Tata Laksana Pelayanan Dan Pengawasan Pengangkutan Barang Tertentu Dalam Daerah Pabean
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 50 TAHUN 2024
TENTANG
TATA LAKSANA PELAYANAN DAN PENGAWASAN PENGANGKUTAN BARANG TERTENTU DALAM DAERAH PABEAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 8C ayat (5) dan Pasal 85A ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, dan ketentuan Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2009 tentang Pengawasan Pengangkutan Barang Tertentu dalam Daerah Pabean, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Laksana Pelayanan dan Pengawasan Pengangkutan Barang Tertentu dalam Daerah Pabean;
Mengingat :
1. | Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; |
2. | Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3612) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4661); |
3. | Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916); |
4. | Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2009 tentang Pengawasan Pengangkutan Barang Tertentu dalam Daerah Pabean (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4971); |
5. | Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2020 tentang Kementerian Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 98); |
6. | Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.01/2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 1031) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 135 Tahun 2023 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.01/2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 977); |
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA LAKSANA PELAYANAN DAN PENGAWASAN PENGANGKUTAN BARANG TERTENTU DALAM DAERAH PABEAN.
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. | Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang- Undang. |
2. | Barang Tertentu adalah barang yang ditetapkan oleh instansi teknis terkait sebagai barang yang pengangkutannya dalam Daerah Pabean dilakukan pengawasan. |
3. | Pengawasan Pengangkutan adalah pengawasan terhadap pengangkutan Barang Tertentu yang diangkut melalui laut dari satu tempat ke tempat lain dalam Daerah Pabean. |
4. | Sarana Pengangkut adalah kapal yang merupakan kendaraan air dengan bentuk dan jenis apapun, yang digerakkan dengan tenaga mekanik, tenaga angin, atau ditunda, termasuk kendaraan yang berdaya dukung dinamis, serta alat apung dan bangunan terapung yang tidak berpindah-pindah. |
5. | Pengangkut adalah orang perseorangan atau badan hukum, kuasanya, atau pihak yang bertanggung jawab atas pengoperasian Sarana Pengangkut, yang melakukan pengangkutan Barang Tertentu. |
6. | Kewajiban Pabean adalah semua kegiatan di bidang kepabeanan yang wajib dilakukan untuk memenuhi ketentuan dalam Undang-Undang Kepabeanan. |
7. | Pemberitahuan Pabean Barang Tertentu yang selanjutnya disingkat PPBT adalah pernyataan yang dibuat oleh Pengangkut dalam rangka melaksanakan Kewajiban Pabean di bidang pengangkutan Barang Tertentu. |
8. | Kantor Pabean adalah kantor dalam lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tempat dipenuhinya kewajiban pabean sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Kepabeanan. |
9. | Sistem Indonesia National Single Window yang selanjutnya disingkat SINSW adalah Sistem Elektronik yang mengintegrasikan sistem dan/atau informasi berkaitan dengan proses penanganan dokumen kepabeanan, dokumen kekarantinaan, dokumen perizinan, dokumen kepelabuhanan/kebandarudaraan, dan dokumen lain, yang terkait dengan ekspor dan/atau impor, yang menjamin keamanan data dan informasi serta memadukan alur dan proses informasi antar sistem internal secara otomatis. |
10. | Registrasi Kepabeanan adalah kegiatan pendaftaran yang dilakukan oleh pengguna jasa ke Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk mendapatkan akses kepabeanan. |
11. | Sistem Komputer Pelayanan yang selanjutnya disingkat SKP adalah sistem komputer yang digunakan oleh Kantor Pabean dalam rangka pengawasan dan pelayanan kepabeanan. |
12. | Ekosistem Logistik Nasional (National Logistics Ecosystem) yang selanjutnya disingkat NLE adalah ekosistem logistik yang menyelaraskan arus lalu lintas barang dan dokumen baik internasional maupun domestik yang berorientasi pada kerjasama antar instansi pemerintah dan swasta, melalui pertukaran data, simplifikasi proses, penghapusan repetisi dan duplikasi, serta didukung oleh sistem teknologi informasi yang mencakup seluruh proses logistik terkait dan menghubungkan sistem-sistem logistik yang telah ada. |
13. | Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. |
14. | Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Bea dan Cukai. |
15. | Pejabat Bea dan Cukai adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk dalam jabatan tertentu untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang- Undang Kepabeanan. |
(1) | Pejabat Bea dan Cukai melakukan Pengawasan Pengangkutan Barang Tertentu di dalam Daerah Pabean. |
(2) | Pengawasan Pengangkutan Barang Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk mencegah penyelundupan ekspor dengan modus diangkut melalui laut dari satu tempat ke tempat lain di dalam Daerah Pabean. |
(3) | Pengangkutan Barang Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pemuatan, keberangkatan, pengangkutan di atas Sarana Pengangkut, serta kedatangan dan pembongkaran. |
BAB III
PENELITIAN DAN PENETAPAN BARANG TERTENTU
Pasal 3
(1) | Barang Tertentu ditetapkan oleh instansi teknis terkait dengan menerbitkan peraturan perundang-undangan mengenai daftar barang tertentu yang dilakukan Pengawasan Pengangkutannya dalam Daerah Pabean. |
(2) | Dalam menetapkan Barang Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), instansi teknis terkait berkoordinasi dengan Menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan. |
(3) | Barang Tertentu yang telah ditetapkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan kepada Menteri melalui menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan. |
(4) | Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan menyampaikan pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Menteri melalui Direktur Jenderal dengan dilampiri peraturan perundang-undangan mengenai Barang Tertentu yang dilakukan Pengawasan Pengangkutannya. |
(5) | Penyampaian pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran Huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(1) | Direktur Jenderal melakukan penelitian terhadap pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4). | ||||||||
(2) | Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap:
| ||||||||
(3) | Kriteria Barang Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b yang dapat ditetapkan dalam daftar Barang Tertentu, meliputi:
| ||||||||
(4) | Instrumen administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d dapat berupa harmonized system code, uraian jumlah dan jenis barang secara spesifik, dan/atau keterangan/pernyataan lainnya dalam PPBT. | ||||||||
(5) | Pencantuman harmonized system code dalam peraturan perundang-undangan mengenai penetapan Barang Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan instrumen administrasi dalam melakukan pengawasan dan bukan merupakan referensi dalam penetapan harmonized system code atas jenis barang dalam proses penyelesaian kepabeanan. | ||||||||
(6) | Dalam hal berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkan:
| ||||||||
(7) | Dalam hal berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkan:
| ||||||||
(8) | Daftar Barang Tertentu yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) minimal memuat elemen data sebagai berikut:
| ||||||||
(9) | Daftar Barang Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dicantumkan dalam SINSW dan/atau SKP sebagai referensi ketentuan mengenai Barang Tertentu. | ||||||||
(10) | Keputusan Menteri mengenai daftar Barang Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (6), disampaikan kepada instansi teknis terkait yang menetapkan Barang Tertentu melalui menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan. | ||||||||
(11) | Dalam hal terdapat perubahan instrumen administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d, perubahan tersebut dicantumkan pada SINSW dan/atau SKP. | ||||||||
(12) | Keputusan Menteri mengenai penetapan daftar Barang Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (6), diterbitkan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran Huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(1) | Ketentuan mengenai:
| ||||
(2) | Keputusan Menteri mengenai perubahan daftar Barang Tertentu, diterbitkan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran Huruf C yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. | ||||
(3) | Keputusan Menteri mengenai pencabutan daftar Barang Tertentu, diterbitkan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran Huruf D yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. | ||||
(4) | Keputusan Menteri mengenai perubahan daftar Barang Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau Keputusan Menteri mengenai pencabutan daftar Barang Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digunakan sebagai dasar perubahan atau penghapusan daftar Barang Tertentu dalam SINSW sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (9). |
(1) | Pelaksanaan atas proses:
| ||||||||||||
(2) | Dalam hal proses melalui SINSW dan/atau SKP belum dapat diterapkan, mengalami gangguan operasional, atau terjadi keadaan kahar yang menyebabkan proses dalam SINSW dan/atau SKP tidak berjalan, pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara manual. |
(1) | Pengangkutan Barang Tertentu dalam Daerah Pabean yang dilakukan melalui laut, harus dilakukan oleh Pengangkut yang:
| ||||
(2) | Pengangkut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melakukan Registrasi Kepabeanan. | ||||
(3) | Dalam hal Pengangkut tidak melakukan Registrasi Kepabeanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemberitahuan pengangkutan Barang Tertentu yang disampaikan pengangkut ditolak. | ||||
(4) | Tata cara Registrasi Kepabeanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penyederhanaan Registrasi Kepabeanan. |
BAB IV
PEMBERITAHUAN PABEAN BARANG TERTENTU
Pasal 8
(1) | Barang Tertentu wajib diberitahukan oleh Pengangkut di Kantor Pabean dengan menggunakan PPBT. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||
(2) | PPBT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan kepada Pejabat Bea dan Cukai pada Kantor Pabean di pelabuhan pemuatan dan Kantor Pabean di pelabuhan pembongkaran. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||
(3) | PPBT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku sebagai:
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||
(4) | Kewajiban pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan terhadap pengangkutan Barang Tertentu yang dilakukan:
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||
(5) | Angkutan penyeberangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a merupakan angkutan yang berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan jaringan jalan dan/atau jaringan jalur kereta api yang dipisahkan oleh perairan untuk mengangkut penumpang dan kendaran beserta muatannya. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||
(6) | Tempat penimbunan berikat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dan huruf c merupakan bangunan, tempat, atau kawasan yang memenuhi persyaratan tertentu yang digunakan untuk menimbun barang dengan tujuan tertentu dengan mendapatkan penangguhan bea masuk. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||
(7) | Kawasan ekonomi khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf d dan huruf e merupakan kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||
(8) | PPBT sebagaimana dimaksud pada ayat (1), minimal memuat elemen data sebagai berikut:
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||
(9) | Petunjuk pengisian elemen data sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana tercantum dalam Lampiran Huruf E yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||
(10) | PPBT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara elektronik melalui:
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||
(11) | Penyampaian PPBT secara elektronik melalui SKP sebagaimana dimaksud pada ayat (10) huruf a, dilakukan dalam hal Kantor Pabean telah menggunakan sistem PDE kepabeanan dan belum menerapkan secara penuh SINSW dalam sistem pelayanan kepabeanannya. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||
(12) | Penyampaian PPBT secara elektronik melalui SINSW sebagaimana dimaksud pada ayat (10) huruf b, dilakukan dalam hal Kantor Pabean telah menerapkan secara penuh SINSW dalam sistem pelayanan kepabeanannya. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||
(13) | Penyampaian PPBT secara elektronik melalui platform yang terhubung dengan NLE sebagaimana dimaksud pada ayat (10) huruf c, dilakukan dalam hal SKP PPBT pada Kantor Pabean telah terhubung dengan NLE. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||
(14) | Dalam hal penyampaian PPBT secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (10) belum dapat dilakukan atau terjadi suatu gangguan yang menyebabkan penyampaian PPBT secara elektronik tidak berjalan, PPBT disampaikan melalui tulisan di atas formulir. |
(1) | Pengangkut wajib menyampaikan PPBT dengan lengkap dan benar, dan bertanggung jawab atas kebenaran data yang diberitahukan dalam PPBT. |
(2) | Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dapat meminta Pengangkut untuk memberitahukan uraian jumlah dan jenis barang secara spesifik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) dalam PPBT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan mencantumkan spesifikasi wajib sebagai instrumen administrasi. |
(3) | Dalam menjalankan kewajiban atas pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pengangkut dapat menunjuk perusahaan yang merupakan perwakilan atau agen dari perusahaan pelayaran sebagai kuasanya. |
BAB V
PEMUATAN, KEBERANGKATAN SARANA PENGANGKUT, PENGANGKUTAN DI ATAS SARANA PENGANGKUT, KEDATANGAN SARANA PENGANGKUT, DAN PEMBONGKARAN
Pasal 10
(1) | Pengangkut harus menyampaikan PPBT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) pada Kantor Pabean di pelabuhan pemuatan sebelum melakukan pemuatan. | ||||
(2) | Pemuatan Barang Tertentu ke Sarana Pengangkut dilakukan setelah PPBT sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
|
(1) | Pengangkut yang Sarana Pengangkutnya berangkat meninggalkan pelabuhan pemuatan wajib menyampaikan PPBT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) pada Kantor Pabean di pelabuhan pemuatan. | ||||
(2) | PPBT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan:
| ||||
(3) | Keberangkatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, yaitu pada saat Sarana Pengangkut angkat jangkar dari perairan pelabuhan atau lokasi pemuatan, atau lepas sandar dari dermaga pelabuhan pemuatan. | ||||
(4) | PPBT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang telah diterima di Kantor Pabean di pelabuhan pemuatan diberikan nomor dan tanggal pendaftaran keberangkatan Sarana Pengangkut. |
PPBT yang telah mendapatkan nomor dan tanggal pendaftaran pemuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf b dan nomor dan tanggal pendaftaran keberangkatan Sarana Pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4) pada Kantor Pabean di pelabuhan pemuatan harus dibawa dalam pengangkutan dan menjadi dokumen pelindung atas pengangkutan Barang Tertentu tersebut.
(1) | Pengangkut yang akan melakukan pembongkaran harus memberitahukan rencana kedatangan Sarana Pengangkut kepada Kepala Kantor Pabean di pelabuhan pembongkaran sebelum Sarana Pengangkutnya tiba. |
(2) | Rencana kedatangan Sarana Pengangkut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam PPBT. |
(3) | Berdasarkan pemberitahuan rencana kedatangan Sarana Pengangkut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Kepala Kantor Pabean memberikan nomor dan tanggal pendaftaran rencana kedatangan Sarana Pengangkut. |
(4) | Dalam hal PPBT disampaikan melalui tulisan di atas formulir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (14), penyampaian rencana kedatangan Sarana Pengangkut dilaksanakan pada saat kedatangan Sarana Pengangkut. |
(1) | Pengangkut wajib menyampaikan PPBT kepada Kepala Kantor Pabean di pelabuhan pembongkaran pada waktu kedatangan Sarana Pengangkut. | ||||
(2) | Berdasarkan PPBT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Kepala Kantor Pabean memberikan nomor dan tanggal pendaftaran kedatangan Sarana Pengangkut. | ||||
(3) | Sarana Pengangkut yang mengangkut Barang Tertentu dinyatakan sampai atau telah datang dalam hal:
| ||||
(4) | Terhadap Sarana Pengangkut yang tidak sampai ke tempat kedatangan dalam jangka waktu paling lambat 48 (empat puluh delapan) jam sejak waktu rencana kedatangan Sarana Pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (8) huruf h, dilakukan penelitian oleh Kepala Kantor Pabean di pelabuhan pembongkaran. | ||||
(5) | Dalam hal hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditemukan barang tertentu tidak sampai ke Kantor Pabean tujuan dan pengangkut tidak dapat membuktikan hal tersebut di luar kemampuannya, pengangkut dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. |
(1) | Sebelum melakukan pembongkaran, Pengangkut harus menyampaikan PPBT kepada Kepala Kantor Pabean di pelabuhan pembongkaran. | ||||
(2) | Berdasarkan PPBT sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Kantor Pabean memberikan nomor dan tanggal pendaftaran pembongkaran barang tertentu. | ||||
(3) | Pembongkaran Barang Tertentu dari Sarana Pengangkut dilakukan setelah PPBT sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
|
BAB VI
PEMERIKSAAN PABEAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 16
(1) | Terhadap Barang Tertentu dilakukan pemeriksaan pabean. |
(2) | Pemeriksaan pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penelitian dokumen dan pemeriksaan fisik. |
(3) | Pemeriksaan fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam hal tertentu. |
(4) | Pemeriksaan pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan di tempat pemuatan, di atas Sarana Pengangkut, dan/atau di tempat pembongkaran. |
Bagian Kedua
Penelitian Dokumen
Pasal 17
(1) | Penelitian dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) dilakukan oleh:
| ||||||||
(2) | Penelitian dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
| ||||||||
(3) | Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menggunakan data dan/atau informasi yang diperoleh dari:
|
Bagian Ketiga
Pemeriksaan Fisik
Pasal 18
(1) | Pemeriksaan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) merupakan kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh Pejabat Bea dan Cukai untuk mengetahui jumlah dan jenis Barang Tertentu yang diperiksa. | ||||||
(2) | Pemeriksaan fisik dalam hal tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3) dilakukan:
| ||||||
(3) | Tata cara pemeriksaan fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan. |
BAB VII
PEMBATALAN DAN PEMBETULAN PPBT
Bagian Kesatu
Pembatalan
Pasal 19
(1) | PPBT yang telah mendapat nomor dan tanggal pendaftaran pemuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf b dan nomor dan tanggal pendaftaran keberangkatan Sarana Pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4) dapat dilakukan pembatalan. | ||||||
(2) | Pembatalan PPBT sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikecualikan dalam hal:
| ||||||
(3) | Ketentuan pengecualian pembatalan PPBT sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c, tidak berlaku dalam hal hasil tindak lanjut nota hasil intelijen dan/atau penegahan oleh unit pengawasan menunjukkan pembatalan PPBT tetap dapat dilakukan. |
(1) | Pembatalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), dilakukan oleh Pengangkut atau kuasanya dengan menyampaikan permohonan pembatalan PPBT kepada Kepala Kantor Pabean di pelabuhan pemuatan secara elektronik melalui SKP. |
(2) | Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri dokumen pendukung. |
(3) | Dalam hal permohonan pembatalan PPBT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dilakukan secara elektronik, permohonan pembatalan PPBT disampaikan melalui tulisan di atas formulir. |
(4) | Permohonan pembatalan PPBT secara tulisan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan sesuai dengan contoh formulir sebagaimana tercantum dalam Lampiran Huruf F yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(1) | Kepala Kantor Pabean di pelabuhan pemuatan atau Pejabat Bea dan Cukai yang ditunjuk melakukan penelitian atas permohonan pembatalan PPBT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1). | ||||
(2) | Kepala Kantor Pabean di pelabuhan pemuatan atau Pejabat Bea dan Cukai yang ditunjuk memberikan persetujuan atau penolakan permohonan pembatalan PPBT dalam jangka waktu paling lama:
|
Bagian Kedua
Pembetulan
Pasal 22
(1) | Pengangkut dapat melakukan pembetulan PPBT yang telah didaftarkan ke Kantor Pabean dalam hal terjadi kesalahan. | ||||||
(2) | Pembetulan PPBT sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikecualikan dalam hal:
| ||||||
(3) | Ketentuan pengecualian pembetulan PPBT sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c tidak berlaku dalam hal hasil tindak lanjut nota hasil intelijen dan/atau penegahan oleh unit pengawasan menunjukkan pembetulan PPBT tetap dapat dilakukan. | ||||||
(4) | Pembetulan PPBT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan petunjuk pengisian sebagaimana tercantum dalam Lampiran Huruf G yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(1) | Pembetulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) dilakukan oleh Pengangkut atau kuasanya dengan menyampaikan permohonan pembetulan PPBT kepada Kepala Kantor Pabean di pelabuhan pemuatan atau Kepala Kantor Pabean di pelabuhan pembongkaran secara elektronik melalui SKP. |
(2) | Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri dokumen pendukung. |
(3) | Dalam hal permohonan pembetulan PPBT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dilakukan secara elektronik, permohonan pembetulan PPBT disampaikan melalui tulisan di atas formulir. |
(4) | Permohonan pembetulan PPBT secara tulisan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan sesuai dengan contoh formulir sebagaimana tercantum dalam Lampiran Huruf H yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(1) | Kepala Kantor Pabean di pelabuhan pemuatan, Kepala Kantor Pabean di pelabuhan pembongkaran, atau Pejabat Bea dan Cukai yang ditunjuk, melakukan penelitian atas permohonan pembetulan PPBT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1). | ||||
(2) | Kepala Kantor Pabean di pelabuhan pemuatan, Kepala Kantor Pabean pembongkaran, atau Pejabat Bea dan Cukai yang ditunjuk memberikan persetujuan atau penolakan permohonan pembetulan PPBT dalam jangka waktu paling lama:
|
(1) | Dalam hal Kepala Kantor Pabean di pelabuhan pemuatan, Kepala Kantor Pabean di pelabuhan pembongkaran, atau Pejabat Bea dan Cukai tidak memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan pembatalan atau pembetulan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) atau Pasal 24 ayat (2), permohonan pembetulan atau pembatalan dianggap disetujui. |
(2) | Terhadap permohonan pembetulan atau pembatalan yang telah dianggap disetujui sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Kantor Pabean di pelabuhan pemuatan, Kepala Kantor Pabean di pelabuhan pembongkaran, atau Pejabat Bea dan Cukai melakukan pembetulan atau pembatalan PPBT. |
(1) | Pengawasan Pengangkutan Barang Tertentu dilakukan terhitung sejak tanggal berlakunya Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (6). | ||||||
(2) | Pengawasan Pengangkutan Barang Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengawasan di bidang kepabeanan dan cukai. | ||||||
(3) | Pengawasan Pengangkutan Barang Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada saat pemuatan dan pembongkaran Barang Tertentu dalam Daerah Pabean. | ||||||
(4) | Pejabat Bea dan Cukai melakukan pengawasan pemuatan dan pembongkaran Barang Tertentu atas pemberitahuan pabean yang disampaikan oleh Pengangkut. | ||||||
(5) | Pengawasan pemuatan dan pembongkaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan secara selektif berdasarkan manajemen risiko. | ||||||
(6) | Pengawasan Pengangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan di atas Sarana Pengangkut pada saat keberangkatan, pengangkutan di atas Sarana Pengangkut, dan/atau kedatangan dalam hal tertentu. | ||||||
(7) | Pengawasan Pengangkutan di atas Sarana Pengangkut dalam hal tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (6) meliputi:
|
(1) | Pejabat Bea dan Cukai dan/atau SKP melakukan pemblokiran akses kepabeanan Pengangkut dan/atau agen Pengangkut, dalam hal:
| ||||||||
(2) | Tata cara pemblokiran akses kepabeanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penyederhanaan registrasi kepabeanan. |
BAB X
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 28
(1) | SKP dapat melakukan pertukaran data dengan NLE. |
(2) | Data perizinan terkait Barang Tertentu dapat digunakan untuk kepentingan percepatan logistik nasional melalui NLE. |
(3) | Pejabat Bea dan Cukai dan/atau SKP dapat menggunakan dan memanfaatkan data yang diperoleh melalui NLE untuk kepentingan pengawasan Barang Tertentu. |
(1) | Dalam hal terjadi keadaan darurat, Pengangkut dapat membongkar Barang Tertentu di luar pelabuhan tujuan pembongkaran terlebih dahulu. | ||||||||
(2) | Keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yakni pada saat Sarana Pengangkut mengalami kejadian berupa:
| ||||||||
(3) | Pengangkut yang mengalami keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib:
|
(1) | Dalam hal pada saat pembongkaran terdapat selisih kurang atau selisih lebih antara Barang Tertentu dalam bentuk curah dengan PPBT dan Pengangkut tidak dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut terjadi di luar kemampuannya, Pengangkut wajib membayar sanksi administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||
(2) | Selisih kurang atau selisih lebih di luar kemampuan Pengangkut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
| ||||
(3) | Penyelesaian atas selisih kurang atau selisih lebih antara Barang Tertentu yang dibongkar dan PPBT, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perlakuan kepabeanan atas selisih berat dan/atau volume barang impor curah dan barang ekspor curah. |
(1) | Sarana Pengangkut yang mengangkut Barang Tertentu wajib memasang dan mengaktifkan sistem identifikasi otomatis. |
(2) | Sistem identifikasi otomatis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan sistem pemancar radio very high frequency yang menyampaikan data melalui VHF data link untuk mengirim dan menerima informasi secara otomatis ke kapal lain, stasiun vessel traffic services, dan/atau stasiun radio pantai. |
(3) | Pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai sistem identifikasi otomatis bagi kapal yang melakukan kegiatan di wilayah perairan indonesia. |
BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 32
Terhadap Barang Tertentu yang masih dalam proses pemuatan, proses keberangkatan, proses pengangkutan di atas Sarana Pengangkut, proses kedatangan, dan/atau proses pembongkaran pada saat peraturan perundang-undangan mengenai pencabutan peraturan perundang-undangan mengenai Pengawasan Pengangkutan Barang Tertentu disampaikan kepada Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3), tetap dilaksanakan Pengawasan Pengangkutannya sampai dengan seluruh kewajiban kepabeanannya diselesaikan.
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 33
Peraturan Menteri ini mulai berlaku setelah 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 31 Juli 2024 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd SRI MULYANI INDRAWATI |
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 7 Agustus 2024
PLT. DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
ASEP N. MULYANA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2024 NOMOR 463