Perlakuan Perpajakan pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dengan Kontrak Bagi Hasil Gross Split
Menimbang :
Menetapkan :
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
(1) | Kontraktor wajib membawa modal dan teknologi serta menanggung risiko dalam rangka pelaksanaan Operasi Perminyakan berdasarkan Kontrak Bagi Hasil Gross Split pada suatu Wilayah Kerja. |
(2) | Pelaksanaan Operasi Perminyakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan berdasarkan prinsip efektif dan efisien, prinsip kewajaran, serta kaidah praktik bisnis dan keteknikan yang baik. |
(1) | Penghasilan bruto Kontraktor terdiri atas:
|
(2) | Penghasilan dalam rangka bagi hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dihitung berdasarkan nilai realisasi Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi bagian Kontraktor dikurangi nilai realisasi penyerahan DMO Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi ditambah Imbalan DMO ditambah atau dikurangi varian harga atas Lifting. |
(3) | Penghasilan lainnya selain dalam rangka bagi hasil Minyak dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas:
|
(1) | Biaya operasi terdiri atas:
|
(2) | Biaya Eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
|
(3) | Biaya Eksploitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
|
(4) | Biaya umum dan administrasi pada kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan ayat (3) huruf e meliputi:
|
(5) | Biaya lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi:
|
(1) | Biaya operasi yang dapat diperhitungkan dalam penghitungan penghasilan kena pajak harus memenuhi persyaratan:
|
(2) | Biaya yang dikeluarkan yang terkait langsung dengan Operasi Perminyakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib memenuhi syarat:
|
(1) | Pengeluaran yang memiliki masa manfaat tidak lebih dari 1 (satu) tahun yang dilakukan pada masa Produksi Komersial dibebankan sebagai biaya pada tahun pengeluaran. |
(2) | Pengeluaran yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang dilakukan pada masa Produksi Komersial dibebankan sebagai biaya melalui penyusutan atau amortisasi. |
(1) | Penyusutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) atas pengeluaran harta berwujud yang dilakukan pada masa Produksi Komersial yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun dilakukan dalam bagian yang menurun selama masa manfaat yang dihitung dengan cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku dan pada akhir masa manfaat nilai sisa buku disusutkan sekaligus. |
(2) | Penyusutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimulai pada bulan harta tersebut digunakan (placed into Service). |
(3) | Penghitungan penyusutan dilakukan sesuai kelompok, tarif, dan masa manfaat sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini. |
(4) | Dalam hal harta berwujud sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat digunakan lagi akibat kerusakan karena faktor alamiah atau keadaan kahar, jumlah nilai sisa buku harta berwujud langsung dapat dibebankan sebagai biaya operasi. |
(1) | Amortisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) atas pengeluaran selain harta berwujud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang dilakukan pada masa produksi komersial, dihitung dengan metode satuan produksi. |
(2) | Amortisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimulai pada bulan dilakukan pengeluaran. |
(1) | Pengeluaran yang dilakukan sebelum dimulainya Produksi Komersial baik berupa harta berwujud maupun tidak berwujud dikapitalisasi dan diamortisasi yang dipercepat dengan metode satuan produksi. |
(2) | Amortisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimulai pada bulan Produksi Komersial. |
(3) | Terhadap pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktorat Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan untuk menetapkan besarnya biaya yang dikapitalisasi. |
(1) | Besarnya cadangan biaya penutupan dan pemulihan tambang yang dibebankan untuk 1 (satu) tahun pajak, dihitung berdasarkan estimasi biaya penutupan dan pemulihan tambang berdasarkan masa manfaat ekonomis. |
(2) | Cadangan biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disimpan dalam rekening bersama antara SKK Migas dan Kontraktor di bank umum Pemerintah Indonesia di Indonesia. |
(3) | Dalam hal total realisasi biaya penutupan dan pemulihan tambang lebih kecil atau lebih besar dari jumlah yang dicadangkan, selisihnya menjadi pengurang atau penambah biaya operasi dari masing-masing Wilayah Kerja atau lapangan yang bersangkutan, setelah mendapat persetujuan Kepala SKK Migas. |
(4) | Ketentuan mengenai tata cara penggunaan dana cadangan biaya penutupan dan pemulihan tambang diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral. |
Penghasilan Kontraktor untuk Kontrak Bagi Hasil Gross Split diakui pada titik penyerahan.
(1) | Penghasilan dari Kontrak Bagi Hasil Gross Split dalam bentuk Minyak Bumi dinilai dengan menggunakan harga minyak mentah Indonesia. |
(2) | Metodologi dan formula dari harga minyak mentah Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral setelah berkoordinasi dengan Menteri. |
(3) | Ketentuan mengenai tata cara penetapan metodologi dan formula harga minyak mentah Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral. |
(1) | Bagi hasil Minyak dan Gas Bumi dihitung berdasarkan jumlah gross produksi dengan mekanisme bagi hasil awal (base split) yang dapat disesuaikan berdasarkan komponen variabel dan komponen progresif. |
(2) | Kontraktor wajib memenuhi kewajiban DMO dengan menyerahkan sebesar 25% (dua puluh lima persen) bagiannya dari produksi Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi yang dihasilkannya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. |
(3) | Kontraktor mendapat Imbalan DMO atas penyerahan Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan harga yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral. |
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran bagi hasil awal (base split), komponen variabel, dan komponen progresif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral. |
(1) | Penghasilan neto untuk 1 (satu) tahun pajak bagi Kontraktor, dihitung berdasarkan penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) ditambah penghasilan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf c dan huruf d dikurangi biaya operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8 huruf b, dan Pasal 8 huruf o angka 1. |
(2) | Dalam hal penghasilan setelah pengurangan biaya operasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didapat kerugian, kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 10 (sepuluh) tahun. |
(3) | Penghasilan kena pajak bagi Kontraktor dihitung berdasarkan penghasilan neto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikurangi dengan kompensasi kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2). |
(4) | Besarnya pajak penghasilan yang terutang bagi Kontraktor, dihitung berdasarkan penghasilan kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikalikan dengan tarif pajak yang ditentukan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang pajak penghasilan. |
(5) | Penghasilan kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) setelah dikurangi pajak penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), terutang pajak penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak penghasilan. |
(1) | Penghasilan lain Kontraktor berupa Uplift atau imbalan lain yang sejenis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dikenai pajak penghasilan yang bersifat final dengan tarif 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto. |
(2) | Penghasilan kena pajak sesudah dikurangi pajak penghasilan yang bersifat final yang berasal dari Uplift atau imbalan lain yang sejenis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dikenai pajak penghasilan. |
(3) | Penghasilan Kontraktor dari pengalihan Partisipasi Interes (Participating Interest) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf b dikenai pajak penghasilan yang bersifat final dengan tarif:
|
(4) | Penghasilan kena pajak sesudah dikurangi pajak penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dikenai pajak penghasilan. |
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemotongan dan pembayaran atas pajak penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri. |
(1) | Dalam masa Eksplorasi, penghasilan dari pengalihan Partisipasi Interes (Participating Interest) tidak termasuk penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) apabila memenuhi kriteria:
|
(2) | Dalam masa Eksploitasi, penghasilan dari pengalihan Partisipasi Interes (Participating Interest) yang dilakukan untuk melaksanakan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tidak termasuk penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1). |
(3) | Pengalihan Partisipasi Interes (Participating Interest) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai Kegiatan Usaha Hulu. |
(1) | Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya. |
(2) | Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf latin, angka arab, dan disusun dalam bahasa Indonesia atau bahasa asing setelah mendapat persetujuan dari Menteri. |
(3) | Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asas, sesuai dengan pernyataan standar akuntansi keuangan, dan sesuai prinsip Kontrak Bagi Hasil Gross Split. |
(4) | Pembukuan paling sedikit terdiri atas catatan mengenai harta, kewajiban, modal, penghasilan, dan biaya, serta penjualan dan pembelian, sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang. |
(5) | Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara program aplikasi on-line wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia. |
(1) | Setiap Kontraktor pada suatu Wilayah Kerja wajib:
|
(2) | Dalam hal terjadi pengalihan Partisipasi Interes (Participating Interest) atau pengalihan saham, Kontraktor wajib melaporkan nilainya kepada Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi dan Direktur Jenderal Pajak. |
(3) | Dalam hal pengalihan Partisipasi Interes (Participating Interest), hak dan kewajiban perpajakan beralih kepada Kontraktor yang baru. |
(1) | Setiap Operator pada suatu Wilayah Kerja wajib:
|
(2) | Dalam hal terjadi pergantian Operator, kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beralih kepada Operator yang baru. |
(1) | Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi bagian Pemerintah dari Kontrak Bagi Hasil Gross Split sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dihitung berdasarkan volume Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi. |
(2) | Dalam hal Pemerintah membutuhkan Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi untuk keperluan pemenuhan kebutuhan dalam negeri, pajak penghasilan Kontraktor dari Kontrak Bagi Hasil Gross Split, dapat berupa volume Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi dari bagian Kontraktor. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai perhitungan dan tata cara pembayaran pajak penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri. |
(1) | Pada tahap Eksplorasi dan Eksploitasi sampai dengan saat dimulainya produksi komersial, Kontraktor diberikan fasilitas meliputi:
| ||||||||
(2) | Terhadap fasilitas perpajakan yang telah diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang peruntukannya tidak dalam rangka Operasi Perminyakan, wajib dibayar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||||||
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. |
(1) | Dalam hal pada tahap Eksploitasi terdapat kapasitas berlebih pada fasilitas pengolahan lapangan, pengangkutan, penyimpanan, dan penjualan, Kontraktor dapat memanfaatkan kelebihan kapasitas tersebut untuk digunakan Kontraktor lainnya berdasarkan prinsip pembebanan biaya operasi fasilitas bersama (cost sharing) setelah mendapatkan persetujuan SKK Migas. |
(2) | Pembebanan biaya operasi fasilitas bersama (cost sharing) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialokasikan secara proporsional kepada seluruh Kontraktor yang mendapat manfaat atas biaya operasi tersebut. |
(3) | Pembebanan biaya operasi fasilitas bersama (cost sharing) oleh Kontraktor dalam rangka pemanfaatan barang milik negara di bidang hulu Minyak dan Gas Bumi dikecualikan dari pemotongan pajak penghasilan dan tidak dikenakan pajak pertambahan nilai. |
(4) | Pembebanan biaya operasi fasilitas bersama (cost sharing) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
|
(1) | Menteri dalam keadaan tertentu dapat menunjuk pihak ketiga yang independen untuk melakukan verifikasi finansial dan teknis setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral. |
(2) | Penunjukan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengadaan barang dan jasa. |
(1) | Berdasarkan pertimbangan keekonomian lapangan, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral dapat melakukan penyesuaian terhadap besaran bagi hasil serta menetapkan bentuk dan besar insentif Kegiatan Usaha Hulu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Dalam rangka membantu keekonomian Kegiatan Usaha Hulu, Menteri dapat memberikan insentif dalam rangka pemanfaatan barang milik negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 27 Desember 2017 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. JOKO WIDODO |
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 28 Desember 2017
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
YASONNA H. LAOLY
I. | Umum Dalam rangka pelaksanaan usaha hulu Minyak dan Gas Bumi berdasarkan Kontrak Kerja Sama yang berorientasi pada peningkatan efisiensi dan efektivitas pola bagi hasil produksi Minyak dan Gas Bumi, Pemerintah menerapkan Kontrak Bagi Hasil yang menggunakan mekanisme tanpa pengembalian biaya operasi (Kontrak Bagi Hasil Gross Split). Bahwa industri usaha hulu Minyak dan Gas Bumi memiliki karakteristik yang berbeda dengan industri pada umumnya dengan tingkat risiko yang tinggi dan memerlukan waktu yang panjang serta investasi yang besar untuk menemukan cadangan Minyak dan Gas Bumi. Oleh karena itu, diperlukan ketentuan perpajakan pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dengan Kontrak Bagi Hasil Gross Split yang dapat mendukung keekonomian sehingga meningkatkan investasi dalam kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi Minyak dan Gas Bumi dan meningkatkan penemuan cadangan Minyak dan Gas Bumi nasional. Peraturan Peraturan Pemerintah ini mengatur mengenai jenis-jenis penghasilan Kontraktor, penghitungan penghasilan kena pajak, biaya-biaya operasi baik yang dapat maupun tidak dapat diperhitungkan sebagai pengurang penghasilan bruto, pengakuan dan pengukuran penghasilan, penghitungan bagi hasil, dan kewajiban Kontraktor atau Operator terkait perpajakan. Selain itu, diatur pula mengenai pemberian insentif dalam bentuk fasilitas perpajakan yang dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan serta mempertimbangkan karakteristik dari Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Fasilitas perpajakan diberikan sejak masa Eksplorasi sampai dengan Kontraktor mencapai Produksi Komersial untuk membantu keekonomian proyek sehingga Kontraktor tidak terbebani pembayaran pajak ketika belum memperoleh penghasilan. Untuk memberikan kepastian hukum, Peraturan Pemerintah ini juga akan diberlakukan terhadap Kontrak Bagi Hasil Gross Split yang telah ditandatangani sebelum Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku dengan beberapa ketentuan peralihan. Pokok-pokok pengaturan dalam Peraturan Pemerintah ini meliputi:
|
II. | PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Dalam hal Kontrak Kerja Sama di bidang usaha hulu Minyak dan Gas Bumi, Pemerintah menyediakan sumber daya alamnya sedangkan Kontraktor wajib membawa modal dan teknologi. Konsekuensinya bahwa Kontraktor tidak diperkenankan membebankan biaya bunga maupun biaya royalti dan sejenisnya ke dalam biaya operasi yang dapat dikurangkan dari penghasilan. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "kaidah praktik bisnis yang baik" meliputi kaidah praktik bisnis yang umum berlaku dan wajar sesuai dengan etika bisnis, sedangkan kaidah keteknikan yang baik meliputi:
Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "varian harga atas Lifting" adalah selisih harga yang terjadi karena perbedaan harga minyak mentah Indonesia bulanan dengan harga minyak mentah Indonesia rata-rata tertimbang. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan "penghasilan lainnya" adalah penghasilan lain yang dapat dikategorikan sebagai penghasilan antara lain denda keterlambatan delivery vendor, penalti penerimaan Lifting, dan penghasilan lainnya. Pasal 5 Ayat (1) Biaya operasi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan biaya yang menjadi dasar dalam penghitungan penghasilan kena pajak. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan "biaya pemrosesan Gas Bumi" adalah biaya yang terkait dengan aktifitas pemrosesan Gas Bumi sampai dengan titik penyerahan antara lain biaya pemrosesan Liquefied Natural Gas (LNG). Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Yang termasuk biaya penyusutan antara lain berupa:
Huruf g Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Huruf a Termasuk dalam biaya pemindahan gas dari titik produksi ke titik penyerahan adalah biaya untuk pemasaran. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan "biaya pemasaran" adalah biaya dalam rangka pemasaran yang dilakukan oleh Kontraktor pada Kegiatan Usaha Hulu sampai dengan titik penyerahan yang tidak ditujukan untuk mencari keuntungan. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Harta yang dihibahkan tidak boleh dibebankan sebagai biaya karena harta tersebut merupakan milik negara. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Huruf l Biaya yang terkait dengan merger dan akuisisi antara lain:
Huruf m Cukup jelas. Huruf n Biaya royalti yang tidak dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan bruto adalah biaya royalti yang terkait langsung dengan teknologi Operasi Perminyakan. Huruf o Cukup jelas. Huruf p Yang dimaksud dengan "kelalaian Kontraktor" adalah kelalaian berat (gross negligance) atau perbuatan salah yang disengaja (willful misconduct) yang telah melalui proses penyelesaian perselisihan berdasarkan Kontrak Bagi Hasil Gross Split. Huruf q Cukup jelas. Huruf r Cukup jelas. Huruf s Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Pengeluaran yang memiliki masa manfaat tidak lebih dari 1 (satu) tahun termasuk biaya survei dan intangible drilling cost yang dikeluarkan pada masa produksi komersial. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "placed into service" adalah saat dimulainya suatu harta berwujud digunakan dan telah memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh Penyelenggara Pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Metode satuan produksi dilakukan dengan menerapkan persentase tarif amortisasi yang besarnya setiap tahun sama dengan persentase perbandingan antara realisasi penambangan Minyak dan Gas Bumi pada tahun yang bersangkutan dengan taksiran jumlah seluruh kandungan Minyak dan Gas Bumi di lokasi tersebut yang dapat diproduksi. Taksiran jumlah seluruh kandungan Minyak dan Gas Bumi berdasarkan persetujuan rencana pengembangan lapangan (Plan of Development) yang pertama dan dapat dilakukan penyesuaian berdasarkan hasil pemantauan rencana pengembangan lapangan (Plan of Development). Apabila ternyata jumlah produksi yang sebenarnya lebih kecil dari yang diperkirakan, sehingga masih terdapat sisa pengeluaran untuk memperoleh hak atau pengeluaran lain, maka atas sisa pengeluaran tersebut boleh dibebankan sekaligus dalam tahun pajak yang bersangkutan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "amortisasi dipercepat" adalah sebesar 2 (dua) kali dari tarif amortisasi pada tahun yang bersangkutan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Dalam hal terdapat biaya-biaya yang akan dikapitalisasi termasuk tahun pajak yang melebihi 5 (lima) tahun, Direktorat Jenderal Pajak tetap dapat melakukan pemeriksaan atas biaya-biaya tersebut. Pasal 13 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "tahun pajak" adalah tahun kalender. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas Pasal 14 Yang dimaksud dengan "titik penyerahan" adalah titik terjadinya pengalihan hak kepemilikan (transfer of title) Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi dari Pemerintah kepada Kontraktor. Pasal 15 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "harga minyak mentah Indonesia" adalah harga minyak mentah yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral secara periodik. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan "tarif pajak" sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak penghasilan dalam ketentuan ini adalah pemberlakuan tarif pajak sesuai besaran tarif pajak yang ditentukan dalam kontrak yaitu tarif pajak yang berlaku pada saat kontrak ditandatangani atau tarif pajak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku dan dapat berubah setiap saat. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Dokumen pendukung tetap disimpan untuk pembuktian biaya-biaya yang membutuhkan pembuktian lebih dari 10 (sepuluh) tahun. Pasal 22 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Bentuk dan isi SPT Tahunan PPh sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak yang mengatur tentang bentuk dan isi surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan bagi wajib pajak yang melakukan Kegiatan Usaha Hulu. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup Jelas. Huruf f Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Jika interest pada suatu Wilayah Kerja dimiliki oleh Kontraktor A, Kontraktor B, dan Kontraktor C kemudian interest Kontraktor A dialihkan kepada Kontraktor D, maka kewajiban perpajakan atas interest tersebut menjadi kewajiban Kontraktor D sejak pengalihan interest tersebut berlaku efektif. Pasal 23 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Jika Kontraktor B menjadi Operator menggantikan Kontraktor A, maka kewajiban beralih kepada Kontraktor B sejak pengalihan Operator tersebut berlaku efektif. Kontraktor A juga diwajibkan mengalihkan dokumen-dokumen yang berhubungan dengan biaya-biaya yang belum dibebankan. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup Jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" adalah musibah karena alam yang menimbulkan potensi kerugian negara berupa penurunan penerimaan dan/atau kerugian pada aset negara pada Kegiatan Usaha Hulu. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "penyesuaian terhadap besaran bagi hasil" adalah dalam hal perhitungan keekonomian lapangan atau beberapa lapangan tidak mencapai keekonomian tertentu, menteri yang menyelenggarakan urusan di bidang energi dan sumber daya mineral dapat menetapkan tambahan persentase bagi hasil untuk Kontraktor. Sedangkan dalam hal perhitungan keekonomian lapangan atau beberapa lapangan melebihi keekonomian tertentu, menteri yang menyelenggarakan urusan di bidang energi dan sumber daya mineral dapat menetapkan tambahan persentase bagi hasil untuk negara. Yang dimaksud dengan "insentif Kegiatan Usaha Hulu" adalah insentif yang diberikan untuk mendukung keekonomian pengembangan Wilayah Kerja. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. |