Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Wabah Virus Corona
(1) | Penghasilan yang diterima Pegawai dengan kriteria sebagai berikut:
|
(2) | Pajak Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditanggung Pemerintah. |
(3) | Klasifikasi Lapangan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 1 adalah sesuai Klasifikasi Lapangan Usaha yang tercantum dan telah dilaporkan pemberi kerja dalam Surat Pemberitahuan Tahunan PPh Tahun Pajak 2018. |
(4) | PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dibayarkan secara tunai oleh pemberi kerja pada saat pembayaran penghasilan kepada Pegawai, termasuk dalam hal pemberi kerja memberikan tunjangan PPh Pasal 21 atau menanggung PPh Pasal 21 kepada Pegawai. |
(5) | PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah yang diterima oleh Pegawai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dari pemberi kerja tidak diperhitungkan sebagai penghasilan yang dikenakan pajak. |
(6) | PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan sejak Masa Pajak April 2020 sampai dengan Masa Pajak September 2020. |
(7) | Contoh penghitungan PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(1) | Pemanfaatan insentif PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dilakukan dengan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis oleh pemberi kerja kepada Kepala KPP tempat pemberi kerja terdaftar secara langsung menggunakan format sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf C yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(2) | Insentif PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), berlaku sejak Masa Pajak pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan sampai dengan Masa Pajak September 2020. |
(3) | Surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang disampaikan oleh pemberi kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 2 harus dilampiri dengan Keputusan Menteri Keuangan mengenai penetapan sebagai perusahaan yang mendapat fasilitas KITE. |
(4) | Dalam hal pemberi kerja yang telah menyampaikan pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a, Kepala KPP dalam jangka waktu 5 (lima) hari kerja sejak menerima pemberitahuan, menerbitkan surat pemberitahuan tidak berhak memanfaatkan insentif PPh Pasal 21 DTP sesuai format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf D yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(1) | Pemberi kerja harus menyampaikan laporan realisasi PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah kepada Kepala KPP tempat pemberi kerja terdaftar dengan menggunakan formulir sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf E yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(2) | Atas PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) wajib dibuatkan Surat Setoran Pajak atau cetakan kode billing yang dibubuhi cap atau tulisan "PPh PASAL 21 DITANGGUNG PEMERINTAH EKS PMK NOMOR ... /PMK.03/2020" oleh pemberi kerja. |
(3) | Laporan realisasi PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampirkan dengan formulir dan Surat Setoran Pajak atau cetakan kode billing sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan paling lambat:
|
(1) | PPh Pasal 22 Impor dipungut oleh Bank Devisa atau Direktorat Jenderal Bea dan Cukai pada saat Wajib Pajak melakukan impor barang. |
(2) | Besarnya tarif PPh Pasal 22 Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan mengenai pemungutan PPh Pasal 22 sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang dan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain. |
(3) | PPh Pasal 22 Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebaskan dari pemungutan kepada Wajib Pajak yang:
|
(4) | Klasifikasi Lapangan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a adalah sesuai Klasifikasi Lapangan Usaha yang tercantum dan telah dilaporkan Wajib Pajak dalam Surat Pemberitahuan Tahunan PPh Tahun Pajak 2018. |
(5) | Pembebasan dari pemungutan PPh sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan melalui Surat Keterangan Bebas Pemungutan PPh Pasal 22 Impor. |
(6) | Permohonan Surat Keterangan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diajukan oleh Wajib Pajak secara tertulis kepada Kepala KPP tempat Wajib Pajak Pusat terdaftar dengan menggunakan formulir sebagaimana dimaksud dalam Lampiran huruf G yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(7) | Bagi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b pengajuan Surat Keterangan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilampiri dengan Keputusan Menteri Keuangan mengenai penetapan sebagai perusahaan yang mendapat fasilitas KITE. |
(8) | Kepala KPP dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak permohonan diterima menerbitkan:
|
(9) | Jangka waktu pembebasan dari pemungutan PPh sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku sejak tanggal Surat Keterangan Bebas diterbitkan sampai dengan tanggal 30 September 2020. |
(10) | Wajib Pajak yang telah mendapatkan pembebasan PPh Pasal 22 Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus menyampaikan laporan realisasi pembebasan PPh Pasal 22 Impor setiap 3 (tiga) bulan kepada Kepala KPP dengan menggunakan formulir sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf J yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(11) | Laporan realisasi pembebasan PPh Pasal 22 Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (10) disampaikan paling lambat:
|
(1) | Pasal 25 Undang-Undang PPh; dan/atau |
(2) | Peraturan Menteri Keuangan mengenai penghitungan angsuran Pajak Penghasilan dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak baru, bank, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Wajib Pajak masuk bursa, Wajib Pajak lainnya yang berdasarkan ketentuan diharuskan membuat laporan keuangan berkala dan Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu. |
(1) | Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf a dan/atau huruf b, diberikan pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 sebesar 30% (tiga puluh persen) dari angsuran PPh Pasal 25 yang seharusnya terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7. |
(2) | Pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menyampaikan pemberitahuan pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 secara tertulis kepada Kepala KPP tempat Wajib Pajak terdaftar secara langsung menggunakan format sesuar contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf C yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(3) | Pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku sejak Masa Pajak pemberitahuan pengurangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan Masa Pajak September 2020. |
(4) | Contoh penghitungan pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf K yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(1) | Wajib Pajak yang memanfaatkan pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) harus menyampaikan laporan realisasi pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 setiap 3 (tiga) bulan kepada Kepala KPP dengan menggunakan formulir sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf L yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(2) | Laporan realisasi pengurangan angsuran PPh Pasal 25 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lambat:
|
(1) | Wajib Pajak yang:
|
(2) | Pengusaha Kena Pajak yang telah mendapatkan fasilitas KITE sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus melampirkan Keputusan Menteri Keuangan mengenai penetapan sebagai perusahaan yang mendapat fasilitas KITE, dalam Surat Pemberitahuan Masa PPN yang diajukan permohonan pengembalian pendahuluan dalam SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai yang diajukan permohonan pengembalian pendahuluan. |
(3) | Surat Pemberitahuan Masa PPN yang diberikan pengembalian pendahuluan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi SPT Masa PPN termasuk pembetulan Surat Pemberitahuan Masa PPN, untuk Masa Pajak sejak berlakunya Peraturan Menteri ini sampai dengan Masa Pajak September 2020 dan disampaikan paling lama tanggal 31 Oktober 2020. |
(4) | PKP berisiko rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan pengembalian pendahuluan, dengan ketentuan sebagai berikut:
|
(5) | Tata cara atas pengembalian pendahuluan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali penelitian terhadap pemenuhan kegiatan tertentu, dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak. |
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 21 Maret 2020 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. SRI MULYANI INDRAWATI |