Tata Cara Pendaftaran dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak, Pengukuhan dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, serta Pemotongan dan/atau Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak bagi Instansi Pemerintah
(1) | Setiap Instansi Pemerintah wajib mendaftarkan diri pada KPP atau KP2KP yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan Instansi Pemerintah menurut keadaan yang sebenarnya. |
(2) | Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh:
|
(3) | Terhadap Instansi Pemerintah yang telah mendaftarkan diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan NPWP di tempat kedudukan dan tidak terdapat NPWP cabang bagi Instansi Pemerintah. |
(4) | NPWP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digunakan oleh pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran, pejabat penandatangan surat perintah membayar, bendahara pengeluaran, bendahara penerimaan, dan/atau kepala urusan keuangan pemerintah desa dalam pelaksanaan hak dan kewajiban Instansi Pemerintah sebagai pemotong dan/atau pemungut pajak. |
(5) | Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan NPWP secara jabatan terhadap Instansi Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, berdasarkan data dan/atau informasi yang dimiliki atau diperoleh Direktorat Jenderal Pajak. |
(1) | Instansi Pemerintah yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kecuali pengusaha kecil sesuai ketentuan Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai batasan pengusaha kecil, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP. |
(2) | Instansi Pemerintah yang belum melewati batasan pengusaha kecil sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai batasan pengusaha kecil, dapat memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP. |
(3) | Pelaporan usaha untuk dikukuhkan sebagai PKP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh Instansi Pemerintah dengan menyampaikan permohonan kepada KPP atau KP2KP yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha Instansi Pemerintah. |
(4) | Dalam hal tempat kedudukan dan tempat kegiatan usaha Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak berada di wilayah kerja KPP yang sama, maka Instansi Pemerintah wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP pada KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan Instansi Pemerintah. |
(5) | Direktur Jenderal Pajak dapat mengukuhkan Instansi Pemerintah sebagai PKP secara jabatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, apabila Instansi Pemerintah tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(1) | Direktur Jenderal Pajak dapat memberikan Sertifikat Elektronik kepada Instansi Pemerintah yang ;berfungsi sebagai otentifikasi pengguna layanan perpajakan secara elektronik yang ditentukan dan/atau disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak. |
(2) | Ketentuan mengenai Sertifikat Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tata cara pendaftaran Wajib Pajak dan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak serta pengukuhan dan pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak. |
(1) | Direktur Jenderal Pajak atau pejabat yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak berdasarkan permohonan Instansi Pemerintah atau secara jabatan dapat:
|
(2) | Direktur Jenderal Pajak atau pejabat yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak melakukan perubahan data Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dalam hal:
|
(3) | Direktur Jenderal Pajak atau pejabat yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak melakukan pemindahan tempat Instansi Pemerintah terdaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dalam hal tempat kedudukan Instansi Pemerintah menurut keadaan sebenarnya pindah ke wilayah kerja KPP lain. |
(4) | Direktur Jenderal Pajak atau pejabat yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak menetapkan Instansi Pemerintah sebagai Wajib Pajak Non-Efektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dalam hal Instansi Pemerintah tidak memenuhi persyaratan sebagai pemotong dan/atau pemungut pajak namun belum dilakukan penghapusan NPWP. |
(1) | Kepala KPP atas permohonan Instansi Pemerintah atau secara jabatan dapat melakukan penghapusan NPWP dan/atau pencabutan pengukuhan PKP terhadap Instansi Pemerintah yang sudah tidak memenuhi persyaratan sebagai pemotong dan/atau pemungut pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(2) | Berdasarkan pertimbangan kemudahan administratif, Direktur Jenderal Pajak secara jabatan dapat melakukan penghapusan NPWP dan/atau pencabutan pengukuhan PKP terhadap Instansi Pemerintah yang tidak memenuhi persyaratan sebagai pemotong dan/atau pemungut pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(3) | Penghapusan NPWP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan terhadap Instansi Pemerintah yang dilikuidasi karena mengalami kondisi sebagai berikut:
|
(4) | Pencabutan pengukuhan PKP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan terhadap Instansi Pemerintah yang tidak lagi memenuhi kriteria sebagai PKP. |
(5) | Penghapusan NPWP bagi PKP Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diikuti dengan pencabutan pengukuhan PKP. |
(6) | Permohonan penghapusan NPWP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh penanggung jawab proses likuidasi Instansi Pemerintah dan dilampiri dengan laporan keuangan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pelaksanaan likuidasi entitas akuntansi dan akuntansi pelaporan pada kementerian negara/lembaga. |
(1) | Instansi Pemerintah ditunjuk sebagai pemotong dan/atau pemungut PPh yang terutang sehubungan dengan belanja pemerintah. |
(2) | Instansi Pemerintah wajib memotong atau memungut, menyetor, dan melaporkan PPh yang terutang atas setiap pembayaran yang merupakan objek pemotongan atau pemungutan PPh. |
(3) | PPh yang wajib dipotong dan/atau dipungut oleh Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri dari:
|
(4) | Pemotongan dan/atau pemungutan PPh sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(1) | Pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf a, yaitu pemotongan PPh atas penghasilan yang dibayarkan kepada pihak lain atas:
|
(2) | Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e yaitu Wajib Pajak orang pribadi dan badan yang dikenai PPh yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang PPh atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu. |
(3) | Instansi Pemerintah tidak melakukan pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas:
|
(4) | Pedoman teknis mengenai penghitungan dan pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran Angka II yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(1) | Pemotongan PPh Pasal 15 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf b, yaitu pemotongan PPh kepada Wajib Pajak tertentu atas:
|
(2) | Pedoman teknis mengenai penghitungan dan pemotongan PPh Pasal 15 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran Angka III yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(1) | Pemotongan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf c, yaitu pemotongan PPh atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang dibayarkan kepada Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri. |
(2) | Instansi Pemerintah tidak melakukan pemotongan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas:
|
(3) | Pedoman teknis mengenai penghitungan dan pemotongan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran Angka IV yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(1) | Pemungutan PPh Pasal 22 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf d, yaitu pemungutan PPh sehubungan dengan pembayaran atas pembelian barang. |
(2) | Instansi Pemerintah tidak melakukan pemungutan PPh Pasal 22 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas:
|
(3) | Pedoman teknis mengenai penghitungan dan pemungutan PPh Pasal 22 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran Angka V yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(1) | Pemotongan PPh Pasal 23 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf e, yaitu pemotongan PPh atas penghasilan yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau Bentuk Usaha Tetap berupa:
|
(2) | Instansi Pemerintah tidak melakukan pemotongan PPh Pasal 23 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas:
|
(3) | Pedoman teknis mengenai penghitungan dan pemotongan PPh Pasal 23 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran Angka VI yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(1) | Pemotongan PPh Pasal 26 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf f, yaitu pemotongan PPh atas penghasilan yang dibayarkan kepada Wajib Pajak luar negeri selain Bentuk Usaha Tetap berupa:
|
(2) | Pedoman teknis mengenai penghitungan dan pemotongan PPh Pasal 26 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran Angka VII yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(1) | Dalam melakukan pemotongan atau pemungutan PPh, Instansi Pemerintah harus membuat bukti pemotongan atau pemungutan PPh. |
(2) | Instansi Pemerintah harus menyerahkan bukti pemotongan atau pemungutan PPh kepada pihak yang dilakukan pemotongan atau pemungutan PPh. |
(3) | Instansi Pemerintah wajib mengisi bukti pemotongan atau pemungutan PPh dengan jelas, lengkap, dan benar. |
(4) | Bukti pemotongan atau pemungutan dapat berupa:
|
(1) | Instansi Pemerintah ditunjuk sebagai pemungut PPN atau PPN dan PPnBM yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak oleh PKP Rekanan Pemerintah kepada Instansi Pemerintah. |
(2) | Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN atau PPN dan PPnBM yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(3) | Pedoman teknis mengenai penghitungan dan pemungutan PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran Angka VIII Huruf A yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(1) | Jumlah PPN yang wajib dipungut oleh Instansi Pemerintah sebesar tarif PPN dikalikan dengan Dasar Pengenaan Pajak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang PPN. |
(2) | Dalam hal penyerahan Barang Kena Pajak selain terutang PPN juga terutang PPnBM, maka jumlah PPnBM yang wajib dipungut oleh Instansi Pemerintah adalah sebesar tarif PPnBM yang berlaku dikalikan dengan Dasar Pengenaan Pajak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang PPN. |
(1) | PPN atau PPN dan PPnBM tidak dipungut oleh Instansi Pemerintah, dalam hal:
|
(2) | PPN atau PPN dan PPnBM yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf f, dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh PKP Rekanan Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(1) | PKP Rekanan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) wajib membuat Faktur Pajak pada saat menyampaikan tagihan kepada Instansi Pemerintah berdasarkan dokumen penagihan, untuk sebagian maupun seluruh pembayaran. |
(2) | Faktur Pajak dibuat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(1) | PKP Instansi Pemerintah yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sesuai peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN yang terutang. |
(2) | PPN yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebesar tarif PPN dikalikan dengan Dasar Pengenaan Pajak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang PPN. |
(3) | Pedoman teknis mengenai penghitungan dan pemungutan PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran Angka VIII Huruf C yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(1) | PKP Instansi Pemerintah wajib membuat Faktur Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1). |
(2) | Faktur Pajak dibuat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(1) | PPN yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) merupakan Pajak Keluaran bagi PKP Instansi Pemerintah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang PPN. |
(2) | PPN yang seharusnya sudah dibayar oleh PKP Instansi Pemerintah karena perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak dan/atau pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan/atau impor Barang Kena Pajak merupakan Pajak Masukan bagi PKP Instansi Pemerintah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang PPN. |
(3) | Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat dikreditkan bagi PKP Instansi Pemerintah yang menyediakan jasa dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum. |
(4) | Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bagi PKP Instansi Pemerintah yang menjalankan pola pengelolaan keuangan BLU/BLUD. |
(5) | Pengkreditan Pajak Masukan bagi Instansi Pemerintah yang menjalankan pola pengelolaan keuangan BLU/BLUD dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(6) | Apabila dalam suatu Masa Pajak PKP Instansi Pemerintah selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sepanjang bagian penyerahan yang terutang pajak dapat diketahui dengan pasti dari pembukuannya, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak. |
(7) | Apabila dalam suatu Masa Pajak PKP Instansi Pemerintah selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sedangkan Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan untuk penyerahan yang terutang pajak dihitung dengan menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan bagi Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan yang terutang pajak dan penyerahan yang tidak terutang pajak. |
(8) | Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan, selisihnya merupakan PPN yang harus disetor oleh PKP Instansi Pemerintah. |
(9) | Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran, selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya dan dapat diajukan permohonan pengembalian sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(1) | Instansi Pemerintah Pusat dan Instansi Pemerintah Daerah wajib menyetorkan PPh dan PPN atau PPN dan PPnBM yang telah dipotong dan/atau dipungut:
|
(2) | Instansi Pemerintah Desa wajib menyetorkan PPh dan PPN atau PPN dan PPnBM yang telah dipotong dan/atau dipungut paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah pelaksanaan pembayaran. |
(1) | Instansi Pemerintah wajib melaporkan pemotongan dan/atau pemungutan serta penyetoran pajak yang dilakukan dalam satu Masa Pajak ke KPP tempat Instansi Pemerintah terdaftar. |
(2) | Pelaporan atas pemotongan dan/atau pemungutan serta penyetoran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menggunakan:
|
(3) | Pelaporan Surat Pemberitahuan Masa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b dilakukan paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir. |
(4) | Pelaporan Surat Pemberitahuan Masa PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. |
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 31 Desember 2019 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. SRI MULYANI INDRAWATI |