Prosedur Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
(1) | Maksud disusunnya Peraturan Gubernur ini adalah untuk memberikan acuan bagi petugas pelaksana pemungutan BPHTB dalam melaksanakan tugasnya melakukan pemungutan dan sebagai sumber informasi bagi warga masyarakat Wajib Pajak yang akan melakukan pembayaran BPHTB agar dapat melaksanakan kewajibannya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Tujuannya adalah untuk :
|
(1) | Objek BPHTB adalah Perolehan hak atas tanah dan bangunan. |
(2) | Subjek BPHTB adalah Orang Pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan. |
(1) | Pengenaan BPHTB yang terutang atas perolehan hak karena Waris dan Hibah Wasiat adalah sebesar 50% (lima puluh persen) dari BPHTB yang seharusnya terutang. |
(2) | Penetapan saat terutang Pajak atas Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan karena Waris adalah Sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke Kanwil BPN atau Kantor Pertanahan. |
(3) | Penetapan saat terutang pajak atas perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan karena Hibah Wasiat adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akte. |
(1) | Nilai Perolehan Obyek Pajak karena Waris adalah Nilai pasar pada saat didaftarkannya perolehan hak tersebut ke Kanwil BPN atau Kantor Pertanahan. |
(2) | Nilai Perolehan Obyek Pajak karena Hibah Wasiat adalah Sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akte. |
(3) | Dalam hal nilai pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) lebih rendah daripada Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan, maka Nilai Perolehan Obyek Pajak yang digunakan sebagai dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan. |
(1) | Nilai Perolehan Objek Pajak sebagai akibat pemberian Hak Pengelolaan adalah Nilai pasar pada saat diterbitkannya keputusan pemberian Hak Pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10. |
(2) | Dalam hal nilai pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), lebih rendah daripada Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan, Nilai Perolehan Objek Pajak yang digunakan sebagai dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan. |
(1) | Besaran NPOPTKP ditetapkan sebagai berikut :
|
(2) | Besaran NPOPTKP-BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diperuntukan bagi orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus 1 (satu) derajat ke atas atau 1 (satu) derajat ke bawah dengan pemberi waris dan hibah wasiat termasuk suami/istri. |
(1) | Besaran NPOPTKP-BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dapat dievaluasi. |
(2) | Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), selanjutnya ditetapkan dengan Keputusan Gubernur setelah memperoleh persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. |
(1) | Untuk melakukan evaluasi NPOPTKP-BPHTB di luar Waris dan Hibah Wasiat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf a, dilakukan dengan mempertimbangkan indikator sebagai berikut :
|
(2) | Untuk melakukan evaluasi NPOPTKP-BPHTB di luar Waris dan Hibah Wasiat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b, dilakukan dengan mempertimbangkan indikator sebagai berikut :
|
(1) | Berdasarkan indikator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2), selanjutnya Dinas menetapkan NPOPTKP-BPHTB. |
(2) | Penetapan NPOPTKP-BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diusulkan oleh Kepala Dinas kepada Gubernur melalui Kepala Badan. |
(1) | Berdasarkan usulan NPOPTKP-BPHTB oleh Kepala Dinas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2), Kepala BPKD selanjutnya memproses NPOPTKP-BPHTB untuk ditetapkan dengan Keputusan Gubernur. |
(2) | Keputusan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), baru dapat diberlakukan setelah memperoleh persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. |
(1) | Keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 diajukan kepada Kepala Dinas melalui Kepala Suku Dinas atau Kepala Unit. |
(2) | Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak yang terutang menurut perhitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan-alasan yang jelas. |
(3) | Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterimanya surat ketetapan oleh Wajib Pajak, kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya (force majeur). |
(4) | Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tidak dianggap sebagai surat keberatan sehingga tidak dapat dipertimbangkan dan Kepala Dinas melalui Kepala Suku Dinas atau Kepala Unit harus segera menerbitkan surat pemberitahuan kepada Wajib Pajak yang bersangkutan. |
(5) | Kepala Dinas melalui Kepala Suku Dinas atau Kepala Unit harus memberikan keterangan atau penjelasan secara tertulis apabila Wajib Pajak meminta keterangan atau penjelasan yang berhubungan dengan keberatan atas dasar pengenaan pajak. |
(6) | Pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak. |
(1) | Kepala Dinas melalui Kepala Suku Dinas atau Kepala Unit setelah menerima pengajuan keberatan dari Wajib Pajak harus memberikan tanda terima. |
(2) | Tanda terima surat keberatan yang diberikan oleh Dinas melalui Suku Dinas atau Unit atau tanda pengiriman surat keberatan melalui pos tercatat dan sejenisnya merupakan tanda bukti penerimaan surat keberatan tersebut bagi kepentingan Wajib Pajak. |
(3) | Atas pengajuan keberatan Wajib Pajak, Kepala Dinas melalui Kepala Suku Dinas atau Kepala Unit yang bersangkutan melakukan pemeriksaan sederhana yang aslinya dituangkan dalam berita acara hasil pemeriksaan. |
(1) | Kepala Dinas atas nama Gubernur dapat melimpahkan sebagian kewenangan pelayanan peneyelesaian permohonan keberatan kepada Kepala Suku Dinas atau Kepala Unit. |
(2) | Pelimpahan sebagian kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan ketentuan sebagai berikut :
|
(3) | Apabila pengajuan permohonan keberatan BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b, disampaikan kepada Kepala Dinas, maka permohonan keberatan Wajib Pajak dimaksud untuk selanjutnya diteruskan kepada Kepala Unit atau Kepala Suku Dinas. |
(4) | Apabila pengajuan permohonan keberatan BPHTB yang diajukan merupakan kewenangan Kepala Dinas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, maka Kepala Unit atau Kepala Suku Dinas selanjutnya meneruskan permohonan keberatan kepada Kepala Dinas. |
(5) | Jangka waktu penyampaian permohonan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal diterimanya surat permohonan keberatan dari Wajib Pajak. |
(1) | Kepala Dinas atau Kepala Unit atau Kepala Suku Dinas harus memberikan keputusan atas pengajuan permohonan keberatan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya surat permohonan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18. |
(2) | Sebelum Keputusan diterbitkan, Wajib Pajak dapat menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan tertulis. |
(3) | Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa :
|
(4) | Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat dan atas pengajuan keberatan oleh Wajib Pajak, Kepala Dinas atau Kepala Unit atau Kepala Suku Dinas tidak memberi suatu keputusan, maka permohonan keberatan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan. |
(1) | Keputusan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf a dan huruf b, disampaikan kepada Wajib Pajak dan tembusannya kepada Kepala Dinas. |
(2) | Keputusan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf c, disampaikan kepada Wajib Pajak dan tembusannya kepada Kepala Suku Dinas dan Kepala Unit yang bersangkutan. |
(3) | Bentuk Keputusan keberatan BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sesuai yang tercantum dalam Lampiran II sampai dengan Lampiran IV Peraturan Gubernur ini. |
(1) | Pengendalian terhadap pelaksanaan Peraturan Gubernur ini adalah Kepala Dinas; |
(2) | Dalam melakukan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Dinas dapat mengikutsertakan SKPD/UKPD terkait; |
(3) | Hasil pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan secara berkala atau sewaktu-waktu kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah. |
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 21 November 2011 GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA ttd, FAUZI BOWO |