Perlakuan Perpajakan Untuk Mendukung Kemudahan Berusaha
(1) | Atas penghasilan bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap dikenai pemotongan Pajak Penghasilan sebesar 20% (dua puluh persen) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan. |
(2) | Tarif pemotongan sebesar 20% (dua puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diturunkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1b) Undang-Undang Pajak Penghasilan. |
(3) | Tarif pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diturunkan menjadi sebesar 10% (sepuluh persen) atau sesuai dengan tarif berdasarkan persetujuan penghindaran pajak berganda. |
(4) | Penghasilan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diberikan penurunan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan penghasilan Bunga Obligasi yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap. |
(5) | Bunga Obligasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) termasuk:
|
(6) | Pemotongan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh:
|
(7) | Ketentuan mengenai Bunga Obligasi atas Obligasi yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah berlaku mutatis mutandis terhadap ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini. |
(8) | Tarif Pajak Penghasilan Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mulai berlaku setelah 6 (enam) bulan terhitung sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini. |
1. | Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
| ||||||||||||||||
2. | Di antara Pasal 2 dan Pasal 3 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 2A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 2A
|
1. | Ketentuan
angka 1 Pasal 1 diubah, serta di antara angka 1 dan angka 2 Pasal 1
disisipkan 5 (lima) angka yakni angka 1a, angka 1b, angka 1c, angka 1d,
dan angka 1e, sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
2. | Di antara Pasal 5 dan Pasal 6 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 5A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5A Pengalihan Barang Kena Pajak untuk tujuan setoran modal pengganti saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal IA ayat (2) huruf d Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai meliputi pengalihan Barang Kena Pajak untuk tujuan setoran modal kepada badan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 16 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
4. | Ketentuan
ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (6), dan ayat (7) Pasal 17 diubah,
serta penjelasan ayat (5) Pasal 17 diubah sebagaimana tercantum dalam
penjelasan pasal demi pasal, sehingga Pasal 17 berbunyi sebagai berikut: Pasal 17
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
5. | Di antara Pasal 17 dan Pasal 18 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 17A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 17A
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
6. | Ketentuan
ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) Pasal 19 diubah, serta ayat
(2) Pasal 19 dihapus, sehingga Pasal 19 berbunyi sebagai berikut: Pasal 19
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
7. | Di antara Pasal 19 dan Pasal 20 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 19A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 19A
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
8. | Ketentuan
ayat (1) Pasal 20 diubah, ayat (2) dan ayat (3) Pasal 20 dihapus, serta
ditambahkan 1 (satu) ayat dalam Pasal 20 yakni ayat (4), sehingga Pasal
20 berbunyi sebagai berikut: Pasal 20
|
1. | Ketentuan angka 1 Pasal 1 diubah, sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
| ||||||||||||||||||||||||||||
2. | Ketentuan
ayat (1), ayat (2), dan ayat (5) Pasal 7 diubah, di antara ayat (2) dan
ayat (3) Pasal 7 disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (2a), serta
penjelasan ayat (3) Pasal 7 diubah sebagaimana tercantum dalam
penjelasan pasal demi pasal, sehingga Pasal 7 berbunyi sebagai berikut: Pasal 7
| ||||||||||||||||||||||||||||
3. | Ketentuan
ayat (1), ayat (2), ayat (6), dan ayat (8) Pasal 8 diubah, serta ayat
(7) Pasal 8 dihapus, sehingga Pasal 8 berbunyi sebagai berikut: Pasal 8
| ||||||||||||||||||||||||||||
4. | Di antara Pasal 10 dan Pasal 11 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 10A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 10A
| ||||||||||||||||||||||||||||
5. | Ketentuan
ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) Pasal 12 diubah, di antara
ayat (4) dan ayat (5) Pasal 12 disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (4a),
dan penjelasan ayat (1) Pasal 12 diubah sebagaimana tercantum dalam
penjelasan pasal demi pasal, sehingga Pasal 12 berbunyi sebagai berikut: Pasal 12
| ||||||||||||||||||||||||||||
6. | Ketentuan ayat (1) Pasal 14 diubah, serta ayat (2) dan ayat (3) Pasal 14 dihapus, sehingga Pasal 14 berbunyi sebagai berikut: Pasal 14
| ||||||||||||||||||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15
| ||||||||||||||||||||||||||||
8. | Ketentuan ayat (1) Pasal 16 diubah dan ayat (2) Pasal 16 dihapus, sehingga Pasal 16 berbunyi sebagai berikut: Pasal 16
| ||||||||||||||||||||||||||||
9. | Ketentuan ayat (1) dan ayat (2) Pasal 20 diubah, sehingga Pasal 20 berbunyi sebagai berikut: Pasal 20
| ||||||||||||||||||||||||||||
10. | Ketentuan
ayat (3) dan ayat (4) Pasal 24 diubah, serta penjelasan ayat (1) dan
ayat (2) Pasal 24 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan pasal
demi pasal, sehingga Pasal 24 berbunyi sebagai berikut: Pasal 24
| ||||||||||||||||||||||||||||
11. | Ketentuan Pasal 29 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||
12. | Ketentuan Pasal 43 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||
13. | Ketentuan Pasal 44 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||
14. | Ketentuan Pasal 45 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||
15. | Di antara Pasal 45 dan Pasal 46 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 45A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 45A
| ||||||||||||||||||||||||||||
16. | Ketentuan
ayat (1), ayat (6), dan ayat (7) huruf d Pasal 60 diubah, ayat (7)
huruf c dan huruf e Pasal 60 dihapus, dan penjelasan ayat (2) Pasal 60
diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan pasal demi pasal, sehingga
Pasal 60 berbunyi sebagai berikut: Pasal 60
| ||||||||||||||||||||||||||||
17. | Ketentuan
ayat (2) Pasal 62 diubah, dan di antara ayat (2) dan ayat (3) Pasal 62
disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (2a), sehingga Pasal 62 berbunyi
sebagai berikut: Pasal 62
| ||||||||||||||||||||||||||||
18. | Di antara Pasal 63 dan Pasal 64 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 63A dan Pasal 63B sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 63A
|
(1) | Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan keputusan atau ketetapan dalam rangka melaksanakan ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan, dalam bentuk elektronik dan ditandatangani secara elektronik. |
(2) | Keputusan atau ketetapan berbentuk elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkekuatan hukum sama dengan keputusan atau ketetapan yang tertulis. |
(3) | Dalam hal keputusan atau ketetapan dibuat dalam bentuk elektronik, tidak dibuat keputusan atau ketetapan dalam bentuk tertulis. |
(4) | Tanggal dikirim atau tanggal diterima terkait dengan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan yang dilakukan secara elektronik merupakan tanggal pengiriman secara elektronik dalam sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak atau sistem administrasi yang terintegrasi dengan sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak. |
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penerbitan, penandatanganan, dan pengiriman secara elektronik atas keputusan atau ketetapan berbentuk elektronik diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. |
1. | terhadap:
| ||||
2. | terhadap:
| ||||
3. | terhadap sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang dikenakan melalui Surat Tagihan Pajak yang diterbitkan sejak tanggal 2 November 2020, pengenaan sanksi administratifnya sesuai dengan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; | ||||
4. | terhadap imbalan bunga yang diberikan berdasarkan ketetapan, keputusan, atau putusan yang diterbitkan sejak tanggal 2 November 2020 dan penghitungan imbalan bunganya dimulai sebelum tanggal 2 November 2020, imbalan bunga tersebut dihitung menggunakan tarif bunga sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai penghitungan tarif bunga sebagai dasar penghitungan sanksi administratif berupa bunga dan pemberian imbalan bunga yang berlaku untuk bulan November 2020; | ||||
5. | terhadap pembayaran kembali Pajak Masukan yang telah dikembalikan atau telah dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang tidak melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dan/atau ekspor Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (6e) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai, yang belum dilakukan sampai dengan tanggal 2 November 2020, atas Pajak Masukannya diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf f Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; dan | ||||
6. | terhadap imbalan bunga yang seharusnya tidak diberikan dan belum dilakukan pembayaran kembali oleh Wajib Pajak sampai dengan tanggal 2 November 2020, imbalan bunga tersebut ditagih dengan menerbitkan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf h Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. |
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 2 Februari 2021 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. JOKO WIDODO |
I. | UMUM Dalam rangka mendukung cipta kerja yang memerlukan penyesuaian berbagai aspek pengaturan yang berkaitan dengan kemudahan, perlindungan dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil dan menengah, peningkatan ekosistem investasi, dan percepatan proyek strategis nasional, termasuk peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja, telah diundangkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Undang-Undang Cipta Kerja). Undang-Undang Cipta Kerja antara lain telah mengubah 3 (tiga) Undang-Undang di bidang perpajakan, yaitu Undang-Undang Pajak Penghasilan, Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai, dan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Dalam Undang-Undang Cipta Kerja tersebut antara lain terdapat amanah dalam ketentuan Pasal 111 yang mengatur mengenai pengenaan tarif Pajak Penghasilan Pasal 26 ayat (1b) Undang-Undang Pajak Penghasilan atas penghasilan berupa bunga yang diterima oleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia. Dalam ketentuan Pasal 185 huruf b Undang-Undang Cipta Kerja, juga terdapat pengaturan untuk melakukan penyesuaian peraturan pelaksanaan dari undang-undang yang dilakukan perubahan dengan Undang-Undang Cipta Kerja, yaitu dalam hal ini Undang-Undang Pajak Penghasilan, Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai, dan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Dalam rangka pelaksanaan lebih lanjut ketentuan dalam Undang-Undang Cipta Kerja tersebut di atas perlu melakukan penyesuaian beberapa peraturan sebagai berikut:
Di samping itu, dalam rangka mendukung kemudahan berusaha sebagai salah satu tujuan dari Undang-Undang Cipta Kerja, terdapat proses bisnis di bidang perpajakan yang juga perlu dilakukan penyesuaian, yaitu dengan mengoptimalkan pemanfaatan teknologi informasi dalam administrasi perpajakan. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menyederhanakan proses bisnis dan memberikan kemudahan bagi Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakannya. Pada prinsipnya, Peraturan Pemerintah ini bertujuan untuk memberikan landasan hukum pengaturan perlakuan perpajakan untuk mendukung kemudahan berusaha serta mendukung percepatan implementasi kebijakan strategis di bidang perpajakan sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja. Ruang lingkup pengaturan dalam Peraturan Pemerintah ini meliputi perlakuan perpajakan untuk mendukung kemudahan berusaha di bidang Pajak Penghasilan, bidang Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta bidang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, dengan pokok-pokok materi antara lain sebagai berikut:
Dengan penyusunan Peraturan Pemerintah ini diharapkan optimalisasi pengaturan di bidang perpajakan dapat mendukung dan mewujudkan tujuan dari Undang-Undang Cipta Kerja yang akan memberikan dampak positif bagi peningkatan perekonomian Negara Kesatuan Republik Indonesia. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
II. | PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Huruf a Yang dimaksud dengan "Obligasi dengan kupon" adalah yang dikenal dengan istilah interest bearing debt securities. Yang dimaksud dengan "masa kepemilikan" adalah yang dikenal dengan istilah holding period. Huruf b Yang dimaksud dengan "bunga berjalan" adalah yang dikenal dengan istilah accrued interest. Huruf c Yang dimaksud dengan "Obligasi tanpa bunga" adalah yang dikenal dengan istilah non-interest bearing debt securities. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Pemberlakuan
secara mutatis mutandis dimaksudkan bahwa ketentuan perpajakan yang
berlaku umum berlaku pula untuk transaksi berbasis syariah. Imbal hasil
tersebut dapat berupa ujrah/fee, margin, bagi hasil, atau penghasilan
sejenis lainnya sesuai dengan pendekatan transaksi syariah yang
digunakan. Ayat (8) Cukup jelas. Pasal 4 Angka 1 Pasal 1 Cukup jelas. Angka 2 Pasal 2A Ayat (1) Yang dimaksud dengan diterima atau diperoleh dividen atau penghasilan lain:
Contoh dividen atau penghasilan lain yang memenuhi dan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f untuk dikecualikan sebagai objek Pajak Penghasilan:
Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Pasal 5 Angka 1 Pasal 1 Cukup jelas. Angka 2 Pasal 5A Cukup jelas. Angka 3 Pasal 16 Dihapus. Angka 4 Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Saat
penyerahan barang bergerak merupakan dasar penentuan saat terutangnya
Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah dan sekaligus sebagai dasar pembuatan Faktur Pajak. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menyinkronkan saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan praktik yang lazim terjadi dalam kegiatan usaha yang tercermin dalam praktik pencatatan atau pembukuan berdasarkan prinsip akuntansi yang berlaku umum serta diterapkan secara konsisten oleh Pengusaha Kena Pajak. Dalam praktik kegiatan usaha dan berdasarkan prinsip akuntansi yang berlaku umum, maka:
Saat penyerahan barang sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, tercermin dalam prinsip akuntansi yang berlaku umum dalam bentuk pengakuan sebagai piutang atau penghasilan dengan penerbitan faktur penjualan sebagai sumber dokumennya. Dalam kegiatan usaha, saat pengakuan piutang atau penghasilan atau saat penerbitan faktur penjualan dapat terjadi tidak bersamaan dengan saat penyerahan barang secara fisik sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b. Oleh karena itu, dalam rangka memberikan kemudahan administrasi terkait dengan saat pembuatan Faktur Pajak, saat penerbitan faktur penjualan ditetapkan sebagai saat penyerahan barang yang menjadi dasar saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Termasuk dalam pengertian faktur penjualan, yaitu dokumen lain yang berfungsi sama dengan faktur penjualan. Huruf b Penyerahan
Barang Kena Pajak untuk Barang Kena Pajak tidak bergerak terjadi pada
saat surat atau akta perjanjian yang mengakibatkan perpindahan hak atas
barang tersebut ditandatangani oleh para pihak yang bersangkutan. Saat
tersebut menjadi dasar penentuan saat terutang Pajak Pertambahan Nilai
atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Namun demikian, dalam hal penyerahan hak atas barang tidak bergerak tersebut secara nyata telah terjadi meskipun surat atau akta perjanjian yang mengakibatkan perpindahan hak belum ditandatangani, penyerahan Barang Kena Pajak dianggap telah terjadi. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang
dimaksud dengan "persediaan" adalah persediaan bahan baku, persediaan
bahan pembantu, persediaan barang dalam proses, persediaan barang
setengah jadi, dan/atau persediaan barang jadi. Huruf e Yang
dimaksud dengan "penggabungan usaha, peleburan usaha, pemecahan usaha,
dan pengambilalihan usaha" adalah penggabungan usaha, peleburan usaha,
pemisahan usaha, dan pengambilalihan usaha sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai perseroan terbatas. Yang
dimaksud dengan "pemekaran usaha" adalah pemisahan 1 (satu) badan usaha
menjadi 2 (dua) badan usaha atau lebih dengan cara mendirikan badan
usaha baru dan mengalihkan sebagian aktiva dan pasiva kepada badan usaha
baru tersebut yang dilakukan tanpa melakukan likuidasi badan usaha yang
lama. Yang dimaksud dengan "perubahan bentuk usaha" adalah berubahnya bentuk usaha yang digunakan oleh Pengusaha Kena Pajak, misalnya semula bentuk usaha Pengusaha Kena Pajak adalah commanditaire vennootschap kemudian berubah menjadi perseroan terbatas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Penyerahan
Jasa Kena Pajak terjadi pada saat mulai tersedianya fasilitas atau
kemudahan untuk dipakai secara nyata, baik sebagian atau seluruhnya.
Saat penyerahan Jasa Kena Pajak ini merupakan dasar penentuan saat
terutangnya Pajak Pertambahan Nilai dan sekaligus sebagai dasar
pembuatan Faktur Pajak. Namun demikian, dalam praktik kegiatan usaha dan berdasarkan prinsip akuntansi yang berlaku umum, saat pengakuan piutang atau penghasilan, atau saat penerbitan faktur penjualan dapat terjadi tidak bersamaan dengan saat mulai tersedianya fasilitas atau kemudahan untuk dipakai secara nyata, baik sebagian atau seluruhnya. Dalam rangka memberikan kemudahan administrasi terkait dengan saat pembuatan Faktur Pajak, saat penerbitan faktur penjualan dapat ditetapkan sebagai saat penyerahan jasa yang menjadi dasar saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menyinkronkan saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai dengan praktik yang lazim terjadi dalam kegiatan usaha yang tercermin dalam praktik pencatatan atau pembukuan berdasarkan prinsip akuntansi yang berlaku umum serta diterapkan secara konsisten oleh Pengusaha Kena Pajak. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Ayat (10) Cukup jelas. Angka 5 Pasal 17A Ayat (1) Penyerahan
Barang Kena Pajak Berwujud yang menurut sifat atau hukumnya berupa
barang bergerak yang dilakukan secara konsinyasi, yaitu penyerahan
Barang Kena Pajak yang dilakukan dengan cara:
Berdasarkan ketentuan ini, penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi oleh consignor tidak terjadi pada saat Barang Kena Pajak tersebut diserahkan secara langsung untuk dititipkan kepada consignee, tetapi terjadi pada saat consignor mengakui sebagai piutang atau penghasilan, atau pada saat diterbitkan faktur penjualan oleh Pengusaha Kena Pajak consignor, sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum dan diterapkan secara konsisten. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 6 Pasal 19 Ayat (1) Secara
prinsip, Faktur Pajak harus dibuat pada saat terutangnya Pajak
Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah. Namun demikian karena suatu hal, dapat terjadi
keterlambatan pembuatan Faktur Pajak. Atas keterlambatan pembuatan
Faktur Pajak dikenai sanksi sesuai dengan Pasal 14 ayat (1) huruf d
juncto Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan tanpa adanya ketentuan mengenai batas waktu keterlambatan.
Untuk menjamin kepastian terlaksananya pemungutan Pajak Pertambahan
Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, perlu
adanya pembatasan jangka waktu pembuatan Faktur Pajak. Di samping itu,
ketentuan ini dimaksudkan juga untuk menyelaraskan pengakuan penghasilan
di dalam menghitung peredaran usaha yang digunakan untuk menghitung
Pajak Penghasilan dengan peredaran usaha yang digunakan untuk menghitung
Pajak Pertambahan Nilai. Dengan demikian, saat pembuatan Faktur Pajak ditentukan sesuai dengan prinsip bisnis yang sehat dan harus memenuhi prinsip akuntansi yang berlaku umum serta diterapkan secara konsisten. Termasuk dalam pengertian Faktur Pajak dalam ketentuan ini, yaitu dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak yang dibuat atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak. Untuk kepastian hukum dan untuk memberikan kemudahan administrasi kepada Pengusaha Kena Pajak dalam memenuhi kewajiban Pajak Pertambahan Nilai, perlu penjelasan atau penegasan dalam bentuk ilustrasi kapan saat pembuatan Faktur Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dan ekspor Barang Kena Pajak. Contoh saat pembuatan Faktur Pajak:
Ayat (2) Dihapus. Ayat (3) Pada
dasarnya Faktur Pajak harus dibuat pada saat penyerahan Barang Kena
Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak. Namun demikian karena suatu
hal, dapat terjadi keterlambatan pembuatan Faktur Pajak. Atas keterlambatan pembuatan Faktur Pajak dikenai sanksi sesuai dengan Pasal 14 ayat (1) huruf d juncto Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan tanpa adanya ketentuan mengenai batas waktu keterlambatan. Untuk menjamin kepastian terlaksananya pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang terutang Pajak Pertambahan Nilai, perlu adanya pembatasan jangka waktu pembuatan Faktur Pajak. Di samping itu, ketentuan ini dimaksudkan juga untuk menyelaraskan pengakuan penghasilan di dalam menghitung peredaran usaha yang digunakan untuk menghitung Pajak Penghasilan dengan peredaran usaha yang digunakan untuk menghitung Pajak Pertambahan Nilai. Termasuk dalam pengertian Faktur Pajak dalam ketentuan ini, yaitu dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak yang dibuat atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak. Ayat (4) Faktur
Pajak merupakan bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena
Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan
Jasa Kena Pajak. Dengan demikian, Faktur Pajak yang dibuat oleh
Pengusaha Kena Pajak yang melebihi batas waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) bukan merupakan bukti pungutan pajak yang sah. Ayat (5) Ketentuan
ini dimaksudkan untuk melindungi pembeli Barang Kena Pajak dan/atau
penerima Jasa Kena Pajak dengan menegaskan bahwa Faktur Pajak yang
dibuat lebih dari 3 (tiga) bulan sejak saat Faktur Pajak seharusnya
dibuat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bukan merupakan bukti pungutan
pajak yang sah, sehingga Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam
Faktur Pajak merupakan Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan. Angka 7 Pasal 19A Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Faktur
Pajak merupakan bukti pungutan pajak dan dapat digunakan sebagai sarana
untuk mengkreditkan Pajak Masukan. Faktur Pajak harus diisi secara
benar, lengkap, dan jelas serta ditandatangani oleh pihak yang ditunjuk
oleh Pengusaha Kena Pajak untuk menandatanganinya. Namun, keterangan
mengenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah hanya diisi apabila atas
penyerahan Barang Kena Pajak terutang Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Faktur Pajak yang tidak diisi sesuai dengan ketentuan dalam Pasal ini
mengakibatkan Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum di dalamnya tidak
dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 9 ayat (8) huruf f
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Faktur
Pajak yang mencantumkan identitas pembeli Barang Kena Pajak atau
penerima Jasa Kena Pajak berupa nama, alamat, dan nomor induk
kependudukan bagi subjek pajak dalam negeri orang pribadi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan, tidak termasuk Faktur Pajak yang
tidak mencantumkan nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli
Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (8) huruf f Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai. Dengan demikian, Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam Faktur Pajak dimaksud merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak orang pribadi sepanjang memenuhi ketentuan pengkreditan Pajak Masukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Angka 8 Pasal 20 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Dihapus. Ayat (3) Dihapus. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 6 Angka 1 Pasal 1 Cukup jelas. Angka 2 Pasal 7 Ayat (1) Prinsip
dari sistem self assessment dalam pemungutan pajak adalah memberikan
kesempatan kepada Wajib Pajak untuk secara sukarela menghitung, membayar
dan melaporkan pajak terutang berdasarkan peraturan perundang-undangan
perpajakan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Dengan demikian,
meskipun terhadap Wajib Pajak sedang dilakukan tindakan penegakan hukum,
Wajib Pajak tetap memiliki kesempatan untuk secara sukarela memenuhi
kewajiban perpajakannya dengan mengungkapkan sendiri ketidakbenaran
perbuatannya. Dalam hal Wajib Pajak melakukan perbuatan, yaitu:
Dalam rangka penerapan sistem self assessment secara konsisten, meskipun Wajib Pajak telah melakukan perbuatan sebagaimana tersebut di atas dan terhadap Wajib Pajak sedang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan atau Pemeriksaan Bukti Permulaan telah ditindaklanjuti untuk dilakukan Penyidikan, Wajib Pajak tetap memiliki kesempatan untuk mengungkapkan sendiri kesalahannya dan terhadap Wajib Pajak tidak akan dilakukan Penyidikan, sepanjang surat pemberitahuan dimulainya Penyidikan belum diberitahukan kepada Penuntut Umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. Untuk memberikan kepastian hukum, yang dimaksud dengan mulai dilakukan Penyidikan sebagaimana diatur pada ayat ini adalah saat surat pemberitahuan dimulainya Penyidikan diberitahukan kepada Penuntut Umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. Dengan demikian, dalam hal pemberitahuan dimulainya Penyidikan telah dilakukan, kesempatan untuk mengungkapkan ketidakbenaran perbuatan sudah tertutup bagi Wajib Pajak. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (2a) Cukup jelas. Ayat (3) Pengungkapan ketidakbenaran perbuatan Wajib Pajak yang diatur pada ayat ini dapat dilakukan:
Dalam hal pengungkapan ketidakbenaran perbuatan Wajib Pajak disampaikan saat dilakukannya Pemeriksaan Bukti Permulaan maka untuk membuktikan bahwa pengungkapan ketidakbenaran perbuatan Wajib Pajak tersebut telah sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, Direktur Jenderal Pajak menyelesaikan Pemeriksaan Bukti Permulaan yang sedang dilakukan. Dalam hal pengungkapan ketidakbenaran perbuatan Wajib Pajak disampaikan setelah Pemeriksaan Bukti Permulaan telah ditindaklanjuti untuk dilakukan Penyidikan namun surat pemberitahuan dimulainya Penyidikan belum diberitahukan kepada Penuntut Umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Penyidikan dihentikan sepanjang pengungkapan ketidakbenaran tersebut telah dinyatakan sesuai dengan keadaan sebenarnya melalui keterangan ahli. Yang dimaksud dengan “sesuai dengan keadaan yang sebenarnya” adalah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak seharusnya dikembalikan menurut pengungkapan Wajib Pajak jumlahnya sama atau lebih besar daripada temuan Pemeriksaan Bukti Permulaan. Apabila pengungkapan ketidakbenaran perbuatan Wajib Pajak telah sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, Pemeriksaan Bukti Permulaan tidak ditindaklanjuti dengan Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan dan kepada Wajib Pajak disampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai tidak ditindaklanjutinya Pemeriksaan Bukti Permulaan dengan Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Angka 3 Pasal 8 Ayat (1) Pada
prinsipnya Wajib Pajak memiliki hak untuk membetulkan Surat
Pemberitahuan sebelum Direktur Jenderal Pajak melakukan Pemeriksaan.
Namun demikian, dalam hal Direktur Jenderal Pajak telah melakukan
Pemeriksaan, Wajib Pajak tetap diberi kesempatan untuk mengungkapkan
dengan kesadaran sendiri tentang ketidakbenaran pengisian Surat
Pemberitahuan sepanjang Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan surat
ketetapan pajak. Untuk memberikan kepastian hukum dan menghindari kemungkinan tidak dipertimbangkannya pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan oleh pemeriksa pajak, maka pengungkapan tersebut harus dilakukan sebelum pemeriksa pajak menyampaikan surat pemberitahuan hasil Pemeriksaan. Hal ini disebabkan surat pemberitahuan hasil Pemeriksaan harus mencerminkan seluruh temuan-temuan yang dihasilkan selama pelaksanaan Pemeriksaan. Dengan demikian pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan oleh Wajib Pajak yang dilakukan setelah surat pemberitahuan hasil Pemeriksaan akan menyebabkan pengungkapan tersebut tidak tercermin dalam surat pemberitahuan hasil Pemeriksaan. Di samping itu, pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang disampaikan setelah surat pemberitahuan hasil Pemeriksaan tidak mencerminkan pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang dilandasi oleh kesadaran sendiri Wajib Pajak. Ayat (2) Surat
Setoran Pajak atas pelunasan pajak yang kurang dibayar dan Surat
Setoran Pajak atas pembayaran sanksi administratif harus dilampirkan
apabila pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan
mengakibatkan pajak yang kurang dibayar menjadi lebih besar. Apabila
pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan tidak
mengakibatkan kekurangan pembayaran pajak maka pengungkapan tersebut
tidak perlu dilampiri dengan Surat Setoran Pajak. Ayat (3) Wajib
Pajak yang sedang dilakukan Pemeriksaan mengungkapkan ketidakbenaran
pengisian Surat Pemberitahuan dalam laporan tersendiri, pemeriksa pajak
harus menyelesaikan pemeriksaannya untuk membuktikan kebenaran laporan
tersendiri tersebut. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Dihapus. Ayat (8) Cukup jelas. Angka 4 Pasal 10A Cukup jelas. Angka 5 Pasal 12 Ayat (1) Tindak
pidana di bidang perpajakan merupakan perbuatan yang diancam sanksi
pidana berdasarkan undang-undang yang terkait dengan perpajakan, antara
lain Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Meterai, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000, dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan Menjadi Undang-Undang. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Putusan
pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap merupakan putusan
terakhir terhadap upaya hukum yang dilakukan atas pelaksanaan hak dan
pemenuhan kewajiban perpajakan. Oleh karena itu, jumlah pajak yang
terutang atau yang seharusnya tidak dikembalikan, yaitu sesuai dengan
putusan yang dikeluarkan oleh pengadilan. Ayat (4a) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Angka 6 Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Dihapus. Ayat (3) Dihapus. Angka 7 Pasal 15 Ayat (1) Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan diterbitkan apabila sudah pernah
diterbitkan surat ketetapan pajak dengan jenis pajak dan Masa Pajak,
Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak yang sama dengan Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar Tambahan yang akan diterbitkan, kecuali surat
ketetapan pajak yang telah diterbitkan sebelumnya merupakan Surat
Ketetapan Pajak Lebih Bayar dalam rangka pengembalian kelebihan
pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan. Pada prinsipnya untuk menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan perlu dilakukan Pemeriksaan. Jika surat ketetapan pajak sebelumnya diterbitkan berdasarkan Pemeriksaan, perlu dilakukan Pemeriksaan ulang sebelum menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 8 Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Dihapus. Angka 9 Pasal 20 Cukup jelas. Angka 10 Pasal 24 Ayat (1) Berdasarkan
sistem self assessment, kewajiban perpajakan Wajib Pajak ditentukan
oleh terpenuhinya persyaratan subjektif dan objektif. Dengan demikian,
surat ketetapan pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak untuk Masa Pajak,
Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sebelum Wajib Pajak tersebut
diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak atau dikukuhkan sebagai Pengusaha
Kena Pajak, dapat diterbitkan apabila diperoleh data dan/atau informasi
yang menunjukkan adanya kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi Wajib
Pajak. Contoh: Terhadap Wajib Pajak orang pribadi diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak pada tanggal 6 Januari 2021. Sampai dengan tanggal 31 Maret 2022 Wajib Pajak hanya menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2020. Dalam tahun 2022, Direktur Jenderal Pajak memperoleh data yang menunjukkan bahwa Wajib Pajak dalam Tahun Pajak 2019 memperoleh penghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak. Berdasarkan data tersebut Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat ketetapan pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak untuk Tahun Pajak 2019. Ayat (2) Penerbitan
surat ketetapan pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak dapat juga dilakukan
apabila setelah penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak atau pencabutan
Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak diperoleh data dan/atau informasi yang
menunjukkan adanya kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi Wajib Pajak
untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sebelum atau
setelah penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak atau pencabutan Pengukuhan
Pengusaha Kena Pajak. Contoh: Terhadap Wajib Pajak orang pribadi diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak pada tanggal 6 Januari 2019. Pada tanggal 28 Desember 2021, Nomor Pokok Wajib Pajak tersebut dihapus. Dalam tahun 2023, Direktur Jenderal Pajak memperoleh data yang menunjukkan bahwa dalam Tahun Pajak 2018, Wajib Pajak memperoleh penghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak, dalam Tahun Pajak 2020, Wajib Pajak memperoleh penghasilan yang belum dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan sebesar Rpl00.000.000,00 dan dalam Tahun Pajak 2022, Wajib Pajak memperoleh penghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak. Berdasarkan data tersebut Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat ketetapan pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak untuk Tahun Pajak 2018, 2020, dan 2022. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 11 Pasal 29 Dihapus. Angka 12 Pasal 43 Dihapus. Angka 13 Pasal 44 Dihapus. Angka 14 Pasal 45 Dihapus. Angka 15 Pasal 45A Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Contoh penerapan ketentuan ayat ini: Contoh 1: Diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp 1.000.000.000,00 atas Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2021 yang menyatakan lebih bayar dengan permohonan restitusi sebesar Rp 2.500.000.000,00. Dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, Wajib Pajak tidak menyetujui seluruh pajak yang masih harus dibayar dan menyetujui jumlah lebih bayar menurut Wajib Pajak adalah sebesar Rp 1.500.000.000,00 sehingga tidak ada pembayaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak. Atas keberatan yang diajukan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Keberatan yang menyatakan terdapat jumlah lebih bayar sebesar Rp 1.600.000.000,00. Jumlah kelebihan pembayaran pajak yang dikembalikan kepada Wajib Pajak adalah sebesar Rp 1.600.000.000,00, yaitu jumlah kelebihan pembayaran sebagaimana tercantum dalam Surat Keputusan Keberatan. Dalam hal ini, Wajib Pajak diberikan imbalan bunga per bulan sebesar suku bunga acuan yang berlaku pada awal penghitungan imbalan bunga dibagi 12 (dua belas) untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan yang dihitung dari jumlah lebih bayar yang disetujui Wajib Pajak dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan sebesar Rp 1.500.000.000,00. Contoh 2: Diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp 1.000.000.000,00 atas Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2021 yang menyatakan lebih bayar dengan permohonan restitusi sebesar Rp 2.500.000.000,00. Dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, Wajib Pajak tidak menyetujui seluruh pajak yang masih harus dibayar namun Wajib Pajak melunasi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tersebut sebelum mengajukan keberatan. Selain itu, Wajib Pajak menyetujui jumlah lebih bayar menurut Wajib Pajak sebesar Rp2.000.000.000,00. Atas keberatan yang diajukan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Keberatan dengan mengabulkan sebagian keberatan Wajib Pajak sehingga jumlah lebih bayar dalam Surat Keputusan Keberatan menjadi sebesar Rp 1.250.000.000,00. Jumlah kelebihan pembayaran pajak yang dikembalikan kepada Wajib Pajak adalah sebesar Rp 2.250.000.000,00, yaitu jumlah kelebihan pembayaran sebagaimana tercantum dalam Surat Keputusan Keberatan (Rp 1.250.000.000,00) ditambah dengan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar yang telah dibayar (Rp 1.000.000.000,00). Dalam hal ini, Wajib Pajak diberikan imbalan bunga per bulan sebesar suku bunga acuan yang berlaku pada awal penghitungan imbalan bunga dibagi 12 (dua belas) untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan yang dihitung dari jumlah lebih bayar berdasarkan Surat Keputusan Keberatan, yaitu sebesar Rp 1.250.000.000,00. Contoh 3: Diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp 1.000.000.000,00 atas Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2021 yang menyatakan lebih bayar dengan permohonan restitusi sebesar Rp 2.500.000.000,00. Dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, Wajib Pajak menyetujui jumlah pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp 500.000.000,00. Wajib Pajak melunasi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tersebut sebesar jumlah yang disetujui dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan sebelum mengajukan keberatan. Atas keberatan yang diajukan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Keberatan sehingga jumlah lebih bayar dalam Surat Keputusan Keberatan menjadi sebesar Rp 1.250.000.000,00. Jumlah kelebihan pembayaran pajak yang dikembalikan kepada Wajib Pajak adalah sebesar Rp 1.750.000.000,00, yaitu jumlah kelebihan pembayaran sebagaimana tercantum dalam Surat Keputusan Keberatan (Rp 1.250.000.000,00) ditambah dengan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar yang telah dibayar (Rp500.000.000,00). Dalam hal ini, Wajib Pajak tidak diberikan imbalan bunga. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Yang dimaksud dengan "tanggal diterbitkannya
Putusan Banding" adalah tanggal Putusan Banding tersebut diucapkan oleh
hakim Pengadilan Pajak dalam sidang terbuka untuk umum. Yang dimaksud dengan "tanggal diterbitkannya Putusan Peninjauan Kembali" adalah tanggal Putusan Peninjauan Kembali tersebut diucapkan oleh hakim agung. Contoh 1: Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar untuk Tahun Pajak 2020 diterbitkan tanggal 5 April 2022 dan diajukan keberatan pada tanggal 8 Juni 2022. Jika Surat Keputusan Keberatan yang mengabulkan permohonan Wajib Pajak diterbitkan pada tanggal 10 Mei 2023 maka penghitungan jangka waktu sebagai dasar pemberian imbalan bunga sesuai dengan ketentuan pada ayat ini adalah mulai dari tanggal 5 April 2022 s.d. 10 Mei 2023, yaitu selama 14 (empat belas) bulan [13 (tiga belas) bulan penuh, yaitu tanggal 5 April 2022 s.d. 4 Mei 2023 ditambah bagian dari bulan yang dihitung penuh 1 (satu) bulan, yaitu tanggal 5 Mei 2023 s.d. 10 Mei 2023]. Contoh 2: Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar untuk Tahun Pajak 2020 diterbitkan tanggal 5 April 2022 dan diajukan keberatan pada tanggal 10 Mei 2022. Surat Keputusan Keberatan yang menolak permohonan Wajib Pajak diterbitkan pada tanggal 5 Januari 2023. Wajib Pajak mengajukan banding dan Putusan Banding yang mengabulkan seluruh permohonan Wajib Pajak diucapkan oleh hakim Pengadilan Pajak dalam sidang terbuka untuk umum pada tanggal 20 Maret 2024 dan baru diterima oleh Direktur Jenderal Pajak pada tanggal 10 Mei 2024. Dalam hal ini, penghitungan jangka waktu sebagai dasar pemberian imbalan bunga sesuai dengan ketentuan pada ayat ini adalah mulai dari tanggal 5 April 2022 s.d. 20 Maret 2024, yaitu selama 24 (dua puluh empat) bulan [23 (dua puluh tiga) bulan penuh, yaitu tanggal 5 April 2022 s.d. 4 Maret 2024 ditambah bagian dari bulan yang dihitung penuh 1 (satu) bulan, yaitu tanggal 5 Maret 2024 s.d. 20 Maret 2024]. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Angka 16 Pasal 60 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Tujuan
Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah mendapatkan bukti permulaan tentang
dugaan terjadinya tindak pidana di bidang perpajakan. Untuk mendapatkan
bukti permulaan tersebut, Pemeriksaan Bukti Permulaan dapat dilakukan
secara tertutup atau secara terbuka. Pemeriksaan Bukti Permulaan berbeda dengan Pemeriksaan mengingat Pemeriksaan Bukti Permulaan memiliki tujuan yang sama dengan penyelidikan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang hukum acara pidana, yaitu untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan Penyidikan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang
dimaksud dengan "pihak ketiga", yaitu pihak lain yang mempunyai
hubungan dengan tindakan, pekerjaan, kegiatan usaha, atau pekerjaan
bebas Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan seperti
bank, akuntan publik, notaris, konsultan pajak, kantor administrasi,
konsultan hukum, konsultan keuangan, pelanggan, atau pemasok. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Angka 17 Pasal 62 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Dalam
hal tindak pidana di bidang perpajakan yang disangkakan terkait dengan
Pasal 38 atau Pasal 39 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan, jumlah kerugian pada pendapatan negara yang harus dilunasi
sebesar pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang seharusnya tidak
dikembalikan. Sedangkan dalam hal tindak pidana di bidang perpajakan
yang disangkakan terkait dengan Pasal 39A Undang-Undang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan, jumlah kerugian pada pendapatan negara yang
harus dilunasi sebesar jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan
pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak. Jumlah pajak tersebut di atas ditambah dengan sanksi administratif berupa denda sebesar 3 (tiga) kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang seharusnya tidak dikembalikan atau 3 (tiga) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak. Ayat (2a) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 18 Pasal 63A Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Dalam
rangka memberikan kemudahan, Wajib Pajak dapat melaksanakan hak dan
memenuhi kewajiban perpajakannya secara elektronik melalui sistem
elektronik yang dapat diintegrasikan dengan sistem elektronik yang
diselenggarakan oleh instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak
lain. Pihak lain yang dimaksud dalam ayat ini adalah pihak lain selain instansi pemerintah, lembaga, dan asosiasi yang dapat memfasilitasi pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan melalui sistem administrasi yang diselenggarakan oleh pihak lain namun terintegrasi dengan sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak. Sebagai contoh, pihak lain tersebut dapat memfasilitasi pendaftaran Wajib Pajak secara online, pembukuan secara online, penerbitan bukti pemotongan atau pemungutan pajak secara online, dan penyampaian Surat Pemberitahuan secara online melalui sistem administrasi yang diselenggarakan oleh pihak lain namun terintegrasi dengan sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 63B Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. |