Pemberian Perizinan Berusaha, Kemudahan Berusaha, Dan Fasilitas Penanaman Modal Bagi Pelaku Usaha Di Ibu Kota Nusantara
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 12 TAHUN 2023
TENTANG
PEMBERIAN PERIZINAN BERUSAHA, KEMUDAHAN BERUSAHA, DAN
FASILITAS PENANAMAN MODAL BAGI PELAKU USAHA
DI IBU KOTA NUSANTARA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PEMBERIAN PERIZINAN BERUSAHA, KEMUDAHAN BERUSAHA, DAN FASILITAS PENANAMAN MODAL BAGI PELAKU USAHA DI IBU KOTA NUSANTARA.
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
(1) | Peraturan Pemerintah ini bertujuan untuk memberikan kepastian, kesempatan, dan partisipasi yang lebih besar kepada Pelaku Usaha dalam rangka percepatan pembangunan di Ibu Kota Nusantara. |
(2) | Dalam rangka percepatan pembangunan di Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otorita Ibu Kota Nusantara berdasarkan kriteria dan sesuai dengan rencana detail tata ruang Ibu Kota Nusantara dan Rencana Induk Ibu Kota Nusantara menetapkan Daerah Mitra. |
(3) | Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan usaha di Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau kegiatan usaha di Daerah Mitra sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan Perizinan Berusaha, kemudahan berusaha, dan Fasilitas Penanaman Modal. |
(4) | Kegiatan usaha yang diberikan Perizinan Berusaha, kemudahan berusaha, dan Fasilitas Penanaman Modal, di Daerah Mitra sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Kepala Otorita. |
(5) | Pemberian fasilitas fiskal yang menjadi kewenangan pemerintah daerah di Daerah Mitra dikoordinasikan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara dengan pemerintah daerah di Daerah Mitra. |
(6) | Pemberian fasilitas fiskal yang menjadi kewenangan pemerintah pusat dikoordinasikan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara dengan pemerintah pusat. |
Lingkup pengaturan Peraturan Pemerintah meliputi:
BAB II
PERIZINAN BERUSAHA
Bagian Kesatu
Umum
(1) | Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a diberikan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara sesuai dengan kewenangannya kepada Pelaku Usaha yang akan memulai dan melakukan kegiatan usaha di Ibu Kota Nusantara dan Daerah Mitra. |
(2) | Pelaku Usaha yang akan memulai dan melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dipersyaratkan konfirmasi status Wajib Pajak. |
(3) | Perizinan Berusaha di Ibu Kota Nusantara dan di Daerah Mitra sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terintegrasi melalui Sistem OSS sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Perizinan Berusaha di Ibu Kota Nusantara dan Daerah Mitra sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, tidak diberlakukan ketentuan mengenai persyaratan pembatasan kepemilikan modal asing pada bidang usaha tertentu.
Perizinan Berusaha di Ibu Kota Nusantara dan Daerah Mitra sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 diberlakukan persyaratan kemitraan dengan usaha mikro, kecil, menengah, atau koperasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pelaku Usaha yang akan memulai dan melakukan kegiatan usaha di Ibu Kota Nusantara dan Daerah Mitra sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) harus memenuhi:
Bagian Kedua
Persyaratan Dasar Perizinan Berusaha
Pasal 8
Persyaratan dasar Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a meliputi:
(1) | Kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a merupakan kesesuaian rencana kegiatan usaha dengan rencana tata ruang dan/atau rencana zonasi. |
(2) | Kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara kepada Pelaku Usaha yang memiliki lokasi usaha sesuai dengan rencana detail tata ruang Ibu Kota Nusantara. |
(3) | Dalam hal rencana detail tata ruang Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum ditetapkan oleh Kepala Otorita, pemberian kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang dilakukan berdasarkan rencana tata ruang KSN Ibu Kota Nusantara, rencana tata ruang Pulau Kalimantan, rencana zonasi kawasan antarwilayah Selat Makassar, atau rencana tata ruang wilayah Nasional. |
(4) | Otorita Ibu Kota Nusantara harus menyusun dan menyediakan rencana detail tata ruang Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam bentuk digital dan sesuai standar. |
(5) | Dalam kondisi tertentu rencana detail tata ruang Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dilakukan peninjauan kembali dengan tetap memperhatikan rencana tata ruang KSN Ibu Kota Nusantara dan Rencana Induk Ibu Kota Nusantara. |
(6) | Kondisi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) merupakan perubahan kebijakan nasional yang bersifat strategis sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Persetujuan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b mengacu pada analisis mengenai dampak lingkungan kawasan Ibu Kota Nusantara. |
(2) | Dalam hal Pelaku Usaha melaksanakan kegiatan usaha yang memiliki dampak penting terhadap lingkungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup, Pelaku Usaha wajib menyampaikan rencana pengelolaan lingkungan hidup rinci dan rencana pemantauan lingkungan hidup rinci. |
(3) | Pemberian persetujuan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup. |
(1) | Persetujuan bangunan gedung dan sertifikat laik fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf c diberikan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara kepada Pelaku Usaha yang telah mendapatkan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan persetujuan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10. |
(2) | Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara paralel dapat melakukan pembangunan konstruksi, sesuai gambar konstruksi yang disampaikan kepada Otorita Ibu Kota Nusantara, dan pengurusan persetujuan bangunan gedung. |
(3) | Pemberian persetujuan bangunan gedung dan sertifikat laik fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan biaya Rp0,00 (nol rupiah) untuk jangka waktu tertentu. |
(4) | Jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Kepala Otorita. |
(5) | Jangka waktu berlakunya sertifikat laik fungsi bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan selama 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang sesuai dengan kelaikan fungsi bangunan gedung. |
(6) | Perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan berdasarkan evaluasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang bangunan gedung. |
(7) | Pemberian persetujuan bangunan gedung dan sertifikat laik fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Bagian Ketiga
Perizinan Berusaha Sektor
Pasal 12
Perizinan Berusaha sektor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b terdiri atas sektor:
Bagian Keempat
Verifikasi
Pasal 13
(1) | Verifikasi dalam proses pemberian persetujuan persyaratan dasar Perizinan Berusaha dan/atau Perizinan Berusaha sektor untuk tingkatan risiko tertentu di Ibu Kota Nusantara dilakukan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara. |
(2) | Otorita Ibu Kota Nusantara dalam melakukan verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menugaskan lembaga atau profesi ahli yang bersertifikat atau terakreditasi. |
(3) | Sumber pendanaan atas penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibebankan pada:
|
(1) | Berdasarkan hasil verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Otorita Ibu Kota Nusantara memberikan persetujuan Perizinan Berusaha kepada Pelaku Usaha. |
(2) | Pelaku Usaha yang sudah mendapatkan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan laporan dalam bentuk laporan kegiatan Penanaman Modal melalui Sistem OSS. |
(3) | Tata cara penyampaian laporan kegiatan Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Penanaman Modal. |
Untuk mendukung percepatan pemberian persetujuan persyaratan dasar Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a dan/atau Perizinan Berusaha sektor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b dapat dilakukan penyederhanaan dan modernisasi sistem Perizinan Berusaha.
BAB III
KEMUDAHAN BERUSAHA
Bagian Kesatu
Pemberian HAT
Pasal 16
(1) | Tanah di Ibu Kota Nusantara ditetapkan sebagai:
|
(2) | Tanah yang ditetapkan sebagai barang milik negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a pelaksanaan pengelolaannya dilakukan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(3) | Tanah yang ditetapkan sebagai ADP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diberikan kepada Otorita Ibu Kota Nusantara dengan HPL. |
(4) | Tanah yang diberikan HPL sebagaimana dimaksud pada ayat (3) pelaksanaan pengelolaannya dilakukan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara sesuai dengan kewenangannya. |
(5) | Otorita Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berwenang untuk melakukan:
|
(1) | Tanah yang dialokasikan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara kepada Pelaku Usaha dapat diberikan HAT berupa:
|
(2) | Pengalokasian bagian tanah HPL kepada Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam bentuk perjanjian antara Otorita Ibu Kota Nusantara dengan Pelaku Usaha. |
(3) | Otorita Ibu Kota Nusantara memberikan jaminan kepastian jangka waktu HGU, HGB, atau hak pakai kepada Pelaku Usaha yang dimuat dalam perjanjian. |
(4) | Dalam hal Otorita Ibu Kota Nusantara mengalokasikan bagian tanah HPL kepada Pelaku Usaha, maka:
|
(1) | Jangka waktu HGU di atas HPL Otorita Ibu Kota Nusantara diberikan paling lama 95 (sembilan puluh lima) tahun melalui 1 (satu) siklus pertama dengan tahapan:
|
(2) | HGU yang diberikan untuk 1 (satu) siklus pertama dengan jangka waktu paling lama 95 (sembilan puluh lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam keputusan pemberian hak dan dicatat dalam sertipikat HGU. |
(3) | Perpanjangan dan pembaruan HGU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c diberikan sekaligus setelah 5 (lima) tahun HGU digunakan dan/atau dimanfaatkan secara efektif sesuai dengan tujuan pemberian haknya. |
(4) | Dalam tenggang waktu 10 (sepuluh) tahun sebelum HGU siklus pertama berakhir, Pelaku Usaha dapat mengajukan permohonan pemberian kembali HGU untuk 1 (satu) siklus kedua dengan jangka waktu paling lama 95 (sembilan puluh lima) tahun sesuai dengan perjanjian pemanfaatan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2). |
(5) | Permohonan pemberian kembali HGU sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diberikan jika memenuhi kriteria sebagai berikut:
|
(6) | Perpanjangan dan pembaruan HGU sekaligus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan pemberian kembali HGU untuk siklus kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diberikan setelah dilakukan evaluasi bersama antara Otorita Ibu Kota Nusantara dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agraria dan tata ruang. |
(7) | Atas perpanjangan dan pembaruan HGU sekaligus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) serta pemberian kembali HGU untuk siklus kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dimuat dalam sertipikat HGU. |
(1) | Jangka waktu HGB di atas HPL Otorita Ibu Kota Nusantara diberikan paling lama 80 (delapan puluh) tahun melalui 1 (satu) siklus pertama dengan tahapan:
|
(2) | HGB yang diberikan untuk 1 (satu) siklus pertama dengan jangka waktu paling lama 80 (delapan puluh) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam keputusan pemberian hak dan dicatat dalam sertipikat HGB. |
(3) | Perpanjangan dan pembaruan HGB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c diberikan sekaligus setelah 5 (lima) tahun HGB digunakan dan/atau dimanfaatkan secara efektif sesuai dengan tujuan pemberian haknya. |
(4) | Dalam hal jangka waktu pemberian HGB untuk siklus pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan berakhir, HGB dapat diberikan kembali untuk 1 (satu) siklus kedua apabila diperjanjikan. |
(5) | Perpanjangan dan pembaruan HGB sekaligus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan pemberian kembali HGB untuk siklus kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diberikan setelah dilakukan evaluasi bersama antara Otorita Ibu Kota Nusantara dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agraria dan tata ruang, dan dimuat dalam perjanjian. |
(6) | Dalam hal HGB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibangun bangunan properti untuk hunian dan dilakukan pengalihan kepada masyarakat, berlaku ketentuan:
|
(7) | Peningkatan HGB menjadi hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf a dilaksanakan setelah Otorita Ibu Kota Nusantara melakukan penghapusan ADP melalui pelepasan HPL sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Jangka waktu hak pakai di atas HPL Otorita Ibu Kota Nusantara diberikan paling lama 80 (delapan puluh) tahun melalui 1 (satu) siklus pertama dengan tahapan:
|
(2) | Hak pakai yang diberikan untuk 1 (satu) siklus pertama dengan jangka waktu paling lama 80 (delapan puluh) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam keputusan pemberian hak dan dicatat dalam sertipikat hak pakai. |
(3) | Perpanjangan dan pembaruan hak pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c diberikan sekaligus setelah 5 (lima) tahun hak pakai digunakan dan/atau dimanfaatkan secara efektif sesuai dengan tujuan pemberian haknya. |
(4) | Dalam hal jangka waktu pemberian hak pakai untuk siklus pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan berakhir, hak pakai dapat diberikan kembali untuk 1 (satu) siklus kedua apabila diperjanjikan. |
(5) | Perpanjangan dan pembaruan hak pakai sekaligus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan pemberian kembali hak pakai untuk siklus kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diberikan setelah dilakukan evaluasi bersama antara Otorita Ibu Kota Nusantara dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agraria dan tata ruang, dan dimuat dalam perjanjian. |
(6) | Untuk rumah hunian bagi warga negara asing diberikan hak pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(1) | Pemberian HAT berupa HGU, HGB, atau hak pakai di atas HPL dikenakan BPHTB dengan tarif 0% (nol persen) dari nilai perolehan untuk jangka waktu tertentu. |
(2) | HAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dialihkan, diwariskan, atau dibebani hak tanggungan setelah mendapat persetujuan dari Otorita Ibu Kota Nusantara. |
(3) | Pihak yang mendapatkan pengalihan HAT sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dikenakan BPHTB dengan tarif 0% (nol persen) untuk jangka waktu tertentu. |
(4) | Ketentuan mengenai pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Kepala Otorita. |
Bagian Kedua
Tenaga Kerja Asing
Pasal 22
(1) | Pelaku Usaha yang melaksanakan kegiatan usaha di wilayah Ibu Kota Nusantara dapat mempekerjakan tenaga kerja asing untuk jabatan tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun dan dapat diperpanjang. |
(3) | Pelaku Usaha yang mempekerjakan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk Pelaku Usaha yang melakukan pekerjaan proyek strategis milik pemerintah di Ibu Kota Nusantara dibebaskan dari kewajiban pembayaran dana kompensasi penggunaan tenaga kerja asing untuk jangka waktu tertentu. |
(4) | Kewajiban pembayaran dana kompensasi penggunaan tenaga kerja asing bagi instansi pemerintah, perwakilan negara asing, badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, atau jabatan tertentu di lembaga pendidikan dibebaskan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(5) | Jangka waktu tertentu untuk pembebasan dari kewajiban pembayaran dana kompensasi penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Kepala Otorita. |
(1) | Tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) dapat diberikan izin tinggal untuk jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Dalam hal jangka waktu pemberian izin tinggal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan berakhir, jangka waktu pemberian izin tinggal dapat dilakukan perpanjangan sesuai dengan jangka waktu perjanjian kerja antara Pelaku Usaha dengan tenaga kerja asing. |
(3) | Bagi pemegang saham yang menjabat pengurus perusahaan diberikan izin tinggal selama sebagai pengurus perusahaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Bagian Ketiga
Perumahan dan Kawasan Permukiman
Pasal 24
(1) | Dalam pengaturan rencana detail tata ruang Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) ditetapkan zonasi bagi penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman di wilayah Ibu Kota Nusantara. |
(2) | Penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperhatikan zonasi:
|
(3) | Warga negara asing dilarang membeli, memiliki, dan/atau menguasai perumahan sederhana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, yang perolehannya mendapat bantuan dan/atau kemudahan pembiayaan perumahan dari pemerintah. |
(1) | Untuk percepatan pembangunan dan penyediaan perumahan dan kawasan permukiman bagi masyarakat di Ibu Kota Nusantara, Pelaku Usaha di bidang perumahan dan kawasan permukiman yang belum dapat memenuhi kewajiban hunian berimbang di wilayah lain, dapat dilaksanakan di wilayah Ibu Kota Nusantara. |
(2) | Pelaksanaan pemenuhan hunian berimbang oleh Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui permohonan kepada Kepala Otorita dengan opsi:
|
(3) | Permohonan kepada Kepala Otorita sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan dengan melampirkan pernyataan mandiri kewajiban hunian berimbang. |
(4) | Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditembuskan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perumahan rakyat dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri. |
(5) | Atas permohonan Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kepala Otorita berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perumahan rakyat dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri. |
(6) | Berdasarkan pertimbangan pemenuhan kewajiban hunian berimbang dari hasil koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Kepala Otorita menetapkan pelaksanaan pemenuhan kewajiban hunian berimbang sesuai prioritas pembangunan perumahan dan kawasan permukiman di wilayah Ibu Kota Nusantara. |
(7) | Kepala Otorita menyampaikan laporan pelaksanaan pemenuhan kewajiban hunian berimbang secara berkala sekurang-kurangnya setiap 1 (satu) tahun sekali kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perumahan rakyat dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri. |
BAB IV
FASILITAS PENANAMAN MODAL
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 26
(1) | Fasilitas Penanaman Modal meliputi segala bentuk insentif fiskal dan nonfiskal, baik yang menjadi:
|
(2) | Fasilitas Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. |
(3) | Pemberian Fasilitas Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan melalui Sistem OSS atau saluran elektronik yang tersedia di Kementerian Keuangan. |
Bagian Kedua
Fasilitas Pajak Penghasilan
Paragraf 1
Umum
Pasal 27
(1) | Fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) huruf a angka 1 yang diberikan di Ibu Kota Nusantara berupa fasilitas:
|
(2) | Fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) huruf a angka 1 yang diberikan di Daerah Mitra berupa fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan bagi Wajib Pajak badan dalam negeri. |
Paragraf 2
Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan bagi Wajib
Pajak Dalam Negeri
Pasal 28
(1) | Wajib Pajak badan dalam negeri yang melakukan Penanaman Modal di Ibu Kota Nusantara diberikan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) huruf a. |
(2) | Fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk nilai Penanaman Modal paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). |
(3) | Penanaman Modal yang mendapatkan fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Penanaman Modal di bidang usaha yang memiliki nilai strategis untuk mempercepat pembangunan dan pengembangan Ibu Kota Nusantara yang meliputi:
|
(4) | Infrastruktur dan layanan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dapat berupa:
|
(5) | Bangkitan ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dapat berupa:
|
(6) | Bidang usaha lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dapat berupa:
|
(7) | Bidang usaha lainnya untuk jasa perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf d, jasa konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf e, dan jasa perantara real estat sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf f merupakan jasa yang berlokasi dan mendapatkan penghasilan dari kegiatan usaha di Ibu Kota Nusantara. |
(8) | Perubahan cakupan bidang usaha infrastruktur dan layanan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (4), bidang usaha bangkitan ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dan bidang usaha lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (6), dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara berdasarkan usulan Kepala Otorita. |
(9) | Ketentuan mengenai perubahan cakupan bidang usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (8) diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. |
(10) | Ketentuan mengenai perincian dari masing-masing cakupan bidang usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur dengan Peraturan Kepala Otorita setelah berkoordinasi dengan kementerian/lembaga terkait. |
(1) | Pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) diberikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah Pajak Penghasilan badan yang terutang. |
(2) | Pengurangan Pajak Penghasilan badan untuk bidang usaha infrastruktur dan layanan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (3) huruf a, diberikan selama:
|
(3) | Pengurangan Pajak Penghasilan badan untuk bidang usaha bangkitan ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (3) huruf b diberikan selama:
|
(4) | Pengurangan Pajak Penghasilan badan untuk bidang usaha lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (3) huruf c diberikan selama:
|
(5) | Dikecualikan dari ketentuan ayat (1) untuk pengurangan Pajak Penghasilan badan untuk bidang usaha lainnya yang diberikan selama 10 (sepuluh) tahun pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b, pengurangan Pajak Penghasilan badan diberikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari persentase pengurangan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(6) | Ketentuan mengenai:
|
(1) | Wajib Pajak badan dalam negeri yang melakukan Penanaman Modal di Daerah Mitra diberikan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2). |
(2) | Fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk nilai Penanaman Modal paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). |
(3) | Penanaman Modal yang mendapatkan fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Penanaman Modal di bidang usaha infrastruktur dan layanan umum yang dapat berupa:
|
(1) | Pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) diberikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah Pajak Penghasilan badan yang terutang. |
(2) | Pengurangan Pajak Penghasilan badan untuk bidang usaha infrastruktur dan layanan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3), diberikan selama:
|
(3) | Ketentuan mengenai:
|
Paragraf 3
Fasilitas Pajak Penghasilan atas Kegiatan Sektor Keuangan di
Financial Center
Pasal 32
(1) | Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap yang melakukan kegiatan usaha sektor keuangan di Financial Center Ibu Kota Nusantara, diberikan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) huruf b dengan persentase dan jangka waktu tertentu. | |
(2) | Kegiatan usaha sektor keuangan di Financial Center Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup kegiatan usaha:
| |
(3) | Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap yang melakukan kegiatan usaha sektor keuangan di Financial Center Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf c diberikan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah Pajak Penghasilan badan yang terutang atas bagian penghasilan yang digunakan untuk investasi atau membiayai pembangunan, pengembangan, dan kegiatan ekonomi di wilayah Ibu Kota Nusantara dan/atau Daerah Mitra. | |
(4) | Fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan untuk sektor keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan selama:
| |
(5) | Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap yang melakukan kegiatan usaha sektor keuangan di Financial Center Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d sampai dengan huruf r, diberikan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebesar 85% (delapan puluh lima persen) dari jumlah Pajak Penghasilan badan yang terutang atas:
| |
(6) | Fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan untuk sektor keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diberikan selama:
| |
(7) | Ketentuan mengenai kegiatan usaha sektor keuangan di Financial Center sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan otoritas di sektor keuangan. | |
(8) | Ketentuan mengenai:
|
(1) | Penghasilan yang berasal dari investasi pada Financial Center di Ibu Kota Nusantara yang diterima atau diperoleh subjek pajak luar negeri dibebaskan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan selama jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terhitung mulai pertama kali penempatan dana di Financial Center di Ibu Kota Nusantara. |
(2) | Ketentuan mengenai pemberian pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. |
(1) | Perizinan Berusaha sektor keuangan di Financial Center sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 yang berada di area Ibu Kota Nusantara, termasuk area Financial Center, diterbitkan oleh otoritas di sektor keuangan. |
(2) | Area Financial Center sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Otorita yang dicantumkan dalam rencana detail tata ruang. |
(3) | Bagi Pelaku Usaha yang menyelenggarakan kegiatan Financial Center:
|
(4) | Pengawasan perizinan dan kegiatan usaha untuk Pelaku Usaha sektor keuangan yang memperoleh Perizinan Berusaha dari otoritas di sektor keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh otoritas di sektor keuangan sesuai dengan kewenangannya. |
(5) | Pengenaan sanksi dalam rangka pengawasan kepada Pelaku Usaha sektor keuangan yang memperoleh Perizinan Berusaha dari otoritas di sektor keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikenakan oleh otoritas di sektor keuangan sesuai dengan kewenangannya. |
Paragraf 4
Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan untuk Pendirian
dan/atau Pemindahan Kantor Pusat dan/atau Kantor Regional
(1) | Pelaku Usaha yang berstatus subjek pajak luar negeri yang mendirikan dan/atau memindahkan kantor pusat dan/atau kantor regionalnya ke Ibu Kota Nusantara diberikan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) huruf c. |
(2) | Pemberian fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan ketentuan:
|
(3) | Afiliasi dan/atau entitas usaha yang terkait di luar Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a merupakan anak usaha, cabang usaha, joint venture, atau entitas sejenis lainnya. |
(4) | Wajib Pajak dalam negeri yang mendirikan kantor pusat dan/atau kantor regionalnya di Ibu Kota Nusantara diberikan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) huruf c atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Pelaku Usaha di Ibu Kota Nusantara atau masyarakat di Ibu Kota Nusantara. |
(5) | Pemberian fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diberikan dengan ketentuan:
|
(6) | Fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (4) diberikan sampai dengan tahun 2045. |
(1) | Fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 diberikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah Pajak Penghasilan badan yang terutang. |
(2) | Fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan selama 10 (sepuluh) tahun pajak. |
(3) | Setelah jangka waktu pemberian pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir Wajib Pajak diberikan pengurangan Pajak Penghasilan badan sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah Pajak Penghasilan badan yang terutang selama 10 (sepuluh) tahun pajak berikutnya. |
(4) | Ketentuan mengenai:
|
Paragraf 5
Pemberian Persetujuan, Pemanfaatan, Kewajiban, Larangan, dan
Pencabutan Fasilitas
Pasal 37
(1) | Persetujuan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1), Pasal 31 ayat (1), Pasal 32 ayat (1), Pasal 35 ayat (1), dan Pasal 35 ayat (4) diberikan berdasarkan keputusan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. |
(2) | Untuk memperoleh persetujuan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Wajib Pajak harus mengajukan permohonan:
|
(3) | Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui Sistem OSS. |
(4) | Pemberian persetujuan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilimpahkan kewenangannya dalam bentuk mandat oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang investasi/koordinasi penanaman modal. |
(1) | Fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1), Pasal 31 ayat (1), Pasal 32 ayat (1), Pasal 35 ayat (1), atau Pasal 35 ayat (4) mulai dimanfaatkan Wajib Pajak sejak tahun pajak saat mulai beroperasi komersial. |
(2) | Pemanfaatan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara berdasarkan hasil pemeriksaan lapangan yang dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak. |
(3) | Direktur Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) setelah menerima permohonan pemanfaatan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan dari Wajib Pajak. |
(4) | Direktur Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(5) | Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara melimpahkan kewenangan untuk menetapkan pemanfaatan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam bentuk delegasi kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi Ibu Kota Nusantara. |
(6) | Direktur Jenderal Pajak melimpahkan kewenangan untuk:
|
(7) | Permohonan pemanfaatan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan setelah saat mulai beroperasi komersial. |
(8) | Permohonan pemanfaatan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh Wajib Pajak melalui Sistem OSS. |
(1) | Wajib Pajak yang telah memperoleh fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1), Pasal 31 ayat (1), atau Pasal 32 ayat (1) wajib:
|
(2) | Wajib Pajak yang telah memperoleh fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) atau Pasal 35 ayat (4) wajib:
|
Wajib Pajak yang telah memperoleh fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) atau Pasal 31 ayat (1) dilarang:
(1) | Dalam hal Wajib Pajak yang telah memperoleh fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1), Pasal 31 ayat (1), Pasal 32 ayat (1), Pasal 35 ayat (1), atau Pasal 35 ayat (4):
|
(2) | Terhadap Wajib Pajak yang telah dilakukan pencabutan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengurangan Pajak Penghasilan badan yang telah dimanfaatkan wajib dibayar kembali dan dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
Paragraf 6
Fasilitas Pengurangan Penghasilan Bruto atas
Penyelenggaraan Kegiatan Praktik Kerja, Pemagangan,
dan/atau Pembelajaran untuk Pembinaan dan Pengembangan
Sumber Daya Manusia Berbasis Kompetensi Tertentu
(1) | Wajib Pajak badan dalam negeri yang menyelenggarakan dan/atau mengikutsertakan sumber daya manusia pada kegiatan pendidikan dan/atau pelatihan di Ibu Kata Nusantara untuk kegiatan praktik kerja, pemagangan, dan/atau pembelajaran dalam rangka pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia berbasis kompetensi tertentu diberikan fasilitas pengurangan penghasilan bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) huruf d. |
(2) | Fasilitas pengurangan penghasilan bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling tinggi 250% (dua ratus lima puluh persen) dari jumlah biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan praktik kerja, pemagangan, dan/atau pembelajaran. |
(3) | Kegiatan praktik kerja dan/atau pemagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kegiatan yang dapat diikuti oleh:
|
(4) | Kegiatan pembelajaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kegiatan pengajaran yang dilakukan oleh pihak yang ditugaskan oleh Wajib Pajak untuk mengajar di sekolah menengah kejuruan, madrasah aliyah kejuruan, perguruan tinggi program diploma pada pendidikan vokasi, dan/atau balai latihan kerja yang berlokasi di wilayah Ibu Kota Nusantara. |
(5) | Kompetensi kegiatan praktik kerja, pemagangan, dan/atau pembelajaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Otorita. |
(6) | Untuk memperoleh fasilitas pengurangan penghasilan bruto sebagaimana. dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak harus menyampaikan permohonan melalui Sistem OSS. |
(7) | Ketentuan mengenai:
|
Fasilitas pengurangan penghasilan bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 diberikan sampai dengan tahun 2035.
Paragraf 7
Fasilitas Pengurangan Penghasilan Bruto atas Kegiatan
Penelitian dan Pengembangan Tertentu
Pasal 44
(1) | Wajib Pajak badan dalam negeri yang mempunyai tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha yang melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan tertentu di Ibu Kota Nusantara, diberikan fasilitas pengurangan penghasilan bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) huruf e. |
(2) | Fasilitas pengurangan penghasilan bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling tinggi 350% (tiga ratus lima puluh persen) dari jumlah biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan penelitian dan pengembangan tertentu yang dibebankan dalam jangka waktu tertentu. |
(3) | Kegiatan penelitian dan pengembangan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kegiatan penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Ibu Kota Nusantara untuk menghasilkan invensi, mengembangkan inovasi, penguasaan teknologi baru, dan/atau alih teknologi bagi pengembangan industri untuk peningkatan daya saing industri nasional. |
(4) | Untuk memperoleh fasilitas pengurangan penghasilan bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak harus menyampaikan permohonan melalui Sistem OSS. |
(5) | Fasilitas pengurangan penghasilan bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sampai dengan tahun 2035. |
(6) | Ketentuan mengenai:
|
Paragraf 8
Fasilitas Pengurangan Penghasilan Bruto Usaha atas
Sumbangan dan/atau biaya Pembangunan Fasilitas Umum,
Fasilitas Sosial, dan/atau Fasilitas Lainnya
yang Bersifat Nirlaba
Pasal 45
(1) | Wajib Pajak dalam negeri yang memberikan sumbangan dan/atau biaya pembangunan fasilitas umum, fasilitas sosial, dan/atau fasilitas lainnya yang bersifat nirlaba di wilayah Ibu Kota Nusantara diberikan fasilitas pengurangan penghasilan bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) huruf f. |
(2) | Fasilitas pengurangan penghasilan bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk pengurangan penghasilan bruto untuk penghitungan penghasilan kena pajak bagi Wajib Pajak sampai jumlah tertentu paling tinggi 200% (dua ratus persen) dari jumlah sumbangan dan/atau biaya yang dikeluarkan untuk pembangunan fasilitas umum, fasilitas sosial, dan/atau fasilitas lainnya yang bersifat nirlaba. |
(3) | Sumbangan dan/atau biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk uang, barang, dan/atau biaya pembangunan fasilitas umum, fasilitas sosial, dan/atau fasilitas lainnya yang bersifat nirlaba. |
(4) | Sumbangan dan/atau biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikurangkan dari penghasilan bruto dengan syarat:
|
(5) | Fasilitas pengurangan penghasilan bruto atas sumbangan dan/atau biaya pembangunan fasilitas umum, fasilitas sosial, dan/atau fasilitas lainnya yang bersifat nirlaba sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sampai dengan tahun 2035. |
(6) | Pemanfaatan sumbangan dan/atau biaya diberikan untuk pembangunan fasilitas umum, fasilitas sosial, dan/atau fasilitas lainnya yang bersifat nirlaba sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Otorita. |
Sumbangan dan/atau biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto bagi pihak pemberi dalam hal sumbangan dan/atau biaya digunakan untuk membangun fasilitas umum, fasilitas sosial, dan/atau fasilitas lainnya yang bersifat nirlaba merupakan kewajiban dari kegiatan usaha pemberi sumbangan dan/atau biaya di wilayah Ibu Kota Nusantara.
(1) | Nilai sumbangan dan/atau biaya dalam bentuk uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3) ditentukan berdasarkan jumlah nominal uang yang diberikan. |
(2) | Nilai sumbangan dan/atau biaya dalam bentuk barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3) ditentukan berdasarkan:
|
(3) | Nilai sumbangan dan/atau biaya dalam bentuk biaya pembangunan fasilitas umum, fasilitas sosial, dan/atau fasilitas lainnya yang bersifat nirlaba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3) ditentukan berdasarkan jumlah yang sesungguhnya dikeluarkan untuk membangun fasilitas umum, fasilitas sosial, dan/atau fasilitas lainnya yang bersifat nirlaba. |
(1) | Sumbangan dan/atau biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) harus dicatat sesuai dengan peruntukannya oleh pemberi sumbangan dan/atau biaya. |
(2) | Kepala Otorita harus menyampaikan laporan penerimaan sumbangan dan/atau biaya kepada Direktur Jenderal Pajak paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah akhir tahun pajak diterimanya sumbangan dan/atau biaya. |
(1) | Untuk memperoleh fasilitas atas sumbangan dan/atau biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1), Wajib Pajak harus menyampaikan permohonan melalui Sistem OSS atau saluran elektronik yang tersedia di Kementerian Keuangan. |
(2) | Dalam hal Sistem ass atau saluran elektronik di Kementerian Keuangan belum tersedia, permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan secara luring kepada Kepala Otorita dengan ditembuskan kepada Direktur Jenderal Pajak. |
(3) | Ketentuan mengenai:
|
Paragraf 9
Fasilitas Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah
(1) | Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai sehubungan dengan pekerjaan wajib dipotong Pajak Penghasilan oleh pemberi kerja sesuai ketentuan dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan beserta perubahannya. |
(2) | Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas penghasilan yang diterima pegawai tertentu diberikan fasilitas berupa Pajak Penghasilan ditanggung pemerintah dan bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) huruf g. |
(3) | Pegawai tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan pegawai yang:
|
(4) | Ketentuan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atas penghasilan pegawai tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(5) | Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dibayarkan secara tunai oleh pemberi kerja pada saat pembayaran penghasilan kepada pegawai. |
(6) | Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung pemerintah dan bersifat final yang diterima oleh pegawai dari pemberi kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak diperhitungkan sebagai penghasilan yang dikenakan pajak. |
(7) | Dikecualikan dari pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung pemerintah dan bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam hal:
|
(8) | Penghasilan yang diterima pejabat negara, pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dikenai Pajak Penghasilan Pasal 21 bersifat final sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dapat diberikan fasilitas Pajak. Penghasilan Pasal 21 ditanggung pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2). |
(1) | Pegawai tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) wajib menyampaikan surat pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan orang pribadi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(2) | Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tertentu selain penghasilan yang diterima sehubungan dengan pekerjaan, tetap dikenakan Pajak Penghasilan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan, termasuk penghasilan yang berasal dari luar wilayah Ibu Kota Nusantara. |
(1) | Pemberi kerja tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf a merupakan pemberi kerja yang memenuhi ketentuan sebagai berikut:
|
(2) | Pemberi kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib:
|
(3) | Penyampaian surat pemberitahuan pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung pemerintah dan bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan laporan realisasi pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung pemerintah dan bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan melalui saluran elektronik yang tersedia di Kementerian Keuangan. |
Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung pemerintah dan bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) berlaku sampai dengan tahun 2035.
Pelaksanaan dan pertanggungjawaban Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai mekanisme pelaksanaan dan pertanggungjawaban atas pajak ditanggung pemerintah.
Ketentuan mengenai:
Paragraf 10
Fasilitas Pajak Penghasilan Final 0% (Nol Persen) atas
Penghasilan dari Peredaran Bruto Usaha Tertentu pada Usaha
Mikro, Kecil, dan Menengah
Pasal 56
(1) | Wajib Pajak dalam negeri tidak termasuk bentuk usaha tetap yang melakukan Penanaman Modal di Ibu Kata Nusantara dengan nilai kurang dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan memenuhi persyaratan tertentu dapat dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan tarif sebesar 0% (nol persen) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) huruf h dalam jangka waktu tertentu. |
(2) | Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai atas penghasilan dari peredaran bruto usaha sampai dengan Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) dalam 1 (satu) tahun pajak yang diterima atau diperoleh pada lokasi usaha yang berada di wilayah Ibu Kata Nusantara, tidak termasuk penghasilan:
|
(3) | Persyaratan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(4) | Dalam hal Wajib Pajak memiliki lebih dari 1 (satu) tempat usaha atau cabang yang berada di wilayah Ibu Kota Nusantara, penentuan batasan nilai Penanaman Modal di Ibu Kota Nusantara kurang dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan batasan peredaran bruto usaha sampai dengan Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditentukan berdasarkan gunggungan dari seluruh lokasi tempat usaha atau cabang Wajib Pajak yang berada di wilayah Ibu Kota Nusantara. |
(5) | Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan terhitung sejak persetujuan pemberian fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e sampai dengan tahun 2035. |
(6) | Atas penghasilan dari usaha yang:
|
(7) | Wajib Pajak yang memanfaatkan fasilitas Pajak Penghasilan bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib:
|
(8) | Dalam hal terdapat biaya bersama yang tidak dapat dipisahkan dalam rangka penghitungan besarnya penghasilan kena pajak bagi Wajib Pajak yang memiliki penghasilan yang mendapat fasilitas Pajak Penghasilan bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penghasilan yang tidak mendapat fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (6), pembebanannya dialokasikan secara proporsional. |
(9) | Ketentuan mengenai:
|
Paragraf 11
Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan atas Pengalihan
Hak atas Tanah dan/atau Bangunan
Pasal 57
(1) | Wajib Pajak yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan di Ibu Kota Nusantara diberikan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) huruf i. |
(2) | Fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah Pajak Penghasilan atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang terutang. |
(3) | Fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam hal terdapat pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada pembeli yang merupakan perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan di Ibu Kota Nusantara yang kesatu. |
(4) | Fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sampai dengan tahun 2035. |
(5) | Permohonan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan melalui saluran elektronik yang tersedia di Kementerian Keuangan. |
(6) | Fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan melalui penerbitan surat keterangan bebas. |
(7) | Ketentuan mengenai:
|
Bagian Ketiga
Fasilitas Tidak Dipungut Pajak Pertambahan Nilai dan
Pengecualian Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
Pasal 58
(1) | Kemudahan perpajakan Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) huruf a angka 2 yang diberikan di Ibu Kota Nusantara berupa: a. Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut; dan b. pengecualian Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas penyerahan barang kena pajak. |
(2) | Kemudahan perpajakan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) huruf a angka 2 yang diberikan di Daerah Mitra berupa Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut. |
(1) | Kemudahan perpajakan berupa Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf a di Ibu Kota Nusantara, diberikan atas:
|
(2) | Barang kena pajak tertentu yang bersifat strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
|
(3) | Jasa kena pajak tertentu yang bersifat strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
|
(4) | Kemudahan perpajakan berupa Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b juga diberikan atas:
|
(5) | Kemudahan perpajakan berupa Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (2) diberikan atas penyerahan jasa kena pajak tertentu yang bersifat strategis berupa jasa konstruksi sehubungan dengan pembangunan di Daerah Mitra kepada Wajib Pajak yang mendapatkan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1), untuk bidang usaha:
|
(6) | Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (5) dapat diberikan sampai dengan tahun 2035. |
(7) | Pajak Pertambahan Nilai terutang atas impor dan/atau perolehan barang kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) wajib dibayar dalam hal:
|
(8) | Ketentuan mengenai:
|
(1) | Kemudahan perpajakan berupa pengecualian pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf b diberikan atas penyerahan kelompok hunian mewah kepada orang pribadi, badan, dan/atau kementerian/lembaga, yang berkegiatan usaha, bertugas, atau berkedudukan di Ibu Kota Nusantara. |
(2) | Pengecualian pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan sampai dengan tahun 2035. |
(3) | Ketentuan mengenai tata cara pengecualian pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. |
Bagian Keempat
Kepabeanan
Paragraf 1
Umum
Pasal 61
(1) | Pengaturan kepabeanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) huruf a angka 3 meliputi:
|
(2) | Pembebasan bea masuk dan/atau Fasilitas PDRI untuk Daerah Mitra sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c diberikan kepada Wajib Pajak yang mendapatkan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) untuk bidang usaha yang mendukung pembangunan dan pengembangan Ibu Kota Nusantara meliputi:
|
(3) | Pembebasan bea masuk dan/atau Fasilitas PDRI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat diberikan sampai dengan tahun 2045. |
Paragraf 2
Pembebasan Bea Masuk dan Fasilitas PDRI atas Impor Barang
oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang
ditujukan untuk Kepentingan Umum di Wilayah Ibu Kota
Nusantara dan Daerah Mitra
Pasal 62
(1) | Atas impor barang oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang ditujukan untuk kepentingan umum di wilayah Ibu Kota Nusantara dan Daerah Mitra sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) huruf a diberikan pembebasan bea masuk dan Fasilitas PDRI. |
(2) | Impor barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh:
|
(3) | Impor barang oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bersumber dari:
|
(4) | Ketentuan mengenai pelaksanaan dan tata cara pemberian fasilitas bea masuk dan Fasilitas PDRI atas impor barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. |
Paragraf 3
Pembebasan Bea Masuk dan/atau Fasilitas PDRI atas Impor
Barang untuk Pembangunan dan Pengembangan Industri di
Ibu Kota Nusantara dan Daerah Mitra
Pasal 63
(1) | Atas impor barang modal untuk industri yang menghasilkan barang dan/atau industri yang menghasilkan jasa yang dimasukkan ke Ibu Kota Nusantara dan Daerah Mitra untuk pembangunan dan pengembangan di Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) huruf b diberikan pembebasan bea masuk dan Fasilitas PDRI. |
(2) | Atas impor barang dan bahan untuk industri yang menghasilkan barang yang dimasukkan ke wilayah Ibu Kota Nusantara dan Daerah Mitra untuk pembangunan dan pengembangan di Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) huruf c diberikan pembebasan bea masuk. |
(3) | Barang modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi mesin, permesinan, alat perlengkapan instalasi pabrik, peralatan, atau perkakas yang digunakan untuk pembangunan dan pengembangan sektor industri termasuk industri yang menghasilkan jasa. |
(4) | Barang dan bahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi semua barang atau bahan, tidak melihat jenis dan komposisinya, yang digunakan sebagai bahan atau komponen untuk menghasilkan barang jadi. |
(5) | Pembebasan bea masuk dan/atau Fasilitas PDRI diberikan sepanjang barang modal serta barang dan bahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2):
|
(6) | Dalam hal atas impor barang dan bahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan fasilitas perpajakan, fasilitas perpajakan diberikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(1) | Pembebasan bea masuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) dan Pasal 63 ayat (1) dan ayat (2) dapat diberikan terhadap barang modal serta barang dan bahan yang berasal dari Kawasan Pelabuhan Bebas dan Perdagangan Bebas, Kawasan Ekonomi Khusus, dan/atau Tempat Penimbunan Berikat. |
(2) | Fasilitas PDRI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) dan Pasal 63 ayat (1) dapat diberikan terhadap impor barang dari Pusat Logistik Berikat. |
(1) | Pembebasan bea masuk dan Fasilitas PDRI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) dapat diberikan untuk jangka waktu pengimporan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal berlakunya keputusan pembebasan bea masuk dan Fasilitas PDRI. |
(2) | Jangka waktu pengimporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang sesuai dengan jangka waktu penyelesaian pembangunan dan pengembangan. |
(3) | Perusahaan yang telah menyelesaikan pembangunan industri serta siap berproduksi, diberikan pembebasan bea masuk atas impor barang dan bahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2) dengan jangka waktu pengimporan paling lama 4 (empat) tahun, sesuai kapasitas terpasang, terhitung sejak tanggal berlakunya keputusan pembebasan bea masuk. |
(4) | Perusahaan yang telah menyelesaikan pengembangan sektor usaha sepanjang menambah kapasitas paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari kapasitas terpasang, dapat diberikan pembebasan bea masuk atas impor barang dan bahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2) paling lama 4 (empat) tahun, sesuai kapasitas terpasang, terhitung sejak tanggal berlakunya keputusan pembebasan bea masuk. |
(5) | Jangka waktu pengimporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dapat diperpanjang selama 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal berakhirnya fasilitas pembebasan bea masuk. |
(6) | Perusahaan yang telah menyelesaikan pembangunan dan/atau pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), sepanjang menggunakan mesin produksi dalam negeri paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari total nilai mesin, dapat diberikan pembebasan bea masuk atas impor barang dan bahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2) selama 6 (enam) tahun sesuai dengan kapasitas terpasang terhitung sejak tanggal berlakunya keputusan pembebasan bea masuk. |
(7) | Bagi industri yang menghasilkan jasa dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), dan ayat (6). |
(8) | Perusahaan yang memenuhi persyaratan menggunakan mesin produksi dalam negeri paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari total nilai mesin sebagaimana dimaksud pada ayat (6), ditetapkan berdasarkan rekomendasi dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian. |
(9) | Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis industri yang menghasilkan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. |
(1) | Untuk mendapatkan fasilitas pembebasan bea masuk dan/atau Fasilitas PDRI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) atau pembebasan bea masuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2), Wajib Pajak mengajukan permohonan melalui Sistem OSS. |
(2) | Pemberian persetujuan/penolakan fasilitas pembebasan bea masuk dan/atau Fasilitas PDRI atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilimpahkan kewenangannya dalam bentuk mandat oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang investasi/koordinasi penanaman modal. |
(3) | Dalam hal permohonan disetujui, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang investasi/koordinasi penanaman modal menerbitkan keputusan pembebasan bea masuk dan/atau Fasilitas PDRI. |
(4) | Dalam, hal permohonan ditolak, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang investasi/koordinasi penanaman modal membuat surat penolakan permohonan dengan menyebutkan alasan penolakan. |
(5) | Ketentuan mengenai pelaksanaan dan tata cara pemberian fasilitas bea masuk dan/atau Fasilitas PDRI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. |
Bagian Kelima
Fasilitas Penanaman Modal
Kewenangan Otorita Ibu Kota Nusantara
Paragraf 1
Fasilitas Pajak Khusus dan Penerimaan Khusus
Ibu Kota Nusantara
Pasal 67
(1) | Fasilitas Pajak Khusus dan penerimaan khusus Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) huruf b angka 1 terdiri atas:
|
(2) | Insentif berbentuk pengurangan, keringanan, atau pembebasan pajak khusus Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan sebagaimana tercantum dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (3). |
(3) | Insentif berbentuk pengurangan, keringanan, atau pembebasan penerimaan khusus Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diberikan sebagaimana tercantum dalam Pasal 11 ayat (3). |
(4) | Pemberian Fasilitas Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan prioritas yang ditetapkan oleh Kepala Otorita. |
Paragraf 2
Fasilitasi, Penyediaan Lahan, dan Sarana Prasarana bagi
Pelaksanaan Kegiatan Penanaman Modal di Ibu Kota Nusantara
Pasal 68
(1) | Fasilitasi, penyediaan lahan, sarana prasarana bagi pelaksanaan kegiatan Penanaman Modal di Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) huruf b angka 2 terdiri atas:
|
(2) | Fasilitasi, penyediaan lahan, sarana prasarana bagi pelaksanaan kegiatan Penanaman Modal di Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara sesuai kewenangannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (5). |
(3) | Pemberian fasilitas, penyediaan lahan, sarana prasarana bagi pelaksanaan kegiatan Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan prioritas yang ditetapkan oleh Kepala Otorita. |
Otorita Ibu Kota Nusantara melakukan pengawasan terhadap:
(1) | Dalam hal hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 menunjukkan adanya ketidaksesuaian/ketidakpatuhan Pelaku Usaha atas ketentuan peraturan perundang-undangan, Kepala Otorita memberikan pembinaan kepada Pelaku Usaha. |
(2) | Dalam hal setelah dilakukan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pelaku Usaha tetap tidak menunjukkan kesesuaian/kepatuhan, Kepala Otorita mengenakan sanksi administratif kepada Pelaku Usaha. |
(3) | Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
|
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Kepala Otorita. |
(1) | Pelaksanaan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini dievaluasi secara berkala setiap 5 (lima) tahun atau sewaktu-waktu apabila diperlukan. |
(2) | Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara. |
(3) | Dalam melakukan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Otorita Ibu Kota Nusantara berkoordinasi dengan kementerian/lembaga terkait. |
BAB VII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 72
(1) | Sepanjang tidak diatur secara khusus dalam Peraturan Pemerintah ini, semua fasilitas perpajakan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan berlaku secara mutatis mutandis di Ibu Kota Nusantara. |
(2) | Dalam hal terdapat pengaturan fasilitas perpajakan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini yang mempunyai lingkup pemberian fasilitas yang sama yang berlaku di luar Ibu Kota Nusantara dan Daerah Mitra namun memiliki kemanfaatan yang berbeda, berlaku ketentuan fasilitas perpajakan yang lebih menguntungkan. |
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 6 Maret 2023
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
JOKO WIDODO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 6 Maret 2023
MENTERI SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
PRATIKNO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2023 NOMOR 37