Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak Atas Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, Atau Kegiatan Orang Pribadi
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 168 TAHUN 2023
TENTANG
PETUNJUK PELAKSANAAN PEMOTONGAN PAJAK ATAS PENGHASILAN
SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN, JASA, ATAU
KEGIATAN ORANG PRIBADI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PEMOTONGAN PAJAK ATAS PENGHASILAN SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN, JASA, ATAU KEGIATAN ORANG PRIBADI.
Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:
BAB II
PEMOTONG PAJAK DAN PENERIMA PENGHASILAN
Pasal 2
(1) | Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan wajib dilakukan oleh Pemotong Pajak. | ||||||||||||||||||||||
(2) | Pemotong Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
| ||||||||||||||||||||||
(3) | Tidak termasuk sebagai pemberi kerja yang mempunyai kewajiban untuk melakukan pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, meliputi:
|
(1) | Penerima penghasilan yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan merupakan wajib pajak orang pribadi, meliputi:
|
(2) | Bukan Pegawai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, meliputi:
|
(3) | Peserta Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f, meliputi:
|
Tidak termasuk penerima penghasilan yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, yaitu:
a. | pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b Undang-Undang Pajak Penghasilan, dengan syarat:
| ||||
b. | pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b dengan syarat:
|
BAB III
PENGHASILAN YANG DIPOTONG PAJAK PENGHASILAN PASAL
21 DAN/ATAU PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 SEHUBUNGAN
DENGAN PEKERJAAN, JASA, ATAU KEGIATAN
Pasal 5
(1) | Penghasilan yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan, terdiri atas:
|
(2) | Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan. |
(3) | Penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai Tetap, baik yang bersifat teratur maupun tidak teratur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat berupa:
|
(4) | Dalam hal penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima atau diperoleh dalam mata uang asing, penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan didasarkan pada nilai tukar (kurs) yang ditetapkan oleh Menteri yang berlaku pada saat pembayaran penghasilan atau pada saat terutangnya penghasilan, sesuai dengan peristiwa yang terjadi terlebih dahulu. |
(1) | Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) yang diterima atau diperoleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri merupakan penghasilan yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21. |
(2) | Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) yang diterima atau diperoleh wajib pajak orang pribadi luar negeri merupakan penghasilan yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan. |
Penghasilan yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), tidak termasuk:
BAB IV
DASAR PENGENAAN DAN PEMOTONGAN PAJAK
PENGHASILAN PASAL 21 DAN/ATAU PAJAK PENGHASILAN
PASAL 26 SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN, JASA, ATAU
KEGIATAN DAN PENGURANGAN YANG DIPERBOLEHKAN
Pasal 8
(1) | Dasar pengenaan dan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 untuk Pegawai Tetap dan Pensiunan, yaitu:
|
(2) | Penghasilan bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sebagai berikut:
|
(3) | Penghasilan kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b sebesar penghasilan neto dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak. |
(4) | Jumlah penghasilan kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibulatkan ke bawah hingga ribuan rupiah penuh. |
(5) | Penghasilan neto sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan seluruh jumlah penghasilan bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam 1 (satu) Tahun Pajak atau bagian Tahun Pajak dikurangi dengan pengurangan yang diperbolehkan. |
(1) | Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) diatur dalam Pasal 7 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Pajak Penghasilan. |
(2) | Penghasilan Tidak Kena Pajak bagi karyawati berlaku ketentuan sebagai berikut:
|
(3) | Dalam hal karyawati kawin dapat menunjukkan keterangan tertulis dari pemerintah daerah setempat serendah-rendahnya kecamatan yang menyatakan bahwa suaminya tidak menerima atau memperoleh penghasilan, besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak merupakan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk dirinya sendiri ditambah Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk status kawin dan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk anggota keluarga sedarah dan/atau keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya. |
(4) | Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan keadaan pada awal tahun kalender. |
(5) | Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk Pegawai yang baru datang dan menetap di Indonesia dalam bagian tahun kalender ditentukan berdasarkan keadaan pada awal bulan dari bagian tahun kalender yang bersangkutan. |
(1) | Pengurangan yang diperbolehkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (5) bagi Pegawai Tetap, yaitu:
|
(2) | Besarnya biaya jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditetapkan sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto, paling banyak Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) setahun atau paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) sebulan. |
(3) | Dalam hal Pegawai Tetap menerima atau memperoleh penghasilan lebih dari satu pemberi kerja, biaya jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dihitung pada masing-masing pemberi kerja. |
(4) | Dalam hal Pegawai Tetap menerima atau memperoleh penghasilan dari pemberi kerja yang bukan merupakan Pemotong Pajak, biaya jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan iuran pensiun yang dibayar sendiri dikurangkan dari penghasilan bruto oleh Pegawai Tetap dalam penghitungan Pajak Penghasilan pada Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi yang bersangkutan. |
(1) | Pengurangan yang diperbolehkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (5) bagi Pensiunan, yaitu:
|
(2) | Besarnya biaya pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditetapkan sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto, paling banyak Rp2.400.000,00 (dua juta empat ratus ribu rupiah) setahun atau paling banyak Rp200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) sebulan. |
(3) | Dalam hal Pensiunan menerima atau memperoleh penghasilan lebih dari satu dana pensiun atau Badan lain yang membayarkan uang pensiun, biaya pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dihitung pada masing-masing dana pensiun atau Badan lain yang membayarkan uang pensiun. |
(1) | Dasar pengenaan dan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 untuk anggota dewan komisaris atau anggota dewan pengawas yang menerima atau memperoleh penghasilan secara tidak teratur yaitu sebesar jumlah penghasilan bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c. | ||||||||
(2) | Dasar pengenaan dan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 untuk Pegawai Tidak Tetap yaitu dalam hal penghasilan bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf d:
| ||||||||
(3) | Dasar pengenaan dan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 untuk Bukan Pegawai yaitu sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf e. | ||||||||
(4) | Jumlah penghasilan bruto untuk Bukan Pegawai sebagaimana dimaksud pada ayat (3):
| ||||||||
(5) | Pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b angka 1, angka 2, dan angka 3 tidak termasuk dalam jumlah bruto sebagai dasar pemotongan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sepanjang dapat dibuktikan dengan:
| ||||||||
(6) | Dasar pengenaan dan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 untuk Peserta Kegiatan yaitu sebesar jumlah penghasilan bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf f yang pembayarannya bersifat utuh dan tidak dipecah. | ||||||||
(7) | Dasar pengenaan dan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 untuk peserta program pensiun yang masih berstatus Pegawai yaitu sebesar jumlah penghasilan bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf g. | ||||||||
(8) | Dasar pengenaan dan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 untuk Mantan Pegawai yaitu sebesar jumlah penghasilan bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf h. | ||||||||
(9) | Dasar pengenaan dan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan untuk wajib pajak orang pribadi luar negeri yaitu sebesar jumlah penghasilan bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1). |
BAB V
TARIF PEMOTONGAN
Pasal 13
(1) | Tarif pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 terdiri atas:
| ||||
(2) | Tarif efektif pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:
| ||||
(3) | Tarif pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 berdasarkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b digunakan atas penghasilan dari pekerjaan, jasa, atau kegiatan wajib pajak orang pribadi. |
(1) | Tarif pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan sebesar 20% (dua puluh persen) dan bersifat final atau sesuai dengan ketentuan persetujuan penghindaran pajak berganda yang berlaku antara Republik Indonesia dan negara atau yurisdiksi domisili wajib pajak luar negeri tersebut. |
(2) | Penerapan ketentuan persetujuan penghindaran pajak berganda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tata cara penerapan persetujuan penghindaran pajak berganda. |
(3) | Dalam hal wajib pajak orang pribadi luar negeri berubah status menjadi wajib pajak orang pribadi dalam negeri, Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan yang sudah dipotong sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak bersifat final dan dapat dikreditkan dengan Pajak Penghasilan Pajak Orang Pribadi yang terutang untuk Tahun Pajak atau bagian Tahun Pajak yang bersangkutan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi. |
BAB VI
PENGHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DAN/ATAU
PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 SEHUBUNGAN DENGAN
PEKERJAAN, JASA, ATAU KEGIATAN
Pasal 15
(1) | Pajak Penghasilan Pasal 21 yang wajib dipotong bagi Pegawai Tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a dan Pensiunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b pada:
|
(2) | Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang selama 1 (satu) Tahun Pajak atau bagian Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dihitung menggunakan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan dikalikan dengan dasar pengenaan dan pemotongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b dalam 1 (satu) Tahun Pajak atau bagian Tahun Pajak. |
(3) | Dalam hal kewajiban pajak subjektif Pegawai Tetap dan/atau Pensiunan baru dimulai setelah bulan Januari atau berakhir sebelum bulan Desember, penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang dilakukan berdasarkan penghasilan neto yang disetahunkan dan pajaknya dihitung secara proporsional terhadap jumlah bulan dalam bagian Tahun Pajak yang bersangkutan. |
(1) | Pajak Penghasilan Pasal 21 yang wajib dipotong bagi anggota dewan komisaris atau anggota dewan pengawas yang menerima atau memperoleh penghasilan secara tidak teratur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c yaitu sebesar tarif efektif bulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a dikalikan dengan dasar pengenaan dan pemotongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1). |
(2) | Pajak Penghasilan Pasal 21 yang wajib dipotong bagi Pegawai Tidak Tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d dihitung menggunakan:
|
(3) | Pajak Penghasilan Pasal 21 yang wajib dipotong bagi Bukan Pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf e dihitung menggunakan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan dikalikan dengan dasar pengenaan dan pemotongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3). |
(4) | Pajak Penghasilan Pasal 21 yang wajib dipotong bagi Peserta Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf f dihitung menggunakan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan dikalikan dengan dasar pengenaan dan pemotongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (6). |
(5) | Pajak Penghasilan Pasal 21 yang wajib dipotong bagi peserta program pensiun yang masih berstatus sebagai Pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf g dihitung menggunakan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan dikalikan dengan dasar pengenaan dan pemotongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (7). |
(6) | Pajak Penghasilan Pasal 21 yang wajib dipotong bagi Mantan Pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf h dihitung menggunakan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan dikalikan dengan dasar pengenaan dan pemotongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (8). |
(7) | Pajak Penghasilan Pasal 26 yang wajib dipotong bagi wajib pajak orang pribadi luar negeri dihitung menggunakan tarif pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dikalikan dengan dasar pengenaan dan pemotongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (9). |
BAB VII
PENGHASILAN DAN PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN
PASAL 21 BAGI PEJABAT NEGARA, PNS, ANGGOTA TNI,
ANGGOTA POLRI, DAN PENSIUNANNYA
Pasal 17
(1) | Penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang menjadi beban APBN atau APBD meliputi penghasilan tetap dan teratur bagi:
| ||||||
(2) | Dasar pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan tetap dan teratur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu:
| ||||||
(3) | Penghasilan bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a yaitu seluruh penghasilan tetap dan teratur yang diterima atau diperoleh Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya. | ||||||
(4) | Penghasilan kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b ditentukan berdasarkan penghasilan neto dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak. | ||||||
(5) | Jumlah penghasilan kena pajak sebagai dasar penerapan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibulatkan ke bawah hingga ribuan rupiah penuh. | ||||||
(6) | Penghasilan neto sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bagi Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, atau Anggota POLRI ditentukan berdasarkan jumlah seluruh penghasilan bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam 1 (satu) Tahun Pajak dikurangi dengan:
| ||||||
(7) | Besarnya penghasilan neto sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bagi Pensiunan ditentukan berdasarkan seluruh penghasilan tetap dan teratur dikurangi dengan:
|
(1) | Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang wajib dipotong bagi Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya pada:
|
(2) | Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang selama 1 (satu) Tahun Pajak atau bagian Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dihitung menggunakan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan dikalikan dengan dasar pengenaan dan pemotongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b dalam 1 (satu) Tahun Pajak atau bagian Tahun Pajak. |
(3) | Dalam hal kewajiban pajak subjektif Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, atau Pensiunan baru dimulai setelah bulan Januari atau berakhir sebelum bulan Desember, penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang dilakukan berdasarkan penghasilan neto yang disetahunkan dan pajaknya dihitung secara proporsional terhadap jumlah bulan dalam bagian Tahun Pajak yang bersangkutan. |
(4) | Dalam hal Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, atau Pensiunan menerima penghasilan dari 2 (dua) pemberi kerja dan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas seluruh penghasilan dimaksud ditanggung oleh pemerintah, penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 pada Masa Pajak Terakhir yang dilakukan oleh selain pemberi kerja yang membayar gaji pokok harus memperhitungkan jumlah seluruh penghasilan tetap dan teratur yang diterima atau diperoleh Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, atau Pensiunan, termasuk penghasilan dalam penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 pada pemberi kerja yang membayar gaji pokok. |
(5) | Penghitungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dalam hal:
|
(6) | Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf c dibuat sesuai contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
BAB VIII
SAAT TERUTANG DAN TATA CARA PEMOTONGAN PAJAK
PENGHASILAN PASAL 21 DAN/ATAU PAJAK PENGHASILAN
PASAL 26 SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN, JASA, ATAU
(1) | Saat terutang Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan bagi penerima penghasilan yaitu pada saat terjadinya:
|
(2) | Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan oleh Pemotong Pajak dilakukan untuk setiap Masa Pajak. |
(3) | Pemotongan untuk setiap Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling lambat akhir bulan saat terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(4) | Pemotongan atas penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam peraturan Menteri mengenai perlakuan pajak penghasilan atas penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan. |
(1) | Pemotong Pajak wajib:
|
(2) | Catatan atau kertas kerja penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan untuk masing-masing penerima penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c menjadi dasar pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan yang terutang untuk setiap Masa Pajak. |
(3) | Ketentuan mengenai kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap berlaku dalam hal terdapat penghasilan yang diberikan, termasuk apabila jumlah pajak yang dipotong pada bulan yang bersangkutan nihil. |
(4) | Dalam hal tidak terdapat pemberian penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan orang pribadi pada bulan yang bersangkutan, ketentuan mengenai kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku. |
(5) | Bentuk formulir atas bukti pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. |
(1) | Dalam hal jumlah Pajak Penghasilan Pasal 21 yang telah dipotong pada Masa Pajak selain Masa Pajak Terakhir dalam Tahun Pajak yang bersangkutan lebih besar daripada Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang selama 1 (satu) Tahun Pajak atau bagian Tahun Pajak, kelebihan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang telah dipotong tersebut wajib dikembalikan oleh Pemotong Pajak kepada Pegawai Tetap dan Pensiunan yang bersangkutan beserta dengan pemberian bukti pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21, paling lambat akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak Terakhir. |
(2) | Tidak termasuk kelebihan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu Pajak Penghasilan Pasal 21 yang ditanggung pemerintah. |
(3) | Dalam hal pada suatu Masa Pajak terjadi kelebihan penyetoran pajak yang terutang oleh Pemotong Pajak, kelebihan penyetoran tersebut dapat diperhitungkan dengan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan yang terutang pada bulan berikutnya melalui Surat Pemberitahuan Masa. |
(4) | Dalam hal terdapat kelebihan penyetoran pajak pada pembetulan Surat Pemberitahuan Masa, kelebihan penyetoran tersebut dapat diperhitungkan dengan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan yang terutang pada bulan-bulan berikutnya, tanpa harus berurutan. |
(1) | Penerima penghasilan mempunyai hak untuk menerima bukti pemotongan dari Pemotong Pajak. |
(2) | Penerima penghasilan mempunyai hak untuk menerima pengembalian kelebihan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang telah dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) kecuali atas Pajak Penghasilan Pasal 21 yang ditanggung pemerintah. |
(3) | Jumlah Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong, selain Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final, merupakan kredit pajak bagi penerima penghasilan untuk Tahun Pajak atau bagian Tahun Pajak terutangnya penghasilan. |
(4) | Penerima penghasilan wajib melaporkan seluruh penghasilan yang telah diterima atau diperoleh, baik yang telah dipotong pajak penghasilan maupun tidak dipotong pajak penghasilan, yang bersifat final maupun tidak final, dan yang bukan merupakan objek pajak penghasilan, dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi. |
Tata cara penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan sesuai petunjuk umum dan contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf B dan huruf C yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 24
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
a. | Peraturan Menteri Keuangan Nomor 250/PMK.03/2008 tentang Besarnya Biaya Jabatan atau Biaya Pensiun yang dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto Pegawai Tetap atau Pensiunan; |
b. | Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi; |
c. | Peraturan Menteri Keuangan Nomor 102/PMK.010/2016 tentang Penetapan Bagian Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan dari Pegawai Harian dan Mingguan serta Pegawai Tidak Tetap Lainnya yang Tidak Dikenakan Pemotongan Pajak Penghasilan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 951); dan |
d. | Pasal 5, Pasal 8, Bagian Pertama angka I, dan Bagian Kedua angka I Lampiran Peraturan Menteri Keuangan Nomor 262/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya atas Penghasilan yang Menjadi Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 601), |
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2024.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Desember 2023
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
SRI MULYANI INDRAWATI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 29 Desember 2023
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
ASEP N. MULYANA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2023 NOMOR 1112