Pembebasan Bea Masuk Atas Impor Barang oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang Ditujukan untuk Kepentingan Umum
Menimbang :
(1) | Atas impor barang oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang ditujukan untuk Kepentingan Umum dapat diberikan pembebasan bea masuk. |
(2) | Pembebasan bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dapat diberikan atas:
|
(1) | Untuk mendapatkan pembebasan bea masuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, atau Pihak Ketiga mengajukan permohonan kepada Menteri melalui Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai. |
(2) | Contoh format surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(3) | Terhadap barang impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang merupakan pembelian yang dibiayai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit harus dilampiri dengan:
|
(4) | Terhadap barang impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang merupakan Hibah, permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit harus dilampiri dengan:
|
(5) | Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b ditandatangani oleh:
|
(6) | Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diajukan oleh Pihak Ketiga, ditandatangani oleh pimpinan dari Pihak Ketiga dan dilampiri dengan perjanjian atau kontrak pengadaan barang antara Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dengan Pihak Ketiga. |
(1) | Atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai melakukan penelitian terhadap pemenuhan persyaratan untuk mendapatkan pembebasan bea masuk. |
(2) | Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) disetujui, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai atas nama Menteri menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan mengenai pembebasan bea masuk atas impor barang yang ditujukan untuk Kepentingan Umum. |
(3) | Contoh format Keputusan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(4) | Jangka waktu pengimporan atas impor barang yang diberikan pembebasan bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (2), paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal ditetapkannya Keputusan Menteri Keuangan. |
(5) | Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) ditolak, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai atas nama Menteri menerbitkan surat pemberitahuan penolakan dengan menyebutkan alasan penolakan. |
(1) | Keputusan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dapat dilakukan perubahan jika:
|
(2) | Perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan sepanjang:
|
(3) | Untuk dapat melakukan perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, atau Pihak Ketiga mengajukan permohonan perubahan Keputusan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) kepada Menteri melalui Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai dengan menyebutkan alasan dilakukan perubahan dan melampirkan dokumen pendukung alasan perubahan. |
(4) | Atas permohonan perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai melakukan penelitian terhadap pemenuhan persyaratan untuk dapat melakukan perubahan terhadap Keputusan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2). |
(5) | Dalam hal permohonan perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disetujui, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai atas nama Menteri menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan mengenai perubahan atas Keputusan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2). |
(6) | Dalam hal permohonan perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditolak, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai atas nama Menteri menerbitkan surat pemberitahuan penolakan dengan menyebutkan alasan penolakan. |
(1) | Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 6 ayat (3), serta hasil pindaian dari dokumen asli lampiran permohonan, disampaikan secara elektronik melalui Portal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau Sistem Indonesia National Single Window. |
(2) | Dalam hal Portal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan Sistem Indonesia National Single Window mengalami gangguan operasional, permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis disertai dengan:
|
(3) | Persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 6 ayat (5), atau penolakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5) dan Pasal 6 ayat (6), dilakukan paling lama:
|
(1) | Barang impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, dapat dikecualikan dari ketentuan mengenai pembatasan impor berdasarkan rekomendasi dari kementerian/lembaga terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Tata cara pengeluaran barang impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengeluaran barang dari tempat penimbunan berikat, kawasan ekonomi khusus, atau Kawasan Bebas. |
(3) | Tata cara pemindahtanganan barang impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemberian pembebasan bea masuk. |
(4) | Tata cara penyelesaian impor sementara dengan tujuan dihibahkan kepada Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf c, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai impor sementara. |
(1) | Penyelesaian kewajiban pabean atas barang impor untuk Kepentingan Umum dengan cara dipindahtangankan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a, dilakukan dengan ketentuan:
|
(2) | Ketentuan mengenai jangka waktu pemindahtanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak berlaku dalam hal:
|
(1) | Terhadap pemindahtanganan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a, terutang bea masuk dan/atau pajak dalam rangka impor. |
(2) | Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika:
|
(3) | Dalam hal barang impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 berupa kendaraan bermotor, pemindahtanganan yang dilakukan setelah 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pemberitahuan pabean disertai dengan kewajiban membayar bea masuk dan pajak dalam rangka impor yang terutang. |
(4) | Dalam hal barang impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 terjadi keadaan kahar (force majeure) namun barang masih memiliki nilai ekonomis, pemindahtanganan yang dilakukan sampai dengan 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pemberitahuan pabean disertai dengan kewajiban membayar bea masuk dan pajak dalam rangka impor yang terutang. |
(1) | Pemindahtanganan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a atas:
|
(2) | Untuk mendapatkan persetujuan pemindahtanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah mengajukan permohonan kepada Menteri melalui Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai tempat pemasukan. |
(3) | Contoh format surat permohonan pemindahtanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran huruf C yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(4) | Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan secara elektronik melalui Portal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau Sistem Indonesia National Single Window. |
(5) | Dalam hal Portal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan Sistem Indonesia National Single Window mengalami gangguan operasional, permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan secara tertulis dan disertai dengan:
|
(1) | Atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2), Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau Kepala Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai melakukan penelitian terhadap pemenuhan persyaratan permohonan pemindahtanganan. |
(2) | Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) disetujui, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai atas nama Menteri menerbitkan:
|
(3) | Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) ditolak, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai atas nama Menteri menerbitkan surat pemberitahuan penolakan dengan menyebutkan alasan penolakan. |
(4) | Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dilakukan paling lama 3 (tiga) hari kerja terhitung setelah permohonan pemindahtanganan diterima. |
(5) | Keputusan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal ditetapkan. |
(6) | Contoh format Keputusan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a tercantum dalam Lampiran huruf D yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(7) | Contoh format Keputusan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b tercantum dalam Lampiran huruf E yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(1) | Pembayaran bea masuk dan/atau pajak dalam rangka impor yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1), dilaksanakan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf a. |
(2) | Pembayaran bea masuk dan/atau pajak dalam rangka impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan berdasarkan pada klasifikasi, pembebanan, dan nilai pabean dalam pemberitahuan pabean impor pada saat pemasukan. |
(3) | Pembayaran bea masuk dan/atau pajak dalam rangka impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk barang impor berupa kendaraan bermotor, dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
|
(4) | Pembayaran bea masuk dan/atau pajak dalam rangka impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk barang impor dalam hal terjadi keadaan kahar (force majeure), dilaksanakan berdasarkan pada tarif dan nilai pabean yang berlaku pada saat dipindahtangankan. |
(5) | Pemenuhan kewajiban kepabeanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di kantor pabean tempat pemasukan barang. |
(1) | Penyelesaian kewajiban pabean atas barang impor untuk Kepentingan Umum dengan cara ekspor kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf b, dilakukan dengan menggunakan pemberitahuan pabean ekspor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai ekspor. |
(2) | Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang melakukan ekspor kembali barang impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, dibebaskan dari kewajiban untuk membayar bea masuk dan/atau pajak dalam rangka impor yang terutang. |
(1) | Penyelesaian kewajiban pabean atas barang impor untuk Kepentingan Umum dengan cara pemusnahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf c, dapat dilakukan setelah 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal pemberitahuan pabean. |
(2) | Ketentuan mengenai jangka waktu pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal terjadi keadaan kahar (force majeure). |
(3) | Barang impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang telah dilakukan pemusnahan dibebaskan dari kewajiban membayar bea masuk dan pajak dalam rangka impor. |
(1) | Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai yang menerima pelimpahan wewenang dari Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2), Pasal 5 ayat (5), Pasal 6 ayat (5), Pasal 6 ayat (6), Pasal 16 ayat (2), dan Pasal 16 ayat (3):
|
(2) | Dalam hal Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhalangan sementara atau tetap, wewenang yang diterima dapat dilakukan oleh pejabat pelaksana harian (Plh) atau pejabat pelaksana tugas (Plt) yang ditunjuk. |
(3) | Pejabat pelaksana harian (Plh) atau pejabat pelaksana tugas (Plt) yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bertanggung jawab secara substansi atas pelaksanaan pelimpahan wewenang yang diberikan kepada yang bersangkutan. |
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 22 November 2019 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. SRI MULYANI INDRAWATI |
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 25 November 2019
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
WIDODO EKATJAHJANA