Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
(1) | Objek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. |
(2) | Termasuk dalam pengertian Bangunan adalah :
|
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai klasifikasi objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Gubernur. |
(1) | Objek Pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah objek pajak yang:
|
(2) | Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) ditetapkan sebesar Rp.15.000.000,- (lima belas juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak. |
(1) | Yang menjadi Subjek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki,menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan. |
(2) | Subjek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi Wajib Pajak menurut Peraturan Daerah ini. |
(3) | Dalam hal atas suatu objek pajak belum jelas diketahui wajib pajaknya, Kepala Dinas Pelayanan Pajak atas nama Gubernur dapat menetapkan subjek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai Wajib Pajak. |
(4) | Subjek pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat memberikan keterangan secara tertulis kepada Kepala Dinas Pelayanan bahwa ia bukan wajib pajak terhadap objek pajak dimaksud. |
(5) | Bila keterangan yang diajukan oleh wajib pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disetujui, maka Kepala Dinas Pelayanan Pajak membatalkan penetapan sebagai wajib pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak diterimanya surat keterangan dimaksud. |
(6) | Bila keterangan yang diajukan itu tidak disetujui, maka Kepala Dinas Pelayanan Pajak mengeluarkan surat keputusan penolakan dengan disertai alasan-alasannya. |
(7) | Apabila setelah jangka waktu satu bulan sejak tanggal diterimanya keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Kepala Dinas Pelayanan Pajak tidak memberikan keputusan, maka keterangan yang diajukan itu dianggap disetujui. |
(1) | Dasar pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). |
(2) | Besarnya NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 1 (satu) tahun. |
(3) | Penetapan besarnya NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur. |
(1) | Besarnya pokok Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang terhutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) setelah dikurangi Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2). |
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perhitungan PBB atas Rumah Susun dan Apartemen Strata Title sebagaimana dalam Pasal 3 ayat (2) huruf j dan k diatur dengan Peraturan Gubernur. |
(1) | Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender. |
(2) | Saat yang menentukan pajak terutang adalah menurut keadaan objek pajak pada tanggal 1 Januari. |
(1) | Pendataan dilakukan dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP). |
(2) | SPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diisi dengan jelas, benar, dan lengkap serta ditandatangani dan disampaikan kepada Kepala Dinas Pelayanan Pajak, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja setelah tanggal diterimanya SPOP oleh Subjek Pajak. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendataan dan pelaporan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Gubernur. |
(1) | Berdasarkan SPOP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1), Gubernur menerbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT). |
(2) | Gubernur dapat mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD) dalam hal-hal sebagai berikut :
|
(1) | Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan dilarang diborongkan. |
(2) | Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak terutang berdasarkan SPPT atau SKPD yang ditetapkan oleh Gubernur. |
(3) | Pembayaran Pajak yang terutang dalam SPPT atau SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan menggunakan SSPD. |
(1) | Pajak yang terutang berdasarkan SPPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) harus dilunasi selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT oleh wajib pajak. |
(2) | Pajak yang terhutang berdasarkan SKPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah merupakan dasar penagihan pajak dan harus dilunasi dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan. |
(3) | Gubernur atas permohonan Wajib Pajak setelah memenuhi persyaratan yang ditentukan dapat memberikan persetujuan kepada Wajib Pajak untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak, dengan dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan. |
(4) | Pajak yang terutang dibayar ke Bank Pemerintah, Bank Daerah, Unit Pelayanan Perbendaharaan Daerah - BPKD, Bank Swasta atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Gubernur. |
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembayaran, penyetoran, angsuran, dan penundaan pembayaran pajak diatur dengan Peraturan Gubernur. |
(1) | Gubernur dapat menerbitkan STPD jika SPPT dan/atau SKPD tidak atau kurang bayar setelah jatuh tempo pembayaran. |
(2) | STPD merupakan dasar penagihan pajak. |
(3) | Jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang bayar dalam STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan untuk paling lama 15 (lima belas) bulan sejak saat terutangnya pajak. |
(4) | Jumlah pajak yang terutang berdasarkan STPD yang tidak dibayar pada waktunya dapat ditagih dengan Surat Paksa. |
(1) | Hak untuk melakukan penagihan pajak menjadi kadaluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat terutangnya pajak, kecuali apabila Wajib Pajak melakukan tindak pidana di bidang perpajakan daerah. |
(2) | Kadaluwarsa penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh apabila :
|
(3) | Dalam hal diterbitkan Surat Teguran dan Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hurut a, kadaluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian Surat Paksa tersebut. |
(4) | Pengakuan utang Pajak secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hurut b, yaitu Wajib Pajak dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai utang Pajak dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah. |
(5) | Pengakuan utang secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Pajak. |
(1) | Piutang Pajak yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan penagihan sudah kadaluwarsa dapat dihapuskan. |
(2) | Gubernur menetapkan keputusan penghapusan Piutang Pajak Provinsi yang sudah kadaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(3) | Tata cara penghapusan piutang Pajak yang sudah kadaluwarsa diatur dengan Peraturan Gubernur. |
(1) | Wajib Pajak mengajukan keberatan kepada Kepala Dinas Pelayanan Pajak, atas :
|
(2) | Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan menyatakan alasan secara jelas. |
(3) | Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterimanya surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) oleh Wajib Pajak, kecuali apabila wajib pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar kekuasaannya. |
(4) | Tanda penerimaan Surat Keberatan yang diberikan oleh pejabat Dinas Pelayanan Pajak yang ditunjuk untuk itu, atau tanda pengiriman Surat Keberatan melalui pos tercatat, menjadi tanda bukti penerimaan Surat Keberatan bagi kepentingan Wajib pajak. |
(5) | Apabila diminta oleh Wajib pajak untuk keperluan pengajuan keberatan, Kepala Dinas Pelayanan Pajak wajib memberikan hal-hal yang menjadi dasar pengenaan pajak secara tertulis. |
(6) | Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak. |
(1) | Kepala Dinas Pelayanan Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima, harus memberikan keputusan atas keberatan yang diajukan. |
(2) | Sebelum surat keputusan diterbitkan, wajib pajak dapat menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan tertulis. |
(3) | Keputusan Kepala Dinas Pelayanan Pajak atas keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian, menolak atau menambah besarnya jumlah pajak yang terutang. |
(4) | Dalam hal keberatan wajib pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, wajib pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan. |
(5) | Dalam hal wajib pajak mengajukan keberatan atas ketetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) huruf a, wajib pajak yang bersangkutan harus dapat membuktikan ketidakbenaran ketetapan pajak tersebut. |
(6) | Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat dan Kepala Dinas Pelayanan Pajak tidak memberikan suatu keputusan, maka keberatan yang diajukan tersebut dianggap diterima. |
(1) | Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada Pengadilan Pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Kepala Dinas Pelayanan Pajak. |
(2) | Permohonan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia, dengan alasan yang jelas dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak keputusan keberatan diterima, dilampiri salinan surat keputusan keberatan tersebut. |
(3) | Pengajuan permohonan banding menangguhkan kewajiban membayar pajak sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding. |
(1) | Jika pengajuan keberatan atau permohonan banding dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan. |
(2) | Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak bulan pelunasan sampai dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar. |
(3) | Dalam hal wajib pajak mengajukan permohonan banding, sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (4) tidak dikenakan. |
(4) | Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, wajib pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda 100% (seratus persen) dari jumlah pajak berdasarkan putusan banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan. |
(1) | Instansi yang melaksanakan pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu. |
(2) | Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Gubernur dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Pejabat yang dalam jabatan atau tugas pekerjaannya berkaitan langsung dengan Objek Pajak, wajib :
|
(2) | Kewajiban memberikan keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, berlaku pula bagi pejabat lain yang ada hubungannya dengan objek pajak. |
(3) | Dalam hal pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), terikat dengan kewajiban untuk memegang rahasia jabatan, maka kewajiban untuk merahasiakan itu ditiadakan sepanjang menyangkut pelaksanaan Peraturan Daerah ini. |
(4) | Tata cara penyampaian laporan dan permintaan keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh Gubernur. |
(1) | Terhadap Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan untuk tahun pajak 2012 dan sebelumnya berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan yang lama. |
(2) | Denda Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan sebelum diberlakukannya Peraturan Daerah ini, merupakan penerimaan daerah. |
(3) | Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, peraturan pelaksanaan yang telah ada di bidang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diatur dengan peraturan pelaksanaan yang baru berdasarkan Peraturan Daerah ini, masih dapat ditagih selama jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat pajak terutang. |
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 30 Desember 2011 GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA, ttd. FAUZI BOWO |
I. | UMUM Dalam rangka melaksanakan pembangunan dan penyelenggaraan urusan pemerintahan di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, sumber dana memegang peranan penting dalam mewujudkan keberhasilan pembangunan dan pemerintahan. Salah satu sumber dana yang cukup berperan penting bagi kelangsungan dan optimalisasi pelaksanaan pembangunan dan penyelenggaran urusan pemerintahan di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta adalah penerimaan dari sektor pajak daerah, mengingat Daerah memiliki sumber daya alam yang sangat terbatas, oleh karena itu potensi pajak daerah menjadi penerimaan andalan. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, maka Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta memperoleh perluasan objek pajak daerah sebagai sumber penghasilan tambahan. Perluasan objek pajak daerah yang diatur dalam Undang-Undang tersebut meliputi perluasan basis pajak daerah yang telah ada, pendaerahan objek pajak pusat menjadi pajak daerah salah satunya adalah Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan, serta penambahan objek pajak baru. Adanya penambahan jenis pungutan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan diharapkan dapat memenuhi kebutuhan finansial daerah yang selama ini dirasakan masih belum mencakupi. Oleh karena itu dengan penambahan jenis pajak daerah ini serta keleluasaan dalam menerapkan tarif pajak daerah (diskresi tarif) sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dapat mengoptimalkan pendapatan daerah dalam pembiayaan APBD pararel dengan peningkatan pelayanan masyarakat. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah pajak yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan yang memperoleh manfaat atau kenikmatan dari tanah dan/atau bangunan, wajarlah menyerahkan sebagian daripadanya kepada daerah melalui pembayaran pajak untuk membiayai pembangunan dan kegiatan pemerintahan. Dengan disahkannya Peraturan Pajak Daerah ini, dapat memberikan kepastian hukum kepada masyarakat dan dunia usaha di dalam memenuhi kewajiban perpajakan daerah, dengan suatu harapan bahwa pengetahuan dan sadar pajak masyarakat semakin meningkat serat aparat pemungut pajak bekerja secara profesional didasari pada prinsip good governance. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka Peraturan Daerah ini mengatur ketentuan material yang meliputi antara lain Objek dan Subjek Pajak, Tarif Pajak, Dasar Pengenaan dan Tata cara Penghitungan Pajak, Ketentuan mengenai masa pajak dan saat terutang pajak serta ketentuan lainnya. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
II. | PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2Cukup jelas Pasal 3 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "kawasan" adalah semua tanah dan bangunan yang digunakan oleh perusahaan perkebunan, perhutanan dan pertambangan di tanah yang diberi hak guna usaha perkebunan, tanah yang diberi hak pengusahaan hutan dan tanah yang menjadi wilayah usaha pertambangan. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas Huruf b Yang dimaksud dengan "Jalan Tol" adalah jalan umum yang merupakan bagian sistem jaringan jalan dan sebagai jalan nasional yang penggunanya diwajibkan membayar tol. Huruf c Cukup jelas Huruf d Yang dimaksud dengan "Pagar Mewah" adalah suatu konstruksi atau bangunan yang terbuat dari tembok semen dan besi atau bahan lainnya yang merupakan pembatas dari objek Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan yang nilainya per meter persegi jalan sebesar Rp 250.000. (dua ratus lima puluh ribu rupiah) atau lebih. Huruf e Yang dimaksud dengan "Tempat Olah Raga" adalah suatu tempat atau lokasi berupa tanah dan merupakan suatu bangunan yang dipergunakan untuk tempat olah raga, dan biasanya dipungut bayaran seperti lapangan bola, lapangan golf, lapangan tennis dan sejenisnya indoor maupun terbuka. Huruf f Yang dimaksud dengan "Galangan Kapal dermaga" adalah Sebuah tempat di darat ataupun diperairan (offshore) yang digunakan untuk melakukan pembangunan kapal, sedang dermaga adalah suatu tempat diperairan untuk bersandarnya kapal atau pemanfaatan lainnya. Huruf g Yang dimaksud dengan "Taman Mewah" adalah suatu penataan ruang terbuka dengan penanaman aneka pohon dan bunga serta fasilitas taman lainnya berupa air mancur dan sebagainya, dengan nilai per meter persegi sebesar Rp 200.000. (dua ratus ribu rupiah) atau lebih. Huruf h Yang dimaksud dengan "Tempat Penampungan/Kilang Minyak, Air dan Gas dan Pipa Minyak" adalah suatu konstruksi yang digunakan untuk penampungan air, gas, minyak dan bahan sejenis lainnya, sedang kilang minyak adalah suatu pabrik yang mengolah minyak mentah menjadi produk petroleum, maupun produk-produk lainnya. Dan pipa minyak adalah pipa yang digunakan untuk menyalurkan bahan minyak dari satu tempat ke tempat lain penampungan. Huruf i Yang dimaksud dengan "Menara" adalah suatu bangunan yang dibuat jauh lebih tinggi dari bangunan induknya, yang digunakan untuk menempatkan kabel feeder, antena, listrik, telepon, yang dibangun diatas tanah atau dibagian atas suatu bangunan. Ayat (3) Pasal 4Yang dimaksud dengan Klassifikasi objek Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan adalah pengelompokan bumi dan bangunan menurut nilai jualnya dan digunakan sebagai pedoman serta untuk memudahkan penghitungan pajak yang terutang. Ayat (1) Huruf a Cukup jelas Huruf b Yang dimaksud dengan "tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan" adalah bahwa objek pajak itu diusahakan untuk melayani kepentingan umum, dan nyata tidak ditujukan untuk mencari keuntungan. Hal ini dapat diketahui antara lain dari anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dari yayasan/badan yang bergerak dalam bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional tertentu. Termasuk pengertian ini adalah hutan wisata milik Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Huruf cCukup jelas Huruf dCukup jelas Huruf eCukup jelas Huruf fCukup jelas Huruf gCukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (1 ) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Ketentuan ini memberikan kewenangan Kepada Kepala Dinas Pelayanan Pajak atas nama Gubernur untuk menentukan subjek pajak Sebagai wajib pajak, apabila suatu objek Pajak belum jelas wajib pajaknya. Contoh :
Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Ayat (7) Pasal 6Berdasarkan ketentuan dalam ayat ini, apabila Kepala Dinas Pelayanan Pajak tidak memberikan Keputusan dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya keterangan dari Wajib Pajak, maka ketetapan sebagai wajib pajak gugur dengan sendirinya dan berhak mendapatkan keputusan pencabutan penetapan sebagai Wajib Pajak. Cukup jelas Pasal 7Ayat (1) Penetapan NJOP dapat dilakukan dengan : Ayat (2)
Cukup jelas Ayat (3) Dalam menentukan NJOP untuk penilaian objek pajak khusus secara individual, dapat diserahkan kepada Kantor Jasa Penilai Publik atau pihak ketiga. Ayat (1) Nilai jual objek pajak tanah dan/atau bangunan sebelum dikalikan dengan tarif pajak, dikurangi terlebih dahulu dengan batas nilai jual objek pajak tidak kena pajak sebesar Rp. 15.000.000.- (lima belas juta rupiah). Contoh : 1 Wajib Pajak A mempunyai objek pajak berupa :
Besarnya pajak yang terutang adalah sebagai berikut :
Besarnya Pajak Terutang PBB :
Contoh : 2 Wajib Pajak B mempunyai objek pajak berupa :
Besarnya pajak yang terutang adalah sebagai berikut :
Contoh : 3 Wajib Pajak C mempunyai objek pajak berupa :
Besarnya pajak yang terutang adalah sebagai berikut :
Contoh : 4 Wajib Pajak D mempunyai objek pajak berupa :
Besarnya pajak yang terutang adalah sebagai berikut :
Ayat (2) Pasal 9Cukup jelas Ayat (1) Jangka waktu 1 (satu) tahun takwim/kalender adalah dari 1 Januari sampai dengan 31 Desember Ayat (2) Pasal 10Karena tahun pajak dimulai pada tanggal 1 Januari, maka keadaan objek pajak pada tanggal tersebut merupakan saat yang menentukan pajak yang terutang. Contoh :
Cukup jelas Pasal 11Ayat (1) Dalam rangka pendataan, wajib pajak akan diberikan Surat Pemberitahuan Objek Pajak untuk di isi dan dikembalikan kepada Dinas Pelayanan Pajak. Ayat (2) Yang dimaksud dengan jelas, benar dan lengkap adalah : Jelas, dimaksudkan agar penulisan data yang diminta dalam surat pemberitahuan objek pajak (SPOP) dibuat sedemikian rupa, sehingga tidak menimbulkan salah tafsir yang dapat merugikan daerah maupun wajib pajak sendiri. Benar, berarti data yang dilaporkan harus sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, seperti luas tanah dan/bangunan, tahun dan harga perolehan dan seterusnya sesuai dengan kolom-kolom/pertanyaan yang ada pada SPOP. Lengkap, berarti seluruh kolom isian yang ada pada SPOP harus diisi secara lengkap. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 12 Ayat (1) Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) diterbitkan atas dasar Surat Pemberitahuan Obyek Pajak (SPOP), namun untuk membantu wajib pajak, SPPT dapat diterbitkan berdasarkan data obyek pajak yang telah ada pada Dinas Pelayanan Pajak. Ayat (2) Ketentuan ayat ini memberi wewenang kepada Kepala Dinas Pelayanan Pajak untuk dapat mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD) terhadap wajib pajak yang tidak memenuhi kewajiban perpajakan sebagaimana mestinya. Huruf a Wajib pajak yang tidak menyampaikan SPOP pada waktunya, walaupun sudah ditegur secara tertulis juga tidak menyampaikan dalam jangka waktu yang ditentukan dalam surat teguran, Kepala Dinas Pelayanan Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Daerah secara jabatan, dan dikenakan sanksi administrasi sebesar 25% (dua puluh lima persen) dihitung dari pokok pajak. Huruf b Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain yang ada pada Dinas Pelayanan Pajak ternyata jumlah pajak yang terutang lebih besar dari jumlah pajak dalam SPPT yang dihitung atas dasar SPOP yang disampaikan oleh wajib pajak, Kepala Dinas Pelayanan Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Daerah secara jabatan dan dikenakan sanksi berupa denda administrasi sebesar 25% (dua puluh lima persen) dihitung dari selisih pajak yang terutang. Pasal 13 Ayat (1) Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan harus dilaksanakan oleh aparat pemerintah daerah. Yang dimaksud dengan pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan dilarang diborongkan adalah pemungutan tidak dapat diserahkan kepada pihak ketiga atau swasta, harus dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (1) Contoh : Apabila SPPT diterima oleh wajib pajak tanggal 1 Maret 2013, maka jatuh tempo pembayarannya adalah tanggal 31 Agustus 2013. Ayat (2) Contoh : Apabila SKPD diterima oleh wajib pajak tanggal 1 Maret 2013, maka jatuh tempo pembayarannya adalah tanggal 31 Maret 2013. Ayat (3) Contoh : Apabila pajak terutang dalam SKPD sebesar Rp. 90.000.000,00 (sembilan puluh juta rupiah) yang terbit pada tanggal 1 September 2013, berdasarkan Surat Keputusan Pejabat yang berwenang, telah disetujui pembayaran angsuran sebanyak 3 (tiga) kali selama (3) tiga bulan berturut-turut dengan jumlah yang tetap setiap bulan sebesar Rp. 30.000.000,00 maka perhitungan bunga untuk setiap angsuran dihitung sebagai berikut :
Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 15Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Pasal 16Dalam hal tagihan pajak yang terutang dibayar setelah jatuh tempo yang telah ditentukan, penagihannya dilakukan dengan surat paksa berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 Tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000. Cukup jelas Pasal 17Ayat (1) Saat kedaluwarsa penagihan pajak ini perlu ditetapkan untuk memberi kepastian hukum kapan utang pajak tersebut tidak dapat ditagih lagi. Ayat (2)Pengakuan utang Pajak secara langsung adalah Wajib Pajak dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai utang Pajak dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah. Ayat (5) Pasal 18Yang dimaksud dengan pengakuan utang pajak secara tidak langsung adalah Wajib Pajak dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai utang pajak dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah. Contoh :
Cukup jelas Pasal 19Ayat (1) Keberatan terhadap SPPT dan SKPD harus diajukan masing-masing dalam satu surat keberatan tersendiri untuk setiap tahun pajak. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Keberatan ini dimaksudkan untuk memberi waktu yang cukup kepada wajib pajak untuk mempersiapkan surat keberatan beserta alasan alasannya. Apabila ternyata batas waktu 3 (tiga) bulan tersebut tidak dapat dipenuhi oleh wajib pajak karena keadaan diluar kekuasaannya (force mayeur) maka tenggang waktu tersebut masih dapat dipertimbangkan untuk diperpanjang oleh Kepala Dinas Pelayanan Pajak. Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas |