 Ayat (1) Laporan dapat disampaikan antara lain secara tertulis atau melalui aplikasi. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 Ayat (1) Untuk pelaksanaan pengawasan, Menteri dapat berkoordinasi dengan Instansi Pengelola PNBP. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 47 Ayat (1) Pemeriksaan PNBP bertujuan untuk menguji kepatuhan atas pemenuhan kewajiban orang pribadi atau Badan dan pemenuhan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang PNBP, bukan untuk menilai atau memberikan opini tentang laporan keuangan. Yang dimaksud dengan "instansi pemeriksa" adalah badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan keuangan negara dan pembangunan nasional (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan/BPKP). Badan Pemeriksa Keuangan tetap dapat melaksanakan Pemeriksaan PNBP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (2) Huruf a Instansi Pengelola PNBP dapat meminta dilakukan pemeriksaan terhadap Wajib Bayar berdasarkan hasil pengawasan Instansi Pengelola PNBP terhadap dokumen pembayaran PNBP dan laporan realisasi PNBP. Huruf b Instansi Pengelola PNBP dapat meminta dilakukan pemeriksaan terhadap Wajib Bayar yang mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran PNBP, untuk meyakinkan penghitungan yang telah dilakukan oleh Wajib Bayar. Huruf c Cukup jelas. Pasal 48 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Sebelum Menteri meminta instansi pemeriksa untuk melakukan Pemeriksaan PNBP terhadap Wajib Bayar, Menteri berkoordinasi dengan Pimpinan Instansi Pengelola PNBP untuk mengumpulkan informasi awal Pemeriksaan PNBP, termasuk hasil pengawasan aparat pengawasan intern pemerintah. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Cukup jelas. Pasal 52 Cukup jelas. Pasal 53 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "ditetapkan secara jabatan" adalah penetapan PNBP oleh Instansi Pengelola PNBP berdasarkan hasil pemeriksaan dari sumber yang diperoleh selain dari Wajib Bayar dan/atau data yang dimiliki oleh Instansi Pengelola PNBP. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 54 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "pihak lain" antara lain bank, akuntan publik, dan notaris atau pihak yang terkait dengan kegiatan usaha Wajib Bayar. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "ketentuan peraturan perundang-undangan" antara lain peraturan perundang-undangan di bidang perbankan. Pasal 55 Ayat (1) Laporan hasil Pemeriksaan PNBP antara lain memuat kewajiban pembayaran PNBP Terutang dan/atau rekomendasi terkait Pengelolaan PNBP. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 56 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "Surat Ketetapan PNBP Kurang Bayar" adalah surat yang menetapkan besarnya jumlah pokok PNBP Terutang, jumlah kekurangan pembayaran pokok PNBP, besarnya sanksi administratif, dan jumlah PNBP yang masih harus dibayar. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “Surat Ketetapan PNBP Lebih Bayar” adalah surat yang menetapkan jumlah kelebihan pembayaran PNBP karena jumlah PNBP yang telah dibayarkan lebih besar daripada PNBP Terutang. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "Surat Ketetapan PNBP Nihil" adalah surat yang menetapkan tidak adanya kelebihan pembayaran PNBP dan/atau kekurangan pembayaran PNBP Terutang. Pasal 57 Cukup jelas. Pasal 58 Cukup jelas. Pasal 59 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Yang dimaksud dengan "ketentuan peraturan perundang-undangan" antara lain peraturan perundang-undangan di bidang disiplin untuk Aparatur Sipil Negara dan di bidang administrasi pemerintahan. Pasal 60 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "penetapan oleh Pimpinan Instansi Pengelola PNBP atau kuasa pengelola PNBP bersifat final" merupakan keputusan administratif yang terakhir dari Pejabat Tata Usaha Negara. Ayat (2) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dalam penyelesaian gugatan atas penetapan keberatan PNBP bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan gugatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 61 Cukup jelas. Pasal 62 Ayat (1) Pasal 63Keringanan PNBP Terutang dapat berupa keringanan atas pokok dan/atau sanksi administratif berupa denda. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "kondisi kesulitan likuiditas" adalah kondisi keuangan Wajib Bayar yang tidak dapat memenuhi kewajiban jangka pendek. Huruf c Yang dimaksud dengan "kebijakan Pemerintah" antara lain pemberian keringanan PNBP mempertimbangkan kearifan lokal, sosial, budaya, dan lingkungan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah antara lain mengatur mengenai jangka waktu permohonan, jangka waktu penetapan, persyaratan yang harus dipenuhi pada saat pengajuan, dan mekanisme pemberian keringanan. Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan kesalahan pembayaran PNBP antara lain kesalahan yang terjadi akibat kesalahan perekaman oleh Wajib Bayar atau pihak lain. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Permohonan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang harus dikembalikan, antara lain kompensasi penggunaan tenaga kerja asing. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 64 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan "pengakhiran kegiatan usaha Wajib Bayar" adalah izin usaha dicabut, dan/atau tidak melakukan transaksi pembayaran PNBP selama paling singkat 6 (enam) bulan berturut-turut, yang dibuktikan dengan surat keterangan dari instansi yang berwenang, atau pailit yang dibuktikan dengan putusan pengadilan. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan "tidak memiliki kewajiban PNBP sejenis secara berulang" adalah Wajib Bayar hanya melakukan transaksi PNBP untuk jenis PNBP yang sama tidak secara rutin. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Pasal 65 Cukup jelas. Pasal 66 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "ketentuan peraturan perundang-undangan" adalah peraturan perundang-undangan di bidang badan layanan umum. Pasal 67 Cukup jelas. Pasal 68 Cukup jelas. Pasal 69 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "belum diselesaikan" adalah proses administrasi mengenai hak dan kewajiban yang belum diselesaikan sebelum Undang-Undang ini berlaku. Yang dimaksud dengan "hak Wajib Bayar" antara lain keringanan, keberatan, pengembalian, dan/atau koreksi Surat Tagihan PNBP. Yang dimaksud dengan "kewajiban Wajib Bayar" antara lain pemenuhan ketentuan yang terkait pembayaran, pemeriksaan, penatausahaan, dan/atau penyampaian laporan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 70 Cukup jelas. Pasal 71 Cukup jelas. Pasal 72 Cukup jelas. Pasal 73 Cukup jelas. |