Peraturan Pemerintah Nomor 50 TAHUN 2022

Mon, 12 December 2022

Tata Cara Pelaksanaan Hak Dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 50 TAHUN 2022

TENTANG

TATA CARA PELAKSANAAN HAK DAN PEMENUHAN
KEWAJIBAN PERPAJAKAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang :

  1. bahwa untuk memberikan kepastian hukum, keadilan, kemudahan, dan kejelasan bagi masyarakat dalam memahami ketentuan mengenai pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan serta integrasi data kependudukan dengan data perpajakan, perlu diatur tata cara pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan;
  2. bahwa ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2021 tentang Perlakuan Perpajakan Untuk Mendukung Kemudahan Berusaha sudah tidak sesuai dengan kebutuhan administrasi perpajakan dan pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan;
  3. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 44E ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan;


Mengingat :

  1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6736);


MEMUTUSKAN:


Menetapkan :

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN HAK DAN PEMENUHAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN.


BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1


Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

  1. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
  2. Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
  3. Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
  4. Pajak Penghasilan adalah Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
  5. Pajak Pertambahan Nilai adalah Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
  6. Pajak Bumi dan Bangunan adalah Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan.
  7. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
  8. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
  9. Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan adalah pembahasan antara Wajib Pajak dan pemeriksa pajak atas temuan Pemeriksaan yang hasilnya dituangkan dalam berita acara Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan yang ditandatangani oleh kedua belah pihak dan berisi koreksi baik yang disetujui maupun yang tidak disetujui.
  10. Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan.
  11. Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan yang selanjutnya disebut Penyidikan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya.
  12. Penyidik adalah pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diberi wewenang khusus sebagai Penyidik untuk melakukan Penyidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  13. Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda adalah perjanjian antara Pemerintah Indonesia dan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra untuk mencegah terjadinya pengenaan pajak berganda dan pengelakan pajak.
  14. Prosedur Persetujuan Bersama adalah prosedur administratif yang diatur dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.
  15. Persetujuan Bersama adalah hasil yang telah disepakati dalam penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda oleh pejabat yang berwenang dari Pemerintah Indonesia dan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sehubungan dengan Prosedur Persetujuan Bersama yang telah dilaksanakan.
  16. Surat Ketetapan Pajak adalah surat ketetapan yang meliputi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
  17. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar adalah Surat Ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administratif, dan jumlah pajak yang masih harus dibayar.
  18. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan adalah Surat Ketetapan Pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.
  19. Surat Ketetapan Pajak Nihil adalah Surat Ketetapan Pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
  20. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar adalah Surat Ketetapan Pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
  21. Surat Tagihan Pajak adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
  22. Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap Surat Ketetapan Pajak atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak.
  23. Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi adalah surat keputusan mengenai pengurangan sanksi administratif.
  24. Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi adalah surat keputusan mengenai penghapusan sanksi administratif.
  25. Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak adalah surat keputusan mengenai pengurangan ketetapan pajak.
  26. Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak adalah surat keputusan mengenai pembatalan ketetapan pajak.
  27. Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak adalah surat keputusan yang menentukan jumlah pengembalian pendahuluan kelebihan pajak untuk Wajib Pajak tertentu.
  28. Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga adalah surat keputusan yang menentukan jumlah imbalan bunga yang diberikan kepada Wajib Pajak.
  29. Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan yang terdapat dalam Surat Ketetapan Pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga, Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, surat keputusan pemberian pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan, surat keputusan pengurangan denda administrasi Pajak Bumi dan Bangunan, atau surat keputusan persetujuan bersama.
  30. Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan adalah surat ketetapan yang menentukan besarnya pokok Pajak Bumi dan Bangunan atau selisih pokok Pajak Bumi dan Bangunan, besarnya denda administratif, dan jumlah Pajak Bumi dan Bangunan yang terutang.
  31. Surat Teguran adalah surat yang diterbitkan oleh pejabat untuk menegur atau memperingatkan kepada Wajib Pajak untuk melunasi utang pajaknya.
  32. Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang dalam suatu jangka waktu tertentu sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
  33. Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
  34. Bagian Tahun Pajak adalah bagian dari jangka waktu 1 (satu) Tahun Pajak.
  35. Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
  36. Surat Pemberitahuan Masa adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Masa Pajak.
  37. Surat Pemberitahuan Tahunan adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak.
  38. Surat Setoran Pajak adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas negara melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri.
  39. Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
  40. Putusan Gugatan adalah putusan badan peradilan pajak atas gugatan terhadap hal-hal yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dapat diajukan gugatan.
  41. Putusan Peninjauan Kembali adalah putusan Mahkamah Agung atas permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Wajib Pajak atau oleh Direktur Jenderal Pajak terhadap Putusan Banding atau Putusan Gugatan dari badan peradilan pajak.
  42. Surat Keputusan Persetujuan Bersama adalah surat keputusan yang diterbitkan untuk menindaklanjuti kesepakatan dalam Persetujuan Bersama.
  43. Penduduk adalah Warga Negara Indonesia dan Orang Asing yang bertempat tinggal di Indonesia.
  44. Data Kependudukan adalah data perseorangan dan/atau data agregat yang terstruktur sebagai hasil dari kegiatan pendaftaran Penduduk dan pencatatan sipil.
  45. Data Balikan dari Pengguna adalah data yang bersifat unik dari setiap lembaga pengguna yang telah melakukan akses Data Kependudukan dan telah diadministrasikan dalam sistem administrasi kependudukan.
  46. Nomor Induk Kependudukan adalah nomor identitas Penduduk yang bersifat unik atau khas, tunggal, dan melekat pada seseorang yang terdaftar sebagai Penduduk Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai administrasi kependudukan.
  47. Pajak Karbon adalah pajak yang dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup.
  48. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.



BAB II
NOMOR POKOK WAJIB PAJAK,
SURAT PEMBERITAHUAN, PENGUNGKAPAN KETIDAKBENARAN,
DAN TATA CARA PEMBAYARAN PAJAK

Bagian Kesatu
Nomor Pokok Wajib Pajak

Pasal 2


(1)Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepada Wajib Pajak diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.
(2)Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Wajib Pajak orang pribadi yang merupakan Penduduk menggunakan Nomor Induk Kependudukan.
(3)Terhadap Penduduk, pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan melakukan aktivasi Nomor Induk Kependudukan sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak dalam administrasi perpajakan.
(4)Kewajiban mendaftarkan diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula terhadap wanita kawin yang dikenai pajak secara terpisah karena:
  1. hidup terpisah berdasarkan keputusan hakim;
  2. melakukan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta dengan suami, secara tertulis; atau
  3. ingin melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan terpisah dari hak dan kewajiban perpajakan suami.
(5)Dalam hal wanita kawin yang dikenai pajak secara terpisah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak sebelum kawin, wanita kawin tersebut tidak perlu mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak.
(6)Wanita kawin selain yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakannya digabungkan dengan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan suaminya.



Pasal 3


Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan yang menggantikan yang berhak dalam kedudukannya sebagai subjek pajak menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak dari orang pribadi yang meninggalkan warisan tersebut dan diwakili oleh:

  1. salah seorang ahli waris;
  2. pelaksana wasiat; atau
  3. pihak yang mengurus harta peninggalan.



Pasal 4


(1)Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya dapat melakukan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak berdasarkan Pemeriksaan atau penelitian.
(2)Direktur Jenderal Pajak atas permohonan Wajib Pajak dapat melakukan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak berdasarkan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3)Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak berdasarkan penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhadap Wajib Pajak yang memenuhi kriteria tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara pendaftaran Wajib Pajak dan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak serta pengukuhan dan pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
(4)Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) yang merupakan Wajib Pajak orang pribadi Penduduk dilakukan apabila Wajib Pajak tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(5)Dalam hal Wajib Pajak orang pribadi Penduduk tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Nomor Induk Kependudukan dinonaktifkan sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak dalam administrasi perpajakan.



Bagian Kedua
Surat Pemberitahuan

Pasal 5


(1)Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis.
(2)Pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan:
  1. Pemeriksaan; atau
  2. Pemeriksaan Bukti Permulaan.
(3)Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dimulai sejak saat surat pemberitahuan Pemeriksaan disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak.
(4)Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b merupakan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka, yang dimulai sejak saat surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak.
(5)Pernyataan tertulis dalam pembetulan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara memberi tanda pada tempat yang telah disediakan dalam Surat Pemberitahuan yang menyatakan bahwa Wajib Pajak yang bersangkutan membetulkan Surat Pemberitahuan.
(6)Dalam hal pembetulan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyatakan rugi atau lebih bayar, pembetulan Surat Pemberitahuan harus disampaikan paling lama 2 (dua) tahun sebelum daluwarsa penetapan.
(7)Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembetulan Surat Pemberitahuan diatur dalam Peraturan Menteri.



Pasal 6


(1)Wajib Pajak dapat membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan yang telah disampaikan, dalam hal Wajib Pajak menerima:
a.Surat Ketetapan Pajak;
b.Surat Keputusan Keberatan;
c.Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak;
d.Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak;
e.Surat Keputusan Pembetulan;
f.Surat Keputusan Persetujuan Bersama;
g.Putusan Banding; atau
h.Putusan Peninjauan Kembali,
atas Tahun Pajak sebelumnya atau beberapa Tahun Pajak sebelumnya, yang menyatakan rugi fiskal yang berbeda dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (6) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, dengan menyampaikan pernyataan tertulis.
(2)Pernyataan tertulis dalam pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan yang menyatakan rugi fiskal berbeda dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara memberi tanda pada tempat yang telah disediakan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan yang menyatakan bahwa Wajib Pajak yang bersangkutan membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan.
(3)Pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan dengan ketentuan:
a.paling lama 3 (tiga) bulan setelah menerima Surat Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Persetujuan Bersama, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali; dan
b.tidak melewati batas waktu pembetulan Surat Pemberitahuan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (la) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dalam hal pembetulan Surat Pemberitahuan menyatakan rugi atau lebih bayar.
(4)Jangka waktu 3 (tiga) bulan untuk melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dihitung sejak tanggal diterima:
a.Surat Ketetapan Pajak;
b.Surat Keputusan Keberatan;
c.Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak;
d.Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak;
e.Surat Keputusan Pembetulan;
f.Surat Keputusan Persetujuan Bersama;
g.Putusan Banding; atau
h.Putusan Peninjauan Kembali,
oleh Wajib Pajak.
(5)Tanggal diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan tanggal:
a.stempel pos dalam hal pengiriman melalui pos;
b.faksimili dalam hal pengiriman faksimili;
c.diterima secara langsung dalam hal pengiriman secara langsung; atau
d.pengiriman dalam hal pengiriman secara elektronik.
(6)Apabila Wajib Pajak:
a.tidak membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a; atau
b.tidak dapat membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan sebagai akibat telah terlewatinya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b,
Direktur Jenderal Pajak menghitung kembali kompensasi kerugian dalam Surat Pemberitahuan Tahunan secara jabatan.
(7)Penghitungan kembali kompensasi kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilakukan berdasarkan rugi fiskal sesuai dengan:
a.Surat Ketetapan Pajak;
b.Surat Keputusan Keberatan;
c.Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak;
d.Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak;
e.Surat Keputusan Pembetulan;
f.Surat Keputusan Persetujuan Bersama;
g.Putusan Banding; atau
h.Putusan Peninjauan Kembali,
dalam penerbitan Surat Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, atau Surat Keputusan Persetujuan Bersama.
(8)Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan diatur dalam Peraturan Menteri.



Bagian Ketiga
Pengungkapan Ketidakbenaran

Pasal 7


(1)Dalam hal Wajib Pajak dilakukan tindakan Pemeriksaan Bukti Permulaan, Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat mengungkapkan dengan pernyataan tertulis mengenai ketidakbenaran perbuatannya, jika:
a.tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau
b.menyampaikan Surat Pemberitahuan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar,
sebagaimana diatur dalam Pasal 38 atau Pasal 39 ayat (1) huruf c dan huruf d Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, sepanjang mulainya Penyidikan belum diberitahukan kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(2)Pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan atas perbuatan sebagaimana diatur dalam Pasal 38 atau Pasal 39 ayat (1) huruf c atau huruf d Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan baik yang berdiri sendiri atau berkaitan dengan tindak pidana perpajakan sebagaimana diatur dalam Pasal 39 ayat (1) kecuali huruf c dan huruf d dan ayat (3), Pasal 39A, dan Pasal 43 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan Pasal 24 dan Pasal 25 Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan.
(3)Pernyataan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditandatangani oleh Wajib Pajak dan disertai dengan:
a.penghitungan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang terutang;
b.Surat Setoran Pajak sebagai bukti pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang terutang; dan
c.Surat Setoran Pajak sebagai pembayaran sanksi administratif berupa denda sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (3a) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
(4)Pembayaran jumlah pajak yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dan pembayaran sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c merupakan pemulihan kerugian pada pendapatan negara.
(5)Dalam hal pengungkapan ketidakbenaran perbuatan yang dilakukan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, terhadap Wajib Pajak tidak dilakukan Penyidikan.
(6)Dalam hal setelah Wajib Pajak melakukan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) masih ditemukan data yang menyatakan lain dari pengungkapan ketidakbenaran perbuatan tersebut, terhadap Wajib Pajak tetap dapat dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan atas Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, dan/atau Tahun Pajak, untuk jenis pajak yang dilakukan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan.
(7)Tata cara pengungkapan ketidakbenaran perbuatan oleh Wajib Pajak dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.



Pasal 8


(1)Dalam hal Wajib Pajak dilakukan tindakan Pemeriksaan, Wajib Pajak dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri mengenai ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, sepanjang Direktur Jenderal Pajak belum menyampaikan surat pemberitahuan hasil Pemeriksaan.
(2)Laporan tersendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditandatangani oleh Wajib Pajak dan dilampiri dengan:
  1. penghitungan pajak yang kurang dibayar sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dalam format Surat Pemberitahuan ;
  2. Surat Setoran Pajak atas pelunasan pajak yang kurang dibayar apabila pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan mengakibatkan pajak yang kurang dibayar menjadi lebih besar; dan
  3. Surat Setoran Pajak atas sanksi administratif berupa bunga sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan jika pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan mengakibatkan pajak yang kurang dibayar menjadi lebih besar.
(3)Untuk membuktikan kebenaran pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemeriksaan tetap dilanjutkan dan atas hasil Pemeriksaan tersebut diterbitkan Surat Ketetapan Pajak dengan mempertimbangkan laporan tersendiri serta memperhitungkan pajak yang terutang yang telah dibayar.
(4)Dalam hal hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) membuktikan bahwa pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang dilakukan oleh Wajib Pajak ternyata tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya, Surat Ketetapan Pajak diterbitkan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
(5)Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diperhitungkan sebagai kredit pajak dalam Surat Ketetapan Pajak yang diterbitkan berdasarkan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4).
(6)Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c merupakan bukti pembayaran sanksi administratif terkait dengan pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan.
(7)Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mengungkapkan dalam laporan tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan diatur dalam Peraturan Menteri.



Bagian Keempat
Tata Cara Pembayaran atau Penyetoran Pajak

Pasal 9


(1)Wajib Pajak wajib membayar atau menyetor pajak yang terutang dengan menggunakan Surat Setoran Pajak ke kas negara melalui tempat pembayaran.
(2)Pembayaran atau penyetoran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dapat dilakukan dengan menggunakan sarana administrasi lain yang kedudukannya disamakan dengan Surat Setoran Pajak.
(3)Ketentuan mengenai sarana administrasi lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.



Bagian Kelima
Dasar Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak

Pasal 10


(1)Kelebihan pembayaran pajak sebagai akibat adanya:
a.Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar;
b.Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak;
c.Surat Keputusan Keberatan;
d.Surat Keputusan Pembetulan;
e.Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi;
f.Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi;
g.Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak;
h.Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak;
i.Surat Keputusan Persetujuan Bersama;
j.Putusan Banding;
k.Putusan Peninjauan Kembali; dan
l.Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga,
dikembalikan kepada Wajib Pajak dengan ketentuan jika ternyata Wajib Pajak mempunyai utang pajak langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang pajak tersebut.
(2)Pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 1 (satu) bulan sejak:
a.permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak diterima sehubungan dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
b.diterbitkannya:
1.Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (2) dan Pasal 17B Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
2.Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 17C atau Pasal 17D Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
3.Surat Keputusan Keberatan;
4.Surat Keputusan Pembetulan;
5.Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi;
6.Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi;
7.Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak;
8.Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak;
9.Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga; atau
10.Surat Keputusan Persetujuan Bersama;
atau
c.diterimanya:
1.Putusan Banding; atau
2.Putusan Peninjauan Kembali,
yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak.
(3)Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terlewati, Wajib Pajak diberikan imbalan bunga sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (3) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.



BAB III
PEMBUKUAN DAN PEMERIKSAAN

Bagian Kesatu
Pembukuan

Pasal 11


(1)Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara program aplikasi daring wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia, yaitu di tempat kegiatan atau tempat tinggal Wajib Pajak orang pribadi, atau di tempat kedudukan Wajib Pajak badan.
(2)Dalam hal Wajib Pajak melakukan transaksi dengan para pihak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak selain melaksanakan kewajiban menyimpan dokumen lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak wajib menyimpan dokumen dan/atau informasi tambahan untuk mendukung bahwa transaksi yang dilakukan dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa telah sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha.
(3)Ketentuan mengenai jenis dokumen dan/atau informasi tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan tata cara pengelolaannya diatur dalam Peraturan Menteri.



Pasal 12


(1)Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan di Indonesia wajib menyelenggarakan pembukuan.
(2)Dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tetapi wajib melakukan pencatatan:
  1. Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan norma penghitungan penghasilan neto;
  2. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas; dan
  3. Wajib Pajak orang pribadi yang memenuhi kriteria tertentu.
(3)Pembukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diselenggarakan berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku di Indonesia, kecuali peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan menentukan lain.
(4)Penentuan Wajib Pajak orang pribadi yang memenuhi kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c paling kurang mempertimbangkan peredaran bruto Wajib Pajak.
(5)Dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban pembukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), terhadap Wajib Pajak dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
(6)Ketentuan mengenai tata cara melakukan pencatatan dan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan/atau tata cara menyelenggarakan pembukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Menteri.



Bagian Kedua
Pemeriksaan

Pasal 13


(1)Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan Pemeriksaan terhadap Wajib Pajak untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(2)Dalam melakukan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak:
  1. wajib memberitahukan kepada Wajib Pajak mengenai dilakukannya Pemeriksaan dengan menyampaikan surat pemberitahuan Pemeriksaan; dan
  2. dapat meminjam atau meminta buku, catatan, dokumen, data, informasi, dan keterangan lain dengan menyampaikan surat permintaan.
(3)Berdasarkan permintaan Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, Wajib Pajak yang diperiksa wajib:
  1. memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;
  2. memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran Pemeriksaan; dan/atau
  3. memberikan data, informasi, dan keterangan lain yang diperlukan.
(4)Buku, catatan, dokumen, data, informasi, dan keterangan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dipenuhi oleh Wajib Pajak dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak permintaan disampaikan.



Pasal 14


Dalam hal Wajib Pajak badan atau orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas yang diperiksa tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) dan ayat (4) sehingga tidak dapat dihitung besarnya penghasilan kena pajak, penghasilan kena pajak dapat dihitung secara jabatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.


Pasal 15


(1)Direktur Jenderal Pajak wajib menyampaikan hasil Pemeriksaan melalui surat pemberitahuan hasil Pemeriksaan kepada Wajib Pajak.
(2)Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan hak kepada Wajib Pajak untuk hadir dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan.
(3)Dalam hal Wajib Pajak badan atau orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 memberikan dokumen pada saat Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemeriksa pajak dapat mempertimbangkan dokumen tersebut dalam menghitung pajak terutang.
(4)Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terbatas pada:
  1. dokumen yang terkait dengan penghitungan peredaran usaha atau penghasilan bruto dalam rangka penghitungan penghasilan neto secara jabatan; dan
  2. dokumen kredit pajak sebagai pengurang Pajak Penghasilan.



Pasal 16


(1)Hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dituangkan dalam laporan hasil Pemeriksaan.
(2)Berdasarkan laporan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dibuat nota penghitungan.
(3)Nota penghitungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditindaklanjuti dengan penerbitan Surat Ketetapan Pajak.



Pasal 17


(1)Dalam hal pada saat dilakukan Pemeriksaan ditemukan adanya dugaan tindak pidana di bidang perpajakan, Pemeriksaan ditangguhkan dan ditindaklanjuti dengan Pemeriksaan Bukti Permulaan.
(2)Pemeriksaan yang ditangguhkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilanjutkan jika:
a.Pemeriksaan Bukti Permulaan dihentikan karena:
1.tidak ditemukan adanya bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan;
2.peristiwa bukan merupakan tindak pidana di bidang perpajakan; atau
3.Wajib Pajak orang pribadi yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan meninggal dunia;
b.Penyidikan dihentikan:
1.karena tidak terdapat cukup bukti;
2.karena peristiwa bukan merupakan tindak pidana di bidang perpajakan; atau
3.demi hukum karena terhadap perkara yang sama tidak dapat diadili untuk kedua kalinya (nebis in idem) atau tersangka meninggal dunia;
atau
c.terdapat putusan pengadilan atas tindak pidana di bidang perpajakan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang memutus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dan salinan putusan pengadilan tersebut telah diterima oleh Direktur Jenderal Pajak.
(3)Pemeriksaan yang ditangguhkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihentikan jika:
a.Pemeriksaan Bukti Permulaan dihentikan karena Wajib Pajak mengungkapkan ketidakbenaran perbuatan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan tersebut telah sesuai dengan keadaan sebenarnya;
b.Penyidikan dihentikan karena:
1.Wajib Pajak melakukan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sebagaimana diatur dalam Pasal 44A Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; atau
2.Wajib Pajak atau tersangka melakukan pelunasan sebagaimana diatur dalam Pasal 44B ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
c.Pemeriksaan Bukti Permulaan atau Penyidikan dihentikan karena telah daluwarsa sebagaimana diatur dalam Pasal 40 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; atau
d.terdapat putusan pengadilan atas tindak pidana di bidang perpajakan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap selain putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dan salinan putusan pengadilan tersebut telah diterima oleh Direktur Jenderal Pajak.
(4)Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemeriksaan yang ditangguhkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilanjutkan dalam hal masih terdapat kelebihan pembayaran pajak berdasarkan hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan atau hasil Penyidikan.



Pasal 18


(1)Direktur Jenderal Pajak dapat membatalkan Surat Ketetapan Pajak yang diterbitkan berdasarkan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 yang dilaksanakan tanpa melalui prosedur:
  1. penyampaian surat pemberitahuan hasil Pemeriksaan; dan/atau
  2. Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan.
(2)Dalam hal terdapat pembatalan Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka proses Pemeriksaan dilanjutkan dengan melaksanakan prosedur yang belum dilaksanakan, berupa:
  1. penyampaian surat pemberitahuan hasil Pemeriksaan; dan/atau
  2. Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan.
(3)Dalam hal Surat Ketetapan Pajak yang dibatalkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terkait dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 17B ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan untuk menerbitkan Surat Ketetapan Pajak tertangguh, terhitung sejak tanggal diterbitkan Surat Ketetapan Pajak yang dibatalkan sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak.?



BAB IV
PENETAPAN DAN KETETAPAN

Pasal 19


(1)Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya Surat Ketetapan Pajak.
(2)Jumlah pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan yang disampaikan oleh Wajib Pajak adalah jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(3)Apabila Direktur Jenderal Pajak mendapatkan bukti jumlah pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak benar, Direktur Jenderal Pajak menetapkan jumlah pajak yang terutang.



Pasal 20


Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak setelah dilakukan tindakan Pemeriksaan dalam hal:

  1. pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar;
  2. Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam teguran secara tertulis sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (5a) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
  3. Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah ternyata tidak seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak seharusnya dikenai tarif 0% (nol persen);
  4. kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 28 atau Pasal 29 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan tidak dipenuhi sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang terutang;
  5. terhadap Wajib Pajak diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (4a) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; atau
  6. Pengusaha Kena Pajak tidak melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dan/atau ekspor Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dan telah diberikan pengembalian Pajak Masukan atau telah mengkreditkan Pajak Masukan sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (6e) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.



Pasal 21


(1)Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan berdasarkan hasil Pemeriksaan ulang terhadap:
  1. data baru yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang, termasuk data yang semula belum terungkap; atau
  2. keterangan tertulis dari Wajib Pajak atas kehendak sendiri sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
(2)Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan berdasarkan hasil Pemeriksaan ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak.



Pasal 22


Jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a ditambah sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar.


Pasal 23


Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Nihil berdasarkan hasil Pemeriksaan terhadap Surat Pemberitahuan jika jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak yang terutang, atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak atau tidak ada pembayaran pajak.


Pasal 24


(1)Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar berdasarkan:
  1. hasil Pemeriksaan terhadap Surat Pemberitahuan apabila terdapat jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
  2. hasil penelitian terhadap kebenaran pembayaran pajak atas permohonan Wajib Pajak apabila terdapat kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; atau
  3. hasil Pemeriksaan terhadap permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak apabila terdapat jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang sebagaimana diatur dalam Pasal 17B Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
(2)Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masih dapat diterbitkan lagi jika terdapat data baru, termasuk data yang semula belum terungkap, jika ternyata pajak yang lebih dibayar jumlahnya lebih besar daripada kelebihan pembayaran pajak yang telah ditetapkan.


  

Pasal 25


(1)Hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf b, dituangkan dalam laporan hasil penelitian.
(2)Berdasarkan laporan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat nota penghitungan.
(3)Nota penghitungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditindaklanjuti dengan penerbitan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, dalam hal terdapat kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.



Pasal 26

 

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penerbitan Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 diatur dalam Peraturan Menteri.


Pasal 27


(1)Dalam hal diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan adanya kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi Wajib Pajak untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sebelum Wajib Pajak diberi atau diterbitkannya Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Pasal 21, Pasal 23, dan Pasal 24 dan/atau Surat Tagihan Pajak.
(2)Dalam hal setelah dilakukan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan adanya kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi Wajib Pajak untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sebelum dan/atau setelah penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Pasal 21, Pasal 23, dan Pasal 24 dan/atau Surat Tagihan Pajak.
(3)Surat Ketetapan Pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2) diterbitkan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak.
(4)Ketentuan mengenai tata cara penerbitan Surat Ketetapan Pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri.



Pasal 28


(1)Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak berdasarkan:
  1. hasil penelitian terhadap kebenaran pembayaran pajak atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 17C ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
  2. hasil penelitian terhadap kebenaran pembayaran pajak atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 17D ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; atau
  3. hasil penelitian terhadap kebenaran pembayaran pajak atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (4c) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
(2)Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan paling lama:
  1. 3 (tiga) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Penghasilan; atau
  2. 1 (satu) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Pertambahan Nilai.



Pasal 29


(1)Atas permohonan Wajib Pajak, kelebihan pembayaran pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (4c) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dikembalikan, dengan ketentuan jika Wajib Pajak mempunyai utang pajak, langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
(2)Pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 1 (satu) bulan sejak diterbitkannya Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf c.



Pasal 30


(1)Wajib Pajak yang telah ditetapkan sebagai Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 17C ayat (3) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dicabut penetapannya sebagai Wajib Pajak dengan kriteria tertentu dalam hal Wajib Pajak:
  1. terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan;
  2. terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa untuk suatu jenis pajak tertentu 2 (dua) Masa Pajak berturut-turut;
  3. terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa untuk suatu jenis pajak tertentu 3 (tiga) Masa Pajak dalam 1 (satu) tahun kalender;
  4. menyampaikan laporan keuangan pada suatu Tahun Pajak setelah ditetapkan sebagai Wajib Pajak kriteria tertentu yang tidak diaudit oleh akuntan publik atau lembaga pengawas keuangan pemerintah;
  5. menyampaikan laporan keuangan pada suatu Tahun Pajak setelah ditetapkan sebagai Wajib Pajak kriteria tertentu yang diaudit oleh akuntan publik atau lembaga pengawas keuangan pemerintah tetapi memperoleh pendapat selain wajar tanpa pengecualian; atau
  6. dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka atau Penyidikan.
(2)Tata cara pencabutan penetapan Wajib Pajak dengan kriteria tertentu dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.



BAB V
KEBERATAN, PEMBETULAN, PENGURANGAN,
PENGHAPUSAN, PEMBATALAN, DAN GUGATAN

Bagian Kesatu
Keberatan

Pasal 31

(1)Keberatan atas Surat Ketetapan Pajak atau pemotongan atau pemungutan pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal:
a.Surat Ketetapan Pajak dikirim; atau
b.pemotongan atau pemungutan pajak,
kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.
(2)Keadaan di luar kekuasaan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.bencana alam;
b.bencana nonalam;
c.bencana sosial;
d.diterbitkannya Surat Keputusan Pembetulan secara jabatan yang mengakibatkan jumlah pajak yang masih harus dibayar atau lebih dibayar yang tertera dalam Surat Ketetapan Pajak berubah; atau
e.keadaan lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(3)Dalam hal terdapat penerbitan Surat Keputusan Pembetulan secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d dan Wajib Pajak belum mengajukan keberatan atas Surat Ketetapan Pajak, Wajib Pajak masih dapat mengajukan keberatan atas Surat Ketetapan Pajak tersebut dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim Surat Keputusan Pembetulan.


 

Pasal 32


(1)Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu:
  1. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;
  2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;
  3. Surat Ketetapan Pajak Nihil;
  4. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; atau
  5. pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(2)Wajib Pajak yang mengajukan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat mengajukan permohonan:
  1. pengurangan atau penghapusan sanksi administratif berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
  2. pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak yang tidak benar; atau
  3. pembatalan Surat Ketetapan Pajak dari hasil Pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa:
    1. penyampaian surat pemberitahuan hasil Pemeriksaan; atau
    2. Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dengan Wajib Pajak.
(3)Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mencabut pengajuan keberatan yang telah disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak sebelum tanggal diterima surat pemberitahuan untuk hadir oleh Wajib Pajak.
(4)Wajib Pajak yang mencabut pengajuan keberatan yang telah disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dapat mengajukan permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak yang tidak benar.
(5)Wajib Pajak yang mencabut pengajuan keberatan yang telah disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tetap dapat mengajukan permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administratif.
(6)Tata cara pencabutan pengajuan keberatan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.



Pasal 33


(1)Direktur Jenderal Pajak harus menyelesaikan keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
(2)Jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak tanggal surat pengajuan keberatan diterima oleh Direktur Jenderal Pajak sampai dengan tanggal Surat Keputusan Keberatan diterbitkan.



Pasal 34


(1)Dalam hal pengajuan keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (9) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
(2)Jumlah pajak yang telah dibayar sebelum pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pembayaran atas jumlah yang disetujui maupun yang tidak disetujui dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan.
(3)Sanksi administratif berupa denda sebesar 30% (tiga puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dikenakan terhadap Wajib Pajak dalam hal keputusan keberatan atas pengajuan keberatan Wajib Pajak menambah besarnya jumlah pajak yang masih harus dibayar.
(4)Dalam hal Wajib Pajak mencabut pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) atau pengajuan keberatan tidak dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Pajak karena tidak memenuhi persyaratan pengajuan keberatan sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (3a) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Wajib Pajak dianggap tidak mengajukan keberatan.
(5)Dalam hal Wajib Pajak dianggap tidak mengajukan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pajak yang masih harus dibayar dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan yang tidak disetujui dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan menjadi utang pajak sejak tanggal penerbitan Surat Ketetapan Pajak.



Pasal 35


(1)Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 60% (enam puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (5d) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dalam hal Putusan Banding:
  1. menolak;
  2. mengabulkan sebagian;
  3. menambah pajak yang harus dibayar; atau
  4. membetulkan kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung yang menambah pajak yang masih harus dibayar.
(2)Dalam hal Putusan Banding berupa tidak dapat diterima, pajak yang masih harus dibayar berdasarkan Surat Keputusan Keberatan menjadi utang pajak sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan.
(3)Jumlah pajak yang masih harus dibayar berdasarkan Surat Keputusan Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditambah sanksi administratif berupa denda sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah Pajak yang masih harus dibayar berdasarkan Surat Keputusan Keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1).



Pasal 36


(1)Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 60% (enam puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Peninjauan Kembali dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (51) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dalam hal Putusan Peninjauan Kembali menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah.
(2)Atas sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diterbitkan Surat Tagihan Pajak paling lama 2 (dua) tahun sejak tanggal diterima Putusan Peninjauan Kembali oleh Direktur Jenderal Pajak.



Bagian Kedua
Pembetulan

Pasal 37


(1)Atas permohonan Wajib Pajak atau karena jabatannya, Direktur Jenderal Pajak dapat membetulkan:
a.Surat Ketetapan Pajak;
b.Surat Tagihan Pajak;
c.Surat Keputusan Pembetulan;
d.Surat Keputusan Keberatan;
e.Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi;
f.Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi;
g.Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak;
h.Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak;
i.Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak;
j.Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga;
k.Surat Pemberitahuan Pajak Terutang;
l.Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan;
m.Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan;
n.surat keputusan pemberian pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan;
o.surat keputusan pengurangan denda administrasi Pajak Bumi dan Bangunan; atau
p.Surat Keputusan Persetujuan Bersama,
yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(2)Kesalahan hitung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.kesalahan yang berasal dari penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan/atau pembagian suatu bilangan; atau
b.kesalahan hitung yang diakibatkan oleh adanya penerbitan Surat Ketetapan Pajak, Surat Tagihan Pajak, surat keputusan, atau putusan yang terkait dengan bidang perpajakan.
(3)Dalam hal terdapat kekeliruan pengkreditan Pajak Masukan Pajak Pertambahan Nilai pada surat keputusan atau surat ketetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) , pembetulan atas kekeliruan tersebut hanya dapat dilakukan jika terdapat perbedaan besarnya Pajak Masukan yang menjadi kredit pajak dan Pajak Masukan tersebut tidak mengandung persengketaan antara fiskus dan Wajib Pajak.
(4)Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal surat permohonan pembetulan diterima, harus memberi keputusan atas permohonan pembetulan yang diajukan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5)Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembetulan diatur dalam Peraturan Menteri.



Bagian Ketiga
Pengurangan, Penghapusan, atau Pembatalan

Pasal 38


(1)Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya atau atas permohonan Wajib Pajak dapat:
  1. mengurangkan atau menghapuskan sanksi administratif berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya;
  2. mengurangkan atau membatalkan Surat Ketetapan Pajak yang tidak benar;
  3. mengurangkan atau membatalkan Surat Tagihan Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 14 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang tidak benar; atau
  4. membatalkan Surat Ketetapan Pajak dari hasil Pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa:
    1. penyampaian surat pemberitahuan hasil Pemeriksaan; atau
    2. Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dengan Wajib Pajak.
(2)Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c hanya dapat diajukan oleh Wajib Pajak paling banyak 2 (dua) kali.
(3)Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d hanya dapat diajukan oleh Wajib Pajak paling banyak 1 (satu) kali.
(4)Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak jika:
  1. Wajib Pajak tidak mengajukan keberatan atas Surat Ketetapan Pajak; atau
  2. Wajib Pajak mengajukan keberatan tetapi keberatannya tidak dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Pajak karena tidak memenuhi persyaratan.
(5)Permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak yang tidak benar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak dapat diajukan dalam hal Wajib Pajak mencabut pengajuan keberatan yang telah disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3).
(6)Pada saat penyelesaian permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak yang tidak benar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Direktur Jenderal Pajak dapat mempertimbangkan buku, catatan, atau dokumen yang diberikan dalam proses penyelesaian permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak yang tidak benar tersebut.
(7)Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima, harus memberi keputusan atas permohonan yang diajukan.
(8)Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (7) telah lewat tetapi Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap dikabulkan.
(9)Tata cara pengurangan, penghapusan, dan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.


 

Pasal 39


(1)Wajib Pajak yang dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dapat mengajukan permohonan untuk memperoleh pengurangan atau penghapusan sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1) huruf a Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
(2)Dalam hal permohonan sebagaimana diatur pada ayat (1) diajukan terhadap sanksi administratif berupa bunga sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (2), Pasal 8 ayat (2a), Pasal 9 ayat (2a), Pasal 9 ayat (2b), dan Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang dikenakan melebihi jangka waktu 24 (dua puluh empat) bulan, atas permohonan tersebut dapat diberikan pengurangan atau penghapusan sanksi administratif sehingga besarnya sanksi administratif dikenakan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
(3)Direktur Jenderal Pajak secara jabatan mengurangkan atau membatalkan Surat Tagihan Pajak yang diterbitkan sebagai akibat dari penerbitan Surat Ketetapan Pajak yang diajukan keberatan, Prosedur Persetujuan Bersama, banding, peninjauan kembali, atau pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak dan telah diterbitkan Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Persetujuan Bersama, Putusan Banding, Putusan Peninjauan Kembali, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak yang mengakibatkan berkurangnya jumlah pajak yang masih harus dibayar.



Bagian Keempat
Penerbitan Kembali atas Keputusan

Pasal 40


(1)Dalam hal keputusan yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan diketahui rusak, tidak terbaca, hilang, atau tidak dapat ditemukan lagi karena keadaan di luar kekuasaannya, Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya menerbitkan kembali keputusan sebagai pengganti keputusan yang rusak, tidak terbaca, hilang, atau tidak dapat ditemukan lagi.
(2)Keputusan yang diterbitkan kembali oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai kedudukan hukum yang sama dengan keputusan yang telah diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(3)Ketentuan mengenai tata cara penerbitan kembali keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.



Bagian Kelima
Gugatan

Pasal 41


(1)Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(2)Dalam hal terdapat Putusan Gugatan atas Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara penerbitan, Direktur Jenderal Pajak setelah menerima Putusan Gugatan tersebut menindaklanjuti Putusan Gugatan dengan menerbitkan kembali Surat Ketetapan Pajak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(3)Dalam hal Surat Ketetapan Pajak yang diterbitkan kembali sebagai akibat dari Putusan Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkait dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 17B ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan bagi Direktur Jenderal Pajak untuk menerbitkan Surat Ketetapan Pajak tertangguh, terhitung sejak tanggal diterbitkan Surat Ketetapan Pajak yang diajukan gugatan sampai dengan Putusan Gugatan diterima oleh Direktur Jenderal Pajak.


  

Pasal 42


(1)Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Keberatan sesuai dengan prosedur atau tata cara yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(2)Dalam hal terdapat Putusan Gugatan atas Surat Keputusan Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara penerbitan, Direktur Jenderal Pajak setelah menerima Putusan Gugatan tersebut menindaklanjuti Putusan Gugatan dengan menerbitkan kembali Surat Keputusan Keberatan sesuai dengan prosedur atau tata cara yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(3)Dalam hal terdapat Putusan Gugatan atas surat dari Direktur Jenderal Pajak yang menyatakan bahwa keberatan Wajib Pajak tidak dipertimbangkan sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (4) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan tertangguh, terhitung sejak tanggal dikirim surat dari Direktur Jenderal Pajak tersebut kepada Wajib Pajak sampai dengan Putusan Gugatan Pengadilan Pajak diterima oleh Direktur Jenderal Pajak.



Bagian Keenam
Surat Pelaksanaan Putusan Banding,
Putusan Peninjauan Kembali, dan Putusan Gugatan

Pasal 43


(1)Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat pelaksanaan Putusan Banding setelah menerima Putusan Banding.
(2)Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat pelaksanaan Putusan Peninjauan Kembali setelah menerima Putusan Peninjauan Kembali.
(3)Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat pelaksanaan Putusan Gugatan setelah menerima Putusan Gugatan.


 

BAB VI
IMBALAN BUNGA

Pasal 44


(1)Wajib Pajak diberi imbalan bunga dalam hal pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan peninjauan kembali, dikabulkan sebagian atau seluruhnya sehingga menyebabkan kelebihan pembayaran pajak.
(2)Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan terhadap kelebihan pembayaran pajak paling banyak sebesar jumlah lebih bayar yang disetujui Wajib Pajak dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atas Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar yang telah diterbitkan Surat Ketetapan Pajak.
(3)Jumlah lebih bayar yang disetujui Wajib Pajak dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan jumlah lebih bayar menurut Wajib Pajak yang disampaikan oleh Wajib Pajak pada saat Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan.
(4)Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak.
(5)Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan:
  1. berdasarkan tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri berdasarkan suku bunga acuan dibagi 12 (dua belas); dan
  2. paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(6)Tarif bunga per bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) yang digunakan sebagai dasar penghitungan imbalan bunga merupakan tarif bunga per bulan yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan imbalan bunga.
(7)Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dihitung sejak tanggal penerbitan Surat Ketetapan Pajak sampai dengan tanggal diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.
(8)Pelaksanaan pemberian imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku ketentuan:
  1. dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan, imbalan bunga diberikan jika terhadap Surat Keputusan Keberatan tidak diajukan permohonan banding ke Pengadilan Pajak;
  2. dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, imbalan bunga diberikan jika terhadap Putusan Banding telah diterima oleh Direktur Jenderal Pajak dari Pengadilan Pajak; atau
  3. dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan Peninjauan Kembali, imbalan bunga sebagai akibat terbitnya Putusan Peninjauan Kembali diberikan jika terhadap Putusan Peninjauan Kembali telah diterima oleh Direktur Jenderal Pajak dari Mahkamah Agung.
(9)Tata cara pemberian imbalan bunga dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.



BAB VII

PENAGIHAN

Pasal 45


(1)Dasar penagihan pajak berupa:
  1. Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Persetujuan Bersama, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah; dan/atau
  2. klaim pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 20A ayat (8) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, dalam hal terdapat permintaan bantuan penagihan pajak dari negara mitra atau yurisdiksi mitra.
(2)Termasuk jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yaitu pajak yang seharusnya tidak dikembalikan.
(3)Dasar penagihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ayat (2) harus dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan.



Pasal 46


Dalam hal dasar penagihan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) huruf a dan ayat (2) diberikan penundaan pembayaran atau persetujuan angsuran pembayaran, jangka waktu hak mendahulu selama 5 (lima) tahun dihitung sejak batas akhir penundaan diberikan atau sejak tanggal jatuh tempo angsuran terakhir sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (5) huruf b Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.


Pasal 47


(1)Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan dan tidak mengajukan permohonan banding, pelunasan atas jumlah pajak yang tidak disetujui Wajib Pajak dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dan belum dibayar pada saat pengajuan keberatan dilakukan paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan dengan memperhitungkan jumlah pajak berdasarkan Surat Keputusan Keberatan.
(2)Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, pelunasan atas jumlah pajak yang tidak disetujui Wajib Pajak dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dan belum dibayar pada saat pengajuan keberatan dilakukan paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal penerbitan Putusan Banding dengan memperhitungkan jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding.
(3)Dalam hal Wajib Pajak menyetujui seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, pelunasan atas jumlah pajak yang masih harus dibayar dilakukan paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal penerbitan Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
(4)Dalam hal Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak di daerah tertentu menyetujui seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, pelunasan atas jumlah pajak yang masih harus dibayar dilakukan paling lama 2 (dua) bulan terhitung sejak tanggal penerbitan Surat Ketetapan Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (3a) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.



Pasal 48


(1)Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan, jumlah pajak yang tidak disetujui dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan bukan merupakan utang pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan.
(2)Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, jumlah pajak yang tidak disetujui dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan tidak termasuk sebagai utang pajak sampai dengan diterbitkannya Putusan Banding.
(3)Atas jumlah pajak yang tidak disetujui sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak diperhitungkan dengan kelebihan pembayaran pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat (la) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
(4)Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) juga berlaku atas sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dalam Surat Tagihan Pajak yang terkait dengan jumlah pajak dalam Surat Ketetapan Pajak yang tidak disetujui dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan.



Pasal 49


(1)Dalam hal jumlah pajak yang masih harus dibayar atau utang pajak tidak dilunasi dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3) dan Pasal 47 diterbitkan Surat Teguran.
(2)Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan setelah 7 (tujuh) hari terhitung sejak saat jatuh tempo pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3) dan Pasal 47.
(3)Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan setelah 7 (tujuh) hari terhitung sejak saat diterima klaim pajak dari negara mitra atau yurisdiksi mitra sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) huruf b.
(4)Dalam hal Wajib Pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dan Wajib Pajak tidak mengajukan keberatan, Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan setelah 7 (tujuh) hari terhitung sejak saat jatuh tempo pengajuan keberatan.
(5)Dalam hal Wajib Pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dan Wajib Pajak tidak mengajukan permohonan banding atas keputusan keberatan, Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan setelah 7 (tujuh) hari terhitung sejak saat jatuh tempo pengajuan permohonan banding.
(6)Dalam hal Wajib Pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dan Wajib Pajak mengajukan permohonan banding atas keputusan keberatan, Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan setelah 7 (tujuh) hari terhitung sejak saat jatuh tempo pelunasan pajak yang masih harus dibayar berdasarkan Putusan Banding.



Pasal 50


Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan penagihan pajak atas jumlah pajak yang masih harus dibayar diatur dalam Peraturan Menteri.


BAB VIII
KUASA WAJIB PAJAK DAN RAHASIA JABATAN

Bagian Kesatu
Kuasa Wajib Pajak

Pasal 51


(1)Wajib Pajak dapat menunjuk kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(2)Kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
  1. konsultan pajak;
  2. pihak lain; atau
  3. keluarga.
(3)Seorang kuasa yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mempunyai kompetensi tertentu dalam aspek perpajakan, kecuali keluarga.
(4)Keluarga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c terdiri atas:
  1. suami;
  2. istri; atau
  3. keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua.



Pasal 52


(1)Kuasa menjalankan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan sesuai dengan surat kuasa khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1).
(2)Dalam menjalankan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan sebagai kuasa, kuasa wajib mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(3)Kuasa tidak dapat menjalankan hak dan kewajiban Wajib Pajak yang dikuasakan kepadanya jika dalam menjalankan hak dan memenuhi kewajiban perpaj akannya:
  1. menghalang-halangi pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan; atau
  2. dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya.



Pasal 53


Menteri dapat mengatur pembinaan, pengembangan, dan/atau pengawasan konsultan pajak dan pihak lain yang bertindak sebagai kuasa Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2) huruf a dan huruf b untuk pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.


Bagian Kedua
Rahasia Jabatan

Pasal 54


(1)Setiap pejabat dan tenaga ahli dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya.
(2)Demi kepentingan negara, dalam rangka Penyidikan, penuntutan, atau dalam rangka mengadakan kerja sama dengan lembaga negara, instansi pemerintah, badan hukum yang dibentuk melalui Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah, atau pihak lain, Menteri berwenang memberi izin tertulis kepada pejabat dan/atau tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk memberikan keterangan dan/atau memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak tertentu yang ditunjuk dalam izin tertulis Menteri tersebut.
(3)Pihak tertentu yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (2):
  1. hanya dapat meminta keterangan dan/atau bukti tertulis mengenai keterangan dan/atau bukti tertulis yang tercantum dalam izin tertulis Menteri;
  2. wajib merahasiakan segala keterangan dan/atau bukti tertulis yang diketahui atau diperoleh dari pejabat dan/atau tenaga ahli; dan
  3. hanya dapat memanfaatkan keterangan dan/atau bukti tertulis sesuai dengan tujuan diajukannya permintaan keterangan dan/atau bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak.
(4)Dalam hal pihak tertentu yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pihak tertentu tersebut dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5)Pejabat dan/atau tenaga ahli yang memberikan keterangan dan/atau memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak dalam rangka melaksanakan tugas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
(6)Ketentuan mengenai tata cara pemberian izin tertulis kepada pejabat dan/atau tenaga ahli diatur dalam Peraturan Menteri.


  

BAB IX
PENERAPAN PROSEDUR PERSETUJUAN BERSAMA

Pasal 55


(1)Direktur Jenderal Pajak berwenang melaksanakan Prosedur Persetujuan Bersama untuk mencegah atau menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.
(2)Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan oleh:
a.Wajib Pajak dalam negeri;
b.Direktur Jenderal Pajak;
c.pejabat berwenang negara mitra atau yurisdiksi mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda; atau
d.warga negara Indonesia melalui Direktur Jenderal Pajak terkait perlakuan diskriminatif di negara mitra atau yurisdiksi mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang bertentangan dengan ketentuan mengenai nondiskriminasi,
sesuai dengan ketentuan dan batas waktu sebagaimana diatur dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.
(3)Untuk menentukan dapat atau tidaknya dilaksanakan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak meneliti terlebih dahulu permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama yang diajukan oleh pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf c, atau huruf d.



Pasal 56


Terhadap pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) yang menghasilkan kesepakatan dalam Persetujuan Bersama, Direktur Jenderal Pajak menindaklanjuti Persetujuan Bersama tersebut dengan menerbitkan Surat Keputusan Persetujuan Bersama dengan ketentuan Direktur Jenderal Pajak telah:

  1. menerima pemberitahuan tertulis dari pejabat berwenang mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda bahwa Persetujuan Bersama dapat dilaksanakan; dan
  2. menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada pejabat berwenang mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda bahwa Persetujuan Bersama dapat dilaksanakan.



Pasal 57


(1)Dalam hal pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1):
a.menghasilkan Persetujuan Bersama sebelum Surat Keputusan Keberatan diterbitkan; dan
b.Persetujuan Bersama memuat kesepakatan untuk materi yang disengketakan,
Direktur Jenderal Pajak menindaklanjuti kesepakatan dalam Persetujuan Bersama tersebut dengan menerbitkan Surat Keputusan Persetujuan Bersama setelah diterimanya penyesuaian atau pencabutan keberatan dari Wajib Pajak.
(2)Dalam hal pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1):
a.menghasilkan Persetujuan Bersama sebelum Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak atau Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak diterbitkan; dan
b.Persetujuan Bersama memuat kesepakatan untuk materi yang disengketakan,
Direktur Jenderal Pajak menindaklanjuti kesepakatan dalam Persetujuan Bersama tersebut dengan menerbitkan Surat Keputusan Persetujuan Bersama setelah diterimanya pencabutan permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak dari Wajib Pajak.
(3)Dalam hal pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1):
a.menghasilkan Persetujuan Bersama sebelum Putusan Banding diucapkan; dan
b.Persetujuan Bersama memuat kesepakatan untuk materi yang disengketakan,
Direktur Jenderal Pajak menindaklanjuti kesepakatan dalam Persetujuan Bersama tersebut dengan menerbitkan Surat Keputusan Persetujuan Bersama setelah diterimanya pemberitahuan penyesuaian atau pencabutan permohonan banding dari Wajib Pajak kepada Pengadilan Pajak.
(4)Dalam hal pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1):
a.menghasilkan Persetujuan Bersama sebelum Putusan Peninjauan Kembali diterbitkan; dan
b.Persetujuan Bersama memuat kesepakatan untuk materi yang disengketakan,
Direktur Jenderal Pajak menindaklanjuti kesepakatan dalam Persetujuan Bersama tersebut dengan menerbitkan Surat Keputusan Persetujuan Bersama setelah diterimanya pemberitahuan penyesuaian atau pencabutan permohonan peninjauan kembali dari Wajib Pajak kepada Mahkamah Agung.
(5)Dalam hal Wajib Pajak mengajukan gugatan terhadap:
a.Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak;
b.Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak; atau
c.Penerbitan Surat Ketetapan Pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan,
yang terkait dengan Prosedur Persetujuan Bersama, Direktur Jenderal Pajak menindaklanjuti kesepakatan dalam Persetujuan Bersama dengan menerbitkan Surat Keputusan Persetujuan Bersama setelah diterimanya pemberitahuan pencabutan gugatan dari Wajib Pajak kepada Pengadilan Pajak.
(6)Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), atau ayat (5) dapat diterapkan dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 telah terpenuhi.



Pasal 58


(1)Dalam hal Surat Keputusan Persetujuan Bersama mengakibatkan kelebihan pembayaran pajak, kelebihan pembayaran tersebut dikembalikan kepada Wajib Pajak dengan ketentuan jika Wajib Pajak mempunyai utang pajak, kelebihan pembayaran dimaksud langsung diperhitungkan untuk melunasi utang pajak terlebih dahulu.
(2)Kelebihan pembayaran pajak sebagai akibat diterbitkannya Surat Keputusan Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikembalikan kepada Wajib Pajak tanpa diberikan imbalan bunga.
(3)Dalam hal pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama tidak ditindaklanjuti dengan penerbitan Surat Keputusan Persetujuan Bersama, berlaku Surat Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.



BAB X
PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN DAN PENYIDIKAN

Pasal 59


(1)Berdasarkan informasi, data, laporan, dan pengaduan, Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana diatur dalam Pasal 43A Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
(2)Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Penyidik yang menerima surat perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan.
(3)Pemeriksaan Bukti Permulaan memiliki tujuan dan kedudukan yang sama dengan penyelidikan sebagaimana diatur dalam undang-undang mengenai hukum acara pidana.
(4)Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara tertutup atau secara terbuka.
(5)Pemeriksaan Bukti Permulaan secara tertutup dilakukan tanpa pemberitahuan kepada Wajib Pajak.
(6)Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka dilakukan dengan pemberitahuan secara tertulis kepada Wajib Pajak.
(7)Dalam melaksanakan Pemeriksaan Bukti Permulaan, Penyidik selaku Pemeriksa Bukti Permulaan berwenang:
  1. meminjam dan memeriksa buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;
  2. mengakses dan/atau mengunduh data, informasi, dan bukti yang dikelola secara elektronik;
  3. memasuki dan memeriksa tempat atau ruang, barang bergerak dan/atau tidak bergerak yang diduga atau patut diduga digunakan untuk menyimpan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dokumen lain, uang, dan/atau barang yang dapat memberi petunjuk tentang penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;
  4. melakukan penyegelan tempat atau ruangan tertentu serta barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak;
  5. meminta keterangan dan/atau bukti yang diperlukan dari pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan melalui Direktur Jenderal Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
  6. meminta keterangan kepada pihak yang berkaitan, dan dituangkan dalam berita acara permintaan keterangan; dan
  7. melakukan tindakan lain yang diperlukan dalam rangka Pemeriksaan Bukti Permulaan.
(8)Pemeriksaan Bukti Permulaan ditindaklanjuti dengan:
  1. Penyidikan dalam hal ditemukan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan dan Wajib Pajak:
    1. tidak mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; atau
    2. mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan namun tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya;
  2. penghentian Pemeriksaan Bukti Permulaan dalam hal:
    1. tidak ditemukan adanya bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan;
    2. peristiwa bukan merupakan tindak pidana di bidang perpajakan;
    3. Wajib Pajak orang pribadi yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan meninggal dunia;
    4. Wajib Pajak telah mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan tersebut telah sesuai dengan keadaan yang sebenarnya; atau
    5. daluwarsa sebagaimana diatur dalam Pasal 40 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
(9)Tata cara penyegelan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf d dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.



Pasal 60


(1)Penyidik melakukan Penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 44 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dalam hal terjadi tindak pidana di bidang perpajakan dan diperoleh bukti permulaan.
(2)Bukti permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari kegiatan:
  1. Pemeriksaan Bukti Permulaan;
  2. penanganan tindak pidana yang diketahui seketika; atau
  3. pengembangan Penyidikan.
(3)Dalam melakukan Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyidik berwenang memanggil saksi atau tersangka untuk diperiksa berdasarkan surat panggilan yang sah.
(4)Saksi atau tersangka sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib memenuhi panggilan berdasarkan surat panggilan yang sah.
(5)Pemanggilan saksi atau tersangka sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan mengenai hukum acara pidana.



Pasal 61


(1)Penetapan tersangka tindak pidana di bidang perpajakan dapat dilakukan tanpa didahului pemeriksaan sebagai saksi apabila yang bersangkutan telah dipanggil 2 (dua) kali secara sah dan tidak hadir tanpa memberikan alasan yang patut dan wajar.
(2)Penetapan sebagai tersangka sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada 2 (dua) alat bukti yang sah.
(3)Pemeriksaan tersangka tindak pidana di bidang perpajakan tidak dilakukan apabila yang bersangkutan telah dipanggil 2 (dua) kali secara sah dan tidak hadir tanpa memberikan alasan yang patut dan wajar.
(4)Dalam hal tersangka tidak memenuhi panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban sebagai tersangka tidak dapat dilakukan oleh kuasa atau penasihat hukum.
(5)Dalam hal tersangka tidak memenuhi panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Penyidik melakukan tindakan berupa:
  1. mengumumkan pemanggilan tersebut pada media berskala nasional dan/atau internasional;
  2. mengusulkan tersangka masuk dalam daftar pencarian orang; dan
  3. meminta bantuan kepada pihak yang berwenang untuk dicatat dalam red notice.
(6)Dalam hal hasil Penyidikan dinyatakan sudah lengkap oleh penuntut umum, penyerahan tanggung jawab tersangka dan barang bukti dari Penyidik kepada penuntut umum dapat dilakukan tanpa kehadiran tersangka apabila:
  1. tersangka telah dipanggil secara sah dan tidak hadir tanpa memberikan alasan yang patut dan wajar; dan
  2. Penyidik telah melakukan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
(7)Dalam melaksanakan kewenangan Penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 44 ayat (2) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Penyidik dapat meminta bantuan aparat penegak hukum lain, berupa:
  1. bantuan teknis;
  2. bantuan taktis;
  3. bantuan upaya paksa; dan/atau
  4. bantuan konsultasi dalam rangka Penyidikan.
(8)Aparat penegak hukum lain sebagaimana dimaksud pada ayat (7) harus memberikan bantuan sesuai dengan permintaan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.



Pasal 62


(1)Dalam pelaksanaan Penyidikan, Menteri berwenang menerbitkan keputusan pencegahan.
(2)Keputusan pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup keputusan pencegahan, perpanjangan masa pencegahan, dan pencabutan pencegahan.
(3)Menteri dapat melimpahkan kewenangan penerbitan keputusan pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Direktur Jenderal Pajak untuk dan atas nama Menteri.



Pasal 63


(1)Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri, Jaksa Agung dapat menghentikan Penyidikan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permintaan.
(2)Permintaan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan setelah Wajib Pajak atau tersangka melunasi:
  1. kerugian pada pendapatan negara sebagaimana diatur dalam Pasal 38 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan ditambah dengan sanksi administratif berupa denda sebesar 1 (satu) kali jumlah kerugian pada pendapatan negara;
  2. kerugian pada pendapatan negara sebagaimana diatur dalam Pasal 39 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan ditambah dengan sanksi administratif berupa denda sebesar 3 (tiga) kali jumlah kerugian pada pendapatan negara; atau
  3. jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 39A Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan ditambah dengan sanksi administratif berupa denda sebesar 4 (empat) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak.
(3)Penerapan sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur sebagai berikut:
  1. dalam hal Wajib Pajak atau tersangka diancam secara alternatif lebih dari 1 (satu) sanksi pidana, diterapkan sanksi administratif yang paling tinggi; atau
  2. dalam hal Wajib Pajak atau tersangka diancam secara kumulatif lebih dari 1 (satu) sanksi pidana, diterapkan sanksi administratif secara kumulatif.
(4)Pelunasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan pemulihan kerugian pada pendapatan negara.
(5)Kerugian pada pendapatan negara dan/atau jumlah pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung sesuai dengan ketentuan Pasal 44B ayat (2) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
(6)Dalam mengajukan permintaan penghentian Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat melimpahkan kewenangan permintaan penghentian Penyidikan kepada pejabat yang ditunjuk.
(7)Berdasarkan permintaan penghentian Penyidikan dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk, Jaksa Agung dapat melimpahkan kewenangan penghentian Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada pejabat yang ditunjuk.



Pasal 64


Ketentuan lebih lanjut mengenai Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, Pasal 61, dan Pasal 62 diatur dalam Peraturan Menteri.


Pasal 65


(1)Dalam hal perkara pidana telah dilimpahkan ke pengadilan, terdakwa tetap dapat melunasi kerugian pada pendapatan negara dan/atau jumlah pajak beserta sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2) dan ayat (3).
(2)Pelunasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjadi pertimbangan:
  1. penuntutan tanpa disertai penjatuhan pidana penjara; dan
  2. pelunasan kerugian pada pendapatan negara dan/atau jumlah pajak beserta sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2) dan ayat (3) diperhitungkan sebagai pembayaran kerugian pada pendapatan negara atau pidana denda yang dibebankan kepada terdakwa.
(3)Pelunasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah menerima informasi kerugian pada pendapatan negara dan/atau jumlah pajak beserta sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2)  dan ayat (3) dari Direktur Jenderal Pajak.
(4)Kerugian pada pendapatan negara dan/atau jumlah pajak beserta sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sesuai dengan ketentuan Pasal 44B ayat (2a) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
(5)Dalam hal pembayaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak, tersangka, atau terdakwa pada tahap Penyidikan sampai dengan persidangan belum memenuhi jumlah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2) dan ayat (3) , atas pembayaran tersebut dapat diperhitungkan sebagai pembayaran pidana denda.
(6)Pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau ayat (5) diperhitungkan sebagai pembayaran kerugian pada pendapatan negara atau pidana denda dalam hal terdakwa terlebih dahulu:
  1. mengajukan permohonan surat keterangan pembayaran kepada Direktur Jenderal Pajak; dan
  2. menyampaikan surat keterangan pembayaran yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf a kepada penuntut umum.



BAB XI
PELAKSANAAN HAK DAN PEMENUHAN
KEWAJIBAN PERPAJAKAN SECARA ELEKTRONIK

Pasal 66


(1)Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan dapat dilakukan secara elektronik dan menggunakan tanda tangan elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai informasi dan transaksi elektronik.
(2)Tanda tangan elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tanda tangan elektronik tersertifikasi dan tanda tangan elektronik tidak tersertifikasi.
(3)Dalam hal pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan tanda tangan elektronik yang tersertifikasi, Wajib Pajak diberikan sertifikat elektronik yang diterbitkan oleh penyelenggara sertifikasi elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai informasi dan transaksi elektronik.
(4)Penyelenggara sertifikasi elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditunjuk oleh Menteri dari daftar penyelenggara sertifikasi elektronik Indonesia yang sudah diakui oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika.
(5)Menteri dapat melakukan kerja sama dengan instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain untuk menyediakan fasilitas pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan secara elektronik dan penggunaan tanda tangan elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melalui sistem administrasi yang terintegrasi dengan sistem di Direktorat Jenderal Pajak.
(6)Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan secara elektronik diatur dengan Peraturan Menteri.



Pasal 67


(1)Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan keputusan dalam rangka melaksanakan ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan dalam bentuk elektronik.
(2)Dalam hal penerbitan keputusan diproses melalui sistem Direktorat Jenderal Pajak atau sistem yang terintegrasi dengan sistem Direktorat Jenderal Pajak serta seluruh persyaratan dalam sistem elektronik telah terpenuhi, sistem dapat menerbitkan keputusan sebagai keputusan Direktorat Jenderal Pajak atau pejabat Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang dalam bentuk elektronik.
(3)Keputusan dalam bentuk elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diberikan tanda tangan elektronik tersertifikasi dan/atau segel elektronik tersertifikasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan berkekuatan hukum sama dengan keputusan yang tertulis.
(4)Tanggal dikirim atau tanggal diterima terkait dengan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan yang dilakukan secara elektronik merupakan tanggal pengiriman secara elektronik dalam sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak atau sistem administrasi yang terintegrasi dengan sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak.
(5)Tanggal pengiriman atau tanggal penerimaan yang dilakukan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang informasi dan transaksi elektronik.
(6)Ketentuan mengenai tata cara penerbitan dan pengiriman keputusan dalam bentuk elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri.



BAB XII
INTEGRASI BASIS DATA KEPENDUDUKAN DENGAN
BASIS DATA PERPAJAKAN

Pasal 68


(1)Orang pribadi yang merupakan Penduduk serta telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sebagai Wajib Pajak wajib mendaftarkan diri dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak menggunakan Nomor Induk Kependudukan.
(2)Nomor Induk Kependudukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan Data Kependudukan yang diadministrasikan pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri.
(3)Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri memberikan Data Kependudukan dan Data Balikan dari Pengguna pada basis Data Kependudukan kepada Menteri untuk diintegrasikan dengan basis data perpajakan.
(4)Pemberian Data Kependudukan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa pemberian hak akses Data Kependudukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5)Pemberian Data Balikan dari Pengguna sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri.
(6)Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri melalui Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil memberikan hak akses Data Kependudukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan Data Balikan dari Pengguna sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
(7)Menteri mendelegasikan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk menerima dan meminta Data Kependudukan dan Data Balikan dari Pengguna sebagaimana dimaksud pada ayat (3).



BAB XIII
PELAKSANAAN HAK DAN PEMENUHAN
KEWAJIBAN PAJAK KARBON

Pasal 69


(1)Orang pribadi atau badan yang memenuhi persyaratan objektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dan persyaratan subjektif sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, atau pemungut Pajak Karbon termasuk dalam pengertian Wajib Pajak.
(2)Pajak Karbon dilunasi dengan cara:
a.dibayar sendiri oleh Wajib Pajak; atau
b.dipungut oleh pemungut Pajak Karbon.
(3)Wajib Pajak yang melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran Pajak Karbon.
(4)Wajib Pajak pemungut Pajak Karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran Pajak Karbon.
(5)Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) wajib mengisi Surat Pemberitahuan sesuai ketentuan dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
(6)Batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) adalah:
a.Surat Pemberitahuan Tahunan paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir tahun kalender; atau
b.Surat Pemberitahuan Masa, paling lama 20 (dua puluh) hari setelah akhir Masa Pajak.
(7)Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6), dikenai sanksi administratif dengan ketentuan sebagai berikut:
a.sebesar sanksi administratif keterlambatan penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan untuk Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3); atau
b.sebesar sanksi administratif keterlambatan penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai untuk Surat Pemberitahuan Masa sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 7 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
(8)Wajib Pajak yang melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan kriteria tertentu, dikecualikan dari kewajiban melaporkan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
(9)Ketentuan lebih lanjut mengenai penunjukan pemungut Pajak Karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (8) diatur dalam Peraturan Menteri.



Pasal 70


(1)Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (3) dan ayat (4), wajib menyelenggarakan pencatatan atas aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dan/atau penjualan barang yang mengandung karbon, yang digunakan sebagai dasar untuk menghitung besarnya Pajak Karbon yang terutang.
(2)Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bersumber dari catatan, dokumen, dan/atau data.
(3)Catatan, dokumen, dan/atau data sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib dikelola atau disimpan sesuai ketentuan dalam Pasal 11 ayat (1) atau ayat (2).
(4)Apabila Wajib Pajak tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3), Wajib Pajak dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan.



BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 71


Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:

1.terhadap Surat Ketetapan Pajak yang diterbitkan sejak tanggal 29 Oktober 2021 yang memuat sanksi administratif berupa bunga sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (3b) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan berlaku ketentuan dalam hal penghitungan sanksi administratifnya dimulai:
a.sebelum tanggal 29 Oktober 2021, pengenaan sanksi administratifnya dihitung menggunakan tarif bunga sesuai dengan Keputusan Menteri mengenai penghitungan tarif bunga sebagai dasar penghitungan sanksi administratif berupa bunga dan pemberian imbalan bunga yang berlaku sejak tanggal 29 Oktober 2021 sampai dengan 31 Oktober 2021; atau
b.sejak tanggal 29 Oktober 2021, pengenaan sanksi administratifnya dihitung menggunakan tarif bunga sesuai dengan Keputusan Menteri mengenai penghitungan tarif bunga sebagai dasar penghitungan sanksi administratif berupa bunga dan pemberian imbalan bunga yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan sanksi;
2.terhadap Surat Ketetapan Pajak yang diterbitkan sejak tanggal 29 Oktober 2021 yang memuat sanksi administratif berupa kenaikan sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (3) huruf c dan huruf d Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, pengenaan sanksi administratifnya sesuai dengan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
3.terhadap jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar yang timbul sejak tanggal 29 Oktober 2021 sebagai akibat tidak dilunasinya jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar dalam surat keputusan persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (4) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, ditagih dengan menerbitkan Surat Tagihan Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) huruf i Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
4.terhadap:
a.Surat Keputusan Keberatan yang menolak, mengabulkan sebagian permohonan Wajib Pajak, atau menambah besarnya jumlah pajak yang masih harus dibayar;
b.Putusan Banding yang menolak, mengabulkan sebagian permohonan Wajib Pajak, atau menambah pajak yang harus dibayar; dan
c.Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah,
yang diterbitkan sejak tanggal 29 Oktober 2021, pengenaan sanksi administratifnya sesuai dengan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
5.terhadap permintaan penghentian Penyidikan yang diajukan oleh Wajib Pajak kepada Menteri sebagaimana diatur dalam Pasal 44B Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang permintaan informasi kerugian pada pendapatan negaranya disampaikan sebelum tanggal 29 Oktober 2021 dan belum diterbitkan keputusan penghentian Penyidikan oleh Jaksa Agung:
a.terkait tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 38 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, pengenaan sanksi administratifnya sesuai Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
b.terkait tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 39 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, pengenaan sanksi administratifnya sesuai Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; dan
c.terkait tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 39A Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, pengenaan sanksi administratifnya sesuai Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja;
6.Prosedur Persetujuan Bersama yang dilaksanakan sampai dengan tanggal 31 Desember 2022, ditindaklanjuti sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan;
7.Keputusan yang diterbitkan dalam bentuk elektronik tanpa diberikan segel elektronik tersertifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 sebelum tersedia segel elektronik tersertifikasi dalam sistem Direktorat Jenderal Pajak tetap berlaku dan diakui keabsahannya, sepanjang dapat dibuktikan bersumber dari sistem elektronik perpajakan; dan
8.Penunjukan kuasa Wajib Pajak yang dilaksanakan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan masih tetap berlaku sampai dengan diberlakukannya peraturan pelaksanaan berdasarkan ketentuan Pasal 44E ayat (2) huruf e Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.



BAB XV
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 72


Ketentuan penerbitan keputusan dalam bentuk elektronik yang diberikan tanda tangan elektronik tersertifikasi dan/atau segel elektronik tersertifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 harus sudah diterapkan paling lama 5 (lima) tahun sejak Peraturan Pemerintah ini berlaku.


Pasal 73


Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan Peraturan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 162, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5268) dinyatakan masih tetap berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.


Pasal 74


Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, terhadap:

a.Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 162, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5268); dan
b.Pasal 6 dan Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2021 tentang Perlakuan Perpajakan untuk Mendukung Kemudahan Berusaha (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6621),

dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.


Pasal 75


Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.?

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.




 Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 12 Desember 2022
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.
 
JOKO WIDODO



Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 12 Desember 2022
MENTERI SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

PRATIKNO



LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2022 NOMOR 226


Global Recognition
Global Recognition | Word Tax     Global Recognition | Word TP
Contact Us

Jakarta
MUC Building
Jl. TB Simatupang 15
Jakarta Selatan 12530

+6221-788-37-111 (Hunting)

+6221-788-37-666 (Fax)

Surabaya
Graha Pena 15th floor
Jl. Ahmad Yani 88
Surabaya 60231

 

Subscribe

For more updates and information, drop us an email or phone number.



© 2020. PT Multi Utama Consultindo. All Rights Reserved.