Imbal Beli untuk Pengadaan Barang Pemerintah Asal Impor
(1) | Pengadaan Barang Pemerintah yang berasal dari Impor dengan jenis dan nilai tertentu wajib dilaksanakan melalui Imbal Beli. |
(2) | Selain Pengadaan Barang Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengadaan barang untuk kebutuhan Kementerian, LPNK, Pemda, BUMN, dan BUMD yang menggunakan dana kredit Ekspor, kredit komersial, dan/atau anggaran perusahaan dengan jenis dan nilai tertentu dapat dilaksanakan melalui Imbal Beli. |
(3) | Selain jenis dan nilai tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Pengadaan Barang Pemerintah yang berasal dari Impor dengan jenis dan nilai tertentu wajib dilaksanakan melalui Imbal Beli sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(4) | Jenis dan nilai tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan oleh Menteri berdasarkan usulan dari Kementerian, LPNK, Pemda, BUMN, dan BUMD. |
(1) | Untuk pemenuhan kewajiban Imbal Beli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pemasok Luar Negeri wajib membeli dan/atau memasarkan Barang Asal Indonesia dengan nilai paling sedikit sesuai dengan nilai kewajiban Imbal Beli Pengadaan Barang Pemerintah asal Impor. |
(2) | Dalam hal Pemasok Luar Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengalihkan kewajiban membeli dan/atau memasarkan Barang Asal Indonesia kepada perusahaan lain, Pemasok Luar Negeri memberitahukan kepada Menteri melalui surat pengalihan dan/atau surat kuasa. |
(1) | Kementerian, LPNK, Pemda, BUMN, dan BUMD yang melakukan Pengadaan Barang Pemerintah yang berasal dari Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) mengusulkan Barang Asal Indonesia yang dapat digunakan untuk pemenuhan kewajiban Imbal Beli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 kepada Menteri. |
(2) | Selain usulan Barang Asal Indonesia yang dapat digunakan untuk pemenuhan kewajiban Imbal Beli berasal dari Kementerian, LPNK, Pemda, BUMN, dan BUMD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri juga dapat mengusulkan Barang Asal Indonesia yang dapat digunakan untuk pemenuhan kewajiban Imbal Beli. |
(3) | Atas usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Menteri memberikan persetujuan atas Barang Asal Indonesia yang dapat digunakan untuk pemenuhan kewajiban Imbal Beli. |
(4) | Barang Asal Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 yang tidak dapat digunakan untuk pelaksanaan pemenuhan kewajiban Imbal Beli meliputi:
|
(5) | Menteri menyampaikan persetujuan atas Barang Asal Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Pemasok Luar Negeri untuk disepakati dan dituangkan dalam kontrak Imbal Beli. |
(1) | Barang Asal Indonesia yang digunakan untuk pemenuhan kewajiban Imbal Beli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 harus diekspor langsung ke negara asal Barang Impor untuk Pengadaan Barang Pemerintah. |
(2) | Barang Asal Indonesia dalam rangka pemenuhan kewajiban Imbal Beli dapat diekspor ke negara ketiga dalam hal:
|
(3) | Dalam hal Barang Asal Indonesia diekspor ke negara ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemasok Luar Negeri meminta persetujuan kepada Menteri. |
(4) | Menteri memberikan persetujuan kepada Pemasok Luar Negeri dengan mempertimbangkan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan pertimbangan dari Kementerian, LPNK, Pemda, BUMN, dan BUMD yang melakukan Pengadaan Barang Pemerintah yang berasal dari Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. |
(1) | Untuk mendukung kelancaran pemenuhan kewajiban Imbal Beli, Menteri menetapkan Perusahaan Pihak Ketiga (assignee). |
(2) | Perusahaan Pihak Ketiga (assignee) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perusahaan yang telah masuk sebagai calon Perusahaan Pihak Ketiga (assignee) pada Kementerian Perdagangan Republik Indonesia. |
(3) | Penetapan Perusahaan Pihak Ketiga (assignee) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan usulan Pemasok Luar Negeri. |
(4) | Penetapan Perusahaan Pihak Ketiga (assignee) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku sampai dengan masa berlaku kontrak Imbal Beli berakhir. |
(5) | Segala biaya yang terjadi untuk kepentingan Perusahaan Pihak Ketiga (assignee) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan kepada Perusahaan Pihak Ketiga (assignee) dan/atau Pemasok Luar Negeri berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. |
(1) | Untuk dapat menjadi calon Perusahaan Pihak Ketiga (assignee) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2), perusahaan mengajukan permohonan tertulis kepada Menteri dengan melampirkan dokumen:
|
(2) | Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinilai lengkap dan benar, Menteri dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja menetapkan perusahaan sebagai calon Perusahaan Pihak Ketiga (assignee). |
(3) | Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinilai tidak lengkap dan/atau tidak benar, Menteri dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja menolak permohonan penetapan perusahaan sebagai calon Perusahaan Pihak Ketiga (assignee). |
(1) | Dalam hal terjadi keadaan tertentu yang mengakibatkan pemenuhan kewajiban Imbal Beli tidak dapat direalisasikan sesuai dengan periode yang telah ditetapkan dalam kontrak Imbal Beli, Pemasok Luar Negeri yang ditetapkan dapat mengajukan permohonan secara tertulis kepada Menteri untuk:
|
(2) | Atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri menerima atau menolak permohonan perpanjangan periode dan/atau perubahan Barang Asal Indonesia berdasarkan pertimbangan dari Kementerian, LPNK, Pemda, BUMN, dan BUMD yang melakukan Pengadaan Barang Pemerintah yang berasal dari Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4). |
(3) | Dalam hal Menteri menerima permohonan perpanjangan periode dan/atau perubahan Barang Asal Indonesia, persetujuan terhadap perpanjangan periode dan/atau perubahan Barang Asal Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan dalam amendemen kontrak Imbal Beli. |
(4) | Dalam hal Menteri menolak permohonan perpanjangan periode dan/atau perubahan Barang Asal Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri menyampaikan surat penolakan kepada Pemasok Luar Negeri. |
(5) | Keadaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(6) | Permohonan perpanjangan periode dan/atau perubahan Barang Asal Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk Pemasok Luar Negeri yang tidak merealisasikan pemenuhan kewajiban Imbal Beli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11. |
(1) | Perusahaan Pihak Ketiga (assignee) wajib menyampaikan:
|
(2) | Laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disampaikan setiap bulan baik terealisasi maupun tidak terealisasi kepada Menteri secara elektronik melalui laman http://inatradekemendag.go.id paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya. |
(3) | Laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan dengan melampirkan hasil pindai/scan dokumen asli:
|
(4) | Laporan akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib disampaikan Perusahaan Pihak Ketiga (assignee) secara tertulis kepada Menteri paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal berakhirnya jangka waktu pemenuhan kewajiban Imbal Beli. |
(5) | Menteri menyampaikan laporan akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kepada Kementerian, LPNK, Pemda, BUMN, dan BUMD yang melakukan Pengadaan Barang Pemerintah yang berasal dari Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4). |
(6) | Dalam hal terjadi gangguan yang mengakibatkan sistem elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berfungsi, proses penyampaian laporan realisasi pemenuhan kewajiban Imbal Beli baik terealisasi maupun tidak terealisasi dilakukan secara manual kepada Menteri. |
(1) | Perusahaan Pihak Ketiga (assignee) yang tidak menyampaikan laporan realisasi dan laporan akhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa:
|
(2) | Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disampaikan 2 (dua) kali berturut-turut kepada Perusahaan Pihak Ketiga (assignee) dalam jangka waktu masing-masing paling lama 15 (lima belas) hari. |
(3) | Perusahaan Pihak Ketiga (assignee) yang telah dikenakan sanksi administratif berupa peringatan tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetap tidak menyampaikan laporan realisasi dan/atau laporan akhir, Perusahaan Pihak Ketiga (assignee) dikenai sanksi administratif berupa penangguhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b. |
(4) | Pengenaan penangguhan sebagai calon Perusahaan Pihak Ketiga (assignee) untuk proses Imbal Beli berikutnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling singkat 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal pengenaan penangguhan. |
(5) | Apabila dalam jangka waktu pengenaan penangguhan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Perusahaan Pihak Ketiga (assignee) menyampaikan laporan realisasi dan/atau laporan akhir, pengenaan sanksi administratif berupa penangguhan dicabut. |
(1) | Pemasok Luar Negeri yang tidak merealisasikan pemenuhan kewajiban Imbal Beli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis pertama. |
(2) | Apabila dalam jangka waktu paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari setelah dikenai peringatan tertulis pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemasok Luar Negeri tetap tidak merealisasikan pemenuhan kewajiban Imbal Beli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), Pemasok Luar Negeri dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis kedua. |
(3) | Apabila Pemasok Luar Negeri setelah dikenakan sanksi administratif berupa peringatan tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetap tidak merealisasikan pemenuhan kewajiban Imbal Beli sampai dengan masa berlaku kontrak Imbal Beli berakhir, Pemasok Luar Negeri dikenai sanksi administratif berupa denda administratif sebesar keseluruhan dari nilai kewajiban Imbal Beli Pengadaan Barang Pemerintah asal Impor ditambah dengan 50% (lima puluh persen) dari nilai kewajiban Imbal Beli Pengadaan Barang Pemerintah asal Impor. |
(4) | Apabila Pemasok Luar Negeri setelah dikenakan sanksi administratif berupa peringatan tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan masa berlaku kontrak Imbal Beli berakhir belum menyelesaikan realisasi kewajiban Imbal Beli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), Pemasok Luar Negeri dikenai sanksi administratif berupa denda administratif sebesar sisa pemenuhan dari nilai kewajiban Imbal Beli Pengadaan Barang Pemerintah asal Impor. |
(1) | Pemasok Luar Negeri yang belum menyelesaikan realisasi pemenuhan kewajiban Imbal Beli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dalam jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari sebelum kontrak Imbal Beli selesai, dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis pertama. |
(2) | Apabila dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari setelah dikenai peringatan tertulis pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pemasok Luar Negeri tidak menyelesaikan realisasi pemenuhan kewajiban Imbal Beli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), Pemasok Luar Negeri dikenai sanksi administratif peringatan tertulis kedua. |
(3) | Apabila Pemasok Luar Negeri dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah dikenai peringatan tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetap tidak dapat menyelesaikan realisasi pemenuhan kewajiban Imbal Beli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), Pemasok Luar Negeri dikenai sanksi administratif berupa denda administratif sebesar sisa pemenuhan dari nilai kewajiban Imbal Beli Pengadaan Barang Pemerintah asal Impor. |
(1) | Pemasok Luar Negeri yang belum menyelesaikan realisasi pemenuhan kewajiban Imbal Beli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) sesuai dengan amendemen kontrak Imbal Beli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) dalam jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari sebelum amendemen kontrak Imbal Beli selesai, dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis. |
(2) | Apabila dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari setelah dikenai peringatan tertulis pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pemasok Luar Negeri tidak menyelesaikan realisasi pemenuhan kewajiban Imbal Beli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) sesuai dengan amendemen kontrak Imbal Beli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3), Pemasok Luar Negeri dikenai sanksi administratif peringatan tertulis kedua. |
(3) | Apabila Pemasok Luar Negeri dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah dikenai peringatan tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat menyelesaikan realisasi pemenuhan kewajiban Imbal Beli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) sesuai dengan amendemen kontrak Imbal Beli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3), Pemasok Luar Negeri dikenai sanksi administratif berupa denda administratif sebesar sisa pemenuhan dari nilai kewajiban Imbal Beli Pengadaan Barang Pemerintah asal Impor. |
(1) | Apabila dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah dikenai sanksi denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 16 ayat (3), serta Pasal 17 ayat (3), Pemasok Luar Negeri tidak memenuhi kewajiban pembayaran denda administratif, Pemasok Luar Negeri dikenai sanksi administratif berupa penetapan dalam daftar hitam (black list) Pemasok Luar Negeri. |
(2) | Pengenaan sanksi administratif berupa penetapan dalam daftar hitam (black list) Pemasok Luar Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menghilangkan kewajiban pembayaran denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 16 ayat (3), serta Pasal 17 ayat (3). |
(3) | Daftar hitam (black list) Pemasok Luar Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri setelah mendapatkan pertimbangan dari Kementerian, LPNK, Pemda, BUMN, dan BUMD. |
(4) | Pemasok Luar Negeri yang telah ditetapkan dalam daftar hitam sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak diperbolehkan untuk:
|
(5) | Apabila Pemasok Luar Negeri telah memenuhi kewajiban pembayaran denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 16 ayat (3), serta Pasal 17 ayat (3), pengenaan sanksi administratif berupa penetapan dalam daftar hitam (black list) Pemasok Luar Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicabut. |
(1) | Denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 16 ayat (3), serta Pasal 17 ayat (3), merupakan penerimaan negara bukan pajak. |
(2) | Pembayaran, penyetoran, dan penagihan penerimaan negara bukan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Menteri melakukan evaluasi berupa penilaian kepatuhan terhadap:
|
(2) | Dalam melakukan penilaian kepatuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri berkoordinasi dengan Kementerian, lembaga pemerintah, LPNK, Pemda, BUMN, dan/atau BUMD. |
(3) | Untuk melaksanakan penilaian kepatuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat membentuk tim kerja yang terdiri dari Kementerian, lembaga pemerintah, LPNK, Pemda, BUMN, dan/atau BUMD. |
(4) | Menteri dapat menggunakan hasil penilaian kepatuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai pertimbangan dalam:
|
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 6 Januari 2021 MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. MUHAMMAD LUTFI |