Tata Cara Penagihan Pajak Daerah dengan Surat Paksa
(1) | Gubernur berwenang melakukan penagihan Pajak Daerah. |
(2) | Penagihan Pajak Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Kepala Badan Pajak dan Retribusi Daerah atau pejabat yang ditunjuk. |
(3) | Dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala Badan Pajak dan Retribusi Daerah atau pejabat yang ditunjuk berwenang mengangkat dan memberhentikan Jurusita Pajak Daerah. |
(4) | Pejabat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berwenang menerbitkan :
|
(5) | Surat lain sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf i, antara lain merupakan surat himbauan dengan penempelan stiker dan penempelan plang. |
(1) | Kepala Badan Pajak dan Retribusi Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) melaksanakan penagihan pajak dalam hal pajak yang terutang sebagaimana tercantum dalam SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan dan Putusan Banding, dan Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah merupakan dasar penagihan pajak dan harus dilunasi dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan. |
(2) | Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas SKPD, SKPDKB, SKPDKBT dan Pemotongan atau Pemungutan oleh Pihak Ketiga, maka atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan, tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan. |
(3) | Dalam hal Wajib Pajak mengajukan banding, jangka waktu pelunasan pajak atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding. |
(1) | Jurusita Pajak Daerah diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur. |
(2) | Pengangkatan dan Pemberhentian Jurusita Pajak Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Kepala Badan Pajak dan Retribusi Daerah atau pejabat yang ditunjuk. |
(1) | Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk diangkat menjadi Jurusita Pajak Daerah adalah sebagai berikut :
|
(2) | Sebelum memangku jabatannya, Jurusita Pajak Daerah diambil sumpah atau janji menurut agama atau kepercayaannya oleh Kepala Badan Pajak dan Retribusi Daerah atau Pejabat yang ditunjuk, yang berbunyi sebagai berikut : "Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya, untuk memangku jabatan saya ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapa pun juga." "Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan saya ini, tiada sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapa pun juga sesuatu janji atau pemberian." ' "Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, Undang-Undang Dasar 1945, dan segala undang-undang serta peraturan lain yang berlaku bagi negara Republik Indonesia." "Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini dengan jujur, seksama dan dengan tidak membeda-bedakan orang dalam melaksanakan kewajiban saya dan akan berlaku sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang Jurusita Pajak yang berbudi baik dan jujur, menegakkan hukum dan keadilan." |
(1) | Jurusita Pajak bertugas :
|
(2) | Jurusita Pajak Daerah dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi dengan surat tugas dan kartu tanda pengenal jurusita pajak daerah dan harus diperlihatkan kepada Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak. |
(3) | Jurusita Pajak Daerah dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang memasuki dan memeriksa semua ruangan termasuk membuka lemari, laci, dan tempat lain untuk menemukan objek sita di tempat umum, ditempat kedudukan, atau di tempat tinggal Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak, atau di tempat lain yang dapat diduga sebagai tempat penyimpanan objek sita. |
(4) | Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3), Jurusita Pajak Daerah dapat meminta bantuan Satuan Polisi Pamong Praja, Kepolisian, Kejaksaan, Badan Pertanahan Nasional, Dirjen Perhubungan Laut, Pengadilan Negeri, Bank atau pihak lain. |
(5) | Jurusita Pajak Daerah dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada di wilayah atau daerah berlakunya wewenang berdasarkan surat tugas penempatan. |
(1) | Jurusita Pajak melaksanakan Penagihan Seketika dan Sekaligus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a, tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran berdasarkan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus yang diterbitkan oleh Kepala Badan Pajak dan Retribusi Daerah atau Pejabat yang ditunjuk, apabila :
|
(2) | Penerbitan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus oleh Kepala Badan Pajak dan Retribusi Daerah atau pejabat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut :
|
(3) | Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus yang diterbitkan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sekurang-kurangnya memuat:
|
(4) | Bentuk Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Format 1 Lampiran Peraturan Gubernur ini. |
(1) | Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dilakukan dengan terlebih dahulu menerbitkan Surat Teguran, Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis oleh Kepala Badan Pajak dan Retribusi Daerah atau Pejabat yang ditunjuk. |
(2) | Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diterbitkan terhadap Wajib Pajak atau Penanggung Pajak yang telah disetujui untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak. |
(3) | Surat Teguran, Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis sebagaimana dimaksud pada ayat (2), disampaikan atau diberikan kepada Wajib Pajak setelah 7 (tujuh) hari sejak tanggal jatuh tempo pelunasan. |
(4) | Penyampaian Surat Teguran, Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan :
|
(5) | Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit memuat: .
|
(6) | Bentuk Surat Teguran, Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Format 2 Lampiran Peraturan Gubernur ini. |
(1) | Surat Paksa diterbitkan oleh Kepala Badan Pajak dan Retribusi Daerah atau Pejabat yang ditunjuk. |
(2) | Surat Paksa berkepala kata-kata "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA", mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. |
(3) | Surat Paksa sekurang-kurangnya memuat:
|
(4) | Bentuk Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Format 3 Lampiran Peraturan Gubernur ini. |
(1) | Surat Paksa yang diterbitkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, diberitahukan secara langsung oleh Jurusita Pajak Daerah kepada Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak dengan pernyataan dan penyerahan Salinan Surat Paksa kepada Penanggung Pajak. |
(2) | Pemberitahuan akan Surat Paksa kepada Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan membacakan isi Surat Paksa oleh Jurusita Pajak dan dituangkan dalam Berita Acara sebagai pernyataan bahwa Surat Paksa telah diberitahukan. |
(3) | Berita Acara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit berisi :
|
(4) | Bentuk Pemberitahuan Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Format 4 Lampiran Peraturan Gubernur ini. |
(5) | Bentuk Berita Acara Pemberitahuan Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tercantum dalam Format 5 Lampiran Peraturan Gubernur ini. |
(1) | Surat Paksa terhadap orang pribadi diberitahukan oleh Jurusita Pajak kepada :
|
(2) | Surat Paksa terhadap badan diberitahukan oleh Jurusita Pajak kepada :
|
(1) | Dalam hal Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak dinyatakan pailit, Surat Paksa diberitahukan kepada Kurator, Hakim Pengawas, atau Balai Harta Peninggalan. |
(2) | Dalam hal Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak dinyatakan bubar atau dalam likuidasi, Surat Paksa diberitahukan kepada orang atau badan yang dibebani untuk melakukan pemberesan atau likuidator. |
(3) | Dalam hal Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakan, Surat Paksa dapat diberitahukan kepada penerima kuasa. |
(1) | Dalam hal Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak atau pihak-pihak yang dimaksud dalam Pasal 12 dan Pasal 13 menolak untuk menerima Surat Paksa, Jurusita Pajak Daerah meninggalkan Surat Paksa dimaksud dan mencatatnya dalam Berita Acara bahwa Penanggung Pajak tidak mau menerima Surat Paksa, dan Surat Paksa dianggap telah diberitahukan. |
(2) | Apabila pemberitahuan Surat Paksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14 tidak dapat dilaksanakan, Surat Paksa disampaikan melalui Kelurahan dan/atau Kecamatan. |
(3) | Dalam hal Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak tidak diketahui tempat tinggalnya, tempat usaha, atau tempat kedudukannya, penyampaian Surat Paksa dilaksanakan dengan menempelkan salinan Surat Paksa pada papan pengumuman di kantor Pejabat yang menerbitkannya, dengan mengumumkan melalui media massa, atau dengan cara lain. |
(1) | Dalam hal terjadi keadaan di luar kekuasaan Pejabat atau sebab lain, Surat Paksa pengganti dapat diterbitkan oleh Pejabat karena jabatan. |
(2) | Surat Paksa pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan Surat Paksa. |
(1) | Apabila setelah lewat waktu 2 x 24 (dua kali dua puluh empat) jam sejak Surat Paksa diberitahukan kepada Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dan utang pajak tidak dilunasi oleh Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak, Kepala Badan Pajak dan Retribusi Daerah atau Pejabat yang ditunjuk menerbitkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan. |
(2) | Berdasarkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Jurusita Pajak melaksanakan penyitaan terhadap barang milik Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak. |
(3) | Penerbitan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diatur sebagai berikut:
|
(1) | Barang milik Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak yang dapat disita adalah barang yang berada di tempat tinggal, tempat usaha, tempat kedudukan, atau di tempat lain termasuk yang penguasaannya berada di tangan pihak lain atau yang dijaminkan sebagai pelunasan utang tertentu yang dapat berupa :
|
(2) | Terhadap Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak Orang Pribadi penyitaan dapat dilaksanakan atas barang milik pribadi yang bersangkutan, isteri, dan anak yang masih dalam tanggungan, kecuali dikehendaki secara tertulis oleh suami atau isteri berdasarkan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan. |
(3) | Terhadap Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak Badan penyitaan dapat dilaksanakan atas barang milik perusahaan, pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, pemilik modal, baik di tempat kedudukan yang bersangkutan, di tempat tinggal mereka maupun di tempat lain. |
(4) | Penyitaan dilaksanakan dengan mendahulukan barang bergerak kecuali dalam keadaan tertentu dapat dilaksanakan langsung terhadap barang tidak bergerak. |
(5) | Urutan barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak yang disita ditentukan oleh Jurusita Pajak dengan memperhatikan jumlah utang pajak dan biaya penagihan pajak, kemudahan penjualan atau pencairannya. |
(1) | Penyitaan dilaksanakan oleh Jurusita Pajak dengan disaksikan paling sedikit oleh 2 (dua) orang yang telah dewasa, penduduk Indonesia, dikenal oleh Jurusita Pajak dan dapat dipercaya. |
(2) | Dalam melaksanakan penyitaan, Jurusita Pajak harus :
|
(3) | Setiap melaksanakan penyitaan Jurusita Pajak harus membuat Berita Acara Pelaksanaan Sita yang ditandatangani oleh Jurusita Pajak, Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak dan saksi-saksi. |
(4) | Dalam hal Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak menolak untuk menandatangani Berita Acara Pelaksanaan Sita, Jurusita Pajak harus mencantumkan penolakan tersebut dalam Berita Acara Pelaksanaan Sita, dan Berita Acara Pelaksanaan Sita tersebut ditandatangani oleh Jurusita Pajak dan saksi-saksi, dan Berita Acara Pelaksanaan Sita tersebut tetap sah dan mempunyai kekuatan mengikat. |
(5) | Penyitaan tetap dapat dilaksanakan walaupun Penanggung Pajak tidak hadir, sepanjang salah seorang saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari Pemerintah Daerah setempat, paling sedikit setingkat Sekretaris Kelurahan. |
(6) | Dalam hal pelaksanaan penyitaan tidak dihadiri oleh Penanggung Pajak, Berita Acara Pelaksanaan Sita ditandatangani oleh Jurusita Pajak dan saksi-saksi, dan Berita Acara Pelaksanaan Sita tersebut tetap sah dan mempunyai kekuatan mengikat. |
(7) | Salinan Berita Acara Pelaksanaan Sita dapat ditempelkan pada barang bergerak dan atau barang tidak bergerak yang disita, atau di tempat barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak yang disita berada, atau di tempat-tempat umum. |
(8) | Salinan Berita Acara Pelaksanaan Sita disampaikan kepada :
|
(9) | Bentuk Berita Acara Pelaksanaan Sita sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tercantum dalam Format 6 Peraturan Gubernur ini. |
(1) | Penyitaan terhadap perhiasan emas, permata dan sejenisnya dilaksanakan ketentuan sebagai berikut:
|
(2) | Penyitaan terhadap uang tunai termasuk mata uang asing dilaksanakan sebagai berikut:
|
(3) | Penyitaan terhadap kekayaan Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak yang disimpan di bank berupa deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut :
|
(4) | Bentuk Surat Permintaan Pemblokiran sebagaimana ayat (3) huruf h tercantum dalam Format 7 tercantum dalam Lampiran Peraturan Gubernur ini. |
(5) | Penyitaan terhadap surat berharga berupa obligasi, saham, dan sejenisnya yang diperdagangkan di bursa efek dilaksanakan sebagai berikut:
|
(6) | Bentuk Berita Acara Pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf e tercantum dalam Format 8 Lampiran Peraturan Gubernur ini. |
(7) | Penyitaan terhadap surat berharga berupa obligasi, saham, dan sejenisnya yang tidak diperdagangkan di bursa efek dilaksanakan sebagai berikut:
|
(8) | Penyitaan terhadap piutang dilaksanakan sebagai berikut :
|
(9) | Penyitaan terhadap penyertaan modal pada perusahaan lain yang tidak ada surat sahamnya dilaksanakan sebagi berikut:
|
(1) | Penyitaan terhadap barang milik Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak dilaksanakan sampai dengan jumlah nilai barang yang disita diperkirakan cukup untuk melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak. |
(2) | Jurusita Pajak tetap dapat melakukan penyitaan terhadap barang milik Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak yang berada di luar wilayah kerja Pejabat. |
(1) | Barang yang telah disita dititipkan kepada Penanggung Pajak, kecuali apabila menurut pertimbangan Jurusita Pajak barang sitaan tersebut perlu disimpan di kantor Pejabat atau di tempat lain. |
(2) | Dalam hal penyitaan tidak dihadiri oleh Penanggung Pajak :
|
(3) | Tempat lain yang dapat digunakan sebagai tempat penitipan barang yang telah disita sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah Kantor Pegadaian, bank, Kantor Pos atau tempat lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. |
(1) | Atas barang yang disita dapat ditempeli atau diberi segel sita. |
(2) | Penempelan Segel Sita dilaksanakan dengan memperhatikan jenis, sifat dan bentuk barang sitaan. |
(3) | Segel Sita sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memuat paling sedikit :
|
(4) | Bentuk Segel Sita sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tercantum dalam Format 9 Lampiran Peraturan Gubernur ini. |
(1) | Pencabutan sita dilaksanakan apabila Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak telah melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak atau berdasarkan putusan pengadilan atau berdasarkan putusan Badan Peradilan Pajak atau ditetapkan lain oleh Gubernur. |
(2) | Pencabutan sita sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan Surat Pencabutan Sita yang diterbitkan oleh Pejabat. |
(3) | Bentuk Surat Pencabutan Sita sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Format 10 Lampiran Peraturan Gubernur ini. |
(4) | Surat Pencabutan Sita sekaligus berfungsi sebagai pencabutan Berita Acara Pelaksanaan Sita disampaikan oleh Jurusita Pajak kepada Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak dan instansi yang terkait, diikuti dengan pengembalian penguasaan barang yang disita kepada Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak. |
(5) | Pencabutan sita terhadap :
|
(6) | Bentuk Berita Acara Pelaksanaan Pencabutan Penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tercantum dalam Format 11 Lampiran Peraturan Gubernur ini. |
(1) | Pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaan penyitaan atas barang-barang sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000, wajib membantu pelaksanaan penyitaan. |
(2) | Setiap orang dilarang dengan sengaja untuk tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undang-undang, atau dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan penagihan pajak yang dilakukan oleh Juru Sita Pajak. |
(3) | Bentuk Laporan Pelaksanaan Penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Format 12 Peraturan Gubernur ini. |
(1) | Apabila dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak penyitaan, Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak, Pejabat yang ditunjuk segera :
|
(2) | Sebelum jangka waktu 14 (empat belas) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir, Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak dapat mengajukan permohonan kepada Pejabat yang ditunjuk untuk menggunakan barang sitaan dimaksud untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak. |
(1) | Barang sitaan yang dikecualikan dari penjualan secara lelang berupa :
|
(2) | Terhadap barang yang mudah rusak atau cepat busuk, Pejabat dapat segera menjual barang-barang dimaksud untuk pelunasan biaya penagihan pajak dan utang pajak. |
(1) | Penggunaan, penjualan dan/atau pemindahbukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1), dilakukan dengan cara sebagai berikut :
|
(2) | Untuk penentuan harga jual, Pejabat dapat meminta bantuan kepada Jasa Penilai. |
(3) | Berdasarkan rekomendasi Jasa Penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan/atau perkiraan sendiri, pejabat yang ditunjuk menerbitkan Surat Penetapan Harga Limit. |
(4) | Penjualan atas barang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f diikuti dengan pembuatan Berita Acara Pengalihan Hak dari Pejabat yang ditunjuk kepada pembeli yang fungsinya dipersamakan dengan Risalah Lelang. |
(1) | Penjualan secara lelang terhadap barang yang disita sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dilaksanakan paling singkat 14 (empat belas) hari setelah pengumuman lelang melalui media massa. |
(2) | Pengumuman lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan paling singkat 14 (empat belas) hari setelah penyitaan. |
(3) | Pengumuman lelang untuk barang bergerak dilakukan 1 (satu) kali dan untuk barang tidak bergerak dilakukan 2 (dua) kali. |
(4) | Pengumuman lelang terhadap barang dengan nilai paling banyak Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) tidak harus diumumkan melalui media massa. |
(5) | Pejabat yang ditunjuk bertindak sebagai penjual atas barang yang disita mengajukan permintaan lelang kepada Kantor Lelang sebelum lelang dilaksanakan. |
(6) | Pejabat yang ditunjuk atau yang mewakilinya menghadiri pelaksanaan lelang untuk menentukan dilepas atau tidaknya barang yang dilelang dan menandatangani asli Risalah Lelang. |
(7) | Pejabat yang ditunjuk dan Jurusita Pajak tidak diperbolehkan membeli barang sitaan yang dilelang, berlaku juga terhadap istri, keluarga sedarah dan semenda dalam keturunan garis lurus, serta anak angkat. |
(8) | Pejabat yang ditunjuk dan Jurusita Pajak yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7), dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(9) | Perubahan, besarnya nilai barang yang tidak harus diumumkan melalui media massa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dengan Keputusan Gubernur. |
(10) | Bentuk Surat Permintaan Pelaksanaan Lelang Barang Sitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tercantum dalam Format 13 Lampiran Peraturan Gubernur ini. |
(1) | Hasil Lelang dipergunakan terlebih dahulu untuk membayar biaya penagihan pajak yang belum dibayar dan sisanya untuk membayar utang pajak. |
(2) | Dalam hal penjualan secara lelang, biaya penagihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1% (satu persen) dari pokok lelang. |
(3) | Dalam hal hasil lelang sudah mencapai jumlah yang cukup untuk melunasi biaya, penagihan pajak dan utang pajak, pelaksanaan lelang dihentikan oleh Pejabat yang ditunjuk walaupun barang yang akan dilelang masih ada. |
(4) | Sisa barang beserta kelebihan uang hasil lelang dikembalikan oleh Pejabat yang ditunjuk kepada Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak segera setelah pelaksanaan lelang. |
(5) | Dalam hal Pejabat yang ditunjuk lalai melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(6) | Hak Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak atas barang yang telah dilelang berpindah kepada pembeli dan kepadanya diberikan Risalah Lelang yang merupakan bukti otentik sebagai dasar pendaftaran dan pengalihan hak. |
(1) | Pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 hanya dapat dilakukan berdasarkan keputusan pencegahan yang diterbitkan oleh Menteri Keuangan atas permintaan Gubernur |
(2) | Keputusan pencegahan memuat sekurang-kurangnya :
|
(3) | Keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan dengan surat tercatat kepada Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak atau orang-orang yang terkena pencegahan paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal penetapan. |
(4) | Jangka waktu pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c paling lama 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang untuk selama-lamanya 6 (enam) bulan. |
(5) | Keputusan pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada :
|
(6) | Pencegahan dapat dilaksanakan terhadap beberapa orang sebagai Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak atau ahli waris. |
(1) | Penyanderaan hanya dapat dilakukan terhadap Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak yang :
|
(2) | Penyanderaan terhadap Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan berdasarkan Surat Perintah Penyanderaan yang diterbitkan oleh Kepala Badan Pajak dan Retribusi Daerah setelah memperoleh izin tertulis dari Gubernur. |
(3) | Bentuk Surat Perintah Penyanderaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Format 14 Lampiran Peraturan Gubernur ini. |
(1) | Permohonan izin penyanderaan diajukan oleh Kepala Badan Pajak dan Retribusi Daerah kepada Gubernur. |
(2) | Permohonan izin penyanderaan memuat paling sedikit :
|
(3) | Bentuk Surat Permohonan izin penyanderaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Format 15 Lampiran Peraturan Gubernur ini. |
(1) | Surat Perintah Penyanderaan diterbitkan oleh Kepala Badan Pajak dan Retribusi Daerah setelah diterimanya izin tertulis dari Gubernur. |
(2) | Surat Perintah Penyanderaan memuat paling sedikit:
|
(1) | Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak yang disandera ditempatkan ditempat tertentu sebagai tempat penyanderaan dengan syarat sebagai berikut:
|
(2) | Sebelum tempat penyanderaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk, Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak yang disandera dititipkan di rumah tahanan negara dan terpisah dari tahanan lain. |
(3) | Penyanderaan Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. |
(1) | Jurusita Pajak harus menyampaikan Surat Perintah Penyanderaan langsung kepada Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang penduduk Indonesia yang telah dewasa, dikenal oleh Jurusita Pajak dan dapat dipercaya. |
(2) | Dalam melaksanakan penyanderaan Jurusita Pajak dapat meminta bantuan Kepolisian atau Kejaksaan. |
(3) | Dalam hal Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak yang akan disandera tidak dapat ditemukan, bersembunyi atau melarikan diri, Jurusita Pajak melalui Pejabat atau atasan Pejabat dapat meminta bantuan Kepolisian atau Kejaksaan untuk menghadirkan Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak yang tidak dapat ditemukan tersebut. |
(1) | Penyanderaan tetap dapat dilaksanakan terhadap Penanggung Pajak yang telah dilakukan pencegahan. |
(2) | Penyanderaan tidak boleh dilaksanakan kepada Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak dalam hal :
|
(3) | Penyanderaan mulai dilaksanakan pada saat Surat Perintah Penyanderaan diterima oleh Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak yang bersangkutan dan salinannya disampaikan kepada kepala Rumah Tahanan Negara atau Kepala tempat penyanderaan. |
(4) | Dalam hal Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak yang disandera menolak untuk menerima Surat Perintah Penyanderaan, Jurusita Pajak meninggalkan Surat Perintah Penyanderaan dimaksud di tempat kedudukan Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak (tempat tinggal atau tempat bekerja) dan mencatatnya dalam Berita Acara Penyampaian Surat Perintah Penyanderaan bahwa Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak tidak mau menerima Surat Perintah Penyanderaan, dan Surat Perintah Penyanderaan dianggap telah diterima serta sah mempunyai kekuatan hukum mengikat. |
(1) | Jurusita Pajak membuat Berita Acara Penyanderaan dan ditandatangani oleh Jurusita Pajak, kepala Rumah Tahanan Negara atau Kepala tempat penyanderaan dan saksi-saksi pada saat Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak ditempatkan di tempat penyanderaan. |
(2) | Berita Acara Penyanderaan paling sedikit memuat:
|
(3) | Salinan Berita Acara Penyanderaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (3) disampaikan kepada :
|
(4) | Bentuk Berita Acara Penyanderaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Format 16 Lampiran Peraturan Gubernur ini. |
(1) | Selama dalam penyanderaan Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak berhak untuk :
|
(2) | Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak yang disandera selama dalam rumah tahanan Negara atau tempat penyanderaan wajib mematuhi tata tertib dan disiplin. |
(3) | Apabila terbukti Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak melanggar tata tertib dan disiplin Kepala Tahanan Negara melaporkan kepada Kepala Badan. |
(1) | Penanggung Pajak yang disandera dilepas, jika memenuhi persyaratan sebagai berikut:
|
(2) | Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a di atas berupa salinan atau fotokopi bukti pembayaran/pelunasan utang pajak/biaya penagihan pajak lembar pertama yang dilegalisasi oleh tempat pembayaran pajak yang bersangkutan. |
(3) | Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c di atas berupa salinan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang dilegalisasi oleh pengadilan yang bersangkutan. |
(4) | Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d berupa Surat Rekomendasi/Surat Pemberitahuan Kepala Badan, dengan pertimbangan:
|
(5) | Kepala Badan memberitahukan secara tertulis kepada Kepala Rumah Tahanan Negara atau tempat penyanderaan apabila Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak akan dilepas dari penyanderaan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, huruf c, atau huruf d. |
(6) | Kepala Rumah Tahanan Negara atau tempat penyanderaan segera memberitahukan secara tertulis kepada Kepala Badan apabila Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak telah dilepas dari penyanderaan. |
(1) | Penanggung Pajak yang melarikan diri dari tempat penyanderaan dalam masa penyanderaan, disandera kembali berdasarkan Surat Perintah Penyanderaan yang dahulu diterbitkan terhadapnya. |
(2) | Masa penyanderaan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sama dengan masa penyanderaan menurut Surat Perintah Penyanderaan yang dahulu diterbitkan terhadapnya dengan memperhitungkan masa penyanderaan yang, telah dijalani sebelum Penanggung Pajak melarikan diri. |
(1) | Penanggung Pajak yang disandera dapat mengajukan gugatan terhadap pelaksanaan penyanderaan hanya kepada Pengadilan Negeri. |
(2) | Gugatan Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diajukan setelah masa penyanderaan berakhir. |
(3) | Dalam hal gugatan Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak dikabulkan oleh pengadilan dan putusan pengadilan tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap, Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak dapat mengajukan permohonan rehabilitasi nama baik. |
(1) | Permohonan rehabilitasi nama baik Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dan dilengkapi dengan persyaratan sebagai berikut :
|
(2) | Rehabilitasi nama baik dilaksanakan oleh Kepala Badan dalam bentuk 1 (satu) kali pengumuman pada media cetak harian yang berskala nasional/regional/lokal dengan ukuran yang memadai, yang dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari. |
(3) | Bentuk Surat Pemberitahuan Pelepasan Wajib Pajak yang disandera sebagaimana dimaksud pada (1) huruf c tercantum dalam Format 17 Lampiran Peraturan Gubernur ini. |
(1) | Wajib Pajak, Penanggung Pajak, dan/atau Pejabat dapat mengajukan permohonan pembetulan atau penggantian kepada Kepala Suku Badan Pajak dan Retribusi Daerah terhadap Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis, Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus, Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, Pengumuman Lelang dan Surat Penentuan Harga Limit yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan atau kekeliruan. |
(2) | Kepala Suku Badan Pajak dan Retribusi Daerah dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak tanggal diterima permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memberi keputusan atas permohonan yang diajukan. |
(3) | Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Kepala Suku Badan Pajak dan Retribusi Daerah tidak memberikan keputusan, permohonan Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak dianggap dikabulkan dan penagihan ditunda untuk sementara waktu. |
(4) | Kepala Badan Pajak dan Retribusi Daerah dapat membetulkan Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis, Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus, Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, Pengumuman Lelang dan Surat Penentuan Harga Limit yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan atau kekeliruan. |
(5) | Tindakan pelaksanaan penagihan pajak dilanjutkan setelah kesalahan atau kekeliruan dibetulkan oleh Kepala Badan Pajak dan Retribusi Daerah. |
(6) | Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditolak, tindakan pelaksanaan penagihan pajak dilanjutkan sesuai jangka waktu semula. |
(1) | Hasil Pelaksanaan atas Surat Perintah Penagihan Pajak Seketika dan Sekaligus dituangkan dalam dokumen laporan pelaksanaan. |
(2) | Bentuk Laporan Pelaksanaan Surat Perintah Penagihan Pajak Seketika Sekaligus sebagaimana tercantum pada ayat (1) sesuai Format 18 Lampiran Peraturan Gubernur ini. |
(1) | Biaya Penagihan Pajak Daerah adalah sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) untuk setiap pemberitahuan Surat Paksa dan sebesar Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk setiap pelaksanaan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan. |
(2) | Biaya Penagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dibebankan kepada Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak yang akan diperhitungkan berdasarkan hasil Lelang. |
(3) | Bentuk Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Format 19 Lampiran Peraturan Gubernur ini. |
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 4 Desember 2017 GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA, ttd ANIES BASWEDAN |