Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, Serta Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan
(1) | Orang pribadi yang menjadi subjek pajak dalam negeri merupakan orang pribadi WNI maupun WNA yang:
|
(2) | Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan orang pribadi yang:
|
(3) | Jangka waktu 183 (seratus delapan puluh tiga) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditentukan dengan menghitung lamanya subjek pajak orang pribadi berada di Indonesia dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, baik secara terus menerus atau terputus-putus dengan bagian dari hari dihitung penuh sebagai 1 (satu) hari. |
(4) | Subjek
pajak orang pribadi dianggap mempunyai niat untuk bertempat tinggal di
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat dibuktikan
dengan dokumen berupa:
|
(1) | Orang pribadi yang menjadi subjek pajak luar negeri merupakan:
| ||||||||||||||||||||||
(2) | Pemenuhan
persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 1, angka
2, dan angka 3 dipenuhi secara berjenjang dengan ketentuan:
| ||||||||||||||||||||||
(3) | Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 4 dan angka 5 merupakan persyaratan yang harus dipenuhi. | ||||||||||||||||||||||
(4) | Persyaratan
status subjek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 4
terpenuhi dalam hal WNI menjadi subjek pajak dalam negeri negara atau
yurisdiksi lain yang dapat dibuktikan dengan surat keterangan domisili
atau dokumen lain yang menunjukkan status subjek pajak dari otoritas
pajak negara atau yurisdiksi lain tersebut dengan ketentuan:
| ||||||||||||||||||||||
(5) | Persyaratan tertentu lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 5 yaitu:
|
(1) | Untuk
memperoleh surat keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5)
huruf b, WNI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c harus:
|
(2) | Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengajukan permohonan secara elektronik melalui saluran tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. |
(3) | Dalam
hal saluran tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum tersedia,
permohonan dapat dilakukan secara tertulis dengan menyampaikan:
|
(4) | Kepala KPP atas nama Direktur Jenderal Pajak, berdasarkan hasil penelitian menerbitkan:
|
(5) | Dalam hal batas waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (4) telah terlewati dan Kepala KPP atas nama Direktur Jenderal Pajak belum memberikan keputusan, permohonan WNI dianggap diterima. |
(6) | Kepala KPP atas nama Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keterangan WNI Memenuhi Persyaratan Menjadi Subjek Pajak Luar Negeri dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari setelah batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terlewati. |
(7) | Ketentuan mengenai bentuk dokumen berupa:
|
(8) | Dalam hal di kemudian hari ditemukan data dan/atau informasi bahwa kewajiban perpajakan belum atau belum sepenuhnya terpenuhi oleh WNI yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c, ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan ketetapan pajak berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(1) | WNI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c diperlakukan sebagai orang pribadi yang meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2A Undang-Undang PPh dan menjadi subjek pajak luar negeri sejak meninggalkan Indonesia. |
(2) | WNI yang pada saat akan meninggalkan Indonesia dapat menunjukkan bahwa yang bersangkutan memiliki niat untuk menjadi subjek pajak luar negeri berdasarkan ketentuan dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c, ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), dapat mengajukan permohonan untuk ditetapkan sebagai Wajib Pajak nonefektif pada saat akan meninggalkan Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketentuan umum dan tata cara perpajakan. |
(3) | Permohonan
untuk ditetapkan sebagai Wajib Pajak nonefektif sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) disampaikan oleh Wajib Pajak melalui:
|
(4) | Permohonan untuk ditetapkan sebagai Wajib Pajak nonefektif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dibuktikan dengan melampirkan dokumen pendukung yang dapat membuktikan niat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan kewajiban perpajakannya telah terpenuhi. |
(5) | WNI sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetap harus melengkapi persyaratan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c, ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) dalam hal telah secara nyata berada di luar Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan dengan mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1). |
(1) | WNI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c dan Pasal 5 ayat (2) yang tidak menerima atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia tidak dikenai PPh di Indonesia. |
(2) | Dalam hal WNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menerima atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia, penghasilan tersebut dikenai PPh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku bagi subjek pajak luar negeri. |
(3) | Dalam
hal WNI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) di kemudian hari
diketahui secara nyata tidak memenuhi persyaratan sebagai subjek pajak
luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c, ayat
(2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) atau tidak melaksanakan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5), terhadap WNI dimaksud:
|
(4) | Dalam hal terhadap WNI sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdapat pemotongan PPh Pasal 26 Undang-Undang PPh sejak penetapan sebagai Wajib Pajak nonefektif hingga pembatalan sebagai Wajib Pajak nonefektif, PPh Pasal 26 dimaksud dapat dikreditkan dalam menghitung pajak terutang untuk Tahun Pajak yang bersangkutan. |
(1) | Atas penghasilan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang PPh, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, dikenai PPh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang PPh. |
(2) | Dikecualikan
dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), WNA yang telah
menjadi subjek pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
dikenai PPh hanya atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari
Indonesia dengan ketentuan:
|
(3) | Termasuk dalam pengertian penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa penghasilan yang diterima atau diperoleh WNA sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan di Indonesia dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang dibayarkan di luar Indonesia. |
(4) | Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku terhadap WNA yang memanfaatkan P3B antara Pemerintah Indonesia dan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B tempat WNA memperoleh penghasilan dari luar Indonesia. |
(1) | WNA dengan keahlian tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a meliputi tenaga kerja asing yang menduduki pos jabatan tertentu dan peneliti asing. | ||||||
(2) | WNA
dengan keahlian tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
dipekerjakan oleh Pemberi Kerja, wajib memenuhi persyaratan mengenai:
| ||||||
(3) | Kriteria keahlian tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
| ||||||
(4) | Ketentuan mengenai pos jabatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(1) | Jangka waktu 4 (empat) Tahun Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b dihitung sejak WNA pertama kali menjadi subjek pajak dalam negeri. |
(2) | Dalam hal pada jangka waktu 4 (empat) Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) WNA meninggalkan Indonesia, batas akhir jangka waktu tersebut tetap dihitung sejak WNA pertama kali menjadi subjek pajak dalam negeri. |
(1) | WNA yang memilih untuk dikenai PPh hanya atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) harus mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak. |
(2) | Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(3) | Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengajukan permohonan secara elektronik melalui saluran tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. |
(4) | Dalam
hal saluran tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) belum tersedia,
permohonan dapat dilakukan secara tertulis dengan menyampaikan:
|
(5) | Kepala KPP atas nama Direktur Jenderal Pajak, berdasarkan hasil penelitian menerbitkan:
|
(6) | Ketentuan mengenai bentuk dokumen berupa:
|
(1) | WNA melaporkan penghasilan melalui Surat Pemberitahuan Tahunan atas:
|
(2) | Sebelum melaporkan penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), WNA melakukan penghitungan penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(3) | Ketentuan mengenai penghitungan pengenaan PPh hanya atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Indonesia tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(1) | WNA
dengan keahlian tertentu yang telah menjadi subjek pajak dalam negeri
sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini, dapat dikenai PPh hanya atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Indonesia sepanjang
memenuhi persyaratan:
|
(2) | Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disetujui, pengenaan PPh hanya atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Indonesia dihitung sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja sampai dengan berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b. |
(1) | Dividen yang dikecualikan dari objek PPh merupakan Dividen yang berasal dari:
|
(2) | Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Wajib Pajak dalam negeri. |
(1) | Dividen yang berasal dari dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf a yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dikecualikan dari objek PPh dengan syarat harus diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu tertentu. |
(2) | Dividen yang berasal dari dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf a yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak badan dalam negeri dikecualikan dari objek PPh. |
(1) | Dalam hal Dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf a diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia kurang dari jumlah Dividen yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, Dividen yang diinvestasikan dikecualikan dari pengenaan PPh. |
(2) | Selisih dari Dividen yang diterima atau diperoleh dikurangi dengan Dividen yang diinvestasikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai PPh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Dividen yang berasal dari luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf b yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dikecualikan dari objek PPh. |
(2) | Dividen yang berasal dari luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dari objek PPh dengan syarat harus diinvestasikan atau digunakan untuk mendukung kegiatan usaha lainnya di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu tertentu. |
(3) | Dividen yang berasal dari luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan:
|
(1) | Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2), Dividen yang dibagikan berasal dari badan usaha di luar negeri yang sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3) huruf b, harus diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu tertentu, paling sedikit sebesar 30% (tiga puluh persen) dari Laba Setelah Pajak. |
(2) | Dividen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diinvestasikan sebelum Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat ketetapan pajak atas Dividen tersebut sehubungan dengan penerapan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang PPh. |
(3) | Dividen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diinvestasikan setelah Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat ketetapan pajak atas Dividen tersebut sehubungan dengan penerapan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang PPh, Dividen dimaksud tidak dikecualikan dari pengenaan PPh. |
(4) | Dividen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Dividen yang berasal dari Laba Setelah Pajak mulai Tahun Pajak 2020, yang diterima atau diperoleh sejak tanggal 2 November 2020. |
(1) | Dalam hal Dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia kurang dari 30% (tiga puluh persen) dari jumlah Laba Setelah Pajak, Dividen yang diinvestasikan dikecualikan dari pengenaan PPh. |
(2) | Atas selisih dari 30% (tiga puluh persen) Laba Setelah Pajak dikurangi dengan Dividen yang diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai PPh berdasarkan Pasal 17 Undang-Undang PPh. |
(3) | Atas sisa Laba Setelah Pajak dikurangi dengan Dividen yang diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah dikurangi dengan selisih sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak dikenai PPh. |
(1) | Dalam hal Dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia lebih dari 30% (tiga puluh persen) dari jumlah Laba Setelah Pajak, Dividen yang diinvestasikan dikecualikan dari pengenaan PPh. |
(2) | Sisa Laba Setelah Pajak dikurangi dengan Dividen yang diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dikenai PPh. |
(1) | Dividen
yang dikecualikan dari objek PPh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
ayat (1) merupakan Dividen yang dibagikan berdasarkan:
|
(2) | Rapat umum pemegang saham atau Dividen interim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk rapat sejenis dan mekanisme pembagian Dividen sejenis. |
(1) | Penghasilan lain yang dikecualikan dari objek PPh merupakan penghasilan lain yang berasal dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak. |
(2) | Penghasilan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan:
|
(3) | Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Wajib Pajak dalam negeri. |
(1) | Penghasilan setelah pajak dari suatu bentuk usaha tetap di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf a yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dikecualikan dari objek PPh dengan syarat harus diinvestasikan atau digunakan untuk mendukung kegiatan usaha lainnya di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu tertentu. |
(2) | Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penghasilan setelah pajak dari suatu bentuk usaha tetap di luar negeri harus diinvestasikan atau digunakan untuk mendukung kegiatan usaha lainnya di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu tertentu, paling sedikit sebesar 30% (tiga puluh persen) dari Laba Setelah Pajak. |
(1) | Dalam hal penghasilan setelah pajak dari suatu bentuk usaha tetap di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia kurang dari 30% (tiga puluh persen) dari jumlah Laba Setelah Pajak, penghasilan setelah pajak dari suatu bentuk usaha tetap di luar negeri yang diinvestasikan dikecualikan dari pengenaan PPh. |
(2) | Selisih dari 30% (tiga puluh persen) Laba Setelah Pajak dikurangi dengan penghasilan setelah pajak dari suatu bentuk usaha tetap di luar negeri yang diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai PPh berdasarkan Pasal 17 Undang-Undang PPh. |
(3) | Sisa Laba Setelah Pajak dikurangi dengan penghasilan setelah pajak dari suatu bentuk usaha tetap di luar negeri yang diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan atas selisih sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dikenai PPh. |
(1) | Dalam hal penghasilan setelah pajak dari suatu bentuk usaha tetap di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia lebih dari 30% (tiga puluh persen) dari jumlah Laba Setelah Pajak, penghasilan setelah pajak dari suatu bentuk usaha tetap di luar negeri yang diinvestasikan dikecualikan dari pengenaan PPh. |
(2) | Sisa
Laba Setelah Pajak dikurangi dengan penghasilan setelah pajak dari
suatu bentuk usaha tetap di luar negeri yang diinvestasikan di wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak dikenai PPh. |
(1) | Penghasilan dari luar negeri tidak melalui bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf b yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dikecualikan dari objek PPh dengan syarat harus diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu tertentu. |
(2) | Selain
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penghasilan
dari luar negeri tidak melalui bentuk usaha tetap harus memenuhi syarat:
|
(3) | Penghasilan dari luar negeri tidak melalui bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penghasilan yang berasal dari luar negeri yang bersumber dari kegiatan usaha di luar negeri. |
(1) | Dalam hal penghasilan dari luar negeri tidak melalui bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia kurang dari jumlah penghasilan lain yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, penghasilan dari luar negeri tidak melalui bentuk usaha tetap yang diinvestasikan dikecualikan dari pengenaan PPh. |
(2) | Selisih dari penghasilan dari luar negeri tidak melalui bentuk usaha tetap yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dikurangi dengan penghasilan dari luar negeri tidak melalui bentuk usaha tetap yang diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai PPh berdasarkan Pasal 17 Undang-Undang PPh. |
(1) | Pajak
atas penghasilan yang telah dibayar atau terutang di luar negeri atas
Dividen yang berasal dari luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal
17 atau penghasilan lain yang berasal dari luar negeri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 yang dikecualikan dari objek PPh, berlaku
ketentuan:
|
(2) | Dalam hal Dividen yang berasal dari luar negeri atau penghasilan lain yang berasal dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak tidak seluruhnya diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, penghitungan kredit pajak atas pemotongan pajak di luar negeri dilakukan secara proporsional. |
(1) | Investasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf a sampai dengan huruf e dan
huruf l, ditempatkan pada instrumen investasi di pasar keuangan:
|
(2) | Investasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf f sampai dengan huruf k,
ditempatkan pada instrumen investasi di luar pasar keuangan:
|
(3) | Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf d dilakukan melalui mekanisme penyertaan modal ke dalam perusahaan yang berbentuk perseroan terbatas. |
(4) | Sektor yang menjadi prioritas pemerintah dalam investasi sektor riil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi sektor yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional. |
(5) | Properti sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c tidak termasuk properti yang mendapatkan subsidi dari pemerintah. |
(6) | Logam mulia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e merupakan emas batangan atau lantakan dengan kadar kemurnian 99,99% (sembilan puluh sembilan koma sembilan puluh sembilan persen). |
(7) | Emas batangan atau lantakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) merupakan emas yang diproduksi di Indonesia, dan mendapatkan akreditasi dan sertifikat dari Standar Nasional Indonesia (SNI) dan/atau London Bullion Market Association (LBMA). |
(1) | Investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dilakukan paling lambat:
|
(2) | Investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dilakukan paling singkat selama 3 (tiga) Tahun Pajak terhitung sejak Tahun Pajak Dividen atau penghasilan lain diterima atau diperoleh. |
(3) | Investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 tidak dapat dialihkan, kecuali ke dalam bentuk investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35. |
(1) | Pengecualian
dari objek PPh atas Dividen yang berasal dari dalam negeri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf a yang diterima atau diperoleh:
|
(2) | Dividen yang berasal dari dalam negeri yang dikecualikan dari objek PPh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan pemotongan PPh oleh pemotong pajak tanpa Surat Keterangan Bebas. |
(3) | Pengecualian dari objek PPh atas Dividen yang berasal dari luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf b dilaksanakan dengan melaporkan Dividen yang berasal dari luar negeri dalam Surat Pemberitahuan Tahunan sebagai penghasilan yang tidak termasuk objek pajak. |
(1) | PPh yang terutang atas Dividen yang berasal dari dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) dan/atau Pasal 39, wajib disetor sendiri oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dengan tarif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | PPh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetor paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak Dividen diterima atau diperoleh. |
(3) | Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan pembayaran PPh yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan telah mendapat validasi dengan NTPN dianggap telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa PPh sesuai dengan tanggal validasi. |
(1) | Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), Pasal 17 ayat (1), dan/atau Pasal 25 ayat (1) harus menyampaikan laporan realisasi investasi. |
(2) | Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menyampaikan laporan secara elektronik melalui saluran tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. |
(3) | Dalam
hal saluran tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum tersedia,
penyampaian laporan dapat dilakukan secara tertulis dengan
menyampaikan:
|
(4) | Wajib Pajak harus menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
|
(5) | Ketentuan mengenai bentuk dokumen berupa laporan realisasi investasi tercantum dalam Lampiran VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(6) | Ketentuan mengenai penyampaian laporan tercantum dalam Lampiran VIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(1) | Dana setoran BPIH dan/atau BPIH khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 huruf a dan penghasilan dari pengembangan keuangan haji dalam bidang atau instrumen keuangan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 huruf b, yang diterima BPKH, dikecualikan dari objek PPh. |
(2) | Penghasilan
dari pengembangan keuangan haji dalam bidang atau instrumen keuangan
tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
|
(3) | Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, serta pembelian emas batangan atau rekening emas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e dikecualikan dari pemotongan dan/atau pemungutan PPh. |
(4) | Pengecualian dari pemotongan dan/atau pemungutan PPh sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan berdasarkan surat keterangan tidak dilakukan pemotongan dan/atau pemungutan PPh. |
(5) | Untuk memperoleh surat keterangan tidak dilakukan pemotongan dan/atau pemungutan PPh sebagaimana dimaksud pada ayat (4), BPKH harus menyampaikan permohonan kepada Kepala KPP tempat BPKH terdaftar. |
(6) | Ketentuan mengenai bentuk permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tercantum dalam Lampiran IX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(7) | Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan dengan menyampaikan:
|
(8) | Kepala KPP atas nama Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat keterangan tidak dilakukan pemotongan dan/atau pemungutan PPh dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja sejak permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diterima lengkap. |
(9) | Ketentuan mengenai bentuk dokumen berupa surat keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) tercantum dalam Lampiran X yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(10) | Surat keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menjadi dasar bagi pihak-pihak yang melakukan transaksi dengan BPKH untuk tidak melakukan pemotongan dan/atau pemungutan PPh sebagaimana dimaksud pada ayat (3). |
(11) | Penghasilan yang dikecualikan sebagai objek PPh sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak termasuk penghasilan dari pengembangan dana abadi umat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 huruf d. |
(12) | Dalam hal penghasilan dari pengembangan dana abadi umat sebagaimana dimaksud pada ayat (11) yang dikenai PPh bersifat final tidak dilakukan pemotongan dan/atau pemungutan PPh sebagaimana dimaksud pada ayat (3), BPKH menyetor sendiri PPh yang terutang. |
(13) | Penyetoran sendiri PPh yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (12) dilakukan paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak diterima atau diperolehnya penghasilan. |
(14) | Dalam hal PPh yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (13) telah disetorkan dan divalidasi dengan NTPN, BPKH dianggap telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa PPh sesuai dengan tanggal validasi. |
(15) | Penghasilan yang diterima atau diperoleh BPKH selain:
|
(1) | BPKH harus menyelenggarakan pembukuan secara terpisah dalam hal:
|
(2) | Biaya terkait dengan penghasilan yang:
|
(3) | Biaya bersama terkait dengan penghasilan yang dikecualikan dari objek PPh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1), penghasilan dari pengembangan dana abadi umat yang PPh-nya disetor sendiri oleh BPKH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (12), dan penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (15), yang tidak dapat dipisahkan dalam rangka penghitungan besarnya Penghasilan Kena Pajak, pembebanannya dialokasikan secara proporsional. |
(1) | Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) berlaku sejak tanggal diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. |
(2) | Atas penghasilan sebagaimana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) yang telah dikenai pemotongan dan/atau pemungutan PPh yang bersifat final sejak tanggal diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, BPKH dapat mengajukan permohonan pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang. |
(3) | Tata cara permohonan pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang. |
(1) | Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga sosial dan/atau keagamaan yang terdaftar pada instansi yang membidanginya, dikecualikan dari objek PPh dengan syarat sebesar jumlah sisa lebih digunakan untuk pembangunan dan/atau pengadaan sarana dan prasarana sosial dan/atau keagamaan paling sedikit sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah sisa lebih. |
(2) | Dalam hal terdapat sisa atas penggunaan sisa lebih untuk pembangunan dan/atau pengadaan sarana dan prasarana sosial dan/atau keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sisa lebih ditempatkan sebagai dana abadi. |
(3) | Pembangunan dan/atau pengadaan sarana dan prasarana serta pengalokasian dalam bentuk dana abadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan paling lama dalam jangka waktu 4 (empat) tahun sejak sisa lebih diterima atau diperoleh. |
(4) | Ketentuan mengenai penggunaan jumlah sisa lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tercantum dalam Lampiran XI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(5) | Badan
atau lembaga sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan badan
atau lembaga kesejahteraan sosial yang berbadan hukum sebagaimana diatur
dalam peraturan perundang-undangan di bidang kesejahteraan sosial yang
tidak mencari keuntungan dengan kegiatan utamanya menyelenggarakan:
|
(6) | Badan atau lembaga keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan badan yang tidak mencari keuntungan dengan kegiatan utamanya mengurus tempat-tempat ibadah dan/atau menyelenggarakan kegiatan di bidang keagamaan. |
(7) | Instansi yang membidangi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan:
|
(8) | Sisa lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan selisih lebih dari penghitungan seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh selain penghasilan yang dikenai PPh yang bersifat final dan/atau bukan objek PPh, dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan tersebut. |
(9) | Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (8), termasuk:
|
(10) | Bantuan, sumbangan, atau harta hibahan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) huruf a dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, sepanjang tidak ada hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPh. |
(11) | Tidak termasuk hubungan istimewa berupa hubungan kepemilikan dan penguasaan sebagaimana dimaksud pada ayat (10) apabila pemberi dan penerima bantuan, sumbangan, atau harta hibahan merupakan badan atau lembaga sosial dan/atau keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6). |
(1) | Sarana dan prasarana sosial dan/atau keagamaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) meliputi:
|
(2) | Penggunaan sisa lebih dapat dialokasikan dalam bentuk dana abadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2) dengan syarat:
|
(3) | Penggunaan sisa lebih dalam bentuk pembangunan dan/atau pengadaan sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dapat diberikan kepada badan atau lembaga sosial dan/atau keagamaan lain yang terdaftar pada instansi yang membidanginya sepanjang sarana dan prasarana dimaksud berada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. |
(4) | Penggunaan sisa lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan ayat (3) tidak dapat menjadi pengurang penghasilan bruto bagi badan atau lembaga sosial dan/atau keagamaan yang memberikan. |
(5) | Sarana dan prasarana sosial dan/atau keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun dibebankan melalui penyusutan atau amortisasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang PPh. |
(1) | Badan atau lembaga sosial dan/atau keagamaan harus membuat laporan jumlah sisa lebih yang digunakan untuk pembangunan dan/atau pengadaan sarana dan prasarana dan/atau yang dialokasikan dalam bentuk dana abadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) dan ayat (2). |
(2) | Laporan jumlah sisa lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan setiap tahun kepada Kepala KPP tempat badan atau lembaga sosial dan/atau keagamaan terdaftar sebagai lampiran Surat Pemberitahuan Tahunan. |
(3) | Ketentuan mengenai pelaporan jumlah sisa lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran XII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(4) | Selain laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), badan atau lembaga sosial dan/atau keagamaan harus membuat catatan mengenai rincian penggunaan sisa lebih yang dilengkapi dengan bukti pendukung. |
(1) | Jumlah sisa lebih yang tidak digunakan untuk pembangunan dan/atau pengadaan sarana dan prasarana atau dana abadi dalam jangka waktu 4 (empat) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (3) diakui sebagai objek PPh pada akhir Tahun Pajak setelah jangka waktu 4 (empat) tahun tersebut berakhir. |
(2) | Jumlah sisa lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan sebagai tambahan objek PPh dalam Surat Pemberitahuan Tahunan PPh Tahun Pajak diakuinya sisa lebih tersebut sebagai koreksi fiskal. |
(3) | Ketentuan mengenai penghitungan jumlah sisa lebih yang tidak digunakan untuk pembangunan dan/atau pengadaan sarana dan prasarana atau dana abadi dalam jangka waktu 4 (empat) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran XIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(1) | Dana abadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2) dapat dikembangkan berdasarkan praktik bisnis yang sehat dan risiko yang terkelola, dengan memperhatikan prinsip-prinsip tata kelola yang baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Hasil pengembangan dana abadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
|
(3) | Dalam hal penggunaan dana abadi yang berasal dari sisa lebih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2) tidak sesuai dengan ketentuan ayat (1), dana abadi tersebut menjadi objek PPh pada Tahun Pajak ditemukan dan diperlakukan sebagai koreksi fiskal. |
(1) | PKP Belum Melakukan Penyerahan dapat mengkreditkan Pajak Masukan atas perolehan BKP dan/atau JKP, impor BKP, serta pemanfaatan BKP tidak berwujud dan/atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean. |
(2) | Pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(3) | PKP Belum Melakukan Penyerahan dapat mengajukan permohonan pengembalian atas kelebihan Pajak Masukan pada akhir tahun buku. |
(1) | Pajak
Masukan yang dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat
(1) menjadi tidak dapat dikreditkan, apabila dalam jangka waktu
tertentu:
| ||||||
(2) | Kriteria
belum melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
suatu keadaan PKP dengan kegiatan usaha utama pada sektor:
| ||||||
(3) | Termasuk
dalam kriteria belum melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) yaitu apabila dalam jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) PKP semata-mata melakukan kegiatan:
|
(1) | Jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) merupakan jangka waktu sampai dengan 3 (tiga) tahun sejak Masa Pajak pengkreditan pertama kali Pajak Masukan. |
(2) | Jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi sektor usaha tertentu dapat ditetapkan lebih dari 3 (tiga) tahun. |
(3) | Penetapan jangka waktu tertentu bagi sektor usaha tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibatasi terhadap:
|
(1) | Dalam hal PKP Belum Melakukan Penyerahan melakukan perubahan kegiatan usaha dalam jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) atau ayat (3) huruf a dan Pajak Masukan atas perolehan BKP dan/atau JKP, impor BKP, serta pemanfaatan BKP tidak berwujud dan/atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean yang telah dikreditkan mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha yang baru, Pajak Masukan yang telah dikreditkan dan belum diajukan permohonan pengembalian dapat dikreditkan. |
(2) | Dalam hal PKP Belum Melakukan Penyerahan melakukan perubahan kegiatan usaha dalam jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) atau ayat (3) huruf a dan Pajak Masukan atas perolehan BKP dan/atau JKP, impor BKP, serta pemanfaatan BKP tidak berwujud dan/atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean yang telah dikreditkan tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha yang baru, Pajak Masukan yang telah dikreditkan dan belum diajukan permohonan pengembalian menjadi tidak dapat dikreditkan. |
(3) | PKP
Belum Melakukan Penyerahan yang melakukan perubahan kegiatan usaha
dalam jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1)
atau ayat (3) huruf a wajib membayar kembali Pajak Masukan atas
perolehan BKP dan/atau JKP, impor BKP, serta pemanfaatan BKP tidak
berwujud dan/atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam
Daerah Pabean dalam hal:
|
(4) | PKP harus melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan Masa PPN dalam hal Pajak Masukan menjadi tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). |
(1) | Pajak
Masukan yang tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
55 ayat (1), setelah jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 56 ayat (1) atau ayat (3) berakhir:
|
(2) | Kewajiban pembayaran kembali Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dalam hal PKP telah menerima pengembalian kelebihan pembayaran pajak atas Pajak Masukan dimaksud dan/atau telah mengkreditkan Pajak Masukan dimaksud dengan Pajak Keluaran yang terutang dalam suatu Masa Pajak. |
(3) | Pajak Masukan tidak dapat dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya dan tidak dapat diajukan permohonan pengembalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dalam hal atas kelebihan pembayaran pajak dimaksud telah dikompensasikan dan belum dimintakan pengembalian. |
(4) | Pajak Keluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi Pajak Keluaran atas kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (3). |
(1) | Pembayaran kembali Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (2) sebesar Pajak Masukan yang telah diberikan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dan/atau telah dikreditkan dengan Pajak Keluaran yang terutang dalam suatu Masa Pajak. |
(2) | Pembayaran kembali Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terutang pada saat:
|
(3) | Pembayaran kembali Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan paling lambat:
|
(4) | Dalam hal PKP melakukan perubahan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (3), pembayaran kembali Pajak Masukan dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak dilakukannya perubahan kegiatan usaha. |
(5) | Pembayaran kembali Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dengan mencantumkan keterangan "Pembayaran kembali Pajak Masukan" pada kolom uraian. |
(6) | Pembayaran kembali Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) menggunakan kode akun pajak 411219 untuk jenis pajak PPN lainnya dan kode jenis setoran 100 untuk pembayaran PPN lainnya yang terutang. |
(7) | Pembayaran kembali Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), tidak dapat dikreditkan sebagai Pajak Masukan. |
(8) | Pembayaran kembali Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa PPN pada Masa Pajak dilakukan pembayaran oleh PKP. |
(9) | Ketentuan mengenai pembayaran kembali Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pelaporan dalam Surat Pemberitahuan Masa PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (8) tercantum dalam Lampiran XIV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(1) | Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan terhadap PKP Belum Melakukan Penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(2) | PKP yang tidak atau kurang melakukan pembayaran kembali Pajak Masukan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (3) atau ayat (4), diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(3) | Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan atas jumlah pembayaran kembali Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) ditambah sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2a) Undang-Undang KUP. |
(4) | PKP yang melakukan pembayaran kembali Pajak Masukan setelah tanggal jatuh tempo pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (3) atau ayat (4), dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2a) Undang-Undang KUP. |
(5) | Pembayaran kembali Pajak Masukan yang tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tidak termasuk dalam Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (9c) Undang-Undang PPN. |
(6) | Direktur Jenderal Pajak melakukan pencabutan pengukuhan PKP secara jabatan terhadap PKP Belum Melakukan Penyerahan setelah melewati jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) atau ayat (3). |
(1) | Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran dalam Masa Pajak yang sama. |
(2) | Bagi PKP yang telah melakukan penyerahan BKP, penyerahan JKP, ekspor BKP, dan/atau ekspor JKP namun dalam suatu Masa Pajak tidak terdapat penyerahan dan/atau ekspor dimaksud, Pajak Masukan dalam Masa Pajak dimaksud dapat dikreditkan oleh PKP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(3) | PPN yang tercantum dalam Faktur Pajak yang memenuhi ketentuan Pasal 13 ayat (5) dan ayat (9) Undang-Undang PPN merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh PKP dalam suatu Masa Pajak sejak Pengusaha dikukuhkan sebagai PKP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(4) | PPN yang tercantum dalam dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak yang memenuhi ketentuan Pasal 13 ayat (6) dan ayat (9) Undang-Undang PPN merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh PKP dalam suatu Masa Pajak sejak Pengusaha dikukuhkan sebagai PKP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(1) | Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1), tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) Masa Pajak setelah berakhirnya Masa Pajak saat Faktur Pajak dibuat. |
(2) | Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus merupakan Pajak Masukan yang belum dibebankan sebagai biaya atau belum ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan BKP atau JKP, dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(3) | Pengkreditan Pajak Masukan pada Masa Pajak berikutnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh PKP melalui penyampaian atau pembetulan Surat Pemberitahuan Masa PPN. |
(4) | Ketentuan mengenai pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran XV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(1) | Faktur Pajak yang dibuat dengan mencantumkan identitas pembeli BKP atau penerima JKP berupa nama, alamat, dan nomor induk kependudukan bagi subjek pajak dalam negeri orang pribadi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan merupakan Faktur Pajak yang memenuhi ketentuan Pasal 13 ayat (5) huruf b angka 1 Undang-Undang PPN. |
(2) | PPN yang tercantum dalam Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh PKP pembeli BKP atau penerima JKP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(3) | Ketentuan mengenai pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran XVI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(1) | Pajak Masukan atas perolehan BKP dan/atau JKP, impor BKP, serta pemanfaatan BKP tidak berwujud dan/atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai PKP, dapat dikreditkan oleh PKP. |
(2) | Ketentuan pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk Masa Pajak sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai PKP yaitu Masa Pajak sebelum tanggal pengukuhan Pengusaha sebagai PKP sebagaimana tercantum dalam surat pengukuhan PKP. |
(3) | Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikreditkan dengan Pajak Keluaran yang seharusnya dipungut oleh PKP atas penyerahan BKP dan/atau JKP terhitung sejak Pengusaha seharusnya dikukuhkan sebagai PKP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan sampai dengan sebelum Pengusaha dimaksud dikukuhkan sebagai PKP. |
(4) | Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan menggunakan pedoman pengkreditan Pajak Masukan sebesar 80% (delapan puluh persen) dari Pajak Keluaran yang seharusnya dipungut sebagaimana dimaksud pada ayat (3). |
(5) | Pedoman
pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
diberlakukan untuk Masa Pajak sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai PKP,
yang dilakukan melalui:
|
(6) | PPN yang tercantum dalam Faktur Pajak dan dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak untuk suatu Masa Pajak sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai PKP, merupakan Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan. |
(7) | Untuk menggunakan pedoman pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), PKP tidak dapat menggunakan:
|
(8) | Surat Pemberitahuan Masa PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a, yaitu:
|
(9) | Surat
Pemberitahuan Masa PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (8) disampaikan
oleh PKP sejak Pengusaha seharusnya dikukuhkan sebagai PKP pada:
|
(10) | Ketentuan mengenai pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan penyampaian Surat Pemberitahuan Masa PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (9) tercantum dalam Lampiran XVII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(1) | Pengusaha yang tidak membuat Faktur Pajak atas penyerahan BKP dan/atau JKP sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai PKP tidak memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) huruf d Undang-Undang KUP dan tidak dikenai sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang KUP. |
(2) | PKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (3), dikenai sanksi administrasi berupa:
|
(3) | Penghitungan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b yaitu:
|
(4) | Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (6) tidak dapat dibebankan sebagai biaya atau ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan BKP atau JKP oleh PKP yang mengkreditkan Pajak Masukan dengan menggunakan pedoman pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (4). |
(5) | Dalam
hal Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) telah dibebankan
sebagai biaya atau telah ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga
perolehan BKP atau JKP:
|
(1) | Pajak Masukan atas perolehan BKP dan/atau JKP, impor BKP, serta pemanfaatan BKP tidak berwujud dan/atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, yang tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa PPN yang diberitahukan dan/atau ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan, dapat dikreditkan oleh PKP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(2) | Pajak
Masukan yang tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa PPN yang
diberitahukan dan/atau ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu PPN yang tercantum dalam:
|
(3) | Pengkreditan
Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada saat
pemeriksaan untuk diperhitungkan dalam ketetapan pajak yang akan
diterbitkan berdasarkan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang:
|
(4) | Pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan sepanjang surat pemberitahuan hasil pemeriksaan belum disampaikan kepada PKP. |
(5) | Ketentuan mengenai pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran XVIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(1) | Pajak
Masukan atas perolehan BKP dan/atau JKP, impor BKP, serta pemanfaatan
BKP tidak berwujud dan/atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di
dalam Daerah Pabean, yang ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak,
dapat dikreditkan oleh PKP sebesar jumlah pokok pajak yang tercantum
dalam ketetapan pajak, dengan ketentuan:
|
(2) | Pelunasan atas jumlah PPN yang masih harus dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan oleh PKP dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak. |
(3) | Surat
Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat
Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa:
|
(4) | Tidak dilakukan upaya hukum atas ketetapan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi tidak diajukan permohonan:
|
(5) | Termasuk tidak dilakukan upaya hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yaitu tidak diajukan gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Undang-Undang KUP. |
(6) | Ketetapan pajak yang dilampiri dengan seluruh Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak atas pelunasan jumlah PPN yang masih harus dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak. |
(7) | Pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan cara melaporkan dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dalam Surat Pemberitahuan Masa PPN pada Masa Pajak dilakukannya pelunasan ketetapan pajak atau pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) Masa Pajak setelah berakhirnya Masa Pajak saat pelunasan ketetapan pajak. |
(8) | Ketentuan mengenai pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pelaporan dalam Surat Pemberitahuan Masa PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tercantum dalam Lampiran XIX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(1) | PKP wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap:
|
(2) | Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuat pada:
|
(1) | Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1), PKP dapat membuat 1 (satu) Faktur Pajak yang meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan kepada pembeli BKP dan/atau penerima JKP yang sama selama 1 (satu) bulan kalender. |
(2) | Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disebut Faktur Pajak gabungan. |
(3) | Faktur Pajak gabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dibuat paling lama pada akhir bulan penyerahan BKP dan/atau penyerahan JKP. |
(1) | Faktur Pajak yang dibuat oleh PKP setelah melewati jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak saat Faktur Pajak seharusnya dibuat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (2) dan Pasal 70 ayat (3) tidak diperlakukan sebagai Faktur Pajak. |
(2) | PKP yang membuat Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap tidak membuat Faktur Pajak. |
(3) | PKP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(4) | PPN yang tercantum dalam Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan. |
(1) | Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan BKP dan/atau penyerahan JKP yang paling sedikit memuat:
|
(2) | Nomor induk kependudukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 2 mempunyai kedudukan yang sama dengan NPWP dalam rangka pembuatan Faktur Pajak dan pengkreditan Pajak Masukan. |
(1) | Faktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (1):
|
(2) | Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Faktur Pajak atas:
|
(1) | Faktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) wajib:
|
(2) | Faktur Pajak berbentuk elektronik yang tidak memperoleh persetujuan Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b bukan merupakan Faktur Pajak. |
(3) | PPN yang tercantum dalam Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan. |
(1) | PKP dapat membuat Faktur Pajak pengganti atas Faktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) jika terdapat kesalahan dalam pengisian atau penulisan Faktur Pajak sehingga tidak memuat keterangan yang benar, lengkap, dan jelas. |
(2) | PKP dapat melakukan cetak ulang Faktur Pajak jika hasil cetak Faktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) rusak atau hilang. |
(3) | PKP dapat mengajukan permintaan data Faktur Pajak berbentuk elektronik kepada Direktorat Jenderal Pajak jika data Faktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) rusak atau hilang. |
(4) | PKP harus melakukan pembatalan Faktur Pajak yang telah dibuat atas penyerahan:
|
(1) | Dalam hal terjadi keadaan tertentu yang menyebabkan PKP tidak dapat membuat Faktur Pajak berbentuk elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1), PKP diperkenankan untuk membuat Faktur Pajak tidak dalam bentuk elektronik. |
(2) | Keadaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu keadaan yang disebabkan oleh peperangan, kerusuhan, revolusi, bencana alam, pemogokan, kebakaran, dan sebab lainnya di luar kuasa PKP, yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. |
(1) | Faktur Pajak wajib diisi secara benar, lengkap, dan jelas. |
(2) | PKP yang membuat Faktur Pajak tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(3) | PPN yang tercantum dalam Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan. |
(1) | Penyerahan BKP dan/atau JKP kepada pembeli BKP dan/atau penerima JKP dengan karakteristik konsumen akhir merupakan penyerahan yang dilakukan secara eceran. |
(2) | Karakteristik konsumen akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(3) | PKP yang seluruh atau sebagian kegiatan usahanya melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP kepada pembeli BKP dan/atau penerima JKP dengan karakteristik konsumen akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (2), termasuk yang dilakukan melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik, merupakan PKP pedagang eceran. |
(1) | PKP pedagang eceran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (3) dapat membuat Faktur Pajak untuk setiap penyerahan BKP dan/atau JKP tanpa mencantumkan keterangan mengenai identitas pembeli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (1) huruf b serta nama dan tanda tangan penjual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (1) huruf g. |
(2) | Faktur
Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas penyerahan BKP dan/atau
JKP kepada pembeli BKP dan/atau penerima JKP dengan karakteristik
konsumen akhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (2) harus dibuat
dengan mencantumkan keterangan yang paling sedikit memuat:
|
(3) | Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa bon kontan, faktur penjualan, segi cash register, karcis, kuitansi, atau tanda bukti penyerahan atau pembayaran lain yang sejenis. |
(4) | PPN atau PPN dan PPnBM sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dapat termasuk dalam harga jual atau penggantian, atau dicantumkan secara terpisah. |
(5) | Kode dan nomor seri Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d dapat ditentukan sendiri sesuai dengan kelaziman usaha PKP pedagang eceran. |
(6) | Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat paling sedikit untuk:
|
(7) | Arsip PKP pedagang eceran sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf b dapat berupa rekaman Faktur Pajak dalam bentuk media elektronik sebagai sarana penyimpanan data. |
(8) | PKP dapat membuat Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atas:
|
(9) | PKP pedagang eceran dapat membuat Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk penyerahan BKP dan/atau JKP yang mendapatkan fasilitas tidak dipungut PPN atau dibebaskan dari pengenaan PPN. |
(10) | PPN yang tercantum dalam Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan. |
(1) | Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (2), Faktur Pajak atas penyerahan BKP tertentu dan/atau JKP tertentu kepada pembeli BKP dan/atau penerima JKP dengan karakteristik konsumen akhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (2) dibuat sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1). |
(2) | BKP tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(3) | JKP tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(1) | Faktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (2) wajib diisi secara benar, lengkap, dan jelas. |
(2) | PKP pedagang eceran yang membuat Faktur Pajak tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(1) | Imbalan bunga yang terkait dengan PPh, PPN, dan PPnBM diberikan kepada Wajib Pajak dalam hal terdapat:
|
(2) | Imbalan
bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diberikan terhadap
kelebihan pembayaran pajak paling banyak sebesar jumlah lebih bayar yang
disetujui Wajib Pajak dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atas
Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar yang telah diterbitkan:
|
(3) | Jumlah lebih bayar yang disetujui Wajib Pajak dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan jumlah lebih bayar menurut Wajib Pajak yang disampaikan oleh Wajib Pajak pada saat Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan. |
(4) | Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak. |
(5) | Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d tidak diberikan terhadap kelebihan pembayaran pajak karena diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali, yang berasal dari pembayaran atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, baik yang disetujui maupun tidak disetujui Wajib Pajak dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan. |
(1) | Dalam hal terdapat keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran PBB sektor perkebunan, sektor perhutanan, sektor pertambangan, dan sektor lainnya, imbalan bunga yang terkait dengan PBB diberikan kepada Wajib Pajak. |
(2) | Keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran PBB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan akibat penerbitan:
|
(1) | Imbalan bunga karena keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1) huruf a diberikan dengan tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dari jumlah kelebihan pembayaran pajak. |
(2) | Jumlah bulan sebagai dasar pemberian imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak batas waktu penerbitan SKPKPP atau SKPPIB berakhir sampai dengan tanggal penerbitan SKPKPP atau SKPPIB. |
(3) | Batas waktu penerbitan SKPKPP atau SKPPIB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 1 (satu) bulan sejak:
|
(4) | Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. |
(5) | Tarif bunga per bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tarif bunga yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan imbalan bunga. |
(1) | Imbalan bunga karena keterlambatan penerbitan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1) huruf b diberikan dengan tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dari jumlah kelebihan pembayaran pajak. |
(2) | Jumlah bulan sebagai dasar pemberian imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak jangka waktu 1 (satu) bulan untuk penerbitan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 17B ayat (2) Undang-Undang KUP berakhir sampai dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar. |
(3) | Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. |
(4) | Tarif bunga per bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tarif bunga yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan imbalan bunga. |
(1) | Imbalan bunga karena keterlambatan penerbitan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1) huruf c diberikan dengan tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dari jumlah kelebihan pembayaran pajak. |
(2) | Jumlah bulan sebagai dasar pemberian imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak diterima secara lengkap berakhir sampai dengan saat diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar. |
(3) | Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. |
(4) | Tarif bunga per bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tarif bunga yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan imbalan bunga. |
(1) | Imbalan bunga atas kelebihan pembayaran pajak karena pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan peninjauan kembali yang terkait dengan Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1) huruf d diberikan dengan tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dari jumlah kelebihan pembayaran pajak. |
(2) | Jumlah bulan sebagai dasar pemberian imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak tanggal penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, atau Surat Ketetapan Pajak Nihil sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan atau diucapkannya Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali. |
(3) | Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. |
(4) | Tarif bunga per bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tarif bunga yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan imbalan bunga. |
(1) | Imbalan bunga atas kelebihan pembayaran pajak karena Surat Keputusan Pembetulan, surat keputusan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak, atau surat keputusan pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1) huruf e diberikan dengan tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dari jumlah kelebihan pembayaran pajak. |
(2) | Jumlah bulan sebagai dasar pemberian imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak:
|
(3) | Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. |
(4) | Tarif bunga per bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tarif bunga yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan imbalan bunga. |
(1) | Imbalan bunga karena keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran PBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 diberikan dengan tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dari jumlah kelebihan pembayaran pajak. |
(2) | Jumlah
bulan sebagai dasar pemberian imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dihitung sejak batas waktu penerbitan SKPKPP PBB berakhir
sampai dengan tanggal penerbitan SKPKPP PBB. |
(3) | Batas waktu penerbitan SKPKPP PBB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 1 (satu) bulan sejak:
|
(4) | Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. |
(5) | Tarif bunga per bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tarif bunga yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan imbalan bunga. |
(1) | Dalam hal terdapat imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83, Wajib Pajak mengajukan permohonan pemberian imbalan bunga kepada Kepala KPP tempat Wajib Pajak terdaftar atau tempat PKP dikukuhkan. |
(2) | Dalam hal terdapat imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84, Wajib Pajak mengajukan permohonan pemberian imbalan bunga kepada Kepala KPP tempat objek pajak PBB diadministrasikan. |
(3) | Penyampaian permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) dilakukan secara:
|
(4) | Permohonan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b disampaikan:
|
(1) | Direktur
Jenderal Pajak menerbitkan SKPIB jika permohonan pemberian imbalan
bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1) atau Pasal 91 ayat
(2):
|
(2) | Penerbitan
SKPIB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang terkait dengan pemberian
imbalan bunga atas kelebihan pembayaran pajak karena pengajuan
keberatan, permohonan banding, atau permohonan peninjauan kembali
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1) huruf d, dapat dilakukan
jika:
|
(3) | Dalam hal SKPIB tidak diterbitkan karena permohonan pemberian imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1) atau Pasal 91 ayat (2) tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan pemberitahuan SKPIB tidak diterbitkan kepada Wajib Pajak. |
(4) | SKPIB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau pemberitahuan SKPIB tidak diterbitkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterbitkan paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan pemberian imbalan bunga diterima secara lengkap oleh KPP. |
(5) | Ketentuan mengenai format SKPIB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran XX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(6) | Ketentuan mengenai format pemberitahuan SKPIB tidak diterbitkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tercantum dalam Lampiran XXI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(7) | SKPIB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan berdasarkan nota penghitungan pemberian imbalan bunga, yang memuat penghitungan besarnya imbalan bunga yang diberikan kepada Wajib Pajak. |
(8) | Ketentuan mengenai format nota penghitungan pemberian imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tercantum dalam Lampiran XXII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(9) | Bagi
Wajib Pajak yang telah mendapatkan izin menyelenggarakan pembukuan
dalam Bahasa Inggris dan mata uang Dolar Amerika Serikat, pemberian
imbalan bunga terkait pajak yang terutang dalam mata uang Dolar Amerika
Serikat diberikan dalam mata uang Rupiah, yang dihitung menggunakan
nilai tukar atau kurs yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang berlaku
pada saat:
|
(1) | Pemberian imbalan bunga kepada Wajib Pajak harus diperhitungkan terlebih dahulu dengan Utang Pajak yang diadministrasikan di KPP tempat Wajib Pajak terdaftar dan/atau tempat PKP dikukuhkan, termasuk di KPP tempat Wajib Pajak cabang terdaftar dan di KPP tempat objek pajak PBB diadministrasikan. | ||||||||||||||||||||||||||
(2) | Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
| ||||||||||||||||||||||||||
(3) | Dalam hal
setelah dilakukan perhitungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masih
terdapat sisa imbalan bunga yang harus dibayarkan kepada Wajib Pajak,
atas permohonan Wajib Pajak, sisa imbalan bunga tersebut dapat
diperhitungkan dengan:
|
(1) | Perhitungan pemberian imbalan bunga dengan Utang Pajak dan/atau pajak yang akan terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 dituangkan dalam nota penghitungan perhitungan pemberian imbalan bunga. |
(2) | Ketentuan mengenai format nota penghitungan perhitungan pemberian imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran XXIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(3) | SKPPIB diterbitkan berdasarkan nota penghitungan perhitungan pemberian imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(4) | Ketentuan mengenai format SKPPIB sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tercantum dalam Lampiran XXIV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(5) | Pelunasan Utang Pajak dan/atau pajak yang akan terutang melalui perhitungan kelebihan imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 diakui pada saat diterbitkannya SKPPIB. |
(1) | Perhitungan pemberian imbalan bunga dengan Utang Pajak dan/atau pajak yang akan terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ditindaklanjuti dengan kompensasi ke Utang Pajak dan/atau pajak yang akan terutang. |
(2) | Dalam hal tidak ada Utang Pajak dan/atau pajak yang akan terutang, seluruh imbalan bunga diberikan kepada Wajib Pajak bersangkutan. |
(3) | Kompensasi ke Utang Pajak dan/atau pajak yang akan terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui potongan SPMIB. |
(4) | Potongan SPMIB sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dianggap sah dalam hal telah mendapatkan NTPN atau nomor referensi penerimaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perbendaharaan. |
(1) | Atas dasar SKPPIB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (3), Kepala KPP atas nama Menteri Keuangan menerbitkan SPMIB. |
(2) | Dalam hal terdapat kesalahan dalam penerbitan SPMIB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala KPP atas nama Menteri Keuangan membetulkan SPMIB sepanjang belum diterbitkan SP2D. |
(3) | Ketentuan mengenai format SPMIB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran XXV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(4) | SPMIB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dalam rangkap 4 (empat), dengan peruntukan:
|
(5) | SKPPIB dan SPMIB beserta ADK disampaikan ke KPPN. |
(1) | Berdasarkan
SPMIB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (1), Kepala KPPN atas
nama Menteri Keuangan menerbitkan SP2D dengan ketentuan:
|
(2) | Kepala KPPN menerbitkan bukti penerimaan negara dalam hal imbalan bunga dikompensasikan ke Utang Pajak dan/atau pajak yang akan terutang melalui potongan SPMIB. |
(3) | KPPN menyampaikan:
|
(1) | SKPPIB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (3) dan SPMIB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (1) diterbitkan paling lama 1 (satu) bulan sejak penerbitan SKPIB. |
(2) | SP2D sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (1) diterbitkan oleh Kepala KPPN sesuai peraturan perundang-undangan di bidang perbendaharaan. |
(1) | Pejabat yang diberi wewenang untuk menandatangani SKPPIB dan SPMIB menyampaikan spesimen tanda tangan kepada Kepala KPPN setiap awal tahun anggaran. |
(2) | Dalam hal terjadi perubahan pejabat yang berwenang menandatangani SKPPIB dan SPMIB, pejabat pengganti harus menyampaikan spesimen tanda tangan kepada Kepala KPPN sejak yang bersangkutan menjabat. |
1. | Ketentuan
angka 1, angka 2, angka 3, angka 4, angka 15, angka 16, angka 17, angka
21, angka 22, angka 23, dan angka 25 Pasal 1 diubah, sehingga Pasal 1
berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:
| ||||||||||||||||||||||
2. | Ketentuan
ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (7) Pasal 7 diubah, serta
ditambahkan 1 (satu) ayat dalam Pasal 7 yakni ayat (11), sehingga Pasal 7
berbunyi sebagai berikut: Pasal 7
| ||||||||||||||||||||||
3. | Di
antara ayat (6) dan ayat (7) Pasal 14 disisipkan 2 (dua) ayat yakni
ayat (6a) dan ayat (6b), sehingga Pasal 14 berbunyi sebagai berikut: Pasal 14
| ||||||||||||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 21 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 21
| ||||||||||||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 22 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 22
| ||||||||||||||||||||||
6. | Ketentuan ayat (1) Pasal 23 diubah, sehingga Pasal 23 berbunyi sebagai berikut: Pasal 23
| ||||||||||||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 25
| ||||||||||||||||||||||
8. | Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 30
| ||||||||||||||||||||||
9. | Lampiran III sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) diubah menjadi sebagaimana tercantum dalam Lampiran XXVI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
1. | Ketentuan angka 1, angka 2, dan angka 3 Pasal 1 diubah, sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
| ||||||||||||
2. | Ketentuan ayat (5) dan ayat (6) Pasal 20 diubah, sehingga Pasal 20 berbunyi sebagai berikut: Pasal 20
|
1. | Ketentuan angka 1 Pasal 1 diubah, sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
2. | Ketentuan
ayat (1) Pasal 4 diubah dan di antara ayat (1) dan ayat (2) Pasal 4
disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (la), sehingga Pasal 4 berbunyi
sebagai berikut: Pasal 4
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
3. | Ketentuan ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) Pasal 5 diubah, sehingga Pasal 5 berbunyi sebagai berikut: Pasal 5
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 11 Dalam melakukan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan, Pemeriksa Pajak wajib:
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 13 Dalam pelaksanaan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan, Wajib Pajak berhak:
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
6. | Ketentuan ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) Pasal 15 diubah, sehingga Pasal 15 berbunyi sebagai berikut: Pasal 15
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
7. | Ketentuan ayat (1) Pasal 17 diubah, sehingga Pasal 17 berbunyi sebagai berikut: Pasal 17
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
8. | Ketentuan Pasal 21 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 21 Penyelesaian Pemeriksaan dengan membuat LHP Sumir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf a dilakukan dalam hal:
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
9. | Di antara Pasal 21 dan Pasal 22 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 21A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 21A Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf b angka 1), huruf b angka 3), dan huruf c angka 1), penyelesaian Pemeriksaan dilakukan dengan cara membuat LHP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf b, dalam hal berdasarkan hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan atau hasil penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, masih terdapat kelebihan pembayaran pajak. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
10. | Ketentuan ayat (1) dan ayat (3) Pasal 22 diubah, sehingga Pasal 22 berbunyi sebagai berikut: Pasal 22
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
11. | Ketentuan ayat (5) Pasal 41 diubah, sehingga Pasal 41 berbunyi sebagai berikut: Pasal 41
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
12. | Ketentuan ayat (5) Pasal 42 diubah, sehingga Pasal 42 berbunyi sebagai berikut: Pasal 42
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
13. | Ketentuan ayat (4) Pasal 43 diubah, sehingga Pasal 43 berbunyi sebagai berikut: Pasal 43
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
14. | Ketentuan ayat (1) dan ayat (3) Pasal 61 diubah, sehingga Pasal 61 berbunyi sebagai berikut: Pasal 61
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
15. | Ketentuan ayat (5) Pasal 62 diubah dan ayat (7) Pasal 62 dihapus, sehingga Pasal 62 berbunyi sebagai berikut: Pasal 62
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
16. | Ketentuan ayat (1) dan ayat (5) Pasal 64 diubah, sehingga Pasal 64 berbunyi sebagai berikut: Pasal 64
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
17. | Ketentuan
ayat (1) dan ayat (2) Pasal 65 diubah, serta menambahkan 1 (satu) ayat
dalam Pasal 65, yakni ayat (3) sehingga Pasal 65 berbunyi sebagai
berikut: Pasal 65
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
18. | Ketentuan
ayat (4) dan ayat (5) Pasal 66 diubah, serta menambahkan 1 (satu) ayat
dalam Pasal 66 yakni ayat (6), sehingga Pasal 66 berbunyi sebagai
berikut: Pasal 66
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
19. | Ketentuan ayat (1) Pasal 67 diubah, sehingga Pasal 67 berbunyi sebagai berikut: Pasal 67
|
1. | Ketentuan angka 1 dan angka 2 Pasal 1 diubah, sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:
| ||||||||||||||||||||||||
2. | Ketentuan
ayat (2) dan ayat (3) Pasal 2 dihapus, ayat (4), ayat (5), ayat (6),
dan ayat (9) Pasal 2 diubah, serta di antara ayat (8) dan ayat (9)
disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (8a), sehingga Pasal 2 berbunyi
sebagai berikut: Pasal 2
| ||||||||||||||||||||||||
3. | Ketentuan ayat (4) dan ayat (5) Pasal 3 diubah, sehingga Pasal 3 berbunyi sebagai berikut: Pasal 3
| ||||||||||||||||||||||||
4. | Ketentuan ayat (2) Pasal 4 diubah, sehingga Pasal 4 berbunyi sebagai berikut: Pasal 4
| ||||||||||||||||||||||||
5. | Di antara Pasal 4 dan Pasal 5 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 4A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 4A
| ||||||||||||||||||||||||
6. | Ketentuan ayat (2) Pasal 5 diubah, sehingga Pasal 5 berbunyi sebagai berikut: Pasal 5
| ||||||||||||||||||||||||
7. | Pasal 6 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||
8. | Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 7 Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak dalam hal:
yang menunjukkan adanya imbalan bunga yang seharusnya tidak diberikan kepada Wajib Pajak. | ||||||||||||||||||||||||
9. | Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 8 Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 setelah:
| ||||||||||||||||||||||||
10. | Pasal 9 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||
11. | Pasal 10 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||
12. | Pasal 11 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||
13. | Pasal 12 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||
14. | Di antara Pasal 12 dan Pasal 13 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 12A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 12A
| ||||||||||||||||||||||||
15. | Ketentuan ayat (3) diubah dan ayat (5) Pasal 13 dihapus, sehingga Pasal 13 berbunyi sebagai berikut: Pasal 13
| ||||||||||||||||||||||||
16. | Di antara Pasal 14 dan Pasal 15 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 14A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 14A
|
1. | Ketentuan
angka 1 dan angka 3 Pasal 1 diubah, angka 7 Pasal 1 dihapus, serta
ditambah angka 24, sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:
| ||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 2 diubah dengan menambahkan 2 (dua) ayat yakni ayat (5) dan ayat (6), sehingga Pasal 2 berbunyi sebagai berikut: Pasal 2
| ||||||||||||||
3. | Ketentuan ayat (4) dan ayat (5) Pasal 5 diubah, sehingga Pasal 5 berbunyi sebagai berikut: Pasal 5
| ||||||||||||||
4. | Ketentuan ayat (1) dan ayat (4) Pasal 15 diubah, sehingga Pasal 15 berbunyi sebagai berikut: Pasal 15
| ||||||||||||||
5. | Ketentuan
ayat (1), ayat (4), dan ayat (5) Pasal 23 diubah, ayat (3) dihapus,
serta di antara ayat (5) dan ayat (6) disisipkan 1 (satu) ayat yakni
ayat (5a), sehingga Pasal 23 berbunyi sebagai berikut: Pasal 23
| ||||||||||||||
6. | Ketentuan
ayat (1) dan ayat (3) Pasal 25 diubah, serta ayat (2), ayat (4), dan
ayat (5) Pasal 25 dihapus, sehingga Pasal 25 berbunyi sebagai berikut: Pasal 25
| ||||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28 Dalam hal orang pribadi atau badan selaku Wajib Pajak yang sedang dilakukan Pemeriksaan dalam rangka menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan:
| ||||||||||||||
8. | Ketentuan ayat (1) Pasal 30 diubah, sehingga Pasal 30 berbunyi sebagai berikut: Pasal 30
|
1. | Ketentuan angka 1 Pasal 1 diubah, sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:
| ||||
2. | Ketentuan ayat (1) Pasal 3 diubah, sehingga Pasal 3 berbunyi sebagai berikut: Pasal 3
| ||||
3. | Di antara Pasal 11 dan Pasal 12 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 11A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 11A
| ||||
4. | Lampiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 diubah menjadi sebagaimana tercantum dalam Lampiran XXVII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(1) | Atas Dividen yang berasal dari dalam negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang dikecualikan dari objek PPh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 yang telah dilakukan pemotongan PPh, dapat diajukan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang. |
(2) | Permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang. |
(1) | Jangka waktu tertentu bagi PKP Belum Melakukan Penyerahan dan telah melakukan pengkreditan Pajak Masukan atas perolehan barang modal sebelum tanggal 2 November 2020, ditetapkan sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini. |
(2) | Dalam hal PKP Belum Melakukan Penyerahan melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan Masa PPN pada Masa Pajak sebelum tanggal 2 November 2020 yang menyebabkan Surat Pemberitahuan Masa PPN menjadi lebih bayar, ketentuan pengembalian atas kelebihan Pajak Masukan dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini. |
(3) | PKP
dapat mengajukan pengurangan atas jumlah pajak yang tercantum dalam
surat ketetapan pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b
Undang-Undang KUP atas surat ketetapan pajak yang diterbitkan sejak
tanggal 2 November 2020 sampai dengan berlakunya Peraturan Menteri ini
atas penyerahan BKP dan/atau JKP sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai
PKP dengan ketentuan:
|
(4) | Pajak Masukan atas perolehan BKP dan/atau JKP, impor BKP, serta pemanfaatan BKP tidak berwujud dan/atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean yang ditagih dengan ketetapan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 yang diterbitkan sebelum tanggal 2 November 2020 dapat dikreditkan oleh PKP sepanjang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) dan jumlah PPN yang masih harus dibayar meliputi pokok pajak dan sanksi sebagaimana tercantum dalam ketetapan pajak telah dilunasi sejak tanggal 2 November 2020. |
(1) | Pajak
Masukan yang telah dikembalikan atau telah dikreditkan oleh PKP yang
tidak melakukan penyerahan BKP, penyerahan JKP, ekspor BKP, dan/atau
ekspor JKP yang seharusnya dibayar kembali sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (6e) Undang-Undang PPN:
|
(2) | Imbalan bunga yang seharusnya tidak diberikan dan belum dilakukan pembayaran kembali oleh Wajib Pajak sampai dengan tanggal 2 November 2020, ditagih dengan menerbitkan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf h Undang-Undang KUP. |
(1) | Pengenaan sanksi administratif terhadap:
|
(2) | Pengajuan atas:
|
(3) | Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang KUP melalui Surat Tagihan Pajak yang diterbitkan sejak tanggal 2 November 2020, dilakukan sesuai dengan Undang-Undang KUP. |
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 17 Februari 2021 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. SRI MULYANI INDRAWATI |