Perdagangan Melalui Sistem Elektronik
Menimbang :
Mengingat :
Menetapkan :
(1) | PMSE dapat dilakukan oleh Pelaku Usaha, Konsumen, Pribadi, dan instansi penyelenggara negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang selanjutnya disebut para pihak. |
(2) | PMSE merupakan hubungan hukum privat yang dapat dilakukan antara:
|
(1) | Pelaku Usaha Luar Negeri yang secara aktif melakukan penawaran dan/atau melakukan PMSE kepada Konsumen yang berkedudukan di wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang memenuhi kriteria tertentu dianggap memenuhi kehadiran secara fisik di Indonesia dan melakukan kegiatan usaha secara tetap di wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. |
(2) | Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
|
(3) | PPMSE luar negeri yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib menunjuk perwakilan yang berkedudukan di wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dapat bertindak sebagai dan atas nama Pelaku Usaha dimaksud. |
(4) | Ketentuan penunjukan perwakilan dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. |
(1) | Para pihak dalam PMSE harus memiliki, mencantumkan, atau menyampaikan identitas subyek hukum yang jelas. |
(2) | Setiap PMSE yang bersifat lintas negara wajib memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur ekspor atau impor dan peraturan perundang-undangan di bidang informasi dan transaksi elektronik. |
(1) | Pihak yang melakukan PMSE atas Barang dan/atau Jasa yang berdampak terhadap kerentanan keamanan nasional harus mendapatkan security clearance dari instansi yang berwenang. |
(2) | Jenis Barang dan/atau Jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(3) | Tata cara mendapatkan security clearance dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Dalam melakukan PMSE, Pelaku Usaha wajib membantu program Pemerintah antara lain:
|
(2) | Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. |
(1) | Dalam setiap PMSE, Pelaku Usaha wajib:
|
(2) | Informasi yang benar, jelas, dan jujur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b paling sedikit mengenai:
|
(1) | Pelaku Usaha wajib memiliki izin usaha dalam melakukan kegiatan usaha PMSE. |
(2) | Penyelenggara Sarana Perantara dikecualikan dari kewajiban memiliki izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika:
|
(3) | Dalam rangka memberikan kemudahan bagi Pelaku Usaha untuk memiliki izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengajuan izin usaha dilakukan melalui Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bagi PPMSE mengacu pada norma, standar, prosedur, dan kriteria yang diatur dengan Peraturan Menteri. |
(1) | Dalam melakukan PMSE, Pedagang dalam negeri menggunakan sarana:
|
(2) | Dalam melakukan PMSE dengan Konsumen yang berkedudukan di Indonesia, Pedagang luar negeri menggunakan sarana:
|
(1) | PPMSE dalam negeri dan/atau PPMSE luar negeri dilarang menerima Pedagang dalam negeri dan Pedagang luar negeri yang tidak memenuhi syarat dan ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. |
(2) | PPMSE dalam negeri dan/atau PPMSE luar negeri yang bertransaksi dengan Konsumen wajib memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di Indonesia. |
(1) | Dalam hal PMSE merugikan Konsumen, Konsumen dapat melaporkan kerugian yang diderita kepada Menteri. |
(2) | Pelaku Usaha yang dilaporkan oleh Konsumen yang dirugikan harus menyelesaikan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(3) | Pelaku Usaha yang tidak menyelesaikan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dimasukkan ke dalam daftar prioritas pengawasan oleh Menteri. |
(4) | Daftar prioritas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diakses oleh publik. |
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai daftar prioritas pengawasan diatur dalam Peraturan Menteri. |
(1) | PPMSE dalam negeri dan/atau PPMSE luar negeri wajib:
|
(2) | Dalam melakukan pengumpulan dan pengolahan data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f lembaga pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang statistik bekerja sama dengan kementerian/lembaga pemerintah non kementerian, dan/atau otoritas terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(3) | Lembaga pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang statistik melakukan berbagi pakai data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan kementerian/lembaga pemerintah non kementerian, otoritas terkait, dan/atau pemerintah daerah dengan mengacu pada ketentuan mekanisme berbagi pakai data dan/atau informasi. |
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai penyampaian data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f, pengumpulan dan pengolahan data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), serta mekanisme berbagi pakai data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan peraturan kepala lembaga pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang statistik. |
(1) | Jika dalam PMSE terdapat konten informasi elektronik ilegal, maka pihak PPMSE dalam negeri dan/atau PPMSE luar negeri serta Penyelenggara Sarana Perantara bertanggung jawab atas dampak atau konsekuensi hukum akibat keberadaan konten informasi elektronik ilegal tersebut. |
(2) | Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila PPMSE dalam negeri dan/atau PPMSE luar negeri yang bersangkutan bertindak cepat untuk menghapus link elektronik dan/atau konten informasi elektronik ilegal setelah mendapat pengetahuan atau kesadaran. |
(3) | Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan terhadap Penyelenggara Sarana Perantara yang:
|
(4) | Penyelenggara Sarana Perantara yang memberikan layanan komputer interaktif tidak bertanggungjawab dan tidak dapat dituntut atau digugat terhadap tindakannya dalam membatasi atau menghilangkan akses atas suatu konten jika:
|
(1) | PPMSE dalam negeri dan/atau PPMSE luar negeri wajib menjaga Sistem Elektronik yang aman, andal, dan bertanggung jawab dan membangun keterpercayaan terhadap sistem yang diselenggarakannya kepada publik. |
(2) | PPMSE dalam negeri dan/atau PPMSE luar negeri wajib menyediakan pengamanan Sistem Elektronik yang mencakup prosedur dan sistem pencegahan dan penanggulangan terhadap ancaman dan serangan yang menimbulkan gangguan, kegagalan, dan kerugian. |
(3) | Pengamanan Sistem Elektronik dapat mencakup pengamanan pada sisi sistem komputer PPMSE dalam negeri dan/atau PPMSE luar negeri maupun pada sisi saluran komunikasi yang digunakan dan diselenggarakan oleh pihak lain. |
(1) | PPMSE dalam negeri dan/atau PPMSE luar negeri wajib menyimpan:
|
(2) | Data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, paling sedikit mengenai:
|
(1) | Pelaku Usaha wajib menyediakan layanan pengaduan bagi Konsumen. |
(2) | Layanan pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mencakup:
|
(1) | PPMSE dalam negeri dan/atau PPMSE luar negeri wajib menyediakan dan menyimpan bukti transaksi PMSE yang sah. |
(2) | Bukti transaksi PMSE sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi alat bukti yang sah dan mengikat para pihak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(3) | Bukti transaksi PMSE dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang informasi dan transaksi elektronik. |
(4) | Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku untuk:
|
(1) | Bukti transaksi PMSE dapat dijadikan sebagai alat bukti lain dalam hukum acara dan tidak dapat ditolak pengajuannya sebagai suatu alat bukti dalam persidangan hanya karena dalam bentuknya yang elektronik. |
(2) | Bukti transaksi PMSE dapat dijadikan bukti tulisan yang autentik jika menggunakan tanda tangan elektronik yang didukung oleh suatu sertifikat elektronik yang terpercaya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Dalam hal peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang mempersyaratkan bahwa suatu perjanjian harus dilakukan dalam bentuk yang tertulis di atas media kertas, maka persyaratan tersebut dianggap telah terpenuhi oleh keberadaan bukti transaksi PMSE, sepanjang bukti transaksi PMSE tersebut dapat disimpan, diakses dan ditampilkan kembali untuk penggunaan berikutnya sehingga subtansinya secara valid menerangkan suatu keadaan atau peristiwa hukum tertentu. |
(2) | Dalam hal peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang mempersyaratkan bahwa suatu perjanjian harus disimpan dalam bentuk yang original atau asli dengan berbasiskan suatu tulisan di atas media kertas, maka syarat tersebut dianggap telah terpenuhi oleh keberadaan bukti transaksi PMSE, apabila:
|
(3) | Dalam hal terdapat peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang mempersyaratkan bahwa suatu perjanjian harus dibubuhkan suatu tanda tangan dengan tinta basah secara tertulis di atas kertas, maka syarat tersebut dianggap telah terpenuhi oleh keberadaan bukti transaksi PMSE, apabila:
|
(1) | Pelaku Usaha dapat membuat dan/atau melakukan pengiriman Iklan Elektronik untuk kepentingan pemasaran atau promosi. |
(2) | Iklan Elektronik dapat berbentuk:
|
(1) | Iklan Elektronik dapat disampaikan secara langsung oleh Pedagang dalam negeri dan/atau Pedagang luar negeri atau melalui sarana PPMSE dalam negeri dan/atau PPMSE luar negeri sebagai pihak ketiga yang menyelenggarakan Komunikasi Elektronik. |
(2) | Dalam hal Iklan Elektronik disampaikan melalui sarana PPMSE dalam negeri dan/atau PPMSE luar negeri, PPMSE dalam negeri dan/atau PPMSE luar negeri wajib mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penyiaran, perlindungan atas privasi dan data pribadi, perlindungan Konsumen, dan tidak bertentangan dengan prinsip persaingan usaha yang sehat. |
(1) | Substansi atau materi Iklan Elektronik dilarang bertentangan dengan hak Konsumen dan/atau prinsip persaingan usaha yang sehat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Pelaku Usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menghentikan pengiklanan Barang dan/atau Jasa tersebut. |
(3) | Pelaku Usaha yang tidak menghentikan pengiklanan Barang dan/atau Jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kegiatan penawaran dan promosinya dihentikan oleh instansi yang berwenang. |
(1) | Penawaran Secara Elektronik dalam PMSE dapat dilakukan secara umum atau terbatas. |
(2) | Penawaran Secara Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Penawaran Secara Elektronik harus memuat informasi paling sedikit:
|
(2) | Penawaran Secara Elektronik sah dan memiliki kekuatan hukum yang mengikat apabila terdapat pernyataan niat atau kehendak yang jelas dan spesifik dalam penawaran serta syarat dan kondisi dengan cara penawaran yang jujur, adil dan berimbang (fair), dan pembatasan waktu tertentu. |
(3) | Pihak yang melakukan Penawaran Secara Elektronik harus menjelaskan mekanisme teknis dan substansi syarat dan kondisi pemberian persetujuan secara elektronik. |
(4) | Pelaku usaha tetap bertanggung jawab terhadap Penawaran Secara Elektronik yang dimuat dalam Sistem Elektronik meskipun tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). |
(1) | Kesepakatan dianggap telah terjadi secara sah dan mengikat apabila Penerimaan Secara Elektronik telah sesuai dengan mekanisme teknis dan substansi syarat dan kondisi dalam Penawaran Secara Elektronik. |
(2) | Dalam hal terjadi ketidaksesuaian antara Penerimaan Secara Elektronik dengan Penawaran Secara Elektronik, maka para pihak dianggap belum mencapai kesepakatan. |
(1) | Dalam memberikan jawaban atas Penawaran Secara Elektronik, penerima penawaran harus responsif dan mengikuti tata cara penerimaan sebagaimana ditetapkan dalam syarat dan kondisi dalam Penawaran Secara Elektronik. |
(2) | Dalam hal penerima penawaran tidak responsif dan tidak mengikuti tata cara penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka Kontrak Elektronik dapat dianggap tidak pernah terjadi. |
(3) | Dalam hal terjadi kelalaian responsif Konsumen, maka segala bentuk kerugian akibat tidak terjadinya Kontrak Elektronik merupakan tanggung jawab Konsumen sepenuhnya. |
(4) | Pelaku Usaha yang melakukan Penawaran Secara Elektronik harus responsif terhadap Penerimaan Secara Elektronik, dan wajib memenuhi Kontrak Elektronik sebagaimana syarat dan kondisi dalam Penawaran Secara Elektronik. |
(1) | Penerimaan Secara Elektronik dari Konsumen wajib direspon oleh Pelaku Usaha dalam jangka waktu tertentu. |
(2) | Respon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan dalam bentuk Konfirmasi Elektronik dan/atau konfirmasi non elektronik yang dapat disimpan dan digunakan sebagai tanda bukti kesepakatan. |
(3) | Konfirmasi Elektronik dapat dilakukan dengan tindakan mengidentifikasi, membetulkan atau memodifikasi isian data atau formulir perintah pembelian, atau memberikan pernyataan telah memperoleh cukup informasi dan/atau secara jelas menyampaikan niatan untuk membeli. |
(4) | Isi Konfirmasi Elektronik harus sama dengan informasi Penawaran Secara Elektronik. |
(1) | Suatu Kontrak Elektronik dapat dibuat dari hasil interaksi dengan suatu perangkat transaksi otomatis yang diselenggarakan oleh Pelaku Usaha. |
(2) | Para pihak tidak dapat menyangkal validitas Kontrak Elektronik yang dibuat secara otomatis, kecuali dapat dibuktikan sistem otomatis tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya. |
(3) | Dalam hal Pelaku Usaha menggunakan perangkat lunak penerjemah otomatis, segala kerugian yang timbul akibat penggunaan perangkat penerjemah otomatis tersebut merupakan tanggung jawab Pelaku Usaha. |
(1) | PPMSE dalam negeri dan/atau PPMSE luar negeri dapat menggunakan produk persandian/kriptografi dalam PMSE. |
(2) | Penggunaan setiap produk persandian/kriptografi pada sistem pengamanan harus mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | PPMSE dalam negeri dan/atau PPMSE luar negeri dapat menggunakan tanda tangan elektronik tersertifikasi yang dibuktikan dengan kepemilikan sertifikat elektronik. |
(2) | Dalam penggunaan tanda tangan elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PPMSE dalam negeri dan/atau PPMSE luar negeri dapat menggunakan sertifikat elektronik yang diterbitkan oleh penyelenggara sertifikasi elektronik berinduk dengan menggunakan tanda tangan elektronik root certification authority yang dikeluarkan oleh Pemerintah. |
(3) | Bukti transaksi yang menggunakan tanda tangan elektronik tersertifikasi melalui sertifikat elektronik yang diterbitkan oleh penyelenggara sertifikasi elektronik tersertifikasi atau berinduk dapat dianggap sebagai bukti tertulis yang autentik. |
(1) | Kontrak Elektronik dapat berupa perjanjian/perikatan jual beli atau perjanjian/perikatan lisensi. |
(2) | Perjanjian/perikatan lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mencakup antara lain:
|
(1) | Informasi dalam Kontrak Elektronik harus sesuai dengan penawaran dan memuat paling sedikit:
|
(2) | Kontrak Elektronik dilarang mencantumkan klausula baku yang merugikan Konsumen sebagaimana diatur dalam Undang-Undang mengenai Perlindungan Konsumen. |
(1) | Kontrak Elektronik dianggap otomatis menjadi batal demi hukum apabila terjadi kesalahan teknis akibat Sistem Elektronik tidak aman, andal, dan bertanggung jawab. |
(2) | Apabila terjadi kesalahan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pihak penerima tidak wajib mengembalikan Barang dan/atau Jasa yang telah dikirimkan dan diterima. |
(3) | Kerugian akibat terjadinya kesalahan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sepenuhnya menjadi tanggung jawab Pelaku Usaha. |
(1) | Setiap data pribadi diberlakukan sebagai hak milik pribadi dari orang atau Pelaku Usaha yang bersangkutan. |
(2) | Setiap Pelaku Usaha yang memperoleh data pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib bertindak sebagai pengemban amanat dalam menyimpan dan menguasai data pribadi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Pelaku Usaha wajib menyimpan data pribadi sesuai standar perlindungan data pribadi atau kelaziman praktik bisnis yang berkembang. |
(2) | Standar perlindungan data pribadi atau kelaziman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memenuhi kaidah perlindungan:
|
(3) | Dalam hal pemilik data pribadi menyatakan keluar, berhenti berlangganan atau berhenti menggunakan jasa dan sarana PMSE, maka pemilik data pribadi berhak meminta Pelaku Usaha untuk menghapus seluruh data pribadi yang bersangkutan. |
(4) | Atas permintaan pemilik data pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pelaku Usaha harus menghapus seluruh data pribadi yang bersangkutan pada sistem yang dikelola oleh Pelaku Usaha tersebut. |
(1) | Dalam PMSE, para pihak dapat melakukan pembayaran melalui Sistem Elektronik. |
(2) | Mata uang yang digunakan sebagai alat pembayaran dalam PMSE sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(3) | Pembayaran melalui Sistem Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan menggunakan sarana sistem perbankan atau sistem pembayaran elektronik lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(4) | Setiap penyelenggaraan pembayaran melalui Sistem Elektronik harus mendapatkan izin dari instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang sistem pembayaran dan/atau perbankan. |
(5) | Dalam pelaksanaan penyelenggaraan pembayaran melalui Sistem Elektronik, PPMSE dalam negeri dan/atau PPMSE luar negeri dapat bekerjasama dengan penyelenggara jasa sistem pembayaran berdasarkan kerja sama. |
(6) | Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus dilaporkan oleh PPMSE dalam negeri dan/atau PPMSE luar negeri kepada Menteri. |
(1) | Penyelenggara jasa sistem pembayaran wajib mematuhi standar level keamanan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Penetapan standar level keamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan oleh kepala lembaga pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keamanan siber dan sandi negara, Gubernur Bank Indonesia, dan/atau Ketua Otoritas Jasa Keuangan. |
(1) | Dalam hal persetujuan pembelian Barang dan/atau Jasa melalui Sistem Elektronik telah dilakukan, Pedagang wajib melakukan pengiriman Barang dan/atau Jasa kepada pembeli. |
(2) | Pengiriman Barang dan/atau Jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan menggunakan jasa kurir atau dengan menggunakan mekanisme pengiriman Barang dan/atau Jasa lainnya sesuai dengan standar pengiriman Barang dan/atau Jasa sebagaimana diatur oleh ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Dalam setiap pengiriman Barang dan/atau Jasa yang menggunakan jasa kurir atau mekanisme pengiriman lainnya, Pelaku Usaha harus memastikan:
|
(2) | Pelaku Usaha wajib menyampaikan informasi mengenai Barang yang telah dikirim. |
(3) | Pelaku Usaha tidak dapat membebani Konsumen mengenai kewajiban membayar Barang yang dikirim tanpa dasar kontrak. |
(1) | Dalam hal transaksi diselesaikan oleh PPMSE dalam negeri dan/atau PPMSE luar negeri, maka pengiriman Barang dan/atau Jasa merupakan tanggung jawab PPMSE dalam negeri dan/atau PPMSE luar negeri. |
(2) | Dalam pengiriman Barang dan/atau Jasa, PPMSE dalam negeri dan/atau PPMSE luar negeri dapat bekerjasama dengan Pelaku Usaha pengiriman Barang dan/atau Jasa berdasarkan perjanjian kerjasama yang dibuat oleh PPMSE dalam negeri dan/atau PPMSE luar negeri dan Pelaku Usaha pengiriman Barang dan/atau Jasa. |
(3) | Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilaporkan kepada Menteri. |
(1) | Dalam hal pengiriman Barang dan/atau Jasa dilakukan oleh PPMSE dalam negeri dan/atau PPMSE luar negeri, PPMSE dalam negeri dan/atau PPMSE luar negeri wajib memberikan informasi yang akurat dan tepat waktu mengenai jangka waktu dan status pengiriman kepada Konsumen secara berkala. |
(2) | Dalam hal terdapat kesalahan dan/atau ketidaksesuaian antara jangka waktu aktual dan jangka waktu pengiriman Barang dan/atau Jasa yang telah disepakati dalam Kontrak Elektronik dengan Barang dan/atau Jasa yang dikirim sehingga menimbulkan perselisihan antara Konsumen dengan Pelaku Usaha, maka PPMSE dalam negeri dan/atau PPMSE luar negeri wajib menyelesaikan perselisihan tersebut. |
(1) | Pelaku Usaha yang mendistribusikan Barang Digital atau Jasa Digital baik berbayar maupun gratis wajib memastikan Barang Digital atau Jasa Digital dimaksud dapat dioperasikan sebagaimana mestinya. |
(2) | Dalam hal Barang Digital atau Jasa Digital sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menimbulkan kerugian bagi pengguna Barang Digital atau Jasa Digital, maka kerugian dimaksud menjadi tanggung jawab Pelaku Usaha. |
(3) | Pelaku Usaha harus memastikan Barang Digital atau Jasa Digital yang ditransaksikan bukan Barang Digital atau Jasa Digital yang dilarang oleh Pemerintah dan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Pedagang dalam negeri dan/atau Pedagang luar negeri dan PPMSE dalam negeri dan/atau PPMSE luar negeri wajib memberikan jangka waktu paling sedikit 2 (dua) hari kerja untuk penukaran Barang dan/atau Jasa, atau pembatalan pembelian, terhitung sejak Barang dan/atau Jasa diterima oleh Konsumen. |
(2) | Penukaran Barang dan/atau Jasa, atau pembatalan pembelian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam hal:
|
(3) | Konsumen yang melakukan penukaran Barang dan/atau Jasa sebagaimana dimaksud ayat (2) hanya dapat dibebankan biaya pengiriman kembali Barang dan/atau Jasa kepada Pedagang dalam negeri dan/atau Pedagang luar negeri atau PPMSE dalam negeri dan/atau PPMSE luar negeri. |
(4) | Pembebanan biaya pengiriman Barang kepada Konsumen dapat dilakukan jika kontribusi kesalahan terjadi karena ketidaktelitian Konsumen. |
(1) | Dalam hal obyek PMSE merupakan Jasa pelaksanaan suatu pekerjaan, pemenuhan pelaksanaan pekerjaan yang diperjanjikan dilakukan sebagaimana mestinya sesuai prinsip praktik bisnis yang berkembang berdasarkan pengalaman atau kemampuan terbaik dalam melakukan suatu tata kelola yang baik terhadap suatu pekerjaan dan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Dalam hal terjadi wanprestasi terhadap pelaksanaan pekerjaan yang dilakukan melalui PMSE, para pihak dapat menyepakati penggantian pekerjaan dengan pekerjaan lain yang sebanding sebagai salah satu bentuk kompensasi atau melakukan pembatalan perjanjian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Dalam hal terjadi sengketa dalam PMSE, para pihak dapat menyelesaikan sengketa melalui pengadilan atau melalui mekanisme penyelesaian sengketa lainnya. |
(2) | Penyelesaian sengketa PMSE sebagaimana dimaksud ayat (1) dapat diselenggarakan secara elektronik (online dispute resolution) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(3) | Dalam hal terjadi sengketa antara Pelaku Usaha Dalam Negeri dan Konsumen, Konsumen dapat menggugat Pelaku Usaha melalui badan penyelesaian sengketa Konsumen atau mengajukan ke lembaga peradilan di tempat kedudukan Konsumen. |
(1) | Para pihak memiliki kewenangan untuk memilih hukum yang berlaku bagi PMSE internasional yang dibuatnya. |
(2) | Dalam hal para pihak tidak melakukan pilihan hukum dalam PMSE internasional, hukum yang berlaku didasarkan pada asas Hukum Perdata Internasional. |
(1) | Para pihak memiliki kewenangan untuk menetapkan forum pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya yang berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul dari PMSE internasional yang dibuatnya. |
(2) | Dalam hal para pihak tidak melakukan pilihan forum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penetapan kewenangan pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya yang berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul dari transaksi tersebut, didasarkan pada asas Hukum Perdata Internasional. |
(3) | Dalam hal para pihak memilih menyelesaikan sengketa PMSE internasional melalui forum penyelesaian sengketa yang ada di Indonesia, maka lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa tersebut yaitu:
|
a. | lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara Konsumen dan pelaku usaha; atau |
b. | peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum, |
(1) | Menteri berwenang melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap PMSE. |
(2) | Dalam melakukan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat berkoordinasi dengan menteri, kepala lembaga pemerintah non kementerian, dan pimpinan otoritas terkait, serta pemerintah daerah. |
(1) | Menteri melakukan pembinaan dengan cara:
|
(2) | Dalam melakukan pembinaan Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri berkoordinasi dan berkolaborasi dengan instansi terkait sesuai dengan kewenangannya masing-masing. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk koordinasi dan kolaborasi dengan instansi terkait diatur dalam Peraturan Menteri. |
(1) | Dalam melaksanakan pengawasan, Menteri menunjuk petugas pengawas di bidang Perdagangan. |
(2) | Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), Menteri mengutamakan perlindungan dan pengamanan kepentingan nasional dari dampak negatif PMSE dari luar negeri. |
(3) | Petugas pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam melakukan pengawasan dibantu oleh tim asistensi pengawasan yang dibentuk oleh Menteri. |
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pengawasan diatur dengan Peraturan Menteri. |
(1) | Dalam rangka pembinaan dan pengawasan, Menteri dapat meminta data dan/atau informasi perusahaan dan kegiatan usaha Pelaku Usaha dalam hal:
|
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai permintaan data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. |
(1) | Pelaku Usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3), Pasal 9 ayat (2), Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 15 ayat (1), Pasal 16, Pasal 17, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 23, Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 25 ayat (1), Pasal 26, Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 ayat (1), Pasal 33 ayat (2), Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 35, Pasal 46 ayat (1), Pasal 56, Pasal 58 ayat (2), Pasal 59 ayat (1), Pasal 61 ayat (1), Pasal 63 ayat (1), Pasal 64 ayat (2), Pasal 66, Pasal 68 ayat (1), Pasal 69 ayat (1), dan Pasal 71 dikenai sanksi administratif oleh Menteri. |
(2) | Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
|
(3) | Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, diberikan paling banyak 3 (tiga) kali dalam tenggang waktu 2 (dua) minggu terhitung sejak tanggal surat peringatan sebelumnya diterbitkan. |
(4) | Sanksi administratif berupa dimasukkan dalam daftar prioritas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dikenakan kepada Pelaku Usaha yang tidak melakukan perbaikan setelah diberikan surat peringatan tertulis ketiga. |
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Menteri. |
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 20 November 2019 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. JOKO WIDODO |
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 25 November 2019
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
YASONNA H. LAOLY
I. | UMUM Dewasa ini telah berkembang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik, yang memungkinkan setiap pihak dapat melakukan aktivitas dan transaksi perdagangannya melalui sistem Komunikasi Elektronik. Pada dasarnya kebijakan dan kaidah ketentuan peraturan perundang-undangan tentang Perdagangan baik yang dilakukan secara konvensional maupun yang dilakukan secara elektronik mempunyai tujuan yang sama, yakni melakukan kegiatan Perdagangan yang legal, jujur, dilandasi dengan prinsip persaingan usaha yang sehat serta menghargai dan melindungi hak-hak konsumen. Demikian pula halnya dengan pihak-pihak ketiga (intermediary) yang terkait yang memberikan kontribusi sehingga secara teknis suatu aktivitas ataupun transaksi Perdagangan menjadi dapat dilakukan secara elektronik. Kerja sama antara para pihak terkait tersebut dalam suatu penyelenggaraan Sistem Elektronik untuk transaksi Perdagangan harus dibangun dari semangat kerja sama yang saling menguntungkan dan bertanggung jawab secara tanggung renteng dan/atau bertanggung jawab secara proporsional kepada para pengguna sistem tersebut sesuai fungsi dan perannya masing-masing. Tidak berbeda dengan Perdagangan secara konvensional maka kegiatan dan transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik harus memenuhi aspek kewajiban Perdagangan pada umumnya terutama kejelasan informasi baik unsur subyektif maupun obyektif. Hal tersebut mengamanatkan kejelasan legalitas dalam transaksi elektronik, baik sebelum terjadinya transaksi, pelaksanaan transaksi, dan pasca transaksi. Pengaturan Perdagangan pada umumnya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan dan terhadap kegiatan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik diamanatkan untuk membuat pengaturan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah yang mengatur aktivitas perniagaan secara elektronik tersebut demi terselenggaranya sistem Perdagangan yang fair dan terpercaya serta melindungi kepentingan nasional. Berbeda dengan pengaturan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik maka Peraturan Pemerintah tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik mengatur aspek hukum Perdagangan dalam penyelenggaraan dan pemanfaatan Sistem Elektronik yang ditujukan khusus untuk Perdagangan. Lingkup pengaturan dalam Peraturan Pemerintah ini mencakup semua kegiatan Perdagangan yang dilakukan dengan menggunakan berbagai moda dan jenis sistem komunikasi elektronik, baik yang online maupun secara off-line. Hal tersebut akan mencakup hubungan hukum dalam konteks antara pelaku usaha (business to business) maupun pelaku usaha dengan konsumen (business to customer). Materi pokok pengaturan PMSE meliputi:
|
II. | PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Huruf a Prinsip iktikad baik yaitu Pelaku Usaha dan Konsumen dalam melakukan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik wajib memiliki iktikad baik, dimana pelanggaran atas asas ini berakibat batalnya kesepakatan diantara para pihak, dengan tidak mengurangi atau mengabaikan hak-hak dari pihak yang memiliki iktikad baik dalam melakukan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE). Huruf b Prinsip kehati-hatian yaitu Pelaku Usaha dan Konsumen wajib bersikap hati-hati dalam melakukan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE), dimana segala informasi elektronik sehubungan dengan Pelaku Usaha, Konsumen, Barang dan/atau Jasa yang menjadi obyek Perdagangan serta syarat dan kondisi dari Perdagangan Barang atau Jasa melalui Sistem Elektronik wajib dipahami dengan baik. Huruf c Prinsip transparansi yaitu Pelaku Usaha dan Konsumen wajib secara transparan menyampaikan segala informasi elektronik sehubungan dengan Pelaku Usaha, Konsumen, Barang atau Jasa yang menjadi obyek Perdagangan serta persyaratan dan ketentuan dari Perdagangan Barang dan/atau Jasa melalui Sistem Elektronik wajib dipahami dengan baik. Huruf d Prinsip keterpercayaan yaitu Pelaku Usaha wajib membangun Sistem Elektronik dengan baik yang layak dipercaya demi menjaga kepercayaan pengguna sistem terhadap Sistem Elektronik yang diselenggarakannya. Huruf e Prinsip akuntabilitas yaitu Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) wajib dilakukan oleh para Pelaku Usaha dan Konsumen secara akuntabel dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan dan etika yang berlaku umum. Huruf f Prinsip keseimbangan yaitu Pelaku Usaha dan Konsumen wajib menjamin bahwa hubungan hukum yang dilakukan dilandasi oleh semangat untuk saling menguntungkan sesuai dengan harapan dan pengorbanan yang diberikan oleh masing-masing pihak. Huruf g Prinsip adil dan sehat yaitu adanya kesetaraan kesempatan dan kedudukan dalam kegiatan usaha antar Pelaku Usaha PMSE untuk mewujudkan iklim usaha yang kondusif sehingga menjamin adanya kepastian dan kesempatan berusaha yang sama. Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Transaksi antara instansi penyelenggara negara atau penyelenggara pelayanan publik dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Selain itu, dalam konteks pengadaan Barang/Jasa yang menggunakan anggaran negara diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Pasal 5 Termasuk dalam Pelaku Usaha adalah penyelenggara jasa sistem pembayaran (payment gateway), namun demikian pengaturannya dilakukan secara khusus oleh instansi yang berwenang. Yang termasuk dalam lingkup pengertian Pedagang ialah Pelaku Usaha yang melakukan Penawaran Secara Elektronik baik melalui Sistem Elektronik yang dimiliki atau dikelolanya sendiri, maupun melalui sarana yang disediakan oleh pihak PPMSE dalam negeri dan/atau PPMSE luar negeri. Penjual yang hanya menjual Barang dan/atau Jasa secara temporal dan tidak komersial tidak termasuk Pedagang. Yang termasuk dalam lingkup pengertian PPMSE ialah semua pihak yang menyediakan Jasa dan/atau sarana Sistem Elektronik sehingga memungkinkan suatu transaksi untuk kegiatan usaha PMSE dapat dilakukan. Pelaku Usaha tersebut menyelenggarakan jasanya dengan menyediakan sistem aplikasi untuk digunakan sebagai sarana Komunikasi Elektronik guna memfasilitasi kegiatan usaha Perdagangan dan/atau penyelesaian PMSE, meliputi berbagai model bisnis sistem penyelenggaraan PMSE. Model bisnis PPMSE antara lain:
Yang termasuk dalam lingkup pengertian Penyelenggara Sarana Perantara (intermediary Services) ialah penyedia sarana sistem penelusuran informasi (search engine), penyedia ruang penyimpanan informasi secara tetap (hosting) maupun untuk penampungan sementara (caching). Fungsi sebagai perantara meliputi namun tidak terbatas pada fungsi penelusuran informasi (mere-conduit), penyediaan tempat baik yang bersifat tetap (hosting) maupun sementara (caching). Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "identitas subyek hukum" adalah semua informasi yang menerangkan keberadaan dan legalitas subyek hukum yang bersangkutan, baik individu maupun badan hukum, yang tercantum di dalam antara lain Kartu Tanda Penduduk, Izin Usaha, Nomor Surat Keputusan Pengesahan Badan Hukum, Nomor Identitas Pelaku Usaha PMSE yang diberikan oleh Menteri, nomor rekening bank, atau nomor telepon seluler. Kejelasan subyek hukum sebagai PPMSE dalam negeri dan/atau PPMSE luar negeri dapat dipenuhi dengan pencantuman Nomor Identitas Pelaku Usaha PMSE yang diberikan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan. Ayat (2) Pada dasarnya semua asas dan ketentuan yang berlaku dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik juga berlaku dalam Peraturan Pemerintah ini, sehingga para pihak yang melakukan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik harus memperhatikan dan mematuhi kebijakan Perdagangan dalam negeri, Perdagangan luar negeri, dan Perdagangan perbatasan, antara lain:
Pasal 10 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "Barang dan/atau Jasa yang berdampak terhadap kerentanan keamanan nasional" antara lain namun tidak terbatas pada produk kriptografi, produk-produk yang dipakai untuk penyadapan dan anti sadap (monitoring and surveilence). Yang dimaksud dengan "security clearance" adalah hasil pemeriksaan dan penilaian dari instansi yang berwenang terhadap dampak suatu produk atau Barang dan/atau Jasa terhadap keamanan nasional. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 11 Setiap Pelaku Usaha yang melakukan PMSE wajib memenuhi persyaratan antara lain izin usaha, izin teknis, Tanda Daftar Perusahaan, Nomor Pokok Wajib Pajak, kode etik bisnis (business conduct)/perilaku usaha (code of practices), standardisasi produk Barang dan/atau Jasa dan hal-hal lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kode etik bisnis (business conduct)/perilaku usaha (code of practices) adalah aturan etis untuk melakukan Perdagangan secara jujur dan menjunjung semangat kompetisi yang sehat, baik yang berlaku internal maupun eksternal Pelaku Usaha. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Ayat (1) Pedagang dalam negeri dan/atau Pedagang luar negeri yang menggunakan sarana PMSE milik sendiri merupakan salah satu dari model bisnis PPMSE dalam negeri dan/atau PPMSE luar negeri. Sehingga ketentuan yang berlaku bagi PPMSE dalam negeri dan/atau PPMSE luar negeri berlaku juga terhadap Pedagang dalam negeri dan/atau Pedagang luar negeri yang menggunakan sarana PMSE milik sendiri. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Huruf a Yang dimaksud dengan "kepuasan Konsumen" adalah bahwa Konsumen telah dipenuhi haknya oleh Pelaku Usaha. Huruf b Yang dimaksud dengan "terdapat bukti adanya penerapan perlindungan Konsumen secara patut" adalah adanya jaminan kepada Konsumen bahwa setiap keluhan dan permintaan informasi lainnya akan dilayani dengan baik sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Huruf c Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas Pasal 21 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan "instansi terkait" adalah kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Yang dimaksud dengan "sektoral lain yang terkait", seperti Bank Indonesia dalam hal penyelenggaraan jasa sistem pembayaran melalui sistem elektronik dan Otoritas Jasa Keuangan dalam hal penyelenggaraan jasa keuangan. Ayat (2) Pengumpulan dan pengolahan data dilakukan melalui kerja sama antara lain dengan Bank Indonesia. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 22 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "informasi elektronik" adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Yang dimaksud dengan "konten informasi elektronik ilegal" adalah konten yang dilarang atau bersifat melawan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "bertindak cepat" adalah bertindak segera setelah mengetahui adanya konten informasi elektronik ilegal, diantaranya dapat terlihat dengan keberadaan prosedur setelah menerima pemberitahuan dari pihak lain atau setelah mengetahui sendiri tentang konten informasi elektronik ilegal tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan "layanan komputer interaktif" adalah berbagai layanan yang diselenggarakan kepada masyarakat untuk menjawab kebutuhannya sebagai masyarakat informasi (information society Services), seperti layanan penyedia informasi media sosial. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan "data dan informasi PMSE yang terkait dengan transaksi keuangan" adalah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 28 ayat (11) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menjadi Undang-Undang. Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 26 Huruf a Ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan Konsumen misalnya, perlindungan Konsumen atas instrumen pembayaran mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan perlindungan Konsumen di bidang sistem pembayaran. Huruf b Cukup jelas Pasal 27 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan "petugas yang kompeten dalam memproses layanan pengaduan" adalah petugas yang mampu memberikan penjelasan dan/atau jawaban atas pengaduan yang disampaikan. Huruf e Cukup jelas. Pasal 28 Ayat (1) Bukti transaksi PMSE yang sah mengacu pada Pasal 5 dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "mengikat para pihak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan" adalah dengan memperhatikan reliabilitas tingkat keamanan yang menentukan derajat keautentikan terhadap bukti transaksi elektronik. Reliabilitas sistem keamanan dalam praktiknya secara teknis akan menentukan bobot pembuktian terhadap bukti elektronik itu sendiri. Semakin tinggi tingkat keamanan terhadap suatu bukti elektronik, maka bukti elektronik tersebut dapat berfungsi sebagaimana layaknya bukti autentik karena terjamin otorisasi, otentisitas, kerahasiaan, integritas/keutuhan dan tidak dapat disangkal. Jika tingkat keamanan rendah, maka bukti elektronik tersebut tidak terjamin keutuhannya sehingga terbuka kemungkinan untuk dapat disangkal sebagaimana layaknya bukti tulisan di bawah tangan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 29 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Kekuatan pembuktian terhadap suatu informasi elektronik yang menggunakan tanda tangan elektronik dengan didukung oleh suatu sertifikasi elektronik yang berinduk kepada sertifikasi elektronik Pemerintah, mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya oleh pihak yang menampiknya. Informasi elektronik dan/atau tanda tangan elektronik dapat menjadi bukti adanya niatan untuk berkontrak dan/atau melakukan suatu persetujuan melakukan transaksi sepanjang terdapat metode atau sistem yang dapat menjelaskan hal tersebut. Informasi elektronik dapat menjadi bukti yang setara dengan akta autentik sepanjang tidak adanya penampikan dari para pihak atau dari pihak yang seharusnya dianggap bertanggung jawab atas informasi elektronik tersebut. Bobot kekuatan pembuktian terhadap informasi elektronik ditentukan oleh tingkat reliabilitas keamanan tehadap sistem informasi dan/atau komunikasi elektronik yang digunakan. Jika tidak ada pengamanan informasi maka majelis hakim menjadi bebas untuk menilai bukti tersebut. Jika informasi tersebut berasal dari sistem yang telah terakreditasi dan/atau tersertifikasi maka majelis hakim selayaknya menerima alat bukti tersebut sebagaimana layaknya akta autentik, kecuali terbukti lain dimuka persidangan. Pada dasarnya Komunikasi Elektronik via internet adalah bersifat terbuka dan rentan akan keamanan terhadap komunikasi yang dilakukan untuk melakukan transaksi. Penggunaan tanda tangan elektronik harus dapat menjelaskan keamanan dan keautentikan informasi tentang transaksi yang dijadikan sebagai bukti transaksi. Nilai kekuatan pembuktian terhadap bukti transaksi yang tidak aman atau tidak menggunakan tanda tangan elektronik belum dapat dikatakan mempunyai harkat yang sama sebagaimana layaknya bukti tulisan yang autentik, oleh karenanya hakim perlu mempertimbangkan reliabilitas keamanannya sebelum mempercayai bukti tersebut. Pasal 30 Pengajuan informasi elektronik sebagai alat bukti yang sah dan mengikat harus mempertimbangkan prinsip kesetaraan fungsional (functional equivalent approach) yaitu prinsip pengakuan hukum bahwa suatu informasi elektronik secara fungsional dipersamakan dengan informasi di atas kertas. Pasal 31 Yang dimaksud dengan "transaksi elektronik" adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer, dan/atau media elektronik lainnya. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Ayat (1) Pasal 34Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "privasi dan data pribadi" tidak hanya mencakup aspek keamanan privasi dan data pribadi konsumen melainkan juga mencakup setiap aspek yang menyangkut kenyamanan konsumen sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik serta peraturan pelaksanaannya. Ayat (1) Yang dimaksud dengan "bertentangan dengan prinsip persaingan usaha yang sehat" ialah penyampaian iklan yang merupakan persaingan tidak jujur atau tidak adil (unfair) atau bertujuan untuk mendiskreditkan kompetitor. Ketentuan perundang-undangan tentang persaingan usaha yang sehat mengacu pada ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dan juga merujuk kepada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 35 Pada dasarnya setiap Pelaku Usaha bertanggung jawab terhadap kebenaran substansi atau materi iklan yang disampaikan. Meskipun suatu iklan belum dapat dinyatakan sebagai kondisi penawaran, pihak yang mempercayai iklan tersebut dianggap telah memberikan kepercayaan terhadap subtansi yang ditawarkannya. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Ayat (1) Yang dimaksud dengan Penawaran Secara Elektronik dilakukan secara umum adalah penawaran transaksi Perdagangan yang dilakukan kepada publik atau semua pihak. Yang dimaksud dengan Penawaran Secara Elektronik dilakukan secara terbatas adalah penawaran transaksi Perdagangan yang dilakukan secara khusus/privat, limitatif atau hanya kepada pihak tertentu. Ayat (2) Ketentuan peraturan perundang-undangan yang dimaksud antara lain ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan Konsumen dan periklanan. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "responsif" adalah pihak yang menyampaikan jawaban harus mengikuti mekanisme teknis atau prosedur yang ditetapkan secara cermat dalam melihat apakah terjadi ketidaksempurnaan sistem, dengan memperhatikan pesan atau response error sekiranya terjadi. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 46 Ayat (1) Penentuan jangka waktu tertentu sesuai dengan standar penyelenggaraan atau sesuai dengan pernyataan yang disepakati dalam perjanjian tingkat layanan (Service level agreement) serta dengan memperhatikan kejelasan waktu respon dan hari kerja. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "konfirmasi non elektronik" adalah kesepakatan atas penawaran dalam bentuk non elektronik seperti bukti konfirmasi dalam bentuk cetak, tanda terima, dan kuitansi. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Ayat (1) Perjanjian/perikatan jual beli bertujuan untuk terjadinya pengalihan hak kepemilikan atas Barang atau Jasa yang ditawarkan, sementara perjanjian/perikatan lisensi hanya bertujuan untuk terjadinya pemberian izin atau untuk melakukan suatu hak tertentu, antara lain hak penggunaan, hak modifikasi, dan hak-hak lain yang ditentukan dalam perjanjian itu sendiri. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 52 Cukup jelas. Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 54 Cukup jelas. Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "kesalahan teknis" adalah kesalahan atau cacat teknis dalam penyelenggaraan sistem oleh pembuat sistem (developer/vendor) dimana sistem sengaja dibuat untuk berjalan dengan tidak sebagaimana mestinya, dengan tujuan untuk melakukan pemaksaan kontrak (inertia selling) ataupun penipuan kepada penggunanya. Ayat (2) Barang dan/atau Jasa yang telah dikirim dianggap sebagai pemberian dengan cuma-cuma. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 58 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "pengemban amanat" adalah pengendali data pribadi sesuai dengan peruntukannya. Dalam mengemban amanat penyimpanan dan penggunaan data pribadi mengacu kepada standar perlindungan data pribadi sesuai kepatutan dan praktik bisnis yang berkembang. Pasal 59 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Standar perlindungan data pribadi memperhatikan keberadaan standar perlindungan data Eropa dan/atau APEC Privacy Frameworks. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 60 Cukup jelas. Pasal 61 Cukup jelas. Pasal 62 Cukup jelas. Pasal 63 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Dalam hal pengiriman Barang dan/atau Jasa yang merupakan hasil dari transaksi Perdagangan baik dalam negeri ataupun lintas negara, berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan antara lain di bidang kepabeanan, pos dan lain sebagainya. Pasal 64 Cukup jelas. Pasal 65 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "transaksi diselesaikan oleh PPMSE" adalah transaksi akhir pembayaran atas Barang dan/atau Jasa kepada Pedagang. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 66 Cukup jelas. Pasal 67 Yang dimaksud dengan "sebagaimana mestinya" ialah sistem bekerja sebagaimana spesifikasi yang telah dinyatakan, atau sebagaimana yang diperjanjikan jika keberadaannya dibuat berdasarkan pesanan. Pasal 68Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "menimbulkan kerugian" antara lain tidak sesuai dengan service level agreement (SLA) atau tidak sesuai dengan spesifikasi yang tercantum dalam penawaran. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 69 Cukup jelas. Pasal 70 Ayat (1) Perjanjian pelaksanaan suatu pekerjaan yang diperjanjikan secara elektronik pada dasarnya tetap mengacu kepada karakteristik perjanjian pelaksanaan pekerjaan berdasarkan Pasal 1601 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan peraturan perundang-undangan, meliputi antara lain perjanjian sementara Jasa seperti konsultan, perjanjian pemborongan kerja yang menghasilkan suatu obyek tertentu, dan perjanjian perburuhan yang melaksanakan suatu pekerjaan berdasarkan upah. Ayat (2) Ketentuan mengenai wanprestasi dalam perikatan melaksanakan suatu pekerjaan tetap mengacu kepada kaidah hukum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan peraturan perundang-undangan. Pasal 71 Mekanisme yang dapat memastikan pengembalian dana konsumen apabila terjadi pembatalan pembelian oleh Konsumen antara lain dengan menyediakan akun rekening jaminan (escrow). Pasal 72 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "mekanisme penyelesaian sengketa lainnya" dapat berupa konsultasi, negosiasi, konsiliasi, mediasi atau arbitrase sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (2) Pada dasarnya penyelesaian sengketa secara elektronik (online dispute resolution) kembali kepada kesepakatan para pihak. Hal tersebut dapat berbentuk mediasi secara elektronik yang diselenggarakan oleh profesional penunjang seperti advokat atau mediator, melalui lembaga arbitrase online yang telah terakreditasi, atau melalui lembaga pemerintahan yang berwenang untuk itu. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 73 Ayat (1) Pilihan hukum yang dilakukan oleh para pihak dalam kontrak internasional termasuk yang dilakukan secara elektronik dikenal dengan choice of law. Hukum ini mengikat sebagai hukum yang berlaku bagi kontrak tersebut. Pilihan hukum dalam PMSE hanya dapat dilakukan jika dalam kontraknya terdapat unsur asing dan penerapannya harus sejalan dengan prinsip Hukum Perdata Internasional (HPI). Ayat (2) Yang dimaksud dengan "para pihak" adalah Pelaku Usaha Indonesia dengan pelaku usaha asing atau konsumen asing. Pasal 74 Ayat (1) Forum yang berwenang mengadili sengketa kontrak internasional, termasuk yang dilakukan secara elektronik, adalah forum yang dipilih oleh para pihak. Forum tersebut dapat berbentuk pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya. Ayat (2) Dalam hal para pihak tidak melakukan pilihan forum, kewenangan forum berlaku berdasarkan prinsip atau asas Hukum Perdata Internasional. Asas tersebut dikenal dengan asas tempat tinggal tergugat (the basis of presence) dan efektivitas yang menekankan pada tempat harta benda tergugat berada (principle of effectiveness). Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 75 Cukup jelas. Pasal 76 Cukup jelas. Pasal 77 Cukup jelas. Pasal 78 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Mengingat perkembangan PMSE yang pesat dan dapat bersifat lintas sektoral, maka petugas pengawas di bidang Perdagangan membutuhkan dukungan tim asistensi pengawasan yang dapat bersifat lintas sektor dan multistakeholder. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 79 Cukup jelas. Pasal 80 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "daftar prioritas pengawasan" adalah daftar Pelaku Usaha bermasalah atau berpotensi melanggar kebijakan Perdagangan namun belum termasuk dalam daftar hitam. Pengelolaan daftar tersebut dilakukan dengan mekanisme yang transparan. Huruf c Yang dimaksud dengan "daftar hitam" adalah daftar Pelaku Usaha yang mempunyai reputasi buruk, telah terbukti merugikan Konsumen, kepentingan nasional, dan/atau keamanan nasional. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 81 Cukup jelas. Pasal 82 Cukup jelas. |