Tata Cara Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana Di Bidang Perpajakan
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 177/PMK.03/2022
TENTANG
TATA CARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN
TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN.
Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:
BAB II
KEWENANGAN, DASAR, LINGKUP, JENIS, DAN JANGKA
WAKTU PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN
Pasal 2
(1) | Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan terhadap orang pribadi atau badan yang diduga melakukan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan. |
(2) | Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemeriksa Bukti Permulaan yang menerima Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan. |
(3) | Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebelum Penyidikan. |
(4) | Pemeriksaan Bukti Permulaan tidak ditindaklanjuti Penyidikan dalam hal Wajib Pajak dengan kemauan sendiri mengungkapkan dengan pernyataan tertulis mengenai ketidakbenaran perbuatannya disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang terutang beserta sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. |
(1) | Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan berdasarkan pengembangan dan analisis melalui:
|
(2) | Pengembangan dan analisis melalui kegiatan intelijen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan terhadap Informasi, Data, Laporan, dan Pengaduan yang diterima oleh Direktorat Jenderal Pajak, dengan hasil laporan berupa lembar informasi intelijen perpajakan. |
(3) | Pengembangan dan analisis melalui kegiatan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan melalui kegiatan pengawasan, Pemeriksaan, pengembangan Pemeriksaan Bukti Permulaan, atau pengembangan Penyidikan, dengan hasil berupa Laporan yang memuat usulan Pemeriksaan Bukti Permulaan. |
(4) | Laporan hasil pengembangan dan analisis melalui kegiatan intelijen berupa lembar informasi intelijen perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan Laporan yang memuat usulan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dilakukan penelaahan. |
(5) | Penelaahan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) unti1 menentukan:?
|
(6) | Dalam pelaksanaan penelaahan terhadap Laporan hasil pengembangan dan analisis melalui kegiatan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan pengayaan data intelijen perpajakan. |
(7) | Penelaahan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (6) dapat dilakukan dengan bantuan tenaga ahli. |
(1) | Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan atas masa pajak, bagian tahun pajak, atau tahun pajak baik yang belum maupun telah diterbitkan surat ketetapan pajak. |
(2) | Dalam hal telah diterbitkan surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemeriksaan Bukti Permulaan dapat dilakukan atas data yang memuat dugaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan selain yang termuat dalam surat ketetapan pajak. |
(3) | Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila belum melampaui daluwarsa penuntutan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan sebagaimana diatur dalam Pasal 40 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. |
(1) | Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dilakukan secara:
|
(2) | Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka atau tertutup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap dugaan Peristiwa Pidana yang ditentukan dalam Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan. |
(3) | Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a didahului dengan penyampaian surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan kepada orang pribadi atau badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan. |
(4) | Pemeriksaan Bukti Permulaan secara tertutup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan tidak dengan surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan kepada orang pribadi atau badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan. |
(5) | Direktur Jenderal Pajak dapat menghentikan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara tertutup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dengan pertimbangan risiko perolehan Bahan Bukti dan/atau pemulihan kerugian pada pendapatan negara dan selanjutnya dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka. |
(1) | Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan terhitung sejak tanggal penyampaian surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan. |
(2) | Pemeriksaan Bukti Permulaan secara tertutup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan terhitung sejak tanggal Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan diterima oleh Pemeriksa Bukti Permulaan. |
(3) | Apabila Pemeriksaan Bukti Permulaan belum dapat diselesaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2), Pemeriksa Bukti Permulaan dapat mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu kepada Direktur Jenderal Pajak. |
(4) | Perpanjangan jangka waktu Pemeriksaan Bukti Permulaan diberikan oleh Direktur Jenderal Pajak paling lama 12 (dua belas) bulan terhitung sejak berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2). |
(5) | Surat pemberitahuan atas perpanjangan jangka waktu Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada orang pribadi atau badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka. |
(6) | Direktur Jenderal Pajak mempertimbangkan permohonan perpanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan memperhatikan:
|
BAB III
KETENTUAN PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN
Pasal 7
(1) | Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilaksanakan dengan memenuhi:
|
(2) | Kualifikasi Pemeriksa Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan kualifikasi bagi Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
|
(3) | Ketentuan pelaksanaan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diatur sebagai berikut:
|
(4) | Ketentuan pelaporan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diatur sebagai berikut:
|
BAB IV
KEWAJIBAN DAN HAK DALAM
PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN
Pasal 8
(1) | Dalam pelaksanaan Pemeriksaan Bukti Permulaan, Pemeriksa Bukti Permulaan harus memenuhi kewajiban sebagai berikut:
| ||||||||||||||
(2) | Kewajiban Pemeriksa Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d dikecualikan dalam Pemeriksaan Bukti Permulaan secara tertutup. | ||||||||||||||
(3) | Dalam melaksanakan Pemeriksaan Bukti Permulaan, Pemeriksa Bukti Permulaan berwenang:
| ||||||||||||||
(5) | Kewajiban orang pribadi atau badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan:
| ||||||||||||||
(6) | Kewajiban orang pribadi atau badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikecualikan dalam Pemeriksaan Bukti Permulaan secara tertutup. | ||||||||||||||
(7) | Hak orang pribadi atau badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan:
| ||||||||||||||
(8) | Hak orang pribadi atau badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dikecualikan dalam Pemeriksaan Bukti Permulaan secara tertutup. | ||||||||||||||
(9) | Dalam melaksanakan Pemeriksaan Bukti Permulaan, Pemeriksa Bukti Permulaan dapat melakukan koordinasi dengan aparat penegak hukum lainnya. |
BAB V
SURAT PERINTAH PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN
Pasal 9
(1) | Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) menjadi dasar pelaksanaan Pemeriksaan Bukti Permulaan oleh Pemeriksa Bukti Permulaan. |
(2) | Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan perubahan dengan menerbitkan Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan Perubahan dalam hal terdapat:
|
(3) | Perubahan Unit Pelaksana Penegakan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak berdasarkan pertimbangan efektivitas, efisiensi, atau perubahan struktur organisasi. |
(4) | Perubahan Pemeriksa Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak berdasarkan pertimbangan efektivitas, efisiensi, atau perubahan struktur organisasi. |
(5) | Dasar pertimbangan perubahan Unit Pelaksana Penegakan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan perubahan Pemeriksa Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan secara transparan dan akuntabel sesuai dengan ketentuan peraturan perudang-Undangan. |
(6) | Kesalahan administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c meliputi kesalahan penulisan identitas orang pribadi atau badan dan/atau elemen data lain dalam Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan yang perubahannya dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak. |
(7) | Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan Perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat sesuai contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf A dan Lampiran huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(1) | Untuk membantu tugas Pemeriksa Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), Direktur Jenderal Pajak dapat menunjuk pihak lain yang terdiri atas:
|
(2) | Penunjukan pihak lain untuk membantu tugas Pemeriksa Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan surat tugas dari Direktur Jenderal Pajak.? |
BAB VI
PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN SECARA TERBUKA DAN
TERTUTUP
Pasal 11
(1) | Surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) untuk Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka yang dilakukan terhadap orang pribadi disampaikan secara langsung kepada orang pribadi yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan, atau keluarga yang telah dewasa. |
(2) | Surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) untuk Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka yang dilakukan terhadap badan disampaikan oleh Pemeriksa Bukti Permulaan secara langsung kepada wakil atau pegawai dari badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan. |
(3) | Dalam hal surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak dapat disampaikan secara langsung kepada orang pribadi atau badan, penyampaian dapat dilakukan:
|
(4) | Dalam hal diterbitkan Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan Perubahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2), Pemeriksa Bukti Permulaan menyampaikan surat pemberitahuan Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan Perubahan kepada orang pribadi atau badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka. |
Ketentuan mengenai penyampaian surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1), Pasal 11 ayat (2), dan Pasal 11 ayat (3) berlaku secara mutatis mutandis terhadap penyampaian surat pemberitahuan perpanjangan jangka waktu Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5) dan surat pemberitahuan Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan Perubahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4).
Surat pemberitahuan:
a. | Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dan Pasal 11 ayat (2); |
b. | Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan Perubahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4); dan |
c. | perpanjangan jangka waktu Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5), |
dibuat sesuai contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf C, Lampiran huruf D, dan Lampiran huruf E yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(1) | Pemeriksa Bukti Permulaan dapat langsung melaksanakan Pemeriksaan Bukti Permulaan dan menggunakan kewenangannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) setelah surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan disampaikan. |
(2) | Dalam hal orang pribadi atau badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a menolak untuk dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan, Pemeriksa Bukti Permulaan membuat berita acara penolakan Pemeriksaan Bukti Permulaan. |
(3) | Dalam hal orang pribadi atau badan menolak untuk menandatangani berita acara penolakan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemeriksa Bukti Permulaan membuat berita acara penolakan penandatanganan. |
(4) | Berdasarkan berita acara penolakan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau berita acara penolakan penandatanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemeriksa Bukti Permulaan mengusulkan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk dilakukan Penyidikan terhadap orang pribadi atau badan tersebut, dalam hal ditemukan Bukti Permulaan atas dugaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan. |
(1) | Untuk memperoleh Bahan Bukti dalam Pemeriksaan Bukti Permulaan:
| ||||
(2) | Dalam hal Bahan Bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah ditemukan, Pemeriksa Bukti Permulaan segera meminjam Bahan Bukti dan membuat tanda terima serta memeriksa Bahan Bukti tersebut. | ||||
(3) | Dalam hal belum diperoleh Bahan Bukti pada saat pelaksanaan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemeriksa Bukti Permulaan dapat meminjam Bahan Bukti dengan surat peminjaman. | ||||
(4) | Orang pribadi atau badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan harus menyerahkan Bahan Bukti yang diminta sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Pemeriksa Bukti Permulaan paling lama 14 (empat belas) hari kalender setelah tanggal pengiriman surat peminjaman. | ||||
(5) | Pemeriksa Bukti Permulaan harus membuat tanda terima atas setiap Bahan Bukti yang diperoleh sebagaimana dimaksud pada ayat (4). | ||||
(6) | Dalam hal orang pribadi atau badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan tidak memenuhi permintaan Bahan Bukti dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan telah ditemukannya Bukti Permulaan atas dugaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan, Pemeriksa Bukti Permulaan dapat mengusulkan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk dilakukan Penyidikan terhadap orang pribadi atau badan tersebut. |
(1) | Untuk memperoleh atau mengamankan Bahan Bukti, dalam Pemeriksaan Bukti Permulaan:
| ||||
(2) | Kegiatan penanganan Data Elektronik, unduhan Data Elektronik, dan/atau bukti elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kelancaran layanan publik dan integritas atau keutuhan data sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-Undangan. |
(1) | Untuk memperoleh atau mengamankan Bahan Bukti dalam pelaksanaan Pemeriksaan Bukti Permulaan, Pemeriksa Bukti Permulaan dapat melakukan Penyegelan. |
(2) | Penyegelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal:
|
(3) | Pemeriksa Bukti Permulaan melakukan Penyegelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan disaksikan paling sedikit 2 (dua) orang saksi selain anggota Pemeriksa Bukti Permulaan. |
(4) | Pemeriksa Bukti Permulaan membuat berita acara Penyegelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah pelaksanaan Penyegelan. |
(5) | Dalam hal saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menolak menandatangani berita acara Penyegelan, Pemeriksa Bukti Permulaan membuat catatan tentang penolakan tersebut dalam berita acara Penyegelan. |
(6) | Pemeriksa Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat membuka segel dalam hal:
|
(7) | Pemeriksa Bukti Permulaan membuka segel sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dengan disaksikan paling sedikit 2 (dua) orang saksi selain anggota Pemeriksa Bukti Permulaan dan membuat berita acara pembukaan segel. |
(8) | Dalam hal saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) menolak menandatangani berita acara pembukaan segel, Pemeriksa Bukti Permulaan membuat catatan tentang penolakan tersebut dalam berita acara pembukaan segel. |
(9) | Pemeriksa Bukti Permulaan dapat meminta bantuan pengamanan atau meminta sebagai saksi kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia dan/atau instansi atau unsur pemerintah daerah setempat dalam rangka Penyegelan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan/atau pembukaan segel sebagaimana dimaksud pada ayat (7). |
(10) | Dalam hal tanda segel yang digunakan untuk melakukan Penyegelan rusak atau hilang, Pemeriksa Bukti Permulaan membuat berita acara mengenai kerusakan atau kehilangan tersebut dan melaporkan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia sehubungan dengan tindak pidana terkait Penyegelan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. |
(1) | Untuk memperoleh dan memperkuat Bahan Bukti dalam pelaksanaan Pemeriksaan Bukti Permulaan, Pemeriksa Bukti Permulaan dapat meminta keterangan dan/atau bukti kepada:
|
(2) | Pemeriksa Bukti Permulaan meminta keterangan dan/atau bukti kepada pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahului dengan surat panggilan. |
(3) | Dalam hal perlu dan mendesak, Pemeriksa Bukti Permulaan dapat meminta keterangan dan/atau bukti kepada pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara langsung dan segera disampaikan surat panggilan. |
(4) | Permintaan keterangan dan/atau bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan secara tertulis atau secara elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(5) | Pemeriksa Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meminta keterangan dan/atau bukti di kantor Direktorat Jenderal Pajak atau tempat lain dengan alasan yang patut dan wajar. |
(6) | Dalam hal Pemeriksa Bukti Permulaan meminta keterangan dan/atau bukti kepada pihak lain dan/atau pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pihak lain dan/atau pihak ketiga wajib memberikan keterangan dan/atau bukti yang diminta oleh Pemeriksa Bukti Permulaan. |
(7) | Terhadap pihak lain dan/atau pihak ketiga sebagaimana dimaksud ayat (1) yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan dan/atau bukti atau memberikan keterangan dan/atau bukti namun tidak benar, Pemeriksa Bukti Permulaan dapat mengusulkan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan. |
(8) | Dalam hal Pemeriksaan Bukti Permulaan dilakukan secara tertutup, Pemeriksa Bukti Permulaan dapat meminta keterangan dan/atau bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan tetap menjaga kerahasiaan Pemeriksaan Bukti Permulaan. |
(9) | Pemeriksa Bukti Permulaan membuat berita acara permintaan keterangan dan/atau bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), ayat (7), dan ayat (8). |
(10) | Permintaan keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (8) dilakukan dengan menyampaikan surat panggilan untuk memberikan keterangan dan/atau bukti. |
(11) | Surat panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (10) sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf F yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(1) | Pemeriksa Bukti Permulaan menyampaikan Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan kepada orang pribadi atau badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka berdasarkan Bahan Bukti yang diperoleh. |
(2) | Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paline lama 1 (satu) bulan terhitung sebelum jangka waktu Pemeriksaan Bukti Permulaan berakhir. |
(3) | Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan setelah dilakukan klarifikasi mengenai potensi kerugian pada pendapatan negara kepada Wajib Pajak. |
(4) | Klarifikasi mengenai potensi kerugian pada pendapatan negara kepada Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) didahului dengan penyampaian surat panggilan paling lama 2 (dua) bulan terhitung sebelum jangka waktu Pemeriksaan Bukti Permulaan berakhir. |
(5) | Dalam hal diberikan perpanjangan jangka waktu Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4), Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan disampaikan paling lama 1 (satu) bulan terhitung sebelum jangka waktu perpanjangan Pemeriksaan Bukti Permulaan berakhir. |
(6) | Dalam hal diberikan perpanjangan jangka waktu Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4), surat pemberitahuan perpanjangan jangka waktu Pemeriksaan Bukti Permulaan disampaikan kepada orang pribadi atau badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka sebelum terpenuhinya jangka waktu penyampaian Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan. |
(7) | Dalam hal diberikan perpanjangan jangka waktu Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4), surat pemberitahuan perpanjangan jangka waktu Pemeriksaan Bukti Permulaan disampaikan kepada orang pribadi atau badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka sebelum terpenuhinya jangka waktu penyampaian Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan. |
(1) | Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan, dengan kemauan sendiri dapat mengungkapkan dengan pernyataan tertulis mengenai ketidakbenaran perbuatannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4), yaitu:
| ||||
(2) | Pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan atas perbuatan sebagaimana diatur dalam Pasal 38 atau Pasal 39 ayat (1) huruf c atau huruf d Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan baik yang berdiri sendiri atau berkaitan dengan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan sebagaimana diatur dalam Pasal 39 ayat (1) kecuali huruf c dan huruf d, Pasal 39 ayat (3), Pasal 39A, dan Pasal 43 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan Pasal 24 dan Pasal 25 Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan. | ||||
(3) | Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, meliputi:
| ||||
(4) | Wajib Pajak yang melakukan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus:
| ||||
(5) | Pembayaran jumlah pajak yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b angka 2 dan pembayaran sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b angka 3 merupakan pemulihan kerugian pada pendapatan negara. | ||||
(6) | Pengungkapan mengenai ketidakbenaran perbuatan yang dibuat secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara elektronik melalui saluran tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. | ||||
(7) | Dalam hal penyampaian secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak dapat dilakukan, pengungkapan ketidakbenaran perbuatan disampaikan secara langsung kepada kepala kantor pelayanan pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau tempat objek pajak diadministrasikan, serta ditembuskan kepada kepala Unit Pelaksana Penegakan Hukum. | ||||
(8) | Pengungkapan ketidakbenaran perbuatan telah sesuai dengan keadaan yang sebenarnya apabila jumlah pembayaran pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sama dengan atau lebih besar dari jumlah pajak yang terutang menurut hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan. | ||||
(9) | Pengungkapan ketidakbenaran perbuatan yang telah sesuai dengan keadaan yang sebenarnya sebagaimana dimaksud pada ayat (8) diberitahukan kepada Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka. |
(1) | Pada saat dilakukan Pemeriksaan ditemukan adanya dugaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan, Pemeriksaan ditangguhkan dan ditindaklanjuti dengan Pemeriksaan Bukti Permulaan. | ||||||||||||||||||
(2) | Pemeriksaan yang ditangguhkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilanjutkan jika:
| ||||||||||||||||||
(3) | Pemeriksaan yang ditangguhkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihentikan jika:
| ||||||||||||||||||
(4) | Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemeriksaan yang ditangguhkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilanjutkan dalam hal masih terdapat kelebihan pembayaran pajak berdasarkan hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan atau hasil Penyidikan. |
(1) | Dalam hal Pemeriksa Bukti Permulaan menemukan:
|
(2) | Kewajiban melaporkan pegawai Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d tidak menunda proses Pemeriksaan Bukti Permulaan, termasuk terhadap pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang terlibat. |
(3) | Tindak lanjut Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan tidak menunggu Pemeriksaan Bukti Permulaan selesai. |
BAB VII
PELAPORAN PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN DAN
TINDAK LANJUT PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN
Pasal 23
(1) | Pemeriksa Bukti Permulaan menuangkan hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan dalam Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan dengan mencantumkan:
|
(2) | Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan Kertas Kerja Pemeriksaan Bukti Permulaan dan disampaikan kepada kepala Unit Pelaksana Penegakan Hukum. |
(3) | Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuat paling lama pada saat berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), ayat (2), atau ayat (4). |
(1) | Dalam hal Pemeriksaan Bukti Permulaan dilakukan secara terbuka, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan pemberitahuan tindak lanjut Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c kepada orang pribadi atau badan pada saat Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan dibuat. | ||||||||
(2) | Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pemberitahuan tindak lanjut Pemeriksaan Bukti Pemeriksaan untuk dilakukan:
| ||||||||
(3) | Dalam hal ditemukan:
| ||||||||
(4) | Apabila Wajib Pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan setelah surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka disampaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3), Surat Pemberitahuan dimaksud dianggap tidak disampaikan. | ||||||||
(5) | Apabila Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara tertutup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan sejak Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan diterima oleh Pemeriksa Bukti Permulaan, Pemeriksa Bukti Permulaan dapat mempertimbangkannya dalam Laporan Pemeriksaaan Bukti Permulaan. | ||||||||
(6) | Dalam hal diperoleh atau ditemukan Bahan Bukti setelah Pemeriksaan Bukti Permulaan diselesaikan yang dapat menyebabkan simpulan yang berbeda dengan simpulan dalam Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan, Direktur Jenderal Pajak dapat kembali melakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan. | ||||||||
(7) | Dalam hal Pemeriksaan Bukti Permulaan dilakukan secara tertutup, tindak lanjut Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c meliputi tindak lanjut untuk dilakukan:
| ||||||||
(8) | Pemberitahuan tindak lanjut Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(1) | Terhadap Pemeriksaan Bukti Permulaan yang ditindaklanjuti dengan Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) huruf a atau Pasal 24 ayat (7) huruf a Pemeriksa Bukti Permulaan mengungkapkan informasi harta kekayaan orang pribadi atau badan dalam Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan. |
(2) | Berdasarkan Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pejabat yang berwenang menyusun Laporan Kejadian. |
(3) | Dalam hal Pemeriksaan Bukti Permulaan ditindaklanjuti dengan Penyidikan dan Wajib Pajak telah mengungkapkan ketidakbenaran perbuatan tetapi tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) huruf a angka 2, pembayaran atas pengungkapan ketidakbenaran perbuatan diperhitungkan sebagai pengurang nilai kerugian pada pendapatan negara pada saat dilakukan Penyidikan. |
(4) | Penghitungan pembayaran atas pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sebagai pengurang nilai kerugian pada pendapatan negara dalam Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan ketentuan pembayaran dimaksud merupakan bagian pembayaran atas pelunasan pajak yang kurang dibayar dan ditambahkan sanksi administratif berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar. |
(5) | Pembayaran atas pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sebagaimana dimaksud ayat (3) tidak dapat dipindahbukukan atau dimintakan pengembalian kelebihan pajak oleh Wajib Pajak. |
(6) | Jumlah yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang nilai kerugian pada pendapatan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yaitu sebesar 1/2 (satu per dua) bagian dari jumlah pembayaran dalam rangka pengungkapan ketidakbenaran perbuatannya. |
(7) | Cara menghitung jumlah yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang nilai kerugian pada pendapatan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sesuai dengan contoh penghitungan sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf J yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(1) | Wajib Pajak dapat melakukan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (2) setelah tanggal Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3), dengan syarat mulainya Penyidikan belum diberitahukan kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia. |
(2) | Pengungkapan ketidakbenaran perbuatan yang disampaikan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditindaklanjuti oleh Direktur Jenderal Pajak dengan melakukan penelitian untuk memastikan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan telah sesuai dengan keadaan sebenarnya. |
(3) | Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan pemberitahuan perubahan tindak lanjut Pemeriksaan Bukti Permulaan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima secara lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (4). |
(4) | Ketentuan mengenai contoh format pemberitahuan perubahan tindak lanjut Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tercantum dalam Lampiran huruf K yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
BAB VIII
TINDAK PIDANA YANG DIKETAHUI SEKETIKA
Pasal 27
(1) | Tindak pidana yang diketahui seketika merupakan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan yang diketahui sedang berlangsung atau baru saja terjadi, yang memerlukan penanganan secara segera terhadap pelaku yang diduga melakukan tindak pidana dan pengamanan Bahan Bukti yang ada pada pelaku tersebut. |
(2) | Dalam menangani pelaku tindak pidana dan mengamankan Bahan Bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyidik Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak dapat secara langsung meminta keterangan kepada pihak yang terkait dugaan tindak pidana serta meminta dan/atau memeriksa Bahan Bukti. |
(3) | Dalam hal diperoleh Bukti Permulaan dari penanganan tindak pidana yang diketahui seketika sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Laporan Kejadian dapat dibuat tanpa dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5) huruf c. |
BAB IX
PELIMPAHAN KEWENANGAN
Pasal 28
(1) | Direktur Jenderal Pajak mendelegasikan kewenangannya kepada kepala Unit Pelaksana Penegakan Hukum untuk:
|
(2) | Direktur Jenderal Pajak mendelegasikan kewenangannya kepada Pejabat Administrator yang menangani fungsi Pemeriksaan Bukti Permulaan di lingkungan Unit Pelaksana Penegakan Hukum untuk:
|
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 29
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 30
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, dokumen dalam rangka Pemeriksaan Bukti Permulaan yang telah diterbitkan dinyatakan tetap sah.
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
1. | Peraturan Menteri Keuangan Nomor 239/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1951); dan |
2. | Pasal 107 dan Pasal 114 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2021 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 153), |
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Peraturan Menteri ini mulai berlaku setelah 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 30 November 2022 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. SRI MULYANI INDRAWATI |
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 5 Desember 2022
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
YASONNA H. LAOLY
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2022 NOMOR 1212