Intensif Pajak Untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019
(1) | Penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai wajib dipotong PPh sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 21 Undang-Undang PPh oleh Pemberi Kerja. | ||||||||||||||
(2) | PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditanggung Pemerintah atas penghasilan yang diterima Pegawai dengan kriteria tertentu. | ||||||||||||||
(3) | Pegawai dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
| ||||||||||||||
(4) | Kode
Klasifikasi Lapangan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a
angka 1 adalah sebagaimana kode Klasifikasi Lapangan Usaha yang
tercantum dalam:
| ||||||||||||||
(5) | PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dibayarkan secara tunai oleh Pemberi Kerja pada saat pembayaran penghasilan kepada Pegawai, termasuk dalam hal Pemberi Kerja memberikan tunjangan PPh Pasal 21 atau menanggung PPh Pasal 21 kepada Pegawai. | ||||||||||||||
(6) | Dikecualikan dari diberikan insentif PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam hal penghasilan yang diterima Pegawai berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan PPh Pasal 21 telah ditanggung Pemerintah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. | ||||||||||||||
(7) | PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah yang diterima oleh Pegawai dari Pemberi Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak diperhitungkan sebagai penghasilan yang dikenakan pajak. | ||||||||||||||
(8) | Dalam hal Pegawai yang menerima insentif PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah menyampaikan SPT Tahunan orang pribadi Tahun Pajak 2021 dan menyatakan kelebihan pembayaran, kelebihan pembayaran yang berasal dari PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah tidak dapat dikembalikan. | ||||||||||||||
(9) | Contoh penghitungan PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah sebagaimana tercantum dalam Lampiran Contoh Penghitungan PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(1) | Pemberi Kerja menyampaikan pemberitahuan kepada kepala KPP tempat Pemberi Kerja terdaftar melalui saluran tertentu pada laman www.pajak.go.id dengan menggunakan format sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran Contoh Surat Pemberitahuan Pemanfaatan Insentif PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) dan/atau Pengurangan Besarnya Angsuran PPh Pasal 25 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(2) | Pemberi Kerja menyampaikan pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk memanfaatkan insentif PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2). |
(3) | Dalam
hal Pemberi Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan Wajib
Pajak Berstatus Pusat dengan kode Klasifikasi Lapangan Usaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a angka 1 dan memiliki cabang,
berlaku ketentuan:
|
(4) | Insentif PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), mulai dimanfaatkan sejak Masa Pajak pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan. |
(5) | Kepala KPP menerbitkan surat pemberitahuan:
|
(1) | Pemberi Kerja harus menyampaikan laporan realisasi PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah melalui saluran tertentu pada laman www.pajak.go.id dengan menggunakan format sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran Formulir Laporan Realisasi PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(2) | Pemberi Kerja harus membuat Surat Setoran Pajak atau cetakan kode billing yang dibubuhi cap atau tulisan "PPh PASAL 21 DITANGGUNG PEMERINTAH EKS PMK NOMOR .../PMK.03/2021" pada kolom uraian pembayaran Surat Setoran Pajak atau kolom uraian aplikasi pembuatan kode billing atas PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2). |
(3) | Laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diisi dengan data yang lengkap dan valid sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, antara lain Nama dan NPWP pegawai penerima insentif PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah. |
(4) | Pemberi Kerja yang menyampaikan laporan realisasi PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan membuat Surat Setoran Pajak atau cetakan kode billing sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk Wajib Pajak Berstatus Pusat dan/atau Wajib Pajak Berstatus Cabang yang telah memanfaatkan insentif PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah. |
(5) | Pemberi Kerja harus menyampaikan laporan realisasi PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. |
(6) | Pemberi Kerja yang tidak menyampaikan laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak dapat memanfaatkan insentif PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) untuk Masa Pajak yang bersangkutan. |
(7) | Pemberi Kerja dapat menyampaikan pembetulan atas laporan realisasi PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat akhir bulan berikutnya setelah batas waktu pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (5). |
(8) | Pembetulan laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dengan menggunakan format Lampiran Formulir Laporan Realisasi PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP). |
(9) | Pemberi kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (6) wajib menyetorkan PPh Pasal 21 terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) untuk Masa Pajak yang bersangkutan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(1) | Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018, dikenai PPh final sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dari jumlah peredaran bruto. |
(2) | PPh final sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilunasi dengan cara:
|
(3) | PPh final sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditanggung Pemerintah. |
(4) | PPh final ditanggung Pemerintah yang diterima oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak diperhitungkan sebagai penghasilan yang dikenakan pajak. |
(5) | Dalam hal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan transaksi yang merupakan objek pemotongan atau pemungutan PPh dengan Pemotong atau Pemungut Pajak, untuk menerapkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Wajib Pajak harus menyerahkan fotokopi Surat Keterangan dan terkonfirmasi kebenarannya dalam sistem informasi Direktorat Jenderal Pajak. |
(6) | Pemotong atau Pemungut Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak melakukan pemotongan atau pemungutan PPh terhadap Wajib Pajak yang telah menyerahkan fotokopi Surat Keterangan dan telah terkonfirmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5). |
(7) | Contoh penghitungan PPh final ditanggung Pemerintah sebagaimana tercantum dalam Lampiran Contoh Penghitungan PPh Final Ditanggung Pemerintah yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(1) | Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu harus menyampaikan laporan realisasi PPh final ditanggung Pemerintah melalui saluran tertentu pada laman www.pajak.go.id dengan menggunakan format sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran Formulir Laporan Realisasi PPh Final Ditanggung Pemerintah yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(2) | Laporan realisasi PPh final ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi seluruh PPh final yang terutang atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak termasuk dari transaksi dengan Pemotong atau Pemungut Pajak. |
(3) | PPh final ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) diberikan berdasarkan laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang disampaikan oleh Wajib Pajak. |
(4) | Pemotong atau Pemungut Pajak harus membuat Surat Setoran Pajak atau cetakan kode billing yang dibubuhi cap atau tulisan " PPh FINAL DITANGGUNG PEMERINTAH EKS PMK NOMOR .../PMK.03/2021 " pada kolom uraian pembayaran Surat Setoran Pajak atau kolom uraian aplikasi pembuatan kode billing atas transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5). |
(5) | Wajib Pajak harus menyampaikan laporan realisasi PPh final ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. |
(6) | Wajib Pajak yang tidak menyampaikan laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak dapat memanfaatkan insentif PPh final ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) untuk Masa Pajak yang bersangkutan. |
(7) | Wajib Pajak dapat menyampaikan pembetulan atas laporan realisasi PPh final ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat akhir bulan berikutnya setelah batas waktu pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (5). |
(8) | Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (6) wajib menyetorkan PPh final terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) untuk Masa Pajak yang bersangkutan sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang perpajakan. |
(9) | Penyampaian laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Wajib Pajak yang belum memiliki Surat Keterangan, dapat diperlakukan sebagai pengajuan Surat Keterangan dan terhadap Wajib Pajak tersebut dapat diterbitkan Surat Keterangan sepanjang memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri yang mengatur mengenai pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu. |
(1) | Atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi berdasarkan Peraturan Pemerintah mengenai PPh atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi dikenai PPh yang bersifat final. |
(2) | PPh final sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilunasi dengan cara:
|
(3) | PPh final sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Penerima P3-TGAI ditanggung Pemerintah. |
(4) | Pemotong Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a yang melakukan pembayaran dalam pelaksanaan P3-TGAI kepada Wajib Pajak Penerima P3-TGAI tidak melakukan pemotongan PPh final. |
(5) | PPh final ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tidak diperhitungkan sebagai penghasilan yang dikenakan pajak. |
(1) | Pemotong Pajak harus menyampaikan laporan realisasi PPh final ditanggung Pemerintah melalui saluran tertentu pada laman www.pajak.go.id dengan menggunakan format sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran Formulir Laporan Realisasi PPh Final Jasa Konstruksi Ditanggung Pemerintah (DTP) yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(2) | Pemotong Pajak harus membuat Surat Setoran Pajak atau cetakan kode billing yang dibubuhi cap atau tulisan " PPh FINAL JASA KONSTRUKSI DITANGGUNG PEMERINTAH EKS PM K NOMOR .../PMK.03/2021 " pada kolom uraian pembayaran Surat Setoran Pajak atau kolom uraian aplikasi pembuatan kode billing atas PPh final ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3). |
(3) | Pemotong Pajak harus menyampaikan laporan realisasi PPh final ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. |
(4) | Pemotong Pajak yang tidak menyampaikan laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dapat memanfaatkan insentif PPh final ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) untuk Masa Pajak yang bersangkutan. |
(5) | Pemotong Pajak dapat menyampaikan pembetulan atas laporan realisasi PPh final ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat akhir bulan berikutnya setelah batas waktu pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). |
(6) | Pemotong Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib menyetorkan PPh final terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) untuk Masa Pajak yang bersangkutan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(1) | PPh Pasal 22 Impor dipungut oleh Bank Devisa atau Direktorat Jenderal Bea dan Cukai pada saat Wajib Pajak melakukan impor barang. | ||||||||||||
(2) | Besarnya tarif PPh Pasal 22 Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan Peraturan Menteri mengenai pemungutan PPh Pasal 22 sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang dan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain. | ||||||||||||
(3) | PPh Pasal 22 Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebaskan dari pemungutan kepada Wajib Pajak yang:
| ||||||||||||
(4) | Kode
Klasifikasi Lapangan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a
adalah sebagaimana kode Klasifikasi Lapangan Usaha yang tercantum dalam:
| ||||||||||||
(5) | Pembebasan dari pemungutan PPh sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan melalui Surat Keterangan Bebas Pemungutan PPh Pasal 22 Impor. | ||||||||||||
(6) | Wajib Pajak mengajukan permohonan Surat Keterangan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (5) melalui saluran tertentu pada laman www.pajak.go.id dengan menggunakan formulir sesuai contoh sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Formulir Permohonan Surat Keterangan Bebas Pemungutan PPh Pasal 22 Impor yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. | ||||||||||||
(7) | Kepala KPP tempat Wajib Pajak terdaftar menerbitkan:
| ||||||||||||
(8) | Jangka waktu pembebasan dari pemungutan PPh Pasal 22 Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku sejak tanggal Surat Keterangan Bebas diterbitkan. | ||||||||||||
(9) | Wajib Pajak yang telah mendapatkan pembebasan PPh Pasal 22 Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a harus menyampaikan laporan realisasi pembebasan PPh Pasal 22 Impor setiap bulan melalui saluran tertentu pada laman www.pajak.go.id dengan menggunakan format sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran Formulir Laporan Realisasi Pembebasan PPh Pasal 22 Impor yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. | ||||||||||||
(10) | Wajib Pajak menyampaikan laporan realisasi pembebasan PPh Pasal 22 Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (9) paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. |
(1) | Wajib Pajak yang:
| ||||||||||||
(2) | Kode
Klasifikasi Lapangan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
adalah sebagaimana kode Klasifikasi Lapangan Usaha yang tercantum dalam:
| ||||||||||||
(3) | Wajib Pajak menyampaikan pemberitahuan kepada kepala KPP tempat Wajib Pajak terdaftar melalui saluran tertentu pada laman www.pajak.go.id dengan menggunakan format sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran Contoh Surat Pemberitahuan Pemanfaatan Insentif PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) dan/atau Pengurangan Besarnya Angsuran PPh Pasal 25 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini untuk memanfaatkan insentif pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 sebagaimana dimaksud pada ayat (1). | ||||||||||||
(4) | Kepala KPP tempat Wajib Pajak terdaftar menerbitkan surat pemberitahuan:
|
(1) | Dalam hal Wajib Pajak selain Wajib Pajak baru, bank, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Wajib Pajak masuk bursa, Wajib Pajak lainnya yang berdasarkan ketentuan diharuskan membuat laporan keuangan berkala dan Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu telah memanfaatkan insentif pengurangan PPh Pasal 25 sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 86/PMK.03/2020 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 110/PMK.03/2020 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 86/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019, besarnya angsuran PPh Pasal 25 untuk bulan-bulan sebelum SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2020 disampaikan sebelum batas waktu penyampaian SPT Tahunan Tahun Pajak 2020 sama dengan besarnya angsuran pajak untuk bulan terakhir Tahun Pajak 2020 setelah pemanfaatan insentif angsuran PPh Pasal 25. |
(2) | Bagi
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengurangan besarnya
angsuran PPh Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1)
berlaku sejak:
|
(3) | Bagi Wajib Pajak selain Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) berlaku sejak Masa Pajak pemberitahuan pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) disampaikan. |
(4) | Contoh
penghitungan pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 sebagaimana
tercantum dalam Lampiran Contoh Penghitungan Pengurangan Besarnya
Angsuran PPh Pasal 25 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Menteri ini. |
(1) | Wajib Pajak yang memanfaatkan pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) harus menyampaikan laporan realisasi pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 setiap bulan melalui saluran tertentu pada laman www.pajak.go.id dengan menggunakan format sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran Formulir Realisasi Pengurangan Besarnya Angsuran PPh Pasal 25 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(2) | Wajib Pajak harus menyampaikan laporan realisasi pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. |
(1) | PKP dapat diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak sebagai PKP berisiko rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4c) Undang-Undang PPN. | ||||||||||||
(2) | PKP yang diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat:
| ||||||||||||
(3) | PKP harus memilih pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak berdasarkan Pasal 9 ayat (4c) Undang-Undang PPN pada Surat Pemberitahuan Masa PPN untuk memperoleh pengembalian pendahuluan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1). | ||||||||||||
(4) | Selain syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), PKP harus menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa PPN lebih bayar restitusi dengan jumlah lebih bayar paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). | ||||||||||||
(5) | Kode
Klasifikasi Lapangan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf a adalah sebagaimana kode Klasifikasi Lapangan Usaha yang
tercantum dalam:
| ||||||||||||
(6) | Ketentuan mengenai Klasifikasi Lapangan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berlaku bagi Wajib Pajak Berstatus Pusat maupun Wajib Pajak Berstatus Cabang. | ||||||||||||
(7) | PKP yang telah mendapatkan fasilitas KITE sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b harus melampirkan Keputusan Menteri mengenai penetapan sebagai perusahaan yang mendapat fasilitas KITE, dalam Surat Pemberitahuan Masa PPN yang diajukan permohonan pengembalian pendahuluan. | ||||||||||||
(8) | PKP yang telah mendapatkan izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin PDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c harus melampirkan Keputusan Menteri mengenai izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin PDKB, dalam Surat Pemberitahuan Masa PPN yang diajukan permohonan pengembalian pendahuluan. | ||||||||||||
(9) | Surat Pemberitahuan Masa PPN yang ditferikan pengembalian pendahuluan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi Surat Pemberitahuan Masa PPN termasuk pembetulan Surat Pemberitahuan Masa PPN yang disampaikan paling lama akhir bulan setelah Masa Pajak pemberian insentif berakhir. | ||||||||||||
(10) | Termasuk yang diperhitungkan dalam pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak yaitu kompensasi kelebihan pajak dari Masa Pajak sebelumnya yang diperhitungkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak yang dimintakan pengembalian pendahuluan sebagaimana dimaksud pada ayat (9). | ||||||||||||
(11) | Pengembalian pendahuluan sebagaimana dimaksud pada ayat (9), tetap diberikan kepada PKP meskipun kelebihan pajak disebabkan adanya kompensasi Masa Pajak sebelumnya. | ||||||||||||
(12) | PKP berisiko rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan pengembalian pendahuluan berdasarkan kriteria tertentu. | ||||||||||||
(13) | Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (12) meliputi:
| ||||||||||||
(14) | Petunjuk bagi PKP berisiko rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk mengajukan permohonan pengembalian pendahuluan melalui Surat Pemberitahuan Masa PPN sebagaimana tercantum dalam Lampiran Petunjuk Permohonan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak Sebagai PKP Berisiko Rendah merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. | ||||||||||||
(15) | Tata cara atas pengembalian pendahuluan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali penelitian terhadap pemenuhan kegiatan tertentu, dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri mengenai tata cara pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak. |
(1) | Pemberi
Kerja atau Wajib Pajak yang memiliki kewajiban penyampaian SPT Tahunan
PPh Tahun Pajak 2019 yang akan memanfaatkan insentif:
|
(2) | Ketentuan penyampaian SPT Tahunan PPh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi Wajib Pajak yang belum atau tidak memiliki kewajiban penyampaian SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2019. |
(1) | Jangka waktu pemberian insentif:
|
(2) | Jangka waktu pemberian insentif pembebasan dari pemungutan PPh Pasal 22 Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) berlaku sampai dengan tanggal 30 Juni 2021. |
(1) | Pemberi
Kerja atau Wajib Pajak yang telah menyampaikan pemberitahuan
pemanfaatan insentif PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah, mengajukan
permohonan Surat Keterangan Bebas PPh Pasal 22 Impor, dan/atau
pemberitahuan pemanfaatan insentif pengurangan besarnya angsuran PPh
Pasal 25 berdasarkan:
|
(2) | Pemberi Kerja yang telah menyampaikan pemberitahuan pemanfaatan insentif PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, atau huruf c dan belum menyampaikan laporan realisasi dapat menyampaikan laporan realisasi paling lambat tanggal 28 Februari 2021 untuk dapat memanfaatkan insentif PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah Tahun Pajak 2020. |
(3) | Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yang belum menyampaikan laporan realisasi PPh final ditanggung Pemerintah berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat menyampaikan laporan realisasi paling lambat tanggal 28 Februari 2021 untuk dapat memanfaatkan insentif PPh final ditanggung Pemerintah Tahun Pajak 2020. |
(4) | Pemotong Pajak yang belum menyampaikan laporan realisasi PPh final jasa konstruksi ditanggung Pemerintah berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat menyampaikan laporan realisasi paling lambat tanggal 28 Februari 2021 untuk dapat memanfaatkan insentif PPh final ditanggung Pemerintah Tahun Pajak 2020. |
(5) | Pemberi Kerja, Wajib Pajak, atau Pemotong Pajak yang tidak menyampaikan laporan realisasi sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) tidak dapat memanfaatkan insentif PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah atau insentif PPh final ditanggung Pemerintah untuk Masa Pajak yang belum dilaporkan pada Tahun Pajak 2020. |
(6) | Pemberi Kerja atau Wajib Pajak dapat memanfaatkan insentif PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dan insentif pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) sejak Masa Pajak Januari 2021 dengan menyampaikan pemberitahuan pemanfaatan insentif PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah dan pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 sampai dengan tanggal 15 Februari 2021. |
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 1 Februari 2021 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. SRI MULYANI INDRAWATI |