Pedoman Penagihan dan Pemeriksaan Pajak Daerah
(1) | Dalam rangka melaksanakan Penagihan, Kepala Daerah berwenang menunjuk Pejabat untuk melaksanakan Penagihan. |
(2) | Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang :
|
(1) | Kepala Daerah menetapkan jangka waktu pembayaran atau penyetoran Pajak terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Kepala Daerah paling lama:
|
(2) | SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, harus dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan. |
(3) | Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, dan SKPDN, jangka waktu pelunasan Pajak untuk jumlah Pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan sebesar Pajak yang tidak disetujui, tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan. |
(4) | Dalam hal Wajib Pajak mengajukan banding atas Surat Keputusan Keberatan sehubungan dengan SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, dan SKPDN, jangka waktu pelunasan Pajak tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding. |
(1) | Pajak yang terutang berdasarkan SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang tidak atau kurang dibayar oleh Wajib Pajak pada waktunya dapat ditagih dengan Surat Paksa. |
(2) | Pejabat melaksanakan Penagihan dalam hal Utang Pajak sebagaimana tercantum dalam SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, tidak dilunasi sampai dengan tanggal jatuh tempo. |
(1) | Penagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), dilakukan dengan terlebih dahulu menerbitkan Surat Teguran oleh Pejabat. |
(2) | Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diterbitkan terhadap Wajib Pajak yang telah disetujui untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak. |
(1) | Jurusita Pajak melaksanakan Penagihan Seketika dan Sekaligus berdasarkan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus yang diterbitkan oleh Pejabat apabila
|
(2) | Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus paling sedikit memuat
|
(3) | Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus diterbitkan sebelum penerbitan Surat Paksa. |
(1) | Surat Paksa diterbitkan atas Utang Pajak yang tidak dilunasi oleh Penanggung Pajak setelah lewat batas waktu yang ditetapkan sejak tanggal disampaikannya Surat Teguran. |
(2) | Batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Daerah. |
(3) | Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan secara langsung oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak. |
(4) | Selain kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3), Surat Paksa juga dapat diterbitkan dalam hal:
|
(1) | Surat Paksa berkepala kata-kata DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA, mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. |
(2) | Surat Paksa sekurang-kurangnya harus memuat:
|
(1) | Surat Paksa diberitahukan oleh Jurusita Pajak dengan pernyataan dan penyerahan salinan Surat Paksa kepada Penanggung Pajak. |
(2) | Pemberitahuan Surat Paksa kepada Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan membacakan isi Surat Paksa oleh Jurusita Pajak dan dituangkan dalam berita acara sebagai pernyataan bahwa Surat Paksa telah diberitahukan. |
(3) | Berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit berisi:
|
(1) | Surat Paksa terhadap orang pribadi diberitahukan oleh Jurusita Pajak kepada:
|
(2) | Surat Paksa terhadap Badan diberitahukan oleh Jurusita Pajak kepada:
|
(3) | Dalam hal Wajib Pajak dinyatakan pailit, Surat Paksa diberitahukan kepada Kurator, Hakim Pengawas atau Balai Harta Peninggalan, dan dalam hal Wajib Pajak dinyatakan bubar atau dalam likuidasi, Surat Paksa diberitahukan kepada orang atau Badan yang dibebani untuk melakukan pemberesan atau likuidator. |
(1) | Dalam hal Penanggung Pajak atau pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, menolak untuk menerima Surat Paksa, Jurusita Pajak meninggalkan Surat Paksa dimaksud dan mencatatnya dalam Berita Acara bahwa Penanggung Pajak atau pihak-pihak dimaksud tidak mau menerima Surat Paksa, dan Surat Paksa dianggap telah diberitahukan. |
(2) | Dalam hal pemberitahuan Surat Paksa tidak dapat dilaksanakan antara lain karena Penanggung Pajak atau pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, tidak berada di tempat, Surat Paksa disampaikan melalui sekurang-kurangnya sekretaris kelurahan atau sekretaris desa setempat dengan membuat berita acara. |
(3) | Dalam hal Penanggung Pajak tidak diketahui tempat tinggalnya, tempat usaha, atau tempat kedudukannya, penyampaian Surat Paksa dilaksanakan dengan menempelkan salinan Surat Paksa pada papan pengumuman di kantor Pejabat yang menerbitkannya, mengumumkan melalui media massa, atau dengan cara lain. |
(1) | Dalam hal terjadi keadaan di luar kekuasaan Pejabat atau sebab lain, dapat diterbitkan Surat Paksa pengganti oleh Pejabat karena jabatan. |
(2) | Surat Paksa pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan Surat Paksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1). |
(1) | Pejabat atas permohonan Penanggung Pajak dapat melakukan pembetulan atas Surat Teguran dan/atau Surat Paksa yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan atau kekeliruan. |
(2) | Tindakan pelaksanaan Penagihan dilanjutkan setelah kesalahan atau kekeliruan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibetulkan oleh Pejabat. |
(3) | Ketentuan mengenai pelaksanaan pembetulan atas Surat Teguran dan/atau Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Kepala Daerah. |
(1) | Pelaksanaan Surat Paksa tidak dapat dilanjutkan dengan penyitaan sebelum lewat waktu 2x24 (dua kali dua puluh empat) jam setelah Surat Paksa diberitahukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13. |
(2) | Apabila utang pajak tidak dilunasi Penanggung Pajak dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat menerbitkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan. |
(1) | Penyitaan dilaksanakan terhadap Barang milik Penanggung Pajak yang berada di tempat tinggal, tempat usaha, tempat kedudukan, atau di tempat lain termasuk yang penguasaannya berada di tangan pihak lain atau yang dijaminkan sebagai pelunasan utang tertentu yang dapat berupa :
|
(2) | Penyitaan terhadap Penanggung Pajak orang pribadi dapat dilaksanakan atas Barang milik pribadi yang bersangkutan, Barang milik isteri, dan Barang milik anak yang masih dalam tanggungan, kecuali dikehendaki dilakukan pemisahan secara tertulis oleh suami atau isteri berdasarkan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan. |
(3) | Penyitaan terhadap Penanggung Pajak Badan dapat dilaksanakan terhadap Barang milik perusahaan, Barang milik pengurus, Barang milik kepala perwakilan, Barang milik kepala cabang, Barang milik penanggung jawab, Barang milik pemilik modal, baik di tempat kedudukan yang bersangkutan, di tempat tinggal mereka maupun di tempat lain. |
(4) | Urutan Barang bergerak dan/atau Barang tidak bergerak yang disita ditentukan oleh Jurusita Pajak dengan memperhatikan jumlah Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak, kemudahan penjualan, atau pencairannya. |
(1) | Barang bergerak milik Penanggung Pajak yang dikecualikan dari Penyitaan adalah:
|
(2) | Penambahan jenis Barang bergerak yang dikecualikan dari Penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf e dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. |
(3) | Perubahan besarnya nilai peralatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f ditetapkan oleh Kepala Daerah. |
(1) | Penyitaan dilaksanakan oleh Jurusita Pajak dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang yang telah dewasa, penduduk Indonesia, dikenal oleh Jurusita Pajak, dan dapat dipercaya. |
(2) | Dalam melaksanakan Penyitaan, Jurusita Pajak harus:
|
(3) | Setiap melaksanakan Penyitaan, Jurusita Pajak harus membuat Berita Acara Pelaksanaan Sita yang ditandatangani oleh Jurusita Pajak, Penanggung Pajak, dan saksi-saksi. |
(4) | Dalam hal Penanggung Pajak menolak untuk menandatangani Berita Acara Pelaksanaan Sita, Jurusita Pajak harus mencantumkan penolakan tersebut dalam Berita Acara Pelaksanaan Sita, dan Berita Acara Pelaksanaan Sita tersebut ditandatangani oleh Jurusita Pajak dan saksi-saksi. |
(5) | Berita acara pelaksanaan Sita sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tetap sah dan mempunyai kekuatan mengikat. |
(6) | Penyitaan tetap dapat dilaksanakan walaupun Penanggung Pajak tidak hadir, sepanjang salah seorang saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari Pemerintah Daerah setempat sekurang-kurangnya setingkat Sekretaris Kelurahan atau Sekretaris Desa. |
(7) | Dalam hal pelaksanaan penyitaan tidak dihadiri oleh Penanggung Pajak, Berita Acara Pelaksanaan Sita ditandatangani oleh Jurusita Pajak dan saksi-saksi, dan Berita Acara Pelaksanaan Sita tersebut tetap sah dan mempunyai kekuatan mengikat. |
(8) | Salinan Berita Acara Pelaksanaan Sita dapat ditempelkan pada Barang bergerak dan/atau Barang tidak bergerak yang disita, atau di tempat Barang bergerak dan/atau Barang tidak bergerak yang disita berada, atau di tempat-tempat umum. |
(9) | Salinan Berita Acara Pelaksanaan Sita disampaikan kepada Penanggung Pajak dan instansi terkait. |
(10) | Jurusita Pajak menjalankan tugas di wilayah kerja Pejabat yang mengangkatnya, kecuali ditetapkan lain oleh Kepala Daerah. |
(1) | Penyitaan terhadap perhiasan emas, permata dan sejenisnya dilaksanakan sebagai berikut:
|
(2) | Penyitaan terhadap uang tunai termasuk mata uang asing dilaksanakan dengan membuat Berita Acara Pelaksanaan Sita yang dilampiri dengan daftar rincian jumlah uang tunai yang disita. |
(3) | Penyitaan terhadap kekayaan Penanggung Pajak yang disimpan di bank berupa deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. |
(4) | Penyitaan terhadap surat berharga berupa obligasi, saham, dan sejenisnya yang diperdagangkan di bursa efek dilaksanakan sesuai peraturan perundang-undangan. |
(5) | Penyitaan terhadap piutang dilaksanakan dengan:
|
(6) | Penyitaan terhadap Barang milik Penanggung Pajak dilaksanakan sampai dengan jumlah nilai Barang yang disita diperkirakan cukup untuk melunasi Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak. |
(1) | Dalam hal terdapat Objek Sita yang sama dalam rangka pemenuhan kewajiban perpajakan pusat dan daerah, Pemerintah Pusat dapat melaksanakan hak mendahulu. |
(2) | Hak mendahulu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(1) | Barang yang telah disita dititipkan kepada Penanggung Pajak, kecuali apabila menurut Jurusita Pajak Barang dimaksud perlu disimpan di kantor Pejabat atau di tempat lain. |
(2) | Dalam hal Penyitaan tidak dihadiri oleh Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak:
|
(3) | Tempat lain yang dapat digunakan sebagai tempat penitipan Barang yang telah disita sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Daerah. |
(1) | Atas Barang yang disita dapat ditempeli atau diberi segel sita. |
(2) | Penempelan segel Sita dilaksanakan dengan memperhatikan jenis, sifat dan bentuk Barang sitaan. |
(3) | Segel Sita sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat sekurang kurangnya:
|
(1) | Pencabutan sita dilaksanakan apabila Penanggung Pajak telah melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak atau berdasarkan putusan pengadilan atau putusan badan peradilan pajak atau ditetapkan lain oleh Kepala Daerah. |
(2) | Pencabutan Sita sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan Surat Pencabutan Sita yang diterbitkan oleh Pejabat. |
(3) | Surat Pencabutan Sita sekaligus berfungsi sebagai pencabutan Berita Acara Pelaksanaan Sita disampaikan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak dan instansi yang terkait, diikuti dengan pengembalian penguasaan barang yang disita kepada Penanggung Pajak. |
(1) | Apabila Utang Pajak dan/atau Biaya Penagihan Pajak tidak dilunasi setelah dilaksanakan Penyitaan, Pejabat berwenang melaksanakan penjualan secara Lelang terhadap Barang yang disita melalui Kantor Lelang. |
(2) | Barang yang dikecualikan dari penjualan secara Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(3) | Barang yang disita berupa uang tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a digunakan untuk membayar Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak dengan cara disetor ke Kas Daerah. |
(1) | Apabila Utang Pajak dan/atau Biaya Penagihan Pajak tidak dilunasi setelah dilaksanakan penyitaan, Pejabat berwenang melaksanakan penjualan secara lelang atau tidak secara lelang, maupun menggunakan atau memindahbukukan barang yang disita untuk pelunasan Utang Pajak dan/atau Biaya Penagihan Pajak dimaksud. |
(2) | Penjualan secara lelang dilaksanakan paling cepat setelah jangka waktu 14 (empat belas hari) terhitung sejak Pengumuman Lelang. |
(3) | Pengumuman Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilaksanakan paling cepat setelah lewat jangka waktu 14 (empat belas hari) terhitung sejak penyitaan. |
(1) | Apabila hasil lelang sudah mencapai jumlah yang cukup untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak, maka pelaksanaan lelang dihentikan dan sisa barang serta kelebihan uang hasil lelang dikembalikan oleh Pejabat kepada Penanggung Pajak paling lambat 3 (tiga) hari setelah pelaksanaan lelang. |
(2) | Apabila setelah lewat waktu 14 (empat belas) hari sejak Pengumuman Lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (3), Penanggung Pajak tidak melunasi Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak, Pejabat melakukan penjualan Barang sitaan melalui Kantor Lelang negara. |
(1) | Lelang tetap dapat dilaksanakan tanpa dihadiri oleh Penanggung Pajak. |
(2) | Lelang tidak dilaksanakan dalam hal:
|
(1) | Hasil Lelang dipergunakan terlebih dahulu untuk membayar Biaya Penagihan Pajak yang belum dibayar dan sisanya untuk membayar Utang Pajak. |
(2) | Dalam hal hasil Lelang sudah mencapai jumlah yang cukup untuk melunasi Biaya Penagihan Pajak dan Utang Pajak, pelaksanaan Lelang dihentikan oleh Pejabat walaupun barang yang akan dilelang masih ada. |
(3) | Sisa Barang beserta kelebihan uang hasil Lelang dikembalikan oleh Pejabat kepada Penanggung Pajak segera setelah pelaksanaan Lelang. |
(4) | Pejabat yang lalai melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(5) | Hak Penanggung Pajak atas barang yang telah dilelang berpindah kepada pembeli dan kepadanya diberikan Risalah Lelang yang merupakan bukti otentik sebagai dasar pendaftaran dan pengalihan hak. |
(1) | Pencegahan hanya dapat dilakukan terhadap Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak yang mempunyai jumlah Utang Pajak paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan diragukan itikad baiknya dalam melunasi Utang Pajak. |
(2) | Pencegahan dapat dilaksanakan terhadap beberapa orang sebagai Penanggung Pajak Wajib Pajak Badan, atau ahli waris. |
(3) | Pencegahan terhadap Penanggung Pajak tidak mengakibatkan hapusnya Utang Pajak dan terhentinya pelaksanaan Penagihan. |
(4) | Pencegahan dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. |
(1) | Penyanderaan hanya dapat dilakukan terhadap Penanggung Pajak yang mempunyai Utang Pajak paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan diragukan itikad baiknya dalam melunasi Utang Pajak. |
(2) | Pelaksanaan penyanderaan terhadap Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak diatur sesuai peraturan perundang-undangan. |
(1) | Kepala Daerah berwenang melakukan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan daerah dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah. |
(2) | Kepala Daerah dapat menerbitkan Keputusan untuk melimpahkan kewenangan melakukan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Pemeriksa. |
(1) | Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, dilakukan dalam hal memenuhi kriteria sebagai berikut:
|
(2) | Analisis Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilaksanakan dengan mempertimbangkan perilaku dan kepatuhan Wajib Pajak yang meliputi:
|
(1) | Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan dan/atau Pemeriksaan Kantor. |
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai jems Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Kepala Daerah. |
(1) | Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan harus dilaksanakan sesuai dengan standar Pemeriksaan. |
(2) | Standar Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi standar umum Pemeriksaan, standar pelaksanaan Pemeriksaan, dan standar pelaporan hasil Pemeriksaan. |
(1) | Standar umum Pemeriksaan merupakan standar yang bersifat pribadi dan berkaitan dengan persyaratan Pemeriksa. |
(2) | Pemeriksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memenuhi persyaratan sebagai berikut:
|
(3) | Kepala Daerah wajib menunjuk PNS sebagai Pemeriksa di lingkungan Pemerintah Daerah untuk membantu Kepala Daerah dalam menjalankan wewenangnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1). |
(4) | Apabila Pemeriksa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) belum dapat dipenuhi, Kepala Daerah dapat menunjuk tenaga ahli yang mempunyai kompetensi di bidang pemeriksaan Pajak Daerah sebagai Pemeriksa sampai dengan dipenuhinya persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). |
(1) | Standar pelaporan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) dituangkan dalam LHP, yang disusun secara ringkas dan jelas yang memuat:
|
(2) | LHP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat
|
(1) | Dalam melakukan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan, Pemeriksa berwenang
|
(2) | Dalam melakukan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dengan jenis Pemeriksaan Kantor, Pemeriksa berwenang:
|
(1) | Dalam pelaksanaan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan, Wajib Pajak wajib:
|
(2) | Dalam pelaksanaan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dengan jenis Pemeriksaan Kantor, Wajib Pajak wajib:
|
(1) | Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dilakukan dalam jangka waktu Pemeriksaan yang meliputi:
|
(2) | Dalam hal Pemeriksaan dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan, jangka waktu pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling lama 3 (tiga) bulan, terhitung sejak Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak, sampai dengan tanggal SPHP disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak. |
(3) | Dalam hal Pemeriksaan dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Kantor, jangka waktu pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling lama 3 (tiga) bulan, terhitung sejak tanggal Wajib Pajak, wakil, kuasa dari Wajib Pajak, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak datang memenuhi Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor sampai dengan tanggal SPHP disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak. |
(4) | Jangka waktu PAHP dan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling lama 1 (satu) bulan, yang dihitung sejak tanggal SPHP disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota yang telah dewasa dari Wajib Pajak sampai dengan tanggal LHP. |
(5) | Jangka waktu PAHP sampai dengan ditetapkan LHP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling lama 1 (satu) bulan, yang dihitung sejak tanggal SPHP disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota yang telah dewasa dari Wajib Pajak. |
(1) | Jangka waktu pengujian Pemeriksaan Lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan. |
(2) | Perpanjangan jangka waktu pengujian Pemeriksaan Lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal:
|
(1) | Jangka waktu pengujian Pemeriksaan Kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (3), dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan. |
(2) | Perpanjangan jangka waktu pengujian Pemeriksaan Kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal:
|
(1) | Apabila jangka waktu perpanjangan pengujian Pemeriksaan Lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) atau perpanjangan jangka waktu Pemeriksaan Kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) telah berakhir, SPHP harus disampaikan kepada Wajib Pajak. |
(2) | Dalam hal Pemeriksaan dilakukan karena Wajib Pajak mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak, jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 dan Pasal 55 harus memperhatikan jangka waktu penyelesaian permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak. |
(1) | Penyelesaian Pemeriksaan dengan membuat LHP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 huruf b, dilakukan dalam hal:
|
(2) | Pemeriksaan Lapangan atau Pemeriksaan Kantor yang pengujiannya belum diselesaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, harus diselesaikan dengan menyampaikan SPHP dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak berakhirnya:
|
(1) | Pemeriksaan yang dihentikan dengan membuat LHP Sumir karena Wajib Pajak tidak ditemukan atau tidak memenuhi panggilan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 huruf a, dapat dilakukan Pemeriksaan kembali apabila di kemudian hari Wajib Pajak ditemukan. |
(1) | Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dilakukan oleh Pemeriksa yang tergabung dalam suatu tim Pemeriksa berdasarkan SP2. |
(2) | SP2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan untuk satu atau beberapa tahun dalam suatu bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak yang sama, atau untuk satu bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak terhadap satu Wajib Pajak. |
(3) | Dalam hal susunan tim Pemeriksa diubah, kepala unit pelaksana Pemeriksaan harus menerbitkan surat perubahan tim Pemeriksa. |
(4) | Dalam hal tim Pemeriksa dibantu oleh tenaga ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (4), tenaga ahli tersebut bertugas berdasarkan surat tugas yang diterbitkan oleh Kepala Daerah. |
(1) | Dalam hal Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan, Pemeriksa wajib memberitahukan kepada Wajib Pajak mengenai dilakukannya Pemeriksaan Lapangan dengan menyampaikan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan. |
(2) | Dalam hal Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Kantor, Pemeriksa wajib memberitahukan kepada Wajib Pajak mengenai dilakukannya Pemeriksaan Kantor dengan menyampaikan Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor. |
(3) | Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan untuk Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sebagaimana tercantum dalam SP2. |
(1) | Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) dapat disampaikan secara langsung kepada Wajib Pajak pada saat dimulainya Pemeriksaan Lapangan atau disampaikan melalui faksimili, pos dengan bukti pengiriman surat, atau jasa pengiriman lainnya dengan bukti pengiriman. |
(2) | Dalam hal Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan disampaikan secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Wajib Pajak tidak berada di tempat, Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan dapat disampaikan kepada:
|
(3) | Dalam hal wakil atau kuasa dari Wajib Pajak atau pihak yang dapat mewakili Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat ditemui, Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan disampaikan melalui pos dengan bukti pengiriman surat, atau jasa pengiriman lainnya dengan bukti pengiriman dan surat pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan dianggap telah disampaikan dan Pemeriksaan Lapangan telah dimulai. |
(4) | Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2) disampaikan melalui faksimili, pos dengan bukti pengiriman surat, atau jasa pengiriman lainnya dengan bukti pengiriman. |
(1) | Dalam pelaksanaan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan, Pemeriksa wajib melakukan pertemuan dengan Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 huruf d. |
(2) | Pertemuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dapat dilakukan dengan wakil atau kuasa dari Wajib Pajak. |
(3) | Dalam hal Pemeriksaan dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan, pertemuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) dilakukan setelah Pemeriksa menyampaikan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan. |
(4) | Dalam hal Pemeriksaan dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Kantor, pertemuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) dilakukan pada saat Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak datang memenuhi Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor. |
(5) | Setelah melakukan pertemuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2), Pemeriksa wajib membuat berita acara hasil pertemuan, yang ditandatangani oleh Pemeriksa dan Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak. |
(6) | Dalam hal Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak menolak menandatangani berita acara hasil pertemuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Pemeriksa membuat catatan mengenai penolakan tersebut pada berita acara hasil pertemuan. |
(7) | Dalam hal Pemeriksa telah menandatangani berita acara hasil pertemuan dan membuat catatan mengenai penolakan penandatanganan berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (6), pertemuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) dianggap telah dilaksanakan. |
(1) | Pemeriksa dapat melakukan peminjaman Dokumen kepada Wajib Pajak dalam rangka Pemeriksaan Lapangan dan/atau Pemeriksaan Kantor. |
(2) | Ruang lingkup peminjaman Dokumen meliputi peminjaman dan pengembalian Dokumen. |
(3) | Tata cara mengenai peminjaman Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Kepala Daerah. |
(1) | Pemeriksa berwenang melakukan Penyegelan untuk memperoleh atau mengamankan Dokumen dan benda-benda lain yang dapat memberi petunjuk tentang kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak agar tidak dipindahkan, dihilangkan, dimusnahkan, diubah, dirusak, ditukar, atau dipalsukan. |
(2) | Dalam melaksanakan Penyegelan, Pemeriksa dapat berkoordinasi dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia. |
(3) | Tata cara mengenai Penyegelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Kepala Daerah. |
(1) | Dalam hal Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan Lapangan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan menyatakan menolak untuk dilakukan Pemeriksaan termasuk menolak menerima Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan, Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak harus menandatangani surat pernyataan penolakan Pemeriksaan. |
(2) | Dalam hal Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak menolak menandatangani surat pernyataan penolakan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemeriksa membuat berita acara penolakan Pemeriksaan yang ditandatangani oleh tim Pemeriksa. |
(3) | Dalam hal Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak tidak ada di tempat maka:
|
(4) | Untuk keperluan pengamanan Pemeriksaan, sebelum dilakukan penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, Pemeriksa dapat melakukan Penyegelan sebagaimana dimaksud pada Pasal 67 ayat (1). |
(5) | Apabila setelah dilakukan Penyegelan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak tetap tidak berada di tempat dan/atau tidak memberi izin kepada Pemeriksa untuk membuka atau memasuki tempat atau ruangan, barang bergerak atau tidak bergerak, dan/atau tidak memberikan bantuan guna kelancaran Pemeriksaan, Pemeriksa meminta kepada pegawai atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak untuk membantu kelancaran Pemeriksaan. |
(6) | Dalam hal pegawai atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) menolak untuk membantu kelancaran Pemeriksaan, Pemeriksa meminta pegawai atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak untuk menandatangani surat penolakan membantu kelancaran Pemeriksaan. |
(7) | Dalam hal pegawai atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak menolak untuk menandatangani surat penolakan membantu kelancaran Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Pemeriksa membuat berita acara penolakan membantu kelancaran Pemeriksaan yang ditandatangani oleh tim Pemeriksa. |
(1) | Dalam hal Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan Kantor untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan memenuhi Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor namun menyatakan menolak untuk dilakukan Pemeriksaan, Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak harus menandatangani surat pernyataan penolakan Pemeriksaan. |
(2) | Dalam hal Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak menolak menandatangani surat pernyataan penolakan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemeriksa membuat berita acara penolakan Pemeriksaan yang ditandatangani oleh tim Pemeriksa. |
(3) | Apabila dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor disampaikan kepada Wajib Pajak dan surat panggilan tersebut tidak dikembalikan oleh pos atau jasa pengiriman lainnya dan Wajib Pajak tidak memenuhi panggilan Pemeriksaan Kantor, Pemeriksa membuat berita acara tidak dipenuhinya panggilan Pemeriksaan oleh Wajib Pajak yang ditandatangani oleh tim Pemeriksa. |
(1) | Hasil Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan harus diberitahukan kepada Wajib Pajak melalui penyampaian SPHP yang dilampiri dengan daftar temuan hasil Pemeriksaan. |
(2) | SPHP dan daftar temuan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Pemeriksa secara langsung atau melalui faksimili, surat elektronik, pos, atau jasa pengiriman lainnya dengan bukti penginman. |
(3) | Dalam hal SPHP disampaikan secara langsung dan Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak menolak untuk menerima SPHP, Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak harus menandatangani surat penolakan menerima SPHP. |
(4) | Dalam hal Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak menolak menandatangani surat penolakan menerima SPHP sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemeriksa membuat berita acara penolakan menerima SPHP yang ditandatangani oleh tim Pemeriksa. |
(5) | Dalam hal Pemeriksaan atas keterangan lain berupa data konkret dilakukan dengan Pemeriksaan Kantor, penyampaian SPHP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan bersamaan dengan penyampaian undangan tertulis untuk menghadiri PAHP. |
(1) | Wajib Pajak wajib memberikan tanggapan tertulis atas SPHP dan daftar temuan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) dalam bentuk:
|
(2) | Tanggapan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja sejak tanggal diterimanya SPHP oleh Wajib Pajak. |
(3) | Wajib Pajak dapat melakukan perpanjangan jangka waktu penyampaian tanggapan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir. |
(4) | Untuk melakukan perpanjangan jangka waktu penyampaian tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Wajib Pajak harus menyampaikan pemberitahuan tertulis sebelum jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir. |
(5) | Dalam hal Pemeriksaan atas keterangan lain berupa data konkret dilakukan dengan Pemeriksaan Kantor, tanggapan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lama pada saat Wajib Pajak harus memenuhi undangan tertulis untuk menghadiri PAHP dan Wajib Pajak tidak dapat melakukan perpanjangan jangka waktu penyampaian tanggapan tertulis. |
(6) | Tanggapan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pemberitahuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan oleh Wajib Pajak secara langsung atau melalui faksimili, surat elektronik, pos, atau jasa pengiriman lainnya dengan bukti pengiriman. |
(7) | Dalam hal Wajib Pajak tidak menyampaikan tanggapan tertulis atas SPHP, Pemeriksa membuat berita acara tidak disampaikannya tanggapan tertulis atas SPHP yang ditandatangani oleh tim Pemeriksa. |
(1) | Dalam rangka melaksanakan pembahasan atas hasil Pemeriksaan yang tercantum dalam SPHP dan daftar temuan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) kepada Wajib Pajak harus diberikan hak hadir dalam PAHP. |
(2) | Hak hadir sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan melalui penyampaian undangan secara tertulis kepada Wajib Pajak dengan mencantumkan hari dan tanggal dilaksanakannya PAHP. |
(3) | Undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus disampaikan kepada Wajib Pajak dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak:
|
(4) | Apabila Pemeriksaan atas keterangan lain berupa data konkret dilakukan dengan Pemeriksaan Kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (3) huruf a, undangan tertulis untuk menghadiri PAHP disampaikan bersamaan dengan penyampaian SPHP. |
(5) | Undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat disampaikan oleh Pemeriksa secara langsung atau melalui faksimili, surat elektronik, pos, atau jasa pengiriman lainnya dengan bukti pengiriman. |
(1) | Pemeriksa membuat risalah pembahasan dengan mendasarkan pada lembar pernyataan persetujuan hasil Pemeriksaan dan membuat berita acara PAHP yang dilampiri dengan ikhtisar hasil pembahasan akhir, yang ditandatangani oleh tim Pemeriksa dan Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak dalam hal Wajib Pajak:
|
(2) | Pemeriksa membuat risalah pembahasan berdasarkan lembar pernyataan persetujuan hasil Pemeriksaan, berita acara ketidakhadiran Wajib Pajak dalam PAHP, dan berita acara PAHP yang dilampiri dengan ikhtisar hasil pembahasan akhir, yang ditandatangani oleh tim Pemeriksa dalam hal Wajib Pajak:
|
(3) | Pemeriksa harus melakukan PAHP dengan Wajib Pajak dengan mendasarkan pada surat sanggahan dan menuangkan hasil pembahasan tersebut dalam risalah pembahasan, yang ditandatangani oleh tim Pemeriksa dan Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak dalam hal Wajib Pajak:
|
(4) | Pemeriksa membuat risalah pembahasan berdasarkan surat sanggahan, berita acara ketidakhadiran Wajib Pajak dalam PAHP, dan berita acara PAHP yang dilampiri dengan ikhtisar hasil pembahasan akhir, yang ditandatangani oleh tim Pemeriksa dalam hal Wajib Pajak:
|
(5) | Pemeriksa tetap melakukan PAHP dengan Wajib Pajak dan menuangkan hasil pembahasan tersebut dalam risalah pembahasan, yang ditandatangani oleh tim Pemeriksa dan Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak dalam hal Wajib Pajak:
|
(1) | Dalam hal Wajib Pajak tidak hadir dalam PAHP pada hari dan tanggal sesuai undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2), PAHP dianggap telah dilakukan. |
(2) | Dalam hal PAHP dianggap telah dilakukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berita acara PAHP yang dilampiri dengan ikhtisar hasil pembahasan akhir ditandatangani oleh tim Pemeriksa. |
(1) | Dalam rangka menandatangani berita acara PAHP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74, Pemeriksa melalui kepala unit pelaksana Pemeriksaan memanggil Wajib Pajak dengan mengirimkan surat panggilan untuk menandatangani berita acara PAHP. |
(2) | Surat panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan secara langsung atau melalui faksimili, pos dengan bukti pengiriman surat, atau jasa pengiriman lainnya dengan bukti pengiriman. |
(3) | Dalam hal surat panggilan disampaikan secara langsung dan Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak menolak untuk menerima surat panggilan tersebut, Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak harus menandatangani surat pernyataan penolakan menerima surat panggilan untuk menandatangani berita acara PAHP. |
(4) | Dalam hal Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak menolak menandatangani surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemeriksa membuat berita acara penolakan menerima surat panggilan untuk menandatangani berita acara PAHP yang ditandatangani oleh tim Pemeriksa. |
(1) | Wajib Pajak harus memenuhi panggilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah surat panggilan untuk menandatangani berita acara PAHP diterima oleh Wajib Pajak. |
(2) | Dalam hal Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak memenuhi panggilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (1), namun menolak menandatangani berita acara PAHP, Pemeriksa membuat catatan mengenai penolakan penandatanganan pada berita acara PAHP. |
(3) | Dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi panggilan sebagaimana dimaksud pada dalam Pasal 79 ayat (1), Pemeriksa membuat catatan pada berita acara PAHP mengenai tidak dipenuhinya panggilan. |
(1) | LHP disusun berdasarkan KKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47. |
(2) | Risalah pembahasan dan/atau berita acara PAHP, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari LHP sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(3) | LHP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan oleh Pemeriksa sebagai dasar untuk membuat nota penghitungan. |
(4) | Nota penghitungan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digunakan sebagai dasar penerbitan surat ketetapan Pajak atau STPD. |
(5) | Pajak yang terutang dalam surat ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dihitung sesuai dengan PAHP, kecuali:
|
(1) | Surat ketetapan Pajak dari hasil Pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa:
|
(2) | Dalam hal dilakukan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), proses Pemeriksaan harus dilanjutkan dengan melaksanakan prosedur penyampaian SPHP dan/atau PAHP. |
(3) | Prosedur penyampaian SPHP dan/atau pelaksanaan PAHP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilakukan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri ini. |
(4) | Dalam hal Pemeriksaan yang dilanjutkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkait dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak, Pemeriksaan dilanjutkan dengan penerbitan:
|
(5) | Dalam hal susunan keanggotaan tim Pemeriksa untuk melanjutkan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berbeda dengan susunan keanggotaan tim Pemeriksa sebelumnya, Pemeriksaan tersebut dilakukan setelah diterbitkan surat yang berisi perubahan tim Pemeriksa. |
(1) | Wajib Pajak dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri secara tertulis mengenai ketidakbenaran pengisian SPTPD yang telah disampaikan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, sepanjang Pemeriksa belum menyampaikan SPHP. |
(2) | Pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan ke kantor Badan Pendapatan Daerah atau Instansi Pelaksana Pemungut Pajak terkait. |
(3) | Laporan tersendiri secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditandatangani oleh Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak dan dilampiri dengan:
|
(4) | Apabila pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengakibatkan kekurangan pembayaran pajak maka pengungkapan tersebut tidak perlu dilampiri dengan SSPD. |
(1) | Untuk membuktikan pengungkapan ketidakbenaran dalam laporan tersendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1), Pemeriksaan tetap dilanjutkan dan atas hasil Pemeriksaan diterbitkan surat ketetapan Pajak dengan mempertimbangkan laporan tersendiri tersebut serta memperhitungkan pokok Pajak yang telah dibayar. |
(2) | Dalam hal hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membuktikan bahwa pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPTPD oleh Wajib Pajak tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, surat ketetapan Pajak diterbitkan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. |
(3) | Dalam hal hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membuktikan bahwa pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPTPD oleh Wajib Pajak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, surat ketetapan Pajak diterbitkan sesuai dengan pengungkapan Wajib Pajak. |
(1) | Pemeriksaan Ulang hanya dapat dilakukan berdasarkan instruksi atau persetujuan Kepala Daerah. |
(2) | Instruksi atau persetujuan Kepala Daerah untuk melaksanakan Pemeriksaan Ulang dapat diberikan apabila terdapat data baru termasuk data yang semula belum terungkap. |
(3) | Dalam hal hasil Pemeriksaan Ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan adanya tambahan atas jumlah Pajak yang telah ditetapkan dalam surat ketetapan pajak sebelumnya, Kepala Daerah menerbitkan SKPDKBT. |
(4) | Dalam hal hasil Pemeriksaan Ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengakibatkan adanya tambahan atas jumlah Pajak yang telah ditetapkan dalam surat ketetapan Pajak sebelumnya, Pemeriksaan Ulang dihentikan dengan membuat LHP Sumir dan kepada Wajib Pajak diberitahukan mengenai penghentian tersebut. |
(1) | Pemeriksaan untuk tujuan lain harus dilaksanakan sesuai dengan standar Pemeriksaan. |
(2) | Standar Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai ukuran mutu Pemeriksaan yang merupakan capaian minimum yang harus dicapai dalam melaksanakan Pemeriksaan. |
(3) | Standar Pemeriksaan untuk tujuan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi standar umum, standar pelaksanaan Pemeriksaan, dan standar pelaporan hasil Pemeriksaan. |
(1) | Dalam melakukan Pemeriksaan untuk tujuan lain dengan jenis Pemeriksaan Lapangan, Pemeriksa Pajak berwenang:
|
(2) | Dalam melakukan Pemeriksaan untuk tujuan lain dengan jenis Pemeriksaan Kantor, Pemeriksa Pajak berwenang:
|
(1) | Dalam pelaksanaan Pemeriksaan untuk tujuan lain dengan jenis Pemeriksaan Lapangan, Wajib Pajak wajib:
|
(2) | Dalam pelaksanaan Pemeriksaan untuk tujuan lain dengan Jenis Pemeriksaan Kantor, Wajib Pajak wajib:
|
(1) | Pemeriksaan untuk tujuan lain dengan Jenis Pemeriksaan Lapangan dilakukan dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) bulan yang dihitung sejak tanggal Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak, sampai dengan tanggal LHP. |
(2) | Pemeriksaan untuk tujuan lain dengan Jenis Pemeriksaan Kantor dilakukan dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari yang dihitung sejak tanggal Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak, datang memenuhi Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor sampai dengan tanggal dalam LHP. |
(3) | Dalam hal jangka waktu Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) berakhir, Pemeriksaan harus diselesaikan. |
(4) | Dalam hal Pemeriksaan untuk tujuan lain dalam rangka permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 huruf b, jangka waktu Pemeriksaan sebagaimana dimaksud ayat (1) atau ayat (2) harus memperhatikan jangka waktu penyelesaian permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku. |
(1) | Pemeriksaan Lapangan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan perundang-undangan perpajakan dilakukan oleh Pemeriksa Pajak yang tergabung dalam suatu tim Pemeriksa berdasarkan SP2. |
(2) | SP2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan untuk satu atau beberapa Masa Pajak dalam suatu bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak yang sama atau untuk satu bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak terhadap satu Wajib Pajak. |
(3) | Dalam hal susunan tim Pemeriksa perlu diubah, kepala unit pelaksana Pemeriksaan tidak perlu memperbarui SP2 tetapi harus menerbitkan surat yang berisi perubahan tim Pemeriksa. |
(1) | Dalam hal Pemeriksaan untuk tujuan lain dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan, Pemeriksa wajib memberitahukan kepada Wajib Pajak mengenai dilakukannya Pemeriksaan Lapangan dengan menyampaikan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan. |
(2) | Dalam hal Pemeriksaan untuk tujuan lain dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Kantor, Pemeriksa Pajak wajib memberitahukan kepada Wajib Pajak mengenai dilakukannya Pemeriksaan Kantor dengan menyampaikan Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor. |
(3) | Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan untuk Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sebagaimana tercantum dalam SP2. |
(1) | Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 101 ayat (1) dapat disampaikan secara langsung kepada Wajib Pajak pada saat dimulainya Pemeriksaan Lapangan atau disampaikan melalui faksimili, pos dengan bukti pengiriman surat, atau jasa pengiriman lainnya dengan bukti pengiriman. |
(2) | Dalam hal Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan disampaikan secara langsung dan Wajib Pajak tidak berada di tempat, Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan dapat disampaikan kepada:
|
(3) | Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor sebagaimana dimaksud dalam pasal 101 ayat (2) dapat disampaikan melalui faksimili, pos dengan bukti pengiriman surat, atau jasa pengiriman lainnya dengan bukti pengiriman. |
(4) | Dalam hal pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat ditemui, Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan disampaikan melalui pos atau jasa pengiriman lainnya dan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan dianggap telah disampaikan. |
(1) | Dokumen yang dipinjam harus disesuaikan dengan tujuan dan kriteria Pemeriksaan untuk tujuan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88. |
(2) | Peminjaman Dokumen harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66. |
(1) | Dalam hal Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan Lapangan untuk tujuan lain menyatakan menolak untuk dilakukan Pemeriksaan termasuk menolak menerima Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak harus menandatangani surat penolakan Pemeriksaan. |
(2) | Dalam hal Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak menolak menandatangani surat penolakan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemeriksa Pajak membuat berita acara penolakan Pemeriksaan yang ditandatangani oleh tim Pemeriksa. |
(1) | Dalam hal Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan Kantor untuk tujuan lain memenuhi Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor namun menyatakan menolak untuk dilakukan Pemeriksaan, Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak harus menandatangani surat pernyataan penolakan Pemeriksaan. |
(2) | Dalam hal Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak menolak menandatangani surat pernyataan penolakan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemeriksa Pajak membuat berita acara penolakan Pemeriksaan yang ditandatangani oleh tim Pemeriksa. |
(1) | Berdasarkan surat pernyataan penolakan Pemeriksaan atau berita acara penolakan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 dan Pasal 105, Wajib Pajak diberi Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah secara jabatan dalam hal Pemeriksaan untuk tujuan lain dilakukan dalam rangka pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah. |
(2) | Berdasarkan surat pernyataan penolakan Pemeriksaan atau berita acara penolakan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 dan Pasal 105, permohonan Wajib Pajak tidak dikabulkan dalam hal Pemeriksaan untuk tujuan lain dilakukan dalam rangka penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah. |
(1) | Dalam pelaksanaan Pemeriksaan untuk tujuan lain, melalui kepala unit pelaksana Pemeriksaan, Pemeriksa juga dapat memanggil Wajib Pajak untuk memperoleh penjelasan yang lebih rinci atau meminta keterangan dan/atau bukti yang berkaitan dengan Pemeriksaan kepada pihak ketiga. |
(2) | Permintaan keterangan kepada Wajib Pajak atau kepada pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. |
(1) | Dalam rangka meningkatkan kualitas dan akuntabilitas Pemeriksaan, Pemeriksa wajib menyampaikan Kuesioner Pemeriksaan kepada Wajib Pajak yang diperiksa. |
(2) | Dalam hal Pemeriksaan yang dilakukan merupakan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan, penyampaian Kuesioner Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada saat pertemuan dengan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65. |
(3) | Dalam hal Pemeriksaan yang dilakukan merupakan Pemeriksaan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, penyampaian Kuesioner Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan pada saat penyampaian Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan atau pada saat Wajib Pajak datang memenuhi Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor. |
(4) | Wajib Pajak dapat menyampaikan Kuesioner Pemeriksaan yang telah diisi kepada kepala unit pelaksana Pemeriksaan. |
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 31 Desember 2018 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. SRI MULYANI INDRAWATI |