Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
(1) | Jenis Pajak Provinsi terdiri atas :
|
(2) | Jenis Pajak Kabupaten/Kota terdiri atas:
|
(3) | Daerah dilarang memungut pajak selain jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). |
(4) | Jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat tidak dipungut apabila potensinya kurang memadai dan/atau disesuaikan dengan kebijakan Daerah yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah. |
(5) | Khusus untuk Daerah yang setingkat dengan daerah provinsi, teteapi tidak terbagi dalam daerah kabupaten/kota otonom, seperti Daerah Khusus Ibukota Jakarta, jenis Pajak yang dapat dipungut merupakan gabungan dari Pajak untuk daerah provinsi dan Pajak untuk daerah kabupaten/kota. |
(1) | Objek Pajak Kendaraan Bermotor adalah kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor. |
(2) | Termasuk dalam pengertian Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kendaraan bermotor beroda beserta gandengannya, yang dioperasikan di semua jenis jalan darat dan kendaraan bermotor yang dioperasikan di air dengan ukuran isi kotor GT 5 (lima Gross Tonnage) sampai dengan GT 7 (tujuh Gross Tonnage). |
(3) | Dikecualikan dari pengertian Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah :
|
(1) | Subjek Pajak Kendaraan Bermotor adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai Kendaraan Bermotor. |
(2) | Wajib Pajak Kendaraan Bermotor adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki Kendaraan Bermotor. |
(3) | Dalam hal Wajib Pajak Badan, kewajiban perpajakannya diwakili oleh pengurus atau kuasa Badan tersebut. |
(1) | Dasar pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor adalah hasil perkalian dari 2 (dua) unsur pokok:
|
(2) | Khusus untuk Kendaraan Bermotor yang digunakan di luar jalan umum, termasuk alat-alat berat dan alat-alat besar serta kendaraan di air, dasar pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor adalah Nilai Jual Kendaraan Bermotor. |
(3) | Bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dinyatakan dalam koefisien yang nilainya 1 (satu) atau lebih besar dari 1 (satu), dengan pengertian sebagai berikut :
|
(4) | Nilai Jual Kendaraan Bermotor ditentukan berdasarkan Harga Pasaran Umum atas suatu Kendaraan Bermotor. |
(5) | Harga Pasaran Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah harga rata-rata yang diperoleh dari berbagai sumber data yang akurat. |
(6) | Nilai Jual Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan berdasarkan Harga Pasaran Umum pada minggu pertama bulan Desember Tahun Pajak sebelumnya. |
(7) | Dalam hal Harga Pasaran Umum suatu Kendaraan Bermotor tidak diketahui, Nilai Jual Kendaraan Bermotor dapat ditentukan berdasarkan sebagian atau seluruh faktor-faktor :
|
(8) | Bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dihitung berdasarkan faktor-faktor :
|
(9) | Penghitungan dasar pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), dan ayat (8) dinyatakan dalam suatu tabel yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri setelah mendapat pertimbangan dari Menteri Keuangan. |
(10) | Penghitungan dasar pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (9) ditinjau kembali setiap tahun. |
(1) | Tarif Pajak Kendaraan Bermotor pribadi ditetapkan sebagai berikut:
|
(2) | Kepemilikan Kendaraan Bermotor didasarkan atas nama dan/atau alamat yang sama. |
(3) | Tarif pajak Kendaraan bermotor angkutan umum, ambulans, pemadam kebakaran, sosial keagamaan, lembaga sosial dan keagamaan, Pemerintah/TNI/POLRI, Pemerintah Daerah, dan Kendaraan lain yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah, ditetapkan paling rendah sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dan paling tinggi sebesar 1% (satu persen). |
(4) | Tarif Pajak Kendaraan Bermotor alat-alat berat dan alat-alat besar ditetapkan paling rendah sebesar 0,1% (nol koma satu persen) dan paling tinggi sebesar 0,2% (nol koma dua persen). |
(5) | Tarif Pajak Kendaraan Bermotor ditetapkan dengan Peraturan Daerah. |
(1) | Besaran pokok Pajak Kendaraan Bermotor yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5) dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (9). |
(2) | Pajak Kendaraan Bermotor yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar. |
(3) | Pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor dilakukan bersamaan dengan penerbitan Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor. |
(4) | Pemungutan pajak tahun berikutnya dilakukan di kas daerah atau bank yang ditunjuk oleh Kepala Daerah. |
(1) | Pajak Kendaraan Bermotor dikenakan untuk Masa Pajak 12 (dua belas) bulan berturut-turut terhitung mulai saat pendaftaran Kendaraan Bermotor. |
(2) | Pajak Kendaraan Bermotor dibayar sekaligus di muka. |
(3) | Untuk Pajak Kendaraan Bermotor yang karena keadaan kahar (force majeure) Masa Pajaknya tidak sampai 12 (dua belas) bulan, dapat dilakukan restitusi atas pajak yang sudah dibayar untuk porsi Masa Pajak yang belum dilalui. |
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan restitusi diatur dengan Peraturan Gubernur. |
(5) | Hasil penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor paling sedikit 10% (sepuluh persen), termasuk yang dibagihasilkan kepada kabupaten/kota, dialokasikan untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum. |
(1) | Objek Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah penyerahan kepemilikan Kendaraan Bermotor. |
(2) | Termasuk dalam pengertian Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kendaraan bermotor beroda beserta gandengannya, yang dioperasikan di semua jenis jalan darat dan kendaraan bermotor yang dioperasikan di air dengan ukuran isi kotor GT 5 (lima Gross Tonnage) sampai dengan GT 7 (tujuh Gross Tonnage). |
(3) | Dikecualikan dari pengertian Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (2):
|
(4) | Penguasaan Kendaraan Bermotor melebihi 12 (dua belas) bulan dapat dianggap sebagai penyerahan. |
(5) | Penguasaan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak termasuk penguasaan Kendaraan Bermotor karena perjanjian sewa beli. |
(6) | Termasuk penyerahan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pemasukan Kendaraan Bermotor dari luar negeri untuk dipakai secara tetap di Indonesia, kecuali:
|
(7) | Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf c tidak berlaku apabila selama 3 (tiga) tahun berturut-turut tidak dikeluarkan kembali dari wilayah pabean Indonesia. |
(1) | Subjek Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah orang pribadi atau Badan yang dapat menerima penyerahan Kendaraan Bermotor. |
(2) | Wajib Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah orang pribadi atau Badan yang menerima penyerahan Kendaraan Bermotor. |
(1) | Tarif Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor ditetapkan paling tinggi masing-masing sebagai berikut:
|
(2) | Khusus untuk Kendaraan Bermotor alat-alat berat dan alat-alat besar yang tidak menggunakan jalan umum tarif pajak ditetapkan paling tinggi masing-masing sebagai berikut:
|
(3) | Tarif Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor ditetapkan dengan Peraturan Daerah. |
(1) | Besaran Pokok Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11. |
(2) | Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar. |
(3) | Pembayaran Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dilakukan pada saat pendaftaran. |
(1) | Orang pribadi atau Badan yang menyerahkan Kendaraan Bermotor melaporkan secara tertulis penyerahan tersebut kepada gubernur atau pejabat yang ditunjuk dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sejak saat penyerahan. |
(2) | Laporan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit berisi:
|
(1) | Subjek Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah konsumen Bahan Bakar Kendaraan Bermotor. |
(2) | Wajib Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan Bahan Bakar Kendaraan Bermotor. |
(3) | Pemungutan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor dilakukan oleh penyedia Bahan Bakar Kendaraan Bermotor. |
(4) | Penyedia Bahan Bakar Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah produsen dan/atau importir Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, baik untuk dijual maupun untuk digunakan sendiri. |
(1) | Tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen). |
(2) | Khusus tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor untuk bahan bakar kendaraan umum dapat ditetapkan paling sedikit 50% (lima puluh persen) lebih rendah dari tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor untuk kendaraan pribadi. |
(3) | Pemerintah dapat mengubah tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang sudah ditetapkan dalam Peraturan Daerah dengan Peraturan Presiden. |
(4) | Kewenangan Pemerintah untuk mengubah tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor dilakukan dalam hal:
|
(5) | Dalam hal harga minyak dunia sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a sudah normal kembali, Peraturan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dicabut dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan. |
(6) | Tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor ditetapkan dengan Peraturan Daerah. |
(1) | Objek Pajak Air Permukaan adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan. |
(2) | Dikecualikan dari objek Pajak Air Permukaan adalah:
|
(1) | Subjek Pajak Air Permukaan adalah orang pribadi atau Badan yang dapat melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan. |
(2) | Wajib Pajak Air Permukaan adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan. |
(1) | Dasar pengenaan Pajak Air Permukaan adalah Nilai Perolehan Air Permukaan. |
(2) | Nilai Perolehan Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dalam rupiah yang dihitung dengan mempertimbangkan sebagian atau seluruh faktor-faktor berikut:
|
(3) | Penggunaan faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disesuaikan dengan kondisi masing-masing Daerah. |
(4) | Besarnya Nilai Perolehan Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur. |
(1) | Tarif Pajak Air Permukaan ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen). |
(2) | Tarif Pajak Air Permukaan ditetapkan dengan Peraturan Daerah. |
(1) | Besaran pokok Pajak Air Permukaan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (4). |
(2) | Pajak Air Permukaan yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat air berada. |
(1) | Objek Pajak Rokok adalah konsumsi rokok. |
(2) | Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi sigaret, cerutu, dan rokok daun. |
(3) | Dikecualikan dari objek Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah rokok yang tidak dikenai cukai berdasarkan peraturan perundang-undangan dibidang cukai. |
(1) | Subjek Pajak Rokok adalah konsumen rokok. |
(2) | Wajib Pajak Rokok adalah pengusaha pabrik rokok/produsen dan importir rokok yang memiliki izin berupa Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai. |
(3) | Pajak Rokok dipungut oleh instansi Pemerintah yang berwenang memungut cukai bersamaan dengan pemungutan cukai rokok. |
(4) | Pajak Rokok yang dipungut oleh instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disetor ke rekening kas umum daerah provinsi secara proporsional berdasarkan jumlah penduduk. |
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan dan penyetoran Pajak Rokok diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. |
(1) | Objek Pajak Hotel adalah pelayanan yang disediakan oleh Hotel dengan pembayaran, termasuk jasa penunjang sebagai kelengkapan Hotel yang sifatnya memberikan kemudahan dan kenyamanan, termasuk fasilitas olahraga dan hiburan. |
(2) | Jasa penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah fasilitas telepon, faksimile, teleks, internet, fotokopi, pelayanan cuci, seterika, transportasi, dan fasilitas sejenislainnya yang disediakan atau dikelola Hotel. |
(3) | Tidak termasuk objek Pajak Hotel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
|
(1) | Subjek Pajak Hotel adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pembayaran kepada orang pribadi atau Badan yang mengusahakan Hotel. |
(2) | Wajib Pajak Hotel adalah orang pribadi atau Badan yang mengusahakan Hotel. |
(1) | Tarif Pajak Hotel ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen). |
(2) | Tarif Pajak Hotel ditetapkan dengan Peraturan Daerah. |
(1) | Besaran pokok Pajak Hotel yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34. |
(2) | Pajak Hotel yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat Hotel berlokasi. |
(1) | Objek Pajak Restoran adalah pelayanan yang disediakan oleh Restoran. |
(2) | Pelayanan yang disediakan Restoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pelayanan penjualan makanan dan/atau minuman yang dikonsumsi oleh pembeli, baik dikonsumsi di tempat pelayanan maupun ditempat lain. |
(3) | Tidak termasuk objek Pajak Restoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan yang disediakan oleh Restoran yang nilai penjualannya tidak melebihi batas tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah. |
(1) | Subjek Pajak Restoran adalah orang pribadi atau Badan yang membeli makanan dan/atau minuman dari Restoran. |
(2) | Wajib Pajak Restoran adalah orang pribadi atau Badan yang mengusahakan Restoran. |
(1) | Tarif Pajak Restoran ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen). |
(2) | Tarif Pajak Restoran ditetapkan dengan Peraturan Daerah. |
(1) | Besaran pokok Pajak Restoran yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39. |
(2) | Pajak Restoran yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat Restoran berlokasi. |
(1) | Objek Pajak Hiburan adalah jasa penyelenggaraan Hiburan dengan dipungut bayaran. |
(2) | Hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
|
(3) | Penyelenggaraan Hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dikecualikan dengan Peraturan Daerah. |
(1) | Subjek Pajak Hiburan adalah orang pribadi atau Badan yang menikmati Hiburan. |
(2) | Wajib Pajak Hiburan adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan Hiburan. |
(1) | Dasar pengenaan Pajak Hiburan adalah jumlah uang yang diterima atau yang seharusnya diterima oleh penyelenggara Hiburan. |
(2) | Jumlah uang yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk potongan harga dan tiket cuma-cuma yang diberikan kepada penerima jasa Hiburan. |
(1) | Tarif Pajak Hiburan ditetapkan paling tinggi sebesar 35% (tiga puluh lima persen). |
(2) | Khusus untuk Hiburan berupa pagelaran busana, kontes kecantikan, diskotik, karaoke, klab malam, permainan ketangkasan, panti pijat, dan mandi uap/spa, tarif Pajak Hiburan dapat ditetapkan paling tinggi sebesar 75% (tujuh puluh lima persen). |
(3) | Khusus Hiburan kesenian rakyat/tradisional dikenakan tarif Pajak Hiburan ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen). |
(4) | Tarif Pajak Hiburan ditetapkan dengan Peraturan Daerah. |
(1) | Besaran pokok Pajak Hiburan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (4) dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44. |
(2) | Pajak Hiburan yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat Hiburan diselenggarakan. |
(1) | Objek Pajak Reklame adalah semua penyelenggaraan Reklame. |
(2) | Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(3) | Tidak termasuk sebagai objek Pajak Reklame adalah:
|
(1) | Subjek Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan Reklame. |
(2) | Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan Reklame. |
(3) | Dalam hal Reklame diselenggarakan sendiri secara langsung oleh orang pribadi atau Badan, Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan tersebut. |
(4) | Dalam hal Reklame diselenggarakan melalui pihak ketiga, pihak ketiga tersebut menjadi Wajib Pajak Reklame. |
(1) | Dasar pengenaan Pajak Reklame adalah Nilai Sewa Reklame. |
(2) | Dalam hal Reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga, Nilai Sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan nilai kontrak Reklame. |
(3) | Dalam hal Reklame diselenggarakan sendiri, Nilai Sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan memperhatikan faktor jenis, bahan yang digunakan, lokasi penempatan, waktu, jangka waktu penyelenggaraan, jumlah, dan ukuran media Reklame. |
(4) | Dalam hal Nilai Sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui dan/atau dianggap tidak wajar, Nilai Sewa Reklame ditetapkan dengan menggunakan faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (3). |
(5) | Cara perhitungan Nilai Sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Daerah. |
(6) | Hasil perhitungan Nilai Sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah. |
(1) | Tarif Pajak Reklame ditetapkan paling tinggi sebesar 25% (dua puluh lima persen). |
(2) | Tarif Pajak Reklame ditetapkan dengan Peraturan Daerah. |
(1) | Besaran pokok Pajak Reklame yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (6). |
(2) | Pajak Reklame yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat Reklame tersebut diselenggarakan. |
(1) | Objek Pajak Penerangan Jalan adalah penggunaan tenaga listrik, baik yang dihasilkan sendiri maupun yang diperoleh dari sumber lain. |
(2) | Listrik yang dihasilkan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi seluruh pembangkit listrik. |
(3) | Dikecualikan dari objek Pajak Penerangan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
|
(1) | Subjek Pajak Penerangan Jalan adalah orang pribadi atau Badan yang dapat menggunakan tenaga listrik. |
(2) | Wajib Pajak Penerangan Jalan adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan tenaga listrik. |
(3) | Dalam hal tenaga listrik disediakan oleh sumber lain, Wajib Pajak Penerangan Jalan adalah penyedia tenaga listrik. |
(1) | Dasar pengenaan Pajak Penerangan Jalan adalah Nilai Jual Tenaga Listrik. |
(2) | Nilai Jual Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan:
|
(1) | Tarif Pajak Penerangan Jalan ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen). |
(2) | Penggunaan tenaga listrik dari sumber lain oleh industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam, tarif Pajak Penerangan Jalan ditetapkan paling tinggi sebesar 3% (tiga persen). |
(3) | Penggunaan tenaga listrik yang dihasilkan sendiri, tarif Pajak Penerangan Jalan ditetapkan paling tinggi sebesar 1,5% (satu koma lima persen). |
(4) | Tarif Pajak Penerangan Jalan ditetapkan dengan Peraturan Daerah. |
(1) | Besaran pokok Pajak Penerangan Jalan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (4) dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54. |
(2) | Pajak Penerangan Jalan yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat penggunaan tenaga listrik. |
(3) | Hasil penerimaan Pajak Penerangan Jalan sebagian dialokasikan untuk penyediaan penerangan jalan. |
(1) | Objek Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah kegiatan pengambilan Mineral Bukan Logam dan Batuan yang meliputi:
|
(2) | Dikecualikan dari objek Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
|
(1) | Subjek Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah orang pribadi atau Badan yang dapat mengambil Mineral Bukan Logam dan Batuan. |
(2) | Wajib Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil Mineral Bukan Logam dan Batuan. |
(1) | Dasar pengenaan Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah Nilai Jual Hasil Pengambilan Mineral Bukan Logam dan Batuan. |
(2) | Nilai jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan mengalikan volume/tonase hasil pengambilan dengan nilai pasar atau harga standar masing-masing jenis Mineral Bukan Logam dan Batuan. |
(3) | Nilai pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah harga rata-rata yang berlaku di lokasi setempat di wilayah daerah yang bersangkutan. |
(4) | Dalam hal nilai pasar dari hasil produksi Mineral Bukan Logam dan Batuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sulit diperoleh, digunakan harga standar yang ditetapkan oleh instansi yang berwenang dalam bidang pertambangan Mineral Bukan Logam dan Batuan. |
(1) | Tarif Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan ditetapkan paling tinggi sebesar 25% (dua puluh lima persen). |
(2) | Tarif Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan ditetapkan dengan Peraturan Daerah. |
(1) | Besaran pokok Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (2) dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59. |
(2) | Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat pengambilan Mineral Bukan Logam dan Batuan. |
(1) | Objek Pajak Parkir adalah penyelenggaraan tempat Parkir di luar badan jalan, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor. |
(2) | Tidak termasuk objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
|
(1) | Subjek Pajak Parkir adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan parkir kendaraan bermotor. |
(2) | Wajib Pajak Parkir adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan tempat Parkir. |
(1) | Dasar pengenaan Pajak Parkir adalah jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar kepada penyelenggara tempat Parkir. |
(2) | Dasar pengenaan Pajak Parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditetapkan dengan Peraturan Daerah. |
(3) | Jumlah yang seharusnya dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk potongan harga Parkir dan Parkir cuma-cuma yang diberikan kepada penerima jasa Parkir. |
(1) | Tarif Pajak Parkir ditetapkan paling tinggi sebesar 30% (tiga puluh persen). |
(2) | Tarif Pajak Parkir ditetapkan dengan Peraturan Daerah. |
(1) | Besaran pokok Pajak Parkir yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64. |
(2) | Pajak Parkir yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat Parkir berlokasi. |
(1) | Objek Pajak Air Tanah adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah. |
(2) | Dikecualikan dari objek Pajak Air Tanah adalah:
|
(1) | Subjek Pajak Air Tanah adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah. |
(2) | Wajib Pajak Air Tanah adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah. |
(1) | Dasar pengenaan Pajak Air Tanah adalah Nilai Perolehan Air Tanah. |
(2) | Nilai Perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dalam rupiah yang dihitung dengan mempertimbangkan sebagian atau seluruh faktor-faktor berikut:
|
(3) | Penggunaan faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disesuaikan dengan kondisi masing-masing Daerah. |
(4) | Besarnya Nilai Perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Bupati/Walikota. |
(1) | Tarif Pajak Air Tanah ditetapkan paling tinggi sebesar 20% (dua puluh persen). |
(2) | Tarif Pajak Air Tanah ditetapkan dengan Peraturan Daerah. |
(1) | Besaran pokok Pajak Air Tanah yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (2) dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (4). |
(2) | Pajak Air Tanah yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat air diambil. |
(1) | Objek Pajak Sarang Burung Walet adalah pengambilan dan/atau pengusahaan Sarang Burung Walet. |
(2) | Tidak termasuk objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
|
(1) | Subjek Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan Sarang Burung Walet. |
(2) | Wajib Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan Sarang Burung Walet. |
(1) | Dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet adalah Nilai Jual Sarang Burung Walet. |
(2) | Nilai Jual Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian antara harga pasaran umum Sarang Burung Walet yang berlaku di daerah yang bersangkutan dengan volume Sarang Burung Walet. |
(1) | Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen). |
(2) | Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan dengan Peraturan Daerah. |
(1) | Besaran pokok Pajak Sarang Burung Walet yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana di maksud dalam Pasal 75 ayat (2) dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74. |
(2) | Pajak Sarang Burung Walet yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat pengambilan dan/atau pengusahaan Sarang Burung Walet. |
(1) | Objek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. |
(2) | Termasuk dalam pengertian Bangunan adalah:
|
(3) | Objek Pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah objek pajak yang:
|
(4) | Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan paling rendah sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak. |
(5) | Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Daerah. |
(1) | Subjek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atasBangunan. |
(2) | Wajib Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai,dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan. |
(1) | Dasar pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah NJOP. |
(2) | Besarnya NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayahnya. |
(3) | Penetapan besarnya NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Kepala Daerah. |
(1) | Tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan ditetapkan paling tinggi sebesar 0,3% (nol koma tiga persen). |
(2) | Tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan ditetapkan dengan Peraturan Daerah. |
(1) | Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender. |
(2) | Saat yang menentukan pajak yang terutang adalah menurut keadaan objek pajak pada tanggal 1 Januari. |
(3) | Tempat pajak yang terutang adalah di wilayah daerah yang meliputi letak objek pajak. |
(1) | Pendataan dilakukan dengan menggunakan SPOP. |
(2) | SPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diisi dengan jelas, benar, dan lengkap serta ditandatangani dan disampaikan kepada Kepala Daerah yang wilayah kerjanya meliputi letak objek pajak, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja setelah tanggal diterimanya SPOP oleh Subjek Pajak. |
(1) | Berdasarkan SPOP, Kepala Daerah menerbitkan SPPT. |
(2) | Kepala Daerah dapat mengeluarkan SKPD dalam hal-hal sebagai berikut:
|
(1) | Objek Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan. | ||||||||||||||||||||||||||||||
(2) | Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
| ||||||||||||||||||||||||||||||
(3) | Hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
| ||||||||||||||||||||||||||||||
(4) | Objek pajak yang tidak dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah objek pajak yang diperoleh:
|
(1) | Subjek Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan. |
(2) | Wajib Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan. |
(1) | Dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Nilai Perolehan Objek Pajak. |
(2) | Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam hal:
|
(3) | Jika Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf n tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan yangdipakai adalah NJOP Pajak Bumi dan Bangunan. |
(4) | Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan paling rendah sebesar Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak. |
(5) | Dalam hal perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan paling rendah sebesar Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). |
(6) | Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) ditetapkan dengan Peraturan Daerah. |
(1) | Tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ditetapkan paling tinggi sebesar 5% (lima persen). |
(2) | Tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ditetapkan dengan Peraturan Daerah. |
(1) | Besaran pokok Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (2) dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) setelah dikurangi Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (6). |
(2) | Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat Tanah dan/atau Bangunan berada. |
(1) | Saat terutangnya pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan ditetapkan untuk:
|
(2) | Pajak yang terutang harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(1) | Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak. |
(2) | Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara hanya dapat menandatangani risalah lelang Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak. |
(3) | Kepala kantor bidang pertanahan hanya dapat melakukan pendaftaran Hak atas Tanah atau pendaftaran peralihan Hak atas Tanah setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak. |
(1) | Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara melaporkan pembuatan akta atau risalah lelang Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan kepada Kepala Daerah paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya. |
(2) | Tata cara pelaporan bagi pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Kepala Daerah. |
(1) | Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara, yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1) dan ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap pelanggaran. |
(2) | Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara, yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) untuk setiap laporan. |
(3) | Kepala kantor bidang pertanahan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (3) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Hasil penerimaan Pajak provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) sebagian diperuntukkan bagi kabupaten/kota di wilayah provinsi yang bersangkutan dengan ketentuan sebagai berikut:
|
(2) | Khusus untuk penerimaan Pajak Air Permukaan dari sumber air yang berada hanya pada 1 (satu) wilayah kabupaten/kota, hasil penerimaan Pajak Air Permukaan dimaksud diserahkan kepada kabupaten/kota yang bersangkutan sebesar 80% (delapan puluh persen). |
(3) | Bagian kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan memperhatikan aspek pemerataan dan/atau potensi antar kabupaten/kota. |
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai bagi hasil penerimaan Pajak provinsi yang diperuntukkan bagi kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi. |
(1) | Pajak ditetapkan dengan Peraturan Daerah. |
(2) | Peraturan Daerah tentang Pajak tidak berlaku surut. |
(3) | Peraturan Daerah tentang Pajak paling sedikit mengatur ketentuan mengenai:
|
(4) | Peraturan Daerah tentang Pajak dapat juga mengatur ketentuan mengenai:
|
(1) | Pemungutan Pajak dilarang diborongkan. |
(2) | Setiap Wajib Pajak wajib membayar Pajak yang terutang berdasarkan surat ketetapan pajak atau dibayar sendiri oleh Wajib Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan. |
(3) | Wajib Pajak yang memenuhi kewajiban perpajakan berdasarkan penetapan Kepala Daerah dibayar dengan menggunakan SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan. |
(4) | Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa karcis dan nota perhitungan. |
(5) | Wajib Pajak yang memenuhi kewajiban perpajakan sendiri dibayar dengan menggunakan SPTPD, SKPDKB, dan/atau SKPDKBT. |
(1) | Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak, Kepala Daerah dapat menerbitkan:
| ||||||
(2) | Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 1) dan angka 2) dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak. | ||||||
(3) | Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKBT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut. | ||||||
(4) | Kenaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dikenakan jika Wajib Pajak melaporkan sendiri sebelum dilakukan tindakan pemeriksaan. | ||||||
(5) | Jumlah pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 3) dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari pokok pajak ditambah sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak. |
(1) | Tata cara penerbitan SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan, SPTPD, SKPDKB, dan SKPDKBT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (3) dan ayat(5) diatur dengan Peraturan Kepala Daerah. |
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengisian dan penyampaian SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan, SPTPD, SKPDKB, dan SKPDKBT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (3) dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Kepala Daerah. |
(1) | Kepala Daerah dapat menerbitkan STPD jika:
|
(2) | Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b ditambah dengan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan untuk paling lama 15 (lima belas) bulan sejak saat terutangnya pajak. |
(3) | SKPD yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dan ditagih melalui STPD. |
(1) | Kepala Daerah menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah saat terutangnya pajak dan paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT oleh Wajib Pajak. |
(2) | SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah merupakan dasar penagihan pajak dan harus dilunasi dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan. |
(3) | Kepala Daerah atas permohonan Wajib Pajak setelah memenuhi persyaratan yang ditentukan dapat memberikan persetujuan kepada Wajib Pajak untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak, dengan dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan. |
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembayaran, penyetoran, tempat pembayaran, angsuran, dan penundaan pembayaran pajak diatur dengan Peraturan Kepala Daerah. |
(1) | Pajak yang terutang berdasarkan SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang tidak atau kurang dibayar oleh Wajib Pajak pada waktunya dapat ditagih dengan Surat Paksa. |
(2) | Penagihan pajak dengan Surat Paksa dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk atas suatu:
|
(2) | Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai alasan-alasan yang jelas. |
(3) | Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat, tanggal pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali jika Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya. |
(4) | Keberatan dapat diajukan apabila Wajib Pajak telah membayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak. |
(5) | Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) tidak dianggap sebagai Surat Keberatan sehingga tidak dipertimbangkan. |
(6) | Tanda penerimaan surat keberatan yang diberikan oleh Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk atau tanda pengiriman surat keberatan melalui surat pos tercatat sebagai tanda bukti penerimaan surat keberatan. |
(1) | Kepala Daerah dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan, sejak tanggal Surat Keberatan diterima, harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan. |
(2) | Keputusan Kepala Daerah atas keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian, menolak, atau menambah besarnya pajak yang terutang. |
(3) | Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat dan Kepala Daerah tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan. |
(1) | Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada Pengadilan Pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Kepala Daerah. |
(2) | Permohonan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia, dengan alasan yang jelas dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak keputusan diterima, dilampiri salinan dari surat keputusan keberatan tersebut. |
(3) | Pengajuan permohonan banding menangguhkan kewajiban membayar pajak sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding. |
(1) | Jika pengajuan keberatan atau permohonan banding dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan. |
(2) | Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak bulan pelunasan sampai dengan diterbitkannya SKPDLB. |
(3) | Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajakyang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan. |
(4) | Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, sanksi administratif berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dikenakan. |
(5) | Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan. |
(1) | Atas permohonan Wajib Pajak atau karena jabatannya, Kepala Daerah dapat membetulkan SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT atau STPD, SKPDN atau SKPDLB yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan daerah. |
(2) | Kepala Daerah dapat:
|
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengurangan atau penghapusan sanksi administratif dan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Kepala Daerah. |
(1) | Objek Retribusi adalah:
|
(2) | Retribusi yang dikenakan atas jasa umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a digolongkan sebagai Retribusi Jasa Umum. |
(3) | Retribusi yang dikenakan atas jasa usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b digolongkan sebagai Retribusi Jasa Usaha. |
(4) | Retribusi yang dikenakan atas perizinan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c digolongkan sebagai Retribusi Perizinan Tertentu. |
(1) | Jenis Retribusi Jasa Umum adalah:
|
(2) | Jenis Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat tidak dipungut apabila potensi penerimaannya kecil dan/atau atas kebijakan nasional/daerah untuk memberikan pelayanan tersebut secara cuma-cuma. |
(1) | Objek Retribusi Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1) huruf a adalah pelayanan kesehatan di puskesmas, puskesmas keliling, puskesmas pembantu, balai pengobatan, rumah sakit umum daerah, dan tempat pelayanan kesehatan lainnyayang sejenis yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, kecuali pelayanan pendaftaran. |
(2) | Dikecualikan dari objek Retribusi pelayanan kesehatan adalah pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh Pemerintah, BUMN, BUMD, dan pihak swasta. |
(1) | Objek Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1) huruf b adalah pelayanan persampahan/kebersihan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah, meliputi:
|
(2) | Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan kebersihan jalan umum, taman, tempat ibadah, sosial, dan tempat umum lainnya. |
(1) | Objek Retribusi Pelayanan Pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1) huruf f adalah penyediaan fasilitas pasar tradisional/sederhana, berupa pelataran, los, kios yang dikelola Pemerintah Daerah, dan khusus disediakan untuk pedagang. |
(2) | Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan fasilitas pasar yang dikelola oleh BUMN, BUMD, dan pihak swasta. |
(1) | Objek Retribusi Penyediaan dan/atau Penyedotan Kakus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1) huruf j adalah pelayanan penyediaan dan/atau penyedotan kakus yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah. |
(2) | Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan penyediaan dan/atau penyedotan kakus yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola oleh BUMN, BUMD dan pihak swasta. |
(1) | Objek Retribusi Pengolahan Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1) huruf k adalah pelayanan pengolahan limbah cair rumah tangga, perkantoran, dan industri yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola secara khusus oleh Pemerintah Daerahdalam bentuk instalasi pengolahan limbah cair. |
(2) | Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan pengolahan limbah cair yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah, BUMN, BUMD, pihak swasta, dan pembuangan limbah cair secara langsung ke sungai,drainase, dan/atau sarana pembuangan lainnya. |
(1) | Objek Retribusi Pelayanan Pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1) huruf m adalah pelayanan penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan teknis oleh Pemerintah Daerah. |
(2) | Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
|
(1) | Subjek Retribusi Jasa Umum adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan jasa umum yang bersangkutan. |
(2) | Wajib Retribusi Jasa Umum adalah orang pribadi atau Badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan Retribusi diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi, termasuk pemungut atau pemotong Retribusi Jasa Umum. |
(1) | Objek Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 huruf a adalah pemakaian kekayaan Daerah. |
(2) | Dikecualikan dari pengertian pemakaian kekayaan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penggunaan tanah yang tidak mengubah fungsi dari tanah tersebut. |
(1) | Objek Retribusi Pasar Grosir dan/atau Pertokoan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 huruf b adalah penyediaan fasilitas pasar grosir berbagai jenis barang, dan fasilitas pasar/pertokoan yang dikontrakkan, yang disediakan/diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah. |
(2) | Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah fasilitas pasar yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh BUMN, BUMD, dan pihak swasta. |
(1) | Objek Retribusi Tempat Pelelangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 huruf c adalah penyediaan tempat pelelangan yang secara khusus disediakan oleh Pemerintah Daerah untuk melakukan pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk jasa pelelangan serta fasilitas lainnya yang disediakan di tempat pelelangan. |
(2) | Termasuk objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tempat yang dikontrak oleh Pemerintah Daerah dari pihak lain untuk dijadikan sebagai tempat pelelangan. |
(3) | Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tempat pelelangan yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola oleh BUMN, BUMD, dan pihak swasta. |
(1) | Objek Retribusi Terminal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 huruf d adalah pelayanan penyediaan tempat parkir untuk kendaraan penumpang dan bis umum, tempat kegiatan usaha, dan fasilitas lainnya di lingkungan terminal, yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah. |
(2) | Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah terminal yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah, BUMN, BUMD, dan pihak swasta. |
(1) | Objek Retribusi Tempat Khusus Parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 huruf e adalah pelayanan tempat khusus parkir yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah. |
(2) | Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan tempat parkir yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah, BUMN, BUMD, dan pihak swasta. |
(1) | Objek Retribusi Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Villa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 huruf f adalah pelayanan tempat penginapan/pesanggrahan/villa yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah. |
(2) | Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tempat penginapan/pesanggrahan/villa yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah, BUMN, BUMD, dan pihak swasta. |
(1) | Objek Retribusi Rumah Potong Hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 huruf g adalah pelayanan penyediaan fasilitas rumah pemotongan hewan ternak termasuk pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dan sesudah dipotong, yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah. |
(2) | Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan penyediaan fasilitas rumah pemotongan hewan ternak yang disediakan, dimiliki,dan/atau dikelola oleh BUMN, BUMD, dan pihak swasta. |
(1) | Objek Retribusi Pelayanan Kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 huruf h adalah pelayanan jasa kepelabuhanan, termasuk fasilitas lainnya di lingkungan pelabuhan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah. |
(2) | Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan jasa kepelabuhanan yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah, BUMN, BUMD, dan pihak swasta. |
(1) | Objek Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 huruf i adalah pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah. |
(2) | Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah, BUMN, BUMD, dan pihak swasta. |
(1) | Objek Retribusi Penyeberangan di Air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 huruf j adalah pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah. |
(2) | Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan penyeberangan yang dikelola oleh Pemerintah, BUMN, BUMD, dan pihak swasta. |
(1) | Objek Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 huruf k adalah penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah. |
(2) | Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penjualan produksi oleh Pemerintah, BUMN, BUMD, dan pihak swasta. |
(1) | Subjek Retribusi Jasa Usaha adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan jasa usaha yang bersangkutan. |
(2) | Wajib Retribusi Jasa Usaha adalah orang pribadi atau Badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan Retribusi diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi, termasuk pemungut atau pemotong Retribusi Jasa Usaha. |
(1) | Objek Retribusi Izin Mendirikan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 huruf a adalah pemberian izin untuk mendirikan suatu bangunan. |
(2) | Pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan peninjauan desain dan pemantauan pelaksanaan pembangunannya agar tetap sesuai dengan rencana teknis bangunan dan rencana tata ruang, dengan tetap memperhatikan koefisien dasar bangunan (KDB), koefisien luas bangunan (KLB), koefisien ketinggian bangunan (KKB), dan pengawasan penggunaan bangunan yang meliputi pemeriksaan dalam rangka memenuhi syaratkeselamatan bagi yang menempati bangunan tersebut. |
(3) | Tidak termasuk objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pemberian izin untuk bangunan milik Pemerintah atau Pemerintah Daerah. |
(1) | Objek Retribusi Izin Gangguan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 huruf c adalah pemberian izin tempat usaha/kegiatan kepada orang pribadi atau Badan yang dapat menimbulkan ancaman bahaya, kerugian dan/atau gangguan, termasuk pengawasan dan pengendalian kegiatan usaha secara terus-menerus untuk mencegah terjadinya gangguan ketertiban, keselamatan, atau kesehatan umum, memelihara ketertiban lingkungan, dan memenuhi norma keselamatan dan kesehatan kerja. |
(2) | Tidak termasuk objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tempat usaha/kegiatan yang telah ditentukan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah. |
(1) | Subjek Retribusi Perizinan Tertentu adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh izin tertentu dari Pemerintah Daerah. |
(2) | Wajib Retribusi Perizinan Tertentu adalah orang pribadi atau Badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan Retribusi diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi, termasuk pemungut atau pemotong Retribusi Perizinan Tertentu. |
(1) | Jenis Retribusi Jasa Umum dan Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1) dan Pasal 141, untuk Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota disesuaikan dengan kewenangan Daerah masing-masing sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. |
(2) | Jenis Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127, untuk Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota disesuaikan dengan jasa/pelayanan yang diberikan oleh Daerah masing-masing. |
(3) | Rincian jenis objek dari setiap Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1), Pasal 127, dan Pasal 141 diatur dalam Peraturan Daerah yang bersangkutan. |
(1) | Besarnya Retribusi yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi. |
(2) | Tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan. |
(3) | Apabila tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sulit diukur maka tingkat penggunaan jasa dapat ditaksir berdasarkan rumus yang dibuat oleh Pemerintah Daerah. |
(4) | Rumus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus mencerminkan beban yang dipikul oleh Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan jasa tersebut. |
(5) | Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah nilai rupiah atau persentase tertentu yang ditetapkan untuk menghitung besarnya Retribusi yang terutang. |
(6) | Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditentukan seragam atau bervariasi menurut golongan sesuai dengan prinsip dan sasaran penetapan tarif Retribusi. |
(1) | Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalianatas pelayanan tersebut. |
(2) | Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya operasi dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal. |
(3) | Dalam hal penetapan tarif sepenuhnya memperhatikan biaya penyediaan jasa, penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya. |
(4) | Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk dan Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta hanya memperhitungkan biaya pencetakan dan pengadministrasian. |
(1) | Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha didasarkan pada tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak. |
(2) | Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan jasa usaha tersebut dilakukan secara efisien danberorientasi pada harga pasar. |
(1) | Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan pemberianizin yang bersangkutan. |
(2) | Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penerbitan dokumen izin, pengawasan di lapangan, penegakan hukum, penatausahaan, dan biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut. |
(1) | Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali. |
(2) | Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian. |
(3) | Penetapan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah. |
(1) | Retribusi ditetapkan dengan Peraturan Daerah. |
(2) | Peraturan Daerah tentang Retribusi tidak dapat berlaku surut. |
(3) | Peraturan Daerah tentang Retribusi paling sedikit mengatur ketentuan mengenai:
|
(4) | Peraturan Daerah tentang Retribusi dapat juga mengatur ketentuan mengenai:
|
(5) | Pengurangan dan keringanan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b diberikan dengan melihat kemampuan Wajib Retribusi. |
(6) | Pembebasan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b diberikan dengan melihat fungsi objek Retribusi. |
(7) | Peraturan Daerah untuk jenis Retribusi yang tergolong dalam Retribusi Perizinan Tertentu harus terlebih dahulu disosialisasikan dengan masyarakat sebelum ditetapkan. |
(8) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan mekanisme pelaksanaan penyebarluasan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diatur dengan Peraturan Kepala Daerah. |
(1) | Rancangan Peraturan Daerah provinsi tentang Pajak dan Retribusi yang telah disetujui bersama oleh gubernur dan DPRD provinsi sebelum ditetapkan disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal persetujuan dimaksud. |
(2) | Rancangan Peraturan Daerah kabupaten/kota tentang Pajak dan Retribusi yang telah disetujui bersama oleh bupati/walikota dan DPRD kabupaten/kota sebelum ditetapkan disampaikan kepada gubernur dan Menteri Keuangan paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejaktanggal persetujuan dimaksud. |
(3) | Menteri Dalam Negeri melakukan evaluasi terhadap Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk menguji kesesuaian Rancangan Peraturan Daerah dengan ketentuan Undang-Undang ini, kepentingan umum, dan/atau peraturan perundangundangan lain yang lebih tinggi. |
(4) | Gubernur melakukan evaluasi terhadap Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk menguji kesesuaian Rancangan Peraturan Daerah dengan ketentuan Undang-Undang ini, kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan lain yang lebih tinggi. |
(5) | Menteri Dalam Negeri dan gubernur dalam melakukan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) berkoordinasi dengan Menteri Keuangan. |
(6) | Hasil evaluasi yang telah dikoordinasikan dengan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat berupa persetujuan atau penolakan. |
(7) | Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri kepada gubernur untuk Rancangan Peraturan Daerah provinsi dan oleh gubernur kepada bupati/walikota untuk Rancangan Peraturan Daerah kabupaten/kota dalam jangka waktu paling lambat 15 (lima belas) hari kerja sejak diterimanya Rancangan Peraturan Daerah dimaksud. |
(8) | Hasil evaluasi berupa penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) disampaikan dengan disertai alasan penolakan. |
(9) | Dalam hal hasil evaluasi berupa persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Rancangan Peraturan Daerah dimaksud dapat langsung ditetapkan. |
(10) | Dalam hal hasil evaluasi berupa penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Rancangan Peraturan Daerah dimaksud dapat diperbaiki oleh gubernur, bupati/walikota bersama DPRD yang bersangkutan, untuk kemudian disampaikan kembali kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan untuk Rancangan Peraturan Daerah provinsi dan kepada gubernur dan Menteri Keuangan untuk Rancangan Peraturan Daerah kabupaten/kota. |
(1) | Peraturan Daerah yang telah ditetapkan oleh gubernur/bupati/walikota disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah ditetapkan. |
(2) | Dalam hal Peraturan Daerah bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundangundangan yang lebih tinggi, Menteri Keuangan merekomendasikan pembatalan Peraturan Daerah dimaksud kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri. |
(3) | Penyampaian rekomendasi pembatalan oleh Menteri Keuangan kepada Menteri Dalam Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal diterimanya Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(4) | Berdasarkan rekomendasi pembatalan yang disampaikan oleh Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri mengajukan permohonan pembatalan Peraturan Daerah dimaksud kepada Presiden. |
(5) | Keputusan pembatalan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari kerja sejak diterimanya Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(6) | Paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah keputusan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Kepala Daerah harus memberhentikan pelaksanaan Peraturan Daerah dan selanjutnya DPRD bersama Kepala Daerah mencabut Peraturan Daerah dimaksud. |
(7) | Jika provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dengan alasan-alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, Kepala Daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung. |
(8) | Jika keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dikabulkan sebagian atau seluruhnya, putusan Mahkamah Agung tersebut menyatakan Peraturan Presiden menjadibatal dan tidak mempunyai kekuatan hukum. |
(9) | Jika Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Peraturan Daerah dimaksud dinyatakan berlaku. |
(1) | Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 158 ayat (1) dan ayat (6) oleh Daerah dikenakan sanksi berupa penundaan atau pemotongan Dana Alokasi Umumdan/atau Dana Bagi Hasil atau restitusi. |
(2) | Tata cara pelaksanaan penundaan atau pemotongan Dana Alokasi Umum dan/atau Dana Bagi Hasil atau restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan. |
(1) | Retribusi dipungut dengan menggunakan SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan. |
(2) | Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa karcis, kupon, dan kartu langganan. |
(3) | Dalam hal Wajib Retribusi tertentu tidak membayar tepat pada waktunya atau kurang membayar, dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan dari Retribusi yang terutang yang tidak atau kurang dibayar dan ditagih dengan menggunakan STRD. |
(4) | Penagihan Retribusi terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) didahului dengan Surat Teguran. |
(5) | Tata cara pelaksanaan pemungutan Retribusi ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah. |
(1) | Pemanfaatan dari penerimaan masing-masing jenis Retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayananyang bersangkutan. |
(2) | Ketentuan mengenai alokasi pemanfaatan penerimaan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah. |
(1) | Wajib Retribusi tertentu dapat mengajukan keberatan hanya kepada Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk atas SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan. |
(2) | Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai alasan-alasan yang jelas. |
(3) | Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal SKRD diterbitkan, kecuali jika Wajib Retribusi tertentu dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya. |
(4) | Keadaan di luar kekuasaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah suatu keadaan yang terjadi di luar kehendak atau kekuasaan Wajib Retribusi. |
(5) | Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar Retribusi dan pelaksanaan penagihan Retribusi. |
(1) | Kepala Daerah dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan dengan menerbitkan Surat Keputusan Keberatan. |
(2) | Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah untuk memberikan kepastian hukum bagi Wajib Retribusi, bahwa keberatan yang diajukan harus diberi keputusan oleh Kepala Daerah. |
(3) | Keputusan Kepala Daerah atas keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian, menolak, atau menambah besarnya Retribusi yang terutang. |
(4) | Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat dan Kepala Daerah tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan. |
(1) | Jika pengajuan keberatan dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran Retribusi dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk paling lama 12 (dua belas) bulan. |
(2) | Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak bulan pelunasan sampai dengan diterbitkannya SKRDLB. |
(1) | Atas kelebihan pembayaran Pajak atau Retribusi, Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dapat mengajukan permohonan pengembalian kepada Kepala Daerah. |
(2) | Kepala Daerah dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan, sejak diterimanya permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memberikan keputusan. |
(3) | Kepala Daerah dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan, sejak diterimanya permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memberikan keputusan. |
(4) | Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) telah dilampaui dan Kepala Daerah tidak memberikan suatu keputusan, permohonan pengembalian pembayaran Pajak atau Retribusi dianggap dikabulkan danSKPDLB atau SKRDLB harus diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan. |
(5) | Apabila Wajib Pajak atau Wajib Retribusi mempunyai utang Pajak atau utang Retribusi lainnya, kelebihan pembayaran Pajak atau Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang Pajak atau utang Retribusi tersebut. |
(6) | Pengembalian kelebihan pembayaran Pajak atau Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak diterbitkannya SKPDLB atau SKRDLB. |
(7) | Jika pengembalian kelebihan pembayaran Pajak atau Retribusi dilakukan setelah lewat 2 (dua) bulan, Kepala Daerah memberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan atas keterlambatan pembayaran kelebihan pembayaran Pajak atau Retribusi. |
(8) | Tata cara pengembalian kelebihan pembayaran Pajak atau Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Kepala Daerah. |
(1) | Hak untuk melakukan penagihan Pajak menjadi kedaluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat terutangnya Pajak, kecuali apabila Wajib Pajak melakukan tindak pidana di bidang perpajakan daerah. |
(2) | Kedaluwarsa penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh apabila:
|
(3) | Dalam hal diterbitkan Surat Teguran dan Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, kedaluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian Surat Paksa tersebut. |
(4) | Pengakuan utang Pajak secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b adalah Wajib Pajak dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai utang Pajak dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah. |
(5) | Pengakuan utang secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Pajak. |
(1) | Hak untuk melakukan penagihan Retribusi menjadi kedaluwarsa setelah melampaui waktu 3 (tiga) tahun terhitung sejak saat terutangnya Retribusi, kecuali jika Wajib Retribusi melakukan tindak pidana di bidang Retribusi. |
(2) | Kedaluwarsa penagihan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh jika:
|
(3) | Dalam hal diterbitkan Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, kedaluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal diterimanya Surat Teguran tersebut. |
(4) | Pengakuan utang Retribusi secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b adalah Wajib Retribusi dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai utang Retribusi dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah. |
(5) | Pengakuan utang Retribusi secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Retribusi. |
(1) | Piutang Pajak dan/atau Retribusi yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan penagihan sudah kedaluwarsa dapat dihapuskan. |
(2) | Gubernur menetapkan Keputusan Penghapusan Piutang Pajak dan/atau Retribusi provinsi yang sudah kedaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(3) | Bupati/walikota menetapkan Keputusan Penghapusan Piutang Pajak dan/atau Retribusi kabupaten/kota yang sudah kedaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(4) | Tata cara penghapusan piutang Pajak dan/atau Retribusi yang sudah kedaluwarsa diatur dengan Peraturan Kepala Daerah. |
(1) | Wajib Pajak yang melakukan usaha dengan omzet paling sedikit Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) per tahun wajib menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan. |
(2) | Kriteria Wajib Pajak dan penentuan besaran omzet serta tata cara pembukuan atau pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Kepala Daerah. |
(1) | Kepala Daerah berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan daerah dan kewajiban Retribusi dalam rangka melaksanakan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah dan Retribusi. |
(2) | Wajib Pajak atau Wajib Retribusi yang diperiksa wajib:
|
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemeriksaan Pajak dan Retribusi diatur dengan Peraturan Kepala Daerah. |
(1) | Instansi yang melaksanakan pemungutan Pajak dan Retribusi dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu. |
(2) | Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. |
(3) | Tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. |
(1) | Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah. |
(2) | Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Kepala Daerah untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah. |
(3) | Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah:
|
(4) | Untuk kepentingan Daerah, Kepala Daerah berwenang memberi izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan,memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk. |
(5) | Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata, Kepala Daerah dapat memberi izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis danketerangan Wajib Pajak yang ada padanya. |
(6) | Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan denganketerangan yang diminta. |
(1) | Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai Penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi, sebagaimanadimaksud dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana. |
(2) | Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. |
(3) | Wewenang Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
|
(4) | Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui Penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana. |
(1) | Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan SPTPD atau mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga merugikan keuangan Daerah dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutangyang tidak atau kurang dibayar. |
(2) | Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak menyampaikan SPTPD atau mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga merugikan keuangan Daerah dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar. |
(1) | Pejabat atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Kepala Daerah yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 172 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana kurunganpaling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp4.000.000,00 (empat juta rupiah). |
(2) | Pejabat atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Kepala Daerah yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 172 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) tahun dan pidana denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). |
(3) | Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) hanya dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar. |
(4) | Tuntutan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sesuai dengan sifatnya adalah menyangkut kepentingan pribadi seseorang atau Badan selaku Wajib Pajak atau Wajib Retribusi, karena itu dijadikan tindakpidana pengaduan. |
Disahkan di Jakarta pada tanggal 15 September 2009 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO |
Tahun | 2011 | 2012 | 2013 | 2014 | 2015 |
Cukai(Pusat) Pajak Rokok (Daerah) Total Pungutan Cukai (Pusat + Daerah) ?% Rp. | 100 - 100 0 | 110 - 110 10% 10 | 121 - 121 10% 11 | 121 12 133 10% 12 | 133 13 146 10% 13 |
1. | NJOP Bumi: 800 x Rp300.000,00 | = Rp240.000.000,00 |
2. | NJOP Bangunan | |
a. Rumah dan garasi 400 x Rp350.000,00 | = Rp140.000.000,00 | |
b. Taman 200 x Rp50.000,00 | = Rp 10.000.000,00 | |
c. Pagar (120 x 1,5) x Rp175.000,00 | = Rp 31.500.000,00 + | |
Total NJOP Bangunan Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak Nilai Jual bangunan Kena Pajak | Rp181.500.000,00 = Rp 10.000.000,00 - = Rp171.500.000,00 + | |
3. | Nilai Jual Objek Pajak Kena Pajak | = Rp411.500.000,00 |
4. | Tarif pajak efektif yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah 0,2%. | |
5. | PBB terutang: 0,2% x Rp411.500.000,00 | = Rp823.000,00 |