Tata Cara Pelaksanaan Penagihan Pajak Atas Jumlah Pajak yang Masih Harus Dibayar
(1) | Menteri berwenang menunjuk Pejabat untuk penagihan Pajak pusat. |
(2) | Pejabat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
|
(3) | Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berwenang mengangkat dan memberhentikan Jurusita Pajak. |
(4) | Jurusita Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bertugas:
|
(1) | Setiap Wajib Pajak wajib membayar Utang Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. |
(2) | Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi jenis Pajak:
|
(3) | Atas Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak dapat mengangsur atau menunda pembayaran Utang Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tata cara pengangsuran dan penundaan pembayaran Pajak. |
(4) | Dalam hal Wajib Pajak tidak melunasi Utang Pajak yang masih harus dibayar setelah lewat jatuh tempo pelunasan, dilakukan tindakan penagihan Pajak. |
(1) | Tindakan penagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) meliputi:
|
(2) | Pejabat menerbitkan Surat Teguran setelah lewat waktu 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pembayaran Utang Pajak, dalam hal Wajib Pajak tidak melunasi Utang Pajak. |
(3) | Apabila setelah lewat waktu 21 (dua puluh satu) hari terhitung sejak tanggal Surat Teguran disampaikan, Penanggung Pajak belum melunasi Utang Pajak, Surat Paksa diterbitkan oleh Pejabat dan diberitahukan secara langsung oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak. |
(4) | Apabila setelah lewat waktu 2 (dua) kali 24 (dua puluh empat) jam sejak tanggal Surat Paksa diberitahukan, Penanggung Pajak belum melunasi Utang Pajak, Pejabat menerbitkan surat perintah melaksanakan Penyitaan dan Jurusita Pajak melaksanakan Penyitaan terhadap Barang milik Penanggung Pajak. |
(5) | Dalam hal Penyitaan dilakukan terhadap harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada LJK, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain, Pejabat melakukan permintaan Pemblokiran terlebih dahulu. |
(6) | Apabila setelah lewat waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal pelaksanaan Penyitaan, Penanggung Pajak belum melunasi Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak, Pejabat melakukan pengumuman lelang atas Barang sitaan yang akan dilelang. |
(7) | Apabila setelah lewat waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal pengumuman lelang, Penanggung Pajak belum melunasi Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak, Pejabat melakukan penjualan Barang sitaan Penanggung Pajak melalui kantor lelang negara. |
(8) | Apabila setelah lewat waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal pelaksanaan Penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terhadap Barang sitaan yang penjualannya dikecualikan dari penjualan secara lelang, Penanggung Pajak belum melunasi Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak, Pejabat segera menggunakan, menjual, dan/atau memindahbukukan Barang sitaan. |
(9) | Dalam hal telah dilakukan upaya:
|
(10) | Pengusulan Pencegahan dapat dilakukan setelah tanggal Surat Paksa diberitahukan tanpa didahului penerbitan surat perintah melaksanakan Penyitaan, pelaksanaan Penyitaan, atau penjualan Barang sitaan, dalam hal:
|
(11) | Dalam hal terhadap Penanggung Pajak telah dilakukan Pencegahan, Penyanderaan dapat dilakukan terhadap Penanggung Pajak dalam jangka waktu paling cepat 30 (tiga puluh) hari sebelum berakhirnya masa Pencegahan atau berakhirnya masa perpanjangan Pencegahan. |
(12) | Penyanderaan dapat dilakukan setelah lewat waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal Surat Paksa diberitahukan, dalam hal:
|
(1) | Pelaksanaan tindakan penagihan Pajak terhadap Penanggung Pajak atas Wajib Pajak Badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b dilakukan terhadap:
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
(2) | Pelaksanaan tindakan penagihan Pajak terhadap pengurus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan terhadap:
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
(3) | Termasuk pengertian orang yang nyata-nyata sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf i adalah:
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
(4) | Pelaksanaan tindakan penagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dilakukan terhadap Penanggung Pajak atas Wajib Pajak Badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) secara berurutan. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
(5) | Urutan Penanggung Pajak atas Wajib Pajak Badan untuk dilakukan tindakan penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4), tidak berlaku dalam hal:
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
(6) | Dalam hal terdapat perubahan atau penggantian pengurus sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penagihan Pajak dilakukan terlebih dahulu terhadap:
|
(1) | Surat perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus dapat diterbitkan:
|
(2) | Surat perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus paling sedikit memuat:
|
(1) | Penagihan Pajak dilakukan dengan terlebih dahulu menerbitkan Surat Teguran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2). |
(2) | Surat Teguran tidak diterbitkan terhadap Penanggung Pajak yang telah mendapat persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran Utang Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3). |
(1) | Surat Paksa diberitahukan oleh Jurusita Pajak dengan pernyataan dan penyerahan salinan Surat Paksa kepada Penanggung Pajak. |
(2) | Pemberitahuan Surat Paksa atas Wajib Pajak orang pribadi dilakukan kepada:
|
(3) | Pemberitahuan Surat Paksa atas Wajib Pajak Badan dilakukan kepada:
|
(4) | Pemberitahuan Surat Paksa atas Wajib Pajak yang dinyatakan pailit dilakukan kepada kurator, hakim pengawas, atau balai harta peninggalan. |
(5) | Pemberitahuan Surat Paksa atas Wajib Pajak yang dinyatakan bubar atau dalam likuidasi, dilakukan kepada orang atau Badan yang dibebani untuk melakukan pemberesan atau likuidator. |
(6) | Pemberitahuan Surat Paksa atas Wajib Pajak yang menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakan, dapat dilakukan kepada penerima kuasa. |
(1) | Pemberitahuan Surat Paksa kepada pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dilaksanakan dengan cara membacakan isi Surat Paksa oleh Jurusita Pajak. |
(2) | Pemberitahuan Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam berita acara pemberitahuan Surat Paksa sebagai pernyataan bahwa Surat Paksa telah diberitahukan. |
(3) | Berita acara pemberitahuan Surat Paksa paling sedikit memuat:
|
(1) | Dalam hal pemberitahuan Surat Paksa kepada pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 tidak dapat dilaksanakan, Surat Paksa disampaikan melalui Pemerintah Daerah setempat. |
(2) | Dalam hal Penanggung Pajak tidak diketahui tempat tinggalnya, tempat usaha, atau tempat kedudukannya, penyampaian Surat Paksa dilaksanakan dengan menempelkan Surat Paksa pada papan pengumuman di kantor Pejabat yang menerbitkannya, mengumumkan melalui media massa, atau cara lain. |
(3) | Dalam hal pihak yang dimaksud dalam Pasal 13 menolak untuk menerima Surat Paksa, Jurusita Pajak meninggalkan Surat Paksa dimaksud dan mencatatnya dalam berita acara bahwa Penanggung Pajak menolak untuk menerima Surat Paksa, dan Surat Paksa dianggap telah diberitahukan. |
(1) | Dalam hal pemberitahuan Surat Paksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dilaksanakan di luar wilayah kerja Kantor Wilayah atau Kantor Pelayanan Pajak, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak meminta bantuan kepada Pejabat yang wilayah kerjanya meliputi tempat pemberitahuan Surat Paksa. |
(2) | Dalam hal di 1 (satu) kota terdapat lebih dari 1 (satu) Kantor Wilayah atau Kantor Pelayanan Pajak, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang menerbitkan Surat Paksa dapat memerintahkan Jurusita Pajaknya untuk memberitahukan Surat Paksa di luar wilayah kerjanya sepanjang masih berada di kota setempat. |
(3) | Dalam hal pemberitahuan Surat Paksa harus dilakukan di luar kota tempat kedudukan kantor Pejabat tetapi masih dalam wilayah kerjanya, Pejabat yang menerbitkan Surat Paksa:
|
(4) | Pejabat yang diminta bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) huruf a menyampaikan informasi mengenai pelaksanaan pemberitahuan Surat Paksa kepada Pejabat yang meminta bantuan. |
(5) | Penyampaian informasi mengenai pelaksanaan pemberitahuan Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilampiri dengan berita acara pelaksanaan Surat Paksa. |
(1) | Jurusita Pajak melaksanakan Penyitaan terhadap Objek Sita berdasarkan surat perintah melaksanakan Penyitaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4). |
(2) | Dalam hal Objek Sita berada di luar wilayah kerja Kantor Wilayah atau Kantor Pelayanan Pajak yang menerbitkan Surat Paksa, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak meminta bantuan kepada Pejabat yang wilayah kerjanya meliputi tempat Objek Sita berada untuk melakukan Penyitaan dengan terlebih dahulu menerbitkan surat perintah melaksanakan Penyitaan. |
(3) | Dalam hal di 1 (satu) kota terdapat lebih dari 1 (satu) Kantor Wilayah atau Kantor Pelayanan Pajak, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang menerbitkan Surat Paksa dapat memerintahkan Jurusita Pajaknya untuk melaksanakan Penyitaan terhadap Objek Sita yang berada di luar wilayah kerjanya sepanjang masih berada di kota setempat. |
(4) | Dalam hal Objek Sita berada di luar kota tempat kedudukan kantor Pejabat yang menerbitkan Surat Paksa tetapi masih dalam wilayah kerjanya, Pejabat yang menerbitkan Surat Paksa:
|
(5) | Pejabat yang diminta bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) huruf a memberitahukan pelaksanaan surat perintah melaksanakan Penyitaan kepada Pejabat yang meminta bantuan segera setelah Penyitaan dilaksanakan dengan mengirimkan berita acara pelaksanaan sita. |
(1) | Dalam pelaksanaan Penyitaan, Jurusita Pajak harus:
|
(2) | Jurusita Pajak membuat berita acara pelaksanaan sita atas setiap pelaksanaan Penyitaan. |
(3) | Berita acara pelaksanaan sita ditandatangani oleh Jurusita Pajak, Penanggung Pajak, dan paling sedikit 2 (dua) orang saksi yang telah dewasa, penduduk Indonesia, dikenal oleh Jurusita Pajak, dan dapat dipercaya. |
(4) | Dalam hal Penanggung Pajak menolak untuk menandatangani berita acara pelaksanaan sita, Jurusita Pajak:
|
(5) | Berita acara pelaksanaan sita sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tetap sah serta mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. |
(6) | Dalam hal pelaksanaan Penyitaan tidak dihadiri oleh Penanggung Pajak atau Penanggung Pajak tidak diketahui tempat tinggal, tempat usaha, atau tempat kedudukannya, berita acara pelaksanaan sita ditandatangani oleh Jurusita Pajak dan saksi, dengan syarat salah seorang saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berasal dari Pemerintah Daerah setempat. |
(7) | Berita acara pelaksanaan sita sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tetap sah serta mempunyai kekuatan hukum mengikat. |
(8) | Salinan berita acara pelaksanaan sita dapat ditempelkan pada Barang bergerak dan/atau Barang tidak bergerak yang disita atau di tempat Barang bergerak dan/atau Barang tidak bergerak yang disita berada atau di tempat umum. |
(9) | Salinan berita acara pelaksanaan sita disampaikan kepada Penanggung Pajak dan pihak terkait meliputi:
|
(1) | Objek Sita meliputi:
| ||||
(2) | Penyitaan dilakukan terhadap:
|
(1) | Penyitaan dilaksanakan dengan mendahulukan Barang bergerak, kecuali dalam keadaan tertentu dapat dilaksanakan langsung terhadap Barang tidak bergerak. |
(2) | Urutan Barang bergerak dan/atau Barang tidak bergerak yang disita ditentukan oleh Jurusita Pajak dengan memperhatikan jumlah Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak serta kemudahan penjualan atau pencairannya. |
(3) | Penyitaan dilaksanakan sampai dengan jumlah nilai Barang sitaan diperkirakan cukup untuk melunasi Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak. |
(1) | Barang sitaan dititipkan kepada Penanggung Pajak, kecuali dalam hal menurut Jurusita Pajak Barang sitaan perlu disimpan di kantor Pejabat atau di tempat lain. |
(2) | Dasar pertimbangan Jurusita Pajak untuk menentukan tempat penitipan atau penyimpanan Barang sitaan, diantaranya:
|
(3) | Tempat lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
|
(1) | Pencabutan sita dilaksanakan dalam hal:
| ||||||||||||||||||||||||||
(2) | Kondisi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi:
| ||||||||||||||||||||||||||
(3) | Barang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c sampai dengan huruf h merupakan milik Penanggung Pajak dan tidak sedang dijaminkan atas pelunasan utang tertentu. | ||||||||||||||||||||||||||
(4) | Terhadap pelaksanaan pencabutan sita sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c sampai dengan huruf h, Pejabat melakukan Penyitaan terlebih dahulu atas Barang yang diserahkan. | ||||||||||||||||||||||||||
(5) | Pencabutan sita sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan surat pencabutan sita yang diterbitkan oleh Pejabat dan disampaikan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak dan instansi yang terkait. |
(1) | Jurusita Pajak melaksanakan Penyitaan terhadap harta kekayaan Penanggung Pajak yang disimpan pada LJK sektor perbankan, LJK sektor perasuransian, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf a angka 3 dan angka 4, dengan melakukan Pemblokiran terlebih dahulu. |
(2) | Untuk melaksanakan Pemblokiran, Pejabat menyampaikan permintaan Pemblokiran kepada:
|
(1) | Permintaan Pemblokiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) dilampiri dengan:
|
(2) | Pejabat melakukan permintaan Pemblokiran sebesar jumlah Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak sebagaimana tercantum dalam daftar Surat Paksa. |
(3) | Dalam hal terdapat perbedaan mengenai identitas Penanggung Pajak yang terdapat pada data LJK sektor perbankan, LJK sektor perasuransian, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain dengan permintaan Pemblokiran, informasi identitas yang digunakan berdasarkan dokumen:
|
(1) | Permintaan Pemblokiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) dilakukan secara tertulis. |
(2) | Permintaan Pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sekaligus dengan permintaan pemberitahuan secara tertulis atas:
|
(1) | Penyampaian permintaan Pemblokiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dan permintaan pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dilakukan melalui saluran elektronik pada sistem yang terhubung antara Direktorat Jenderal Pajak dengan sistem pada LJK sektor perbankan, LJK sektor perasuransian, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain. |
(2) | Dalam hal sistem sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum tersedia atau terdapat gangguan teknis pada sistem, permintaan Pemblokiran disampaikan:
|
(1) | Atas permintaan Pemblokiran dan permintaan pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, pihak LJK sektor perbankan, LJK sektor perasuransian, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain, wajib:
|
(2) | Pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan secara seketika setelah permintaan Pemblokiran diterima oleh pihak LJK sektor perbankan, LJK sektor perasuransian, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain. |
(3) | Pihak LJK sektor perbankan, LJK sektor perasuransian, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain wajib memberitahukan seluruh nomor Rekening Keuangan Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan saldo harta kekayaan Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2). |
(4) | Jurusita Pajak memberikan bukti penerimaan atas pemberitahuan seluruh nomor Rekening Keuangan dan saldo harta kekayaan Penanggung Pajak kepada pihak LJK sektor perbankan, LJK sektor perasuransian, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain. |
(1) | Atas pelaksanaan Pemblokiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2), pihak LJK sektor perbankan, LJK sektor perasuransian, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain membuat berita acara Pemblokiran atau dokumen yang dipersamakan. |
(2) | Berita acara Pemblokiran atau dokumen yang dipersamakan, paling sedikit memuat:
|
(3) | Berita acara Pemblokiran atau dokumen yang dipersamakan disampaikan kepada Pejabat dan Penanggung Pajak segera setelah dilaksanakan Pemblokiran. |
(1) | Sejak saat diterimanya permintaan Pemblokiran, pihak LJK sektor perbankan, LJK sektor perasuransian, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain tidak diizinkan melakukan pemindahbukuan dan/atau penarikan atas saldo dalam Rekening Keuangan Penanggung Pajak yang telah diblokir, kecuali terdapat permintaan dari Pejabat. |
(2) | Dalam hal terdapat informasi dan/atau data yang menunjukkan:
|
(3) | LJK sektor perbankan, LJK sektor perasuransian, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain wajib memberikan jawaban paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan pemberitahuan rincian transaksi. |
(1) | Pencabutan blokir sebelum dilaksanakan Penyitaan, hanya dapat dilakukan dalam hal:
| ||||||||||||||||||||||||||
(2) | Barang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d sampai dengan huruf i merupakan milik Penanggung Pajak dan tidak sedang dijaminkan atas pelunasan utang tertentu. | ||||||||||||||||||||||||||
(3) | Terhadap pelaksanaan pencabutan blokir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d sampai dengan huruf i, Pejabat melakukan Penyitaan terlebih dahulu atas Barang yang diserahkan. |
(1) | Berdasarkan permohonan penggunaan harta kekayaan yang diblokir untuk membayar Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak, Pejabat menyampaikan permintaan pencabutan blokir dan pemindahbukuan harta kekayaan Penanggung Pajak kepada pihak LJK sektor perbankan, LJK sektor perasuransian, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain dengan tembusan kepada Penanggung Pajak, yang dilampiri dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34. |
(2) | Berdasarkan permintaan pencabutan blokir dan pemindahbukuan harta kekayaan Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pihak LJK sektor perbankan, LJK sektor perasuransian, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain secara seketika melakukan pencabutan blokir dan secara serta merta melakukan pemindahbukuan sebesar jumlah yang diminta oleh Pejabat. |
(1) | Dalam hal setelah saldo harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada LJK sektor perbankan, LJK sektor perasuransian, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain diketahui dan Penanggung Pajak tidak melunasi Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak, Jurusita Pajak melaksanakan Penyitaan. | ||||
(2) | Penyitaan terhadap saldo harta kekayaan Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sampai dengan jumlah yang mencukupi untuk melunasi Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak. | ||||
(3) | Atas Penyitaan terhadap saldo harta kekayaan Penanggung Pajak, Jurusita Pajak:
|
(1) | Setelah dilaksanakannya Penyitaan tetapi belum dilakukan pemindahbukuan, pencabutan sita dapat dilakukan dalam hal:
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
(2) | Kondisi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi:
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
(3) | Barang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d sampai dengan huruf i merupakan milik Penanggung Pajak dan tidak sedang dijaminkan atas pelunasan utang tertentu. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
(4) | Terhadap pelaksanaan pencabutan sita sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d sampai dengan huruf i, Pejabat melakukan Penyitaan terlebih dahulu atas Barang yang diserahkan. |
(1) | Berdasarkan permohonan penggunaan harta kekayaan yang disita untuk membayar Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak, Pejabat menyampaikan permintaan pencabutan blokir dan pemindahbukuan harta kekayaan Penanggung Pajak kepada pihak LJK sektor perbankan, LJK sektor perasuransian, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain dengan tembusan kepada Penanggung Pajak, yang dilampiri dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39. |
(2) | Berdasarkan permintaan pencabutan blokir dan pemindahbukuan harta kekayaan Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pihak LJK sektor perbankan, LJK sektor perasuransian, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain secara seketika melakukan pencabutan blokir dan secara serta merta melakukan pemindahbukuan sebesar jumlah yang diminta oleh Pejabat. |
(3) | Permintaan pencabutan blokir dan pemindahbukuan harta kekayaan Penanggung Pajak dilakukan sekaligus dengan penyampaian surat pencabutan sita oleh Pejabat kepada Penanggung Pajak dengan tembusan kepada pihak LJK sektor perbankan, LJK sektor perasuransian, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain. |
(1) | Apabila setelah lewat waktu 14 (empat belas) hari sejak Penyitaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1), Penanggung Pajak tidak melunasi Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak, Pejabat meminta kepada pihak LJK sektor perbankan, LJK sektor perasuransian, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain untuk melakukan pemindahbukuan harta kekayaan Penanggung Pajak. |
(2) | Pelaksanaan pemindahbukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menyampaikan:
|
(3) | Pelaksanaan pemindahbukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling banyak sebesar jumlah yang tercantum dalam berita acara pelaksanaan sita. |
(4) | Permintaan pencabutan blokir dan pemindahbukuan harta kekayaan Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilampiri dengan:
|
(5) | Berdasarkan permintaan pencabutan blokir dan pemindahbukuan harta kekayaan Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, pihak LJK sektor perbankan, LJK sektor perasuransian, LJK Lainnya, dan/atau Entitas Lain secara seketika melakukan pencabutan blokir dan secara serta merta melakukan pemindahbukuan sebesar jumlah yang diminta oleh Pejabat. |
(6) | Pejabat dapat melakukan permintaan Pemblokiran kembali terhadap harta kekayaan Penanggung Pajak yang telah dilakukan pencabutan blokir dengan menyampaikan kembali permintaan Pemblokiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2). |
(1) | Jurusita Pajak melaksanakan Penyitaan terhadap surat berharga yang diperdagangkan di LJK sektor pasar modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf a angka 5, dengan melakukan Pemblokiran terlebih dahulu. |
(2) | Terhadap pelaksanaan Pemblokiran bagi Penanggung Pajak, didahului dengan menyampaikan permintaan:
|
(3) | Pihak LJK sektor pasar modal wajib memberitahukan nomor Rekening Keuangan dan saldo harta kekayaan Penanggung Pajak paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan pemberitahuan. |
(4) | Setelah mengetahui nomor Rekening Keuangan dan saldo harta kekayaan Penanggung Pajak, Pejabat menyampaikan permintaan Pemblokiran Rekening Keuangan yang terdapat pada LJK sektor pasar modal yang ditujukan kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan menyebutkan:
|
(5) | Ketentuan mengenai permintaan Pemblokiran dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. |
(6) | Penyampaian permintaan pemberitahuan nomor Rekening Keuangan Penanggung Pajak dan permintaan pemberitahuan atas saldo harta kekayaan Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui saluran elektronik pada sistem yang terhubung antara Direktorat Jenderal Pajak dengan sistem pada LJK sektor pasar modal. |
(7) | Dalam hal sistem sebagaimana dimaksud pada ayat (6) belum tersedia atau adanya gangguan teknis pada sistem, penyampaian permintaan pemberitahuan nomor Rekening Keuangan Penanggung Pajak dan permintaan pemberitahuan atas saldo harta kekayaan Penanggung Pajak dilakukan:
|
(1) | Dalam hal saldo harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada LJK sektor pasar modal telah diketahui dan Penanggung Pajak tidak melunasi Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak, Jurusita Pajak melaksanakan Penyitaan. |
(2) | Penyitaan terhadap harta kekayaan Penanggung Pajak dilaksanakan sampai dengan jumlah yang mencukupi untuk melunasi Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak. |
(3) | Atas Penyitaan terhadap harta kekayaan Penanggung Pajak, Jurusita Pajak:
|
(1) | Setelah dilaksanakan Penyitaan tetapi belum dilakukan penjualan di bursa efek, pencabutan sita dapat dilakukan dalam hal:
| ||||||||||||||||||||||||
(2) | Kondisi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi:
| ||||||||||||||||||||||||
(3) | Barang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c sampai dengan huruf h merupakan milik Penanggung Pajak dan tidak sedang dijaminkan atas pelunasan utang tertentu. | ||||||||||||||||||||||||
(4) | Terhadap pelaksanaan pencabutan sita sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c sampai dengan huruf h, Pejabat melakukan Penyitaan terlebih dahulu atas Barang yang diserahkan. | ||||||||||||||||||||||||
(5) | Pelaksanaan pencabutan sita sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pejabat dengan menyampaikan:
|
(1) | Dalam hal Penanggung Pajak tidak melunasi Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak setelah dilakukan Penyitaan, Pejabat berwenang:
| ||||||
(2) | Barang sitaan yang dikecualikan dari penjualan secara lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
| ||||||
(3) | Pelaksanaan penjualan secara lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan oleh Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang yang berwenang melaksanakan lelang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai petunjuk pelaksanaan lelang. |
(1) | Pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (9) dan ayat (10) dapat dilakukan terhadap Penanggung Pajak dalam hal:
|
(2) | Penanggung Pajak diragukan iktikad baiknya, dalam hal:
|
(1) | Pejabat mengajukan permintaan Pencegahan kepada Menteri. |
(2) | Atas permintaan Pencegahan, Menteri menetapkan keputusan Menteri mengenai Pencegahan. |
(3) | Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak atas nama Menteri. |
(4) | Keputusan Menteri mengenai Pencegahan paling sedikit memuat:
|
(5) | Jangka waktu Pencegahan diberikan paling lama 6 (enam) bulan. |
(6) | Permintaan Pencegahan sampai dengan penerbitan keputusan Menteri dilakukan secara:
|
(1) | Dalam keadaan yang mendesak Direktur Jenderal Pajak dapat meminta secara langsung kepada pejabat imigrasi pada tempat pemeriksaan imigrasi atau unit pelaksana teknis yang membawahi tempat pemeriksaan imigrasi untuk melakukan Pencegahan. |
(2) | Permintaan Pencegahan secara langsung dalam keadaan mendesak dilakukan dalam hal terdapat tanda-tanda Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia atau melarikan diri ke luar negeri. |
(3) | Direktur Jenderal Pajak wajib menyampaikan keputusan Menteri mengenai Pencegahan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia paling lama 20 (dua puluh) hari terhitung sejak tanggal permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan. |
(1) | Pejabat dapat mengajukan permintaan perpanjangan masa Pencegahan kepada Menteri dalam hal jangka waktu Pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (4) huruf c akan berakhir dan Penanggung Pajak belum melunasi Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak yang menjadi dasar dilakukan Pencegahan serta diragukan iktikad baiknya. |
(2) | Atas permintaan perpanjangan masa Pencegahan, Menteri menetapkan keputusan Menteri mengenai perpanjangan masa Pencegahan. |
(3) | Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak atas nama Menteri. |
(4) | Keputusan Menteri mengenai perpanjangan masa Pencegahan paling sedikit memuat:
|
(5) | Jangka waktu perpanjangan masa Pencegahan diberikan paling lama 6 (enam) bulan. |
(1) | Pencegahan berakhir karena:
| ||||||||||||||||||||||||
(2) | Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dengan pertimbangan sebagai berikut:
| ||||||||||||||||||||||||
(3) | Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c sampai dengan huruf h merupakan milik Penanggung Pajak dan tidak sedang dijaminkan atas pelunasan utang tertentu. | ||||||||||||||||||||||||
(4) | Terhadap pelaksanaan pencabutan Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c sampai dengan huruf h, Pejabat melakukan Penyitaan terlebih dahulu atas Barang yang diserahkan. |
(1) | Dalam hal Penanggung Pajak memenuhi salah satu pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2), Pejabat mengajukan permintaan pencabutan Pencegahan kepada Menteri. |
(2) | Atas permintaan pencabutan Pencegahan, Menteri menetapkan keputusan Menteri mengenai pencabutan Pencegahan. |
(3) | Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak atas nama Menteri. |
(4) | Keputusan Menteri mengenai pencabutan Pencegahan paling sedikit memuat:
|
(5) | Keputusan Menteri mengenai pencabutan Pencegahan disampaikan kepada:
|
(1) | Penyanderaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (11) dan ayat (12) dapat dilakukan terhadap Penanggung Pajak dalam hal:
|
(2) | Penanggung Pajak diragukan iktikad baiknya, dalam hal:
|
(1) | Pejabat mengajukan permohonan izin Penyanderaan kepada Menteri. |
(2) | Berdasarkan permohonan izin Penyanderaan, Menteri menerbitkan izin Penyanderaan. |
(3) | Permohonan izin Penyanderaan paling sedikit memuat:
|
(4) | Izin Penyanderaan paling sedikit memuat:
|
(5) | Permohonan izin Penyanderaan sampai dengan penerbitan izin Penyanderaan dari Menteri dilakukan secara:
|
(1) | Pejabat menerbitkan surat perintah Penyanderaan seketika setelah menerima izin Penyanderaan dari Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2). |
(2) | Surat perintah Penyanderaan paling sedikit memuat:
|
(3) | Lamanya Penyanderaan diberikan paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak Penanggung Pajak ditempatkan atau dititipkan dalam tempat Penyanderaan. |
(4) | Tempat Penyanderaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan tempat pengekangan yang ditentukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Jurusita Pajak menyampaikan surat perintah Penyanderaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) secara langsung kepada Penanggung Pajak dan salinannya disampaikan kepada kepala tempat Penyanderaan. |
(2) | Penyampaian surat perintah Penyanderaan disaksikan oleh 2 (dua) orang penduduk Indonesia yang telah dewasa, dikenal oleh Jurusita Pajak, dan dapat dipercaya. |
(3) | Dalam hal Penanggung Pajak yang akan disandera tidak dapat ditemukan, Jurusita Pajak melalui Pejabat dapat meminta bantuan Kepolisian Republik Indonesia atau Kejaksaan untuk menghadirkan Penanggung Pajak yang tidak dapat ditemukan tersebut. |
(4) | Jurusita Pajak membuat berita acara penyampaian surat perintah Penyanderaan yang ditandatangani oleh Jurusita Pajak, Penanggung Pajak, dan saksi-saksi pada saat surat perintah Penyanderaan disampaikan kepada Penanggung Pajak. |
(5) | Dalam hal Penanggung Pajak yang disandera menolak penyampaian surat perintah Penyanderaan, Jurusita Pajak:
|
(6) | Surat perintah Penyanderaan yang ditolak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dinyatakan telah disampaikan. |
(7) | Jurusita Pajak membuat:
|
(8) | Berita acara pelaksanaan Penyanderaan dan berita acara penempatan atau penitipan sandera paling sedikit memuat:
|
(1) | Selama dalam Penyanderaan Penanggung Pajak berhak:
| ||||||||||||
(2) | Penanggung Pajak yang disandera selama dalam tempat Penyanderaan wajib mematuhi tata tertib dan disiplin di tempat Penyanderaan. | ||||||||||||
(3) | Dalam hal Penanggung Pajak melakukan pelanggaran atas tata tertib dan disiplin di tempat Penyanderaan, kepala tempat Penyanderaan memberitahukan kepada:
|
(1) | Pejabat dapat memberikan surat izin keluar sementara dari tempat Penyanderaan dalam hal Penanggung Pajak yang disandera:
|
(2) | Jangka waktu yang tercantum dalam surat izin keluar sementara tidak dihitung sebagai masa Penyanderaan. |
(1) | Dalam hal Penanggung Pajak melarikan diri dalam masa:
|
(2) | Biaya dalam rangka penangkapan yang timbul karena Penanggung Pajak melarikan diri merupakan Biaya Penagihan Pajak yang dibebankan kepada Penanggung Pajak. |
(3) | Masa pelarian Penanggung Pajak tidak dihitung sebagai masa Penyanderaan. |
(1) | Pejabat dapat mengajukan permohonan izin perpanjangan Penyanderaan kepada Menteri dalam hal Penyanderaan akan berakhir dan Penanggung Pajak belum melunasi Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak yang menjadi dasar dilakukan Penyanderaan. |
(2) | Berdasarkan permohonan izin perpanjangan Penyanderaan, Menteri menerbitkan izin perpanjangan Penyanderaan. |
(3) | Izin perpanjangan Penyanderaan paling sedikit memuat:
|
(4) | Perpanjangan Penyanderaan diberikan paling lama 6 (enam) bulan dan terhitung sejak Penyanderaan sebelumnya berakhir. |
(5) | Berdasarkan izin perpanjangan Penyanderaan dari Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pejabat menerbitkan kembali surat perintah Penyanderaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1). |
(6) | Mekanisme pengajuan permohonan izin Penyanderaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan pelaksanaan Penyanderaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 berlaku secara mutatis mutandis terhadap perpanjangan Penyanderaan. |
(1) | Penanggung Pajak yang dilakukan Penyanderaan dapat dilepas dalam hal memenuhi persyaratan sebagai berikut:
| ||||||||||||||||||||||||
(2) | Pertimbangan tertentu dari Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, meliputi:
| ||||||||||||||||||||||||
(3) | Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b sampai dengan huruf g merupakan milik Penanggung Pajak dan tidak sedang dijaminkan atas pelunasan utang tertentu. | ||||||||||||||||||||||||
(4) | Terhadap pelaksanaan pelepasan sandera sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b sampai dengan huruf g, Pejabat melakukan Penyitaan terlebih dahulu atas Barang yang diserahkan. |
(1) | Dalam hal Penanggung Pajak memenuhi salah satu persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf c, Pejabat menerbitkan surat pemberitahuan pelepasan sandera. |
(2) | Jurusita Pajak menyampaikan surat pemberitahuan pelepasan sandera kepada kepala tempat Penyanderaan. |
(3) | Dalam hal Penanggung Pajak memenuhi salah satu pertimbangan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2), Pejabat menyampaikan usulan pelepasan sandera kepada Menteri. |
(4) | Mekanisme permohonan izin Penyanderaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 berlaku secara mutatis mutandis terhadap mekanisme penyampaian usulan pelepasan sandera. |
(5) | Berdasarkan usulan pelepasan sandera, Menteri menerbitkan surat rekomendasi pelepasan sandera. |
(6) | Pejabat menerbitkan surat pemberitahuan pelepasan sandera setelah menerima surat rekomendasi pelepasan sandera dari Menteri. |
(7) | Jurusita Pajak menyampaikan surat pemberitahuan pelepasan sandera kepada kepala tempat Penyanderaan paling lama 24 (dua puluh empat) jam terhitung sejak tanggal diterimanya surat rekomendasi pelepasan sandera dari Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (5). |
(1) | Penanggung Pajak yang disandera dapat mengajukan gugatan terhadap pelaksanaan Penyanderaan hanya kepada Pengadilan Negeri. |
(2) | Pengajuan gugatan terhadap pelaksanaan Penyanderaan tidak dapat diajukan setelah Penyanderaan berakhir. |
(3) | Dalam hal gugatan Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikabulkan dan putusan pengadilan telah mempunyai kekuatan hukum tetap, Penanggung Pajak dapat mengajukan permohonan rehabilitasi nama baik dan ganti rugi atas Penyanderaan yang telah dijalaninya. |
(1) | Permohonan rehabilitasi nama baik dan ganti rugi atas masa Penyanderaan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada Pejabat yang menerbitkan surat perintah Penyanderaan. |
(2) | Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
|
(3) | Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan melampirkan:
|
(4) | Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat yang menerbitkan surat perintah Penyanderaan, melaksanakan:
|
(1) | Pelaksanaan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (4) huruf a dilakukan dalam bentuk 1 (satu) kali pengumuman pada media cetak harian berskala nasional dengan ukuran yang memadai. |
(2) | Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (4) huruf b dilakukan dengan menerbitkan surat keputusan. |
(3) | Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan kepada Penanggung Pajak sebesar Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah) setiap hari selama masa Penyanderaan yang telah dijalani. |
(1) | Atas permohonan Penanggung Pajak atau karena jabatannya, Pejabat dapat melakukan pembetulan Surat Teguran, Surat Peringatan, atau surat lain yang sejenis, surat perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus, Surat Paksa, surat perintah melaksanakan Penyitaan, surat perintah Penyanderaan, pengumuman lelang, surat penentuan harga limit, dan surat lain yang diperlukan untuk pelaksanaan penagihan Pajak. |
(2) | Pembetulan dilakukan dalam hal surat dan pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat kesalahan atau kekeliruan dalam penulisan nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), jumlah Utang Pajak, atau keterangan lain. |
(3) | Pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan menerbitkan surat pembetulan. |
(4) | Surat pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mempunyai kekuatan eksekutorial dan/atau kedudukan hukum yang sama dengan surat yang dibetulkan. |
(1) | Atas permohonan Penanggung Pajak atau karena jabatannya, Pejabat dapat melakukan penggantian Surat Teguran, Surat Peringatan, atau surat lain yang sejenis, surat perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus, Surat Paksa, surat perintah melaksanakan Penyitaan, surat perintah Penyanderaan, pengumuman lelang, surat penentuan harga limit, dan surat lain yang diperlukan untuk pelaksanaan penagihan Pajak. |
(2) | Penggantian dilakukan dalam hal surat dan pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hilang, rusak, atau karena alasan lain. |
(3) | Penggantian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan menerbitkan surat pengganti. |
(4) | Surat pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mempunyai kekuatan eksekutorial dan/atau kedudukan hukum yang sama dengan surat yang diganti. |
(1) | Atas permohonan Penanggung Pajak atau karena jabatannya, Pejabat dapat melakukan pembatalan Surat Teguran, Surat Peringatan, atau surat lain yang sejenis, surat perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus, Surat Paksa, surat perintah melaksanakan Penyitaan, surat perintah Penyanderaan, pengumuman lelang, surat penentuan harga limit, dan surat lain dalam pelaksanaan penagihan Pajak. |
(2) | Pembatalan dilakukan dalam hal surat dan pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) seharusnya tidak diterbitkan. |
(3) | Dalam hal telah dilakukan pembatalan, surat dan pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap tidak pernah diterbitkan. |
(1) | Penagihan Pajak dapat dilakukan terhadap Penanggung Pajak dari Wajib Pajak yang:
|
(2) | Dalam hal harta kekayaan Wajib Pajak yang dinyatakan pailit tidak mencukupi untuk melunasi Utang Pajak, tindakan penagihan Pajak dilakukan kepada Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b. |
(3) | Setelah Wajib Pajak dibubarkan, dilikuidasi, atau status badan hukumnya berakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, tindakan penagihan Pajak tetap dapat dilakukan kepada Penanggung Pajak. |
(4) | Dalam hal Wajib Pajak melakukan Penggabungan, Peleburan, atau Pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c sampai dengan huruf e, tindakan penagihan Pajak dilakukan kepada Penanggung Pajak atas Wajib Pajak yang masih memiliki Utang Pajak sebelum dilakukan Penggabungan, Peleburan, atau Pemisahan, kecuali dapat meyakinkan Pejabat dengan membuktikan bahwa kedudukannya tidak dapat dibebani Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak. |
(1) | Hak untuk melakukan penagihan Pajak, termasuk bunga, denda, kenaikan, dan Biaya Penagihan Pajak, atas Utang Pajak tahun Pajak 2007 dan sebelumnya, daluwarsa setelah melampaui waktu 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak saat terutangnya Pajak atau berakhirnya masa Pajak, bagian tahun Pajak, atau tahun Pajak yang bersangkutan. |
(2) | Daluwarsa penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh dalam hal:
|
(1) | Pengakuan Utang Pajak secara langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (2) huruf b, dalam hal Wajib Pajak:
|
(2) | Pengakuan Utang Pajak secara tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (2) huruf b, dalam hal Wajib Pajak:
|
(1) | Hak untuk melakukan penagihan Pajak, termasuk bunga, denda, kenaikan, dan Biaya Penagihan Pajak, atas Utang Pajak tahun Pajak 2008 dan setelahnya, daluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak penerbitan surat tagihan pajak, surat ketetapan pajak kurang bayar, serta surat ketetapan pajak kurang bayar tambahan, dan surat keputusan pembetulan, surat keputusan keberatan, putusan banding, serta putusan peninjauan kembali. |
(2) | Daluwarsa penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh dalam hal:
|
(1) | Pengakuan Utang Pajak secara langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (2) huruf b, dalam hal Wajib Pajak:
|
(2) | Pengakuan Utang Pajak secara tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (2) huruf b, dalam hal Wajib Pajak:
|
(1) | Dalam hal terhadap Wajib Pajak diterbitkan Surat Paksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (2) huruf a dan Pasal 82 ayat (2) huruf a, daluwarsa penagihan Pajak dihitung sejak tanggal diberitahukannya Surat Paksa. |
(2) | Dalam hal Surat Paksa dilakukan pembetulan atau penggantian, daluwarsa penagihan Pajak dihitung sejak:
|
(3) | Dalam hal Wajib Pajak menyatakan pengakuan Utang Pajak secara langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1) dan Pasal 83 ayat (1), daluwarsa penagihan Pajak dihitung sejak tanggal:
|
(4) | Dalam hal Wajib Pajak menyatakan pengakuan Utang Pajak secara tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (2), daluwarsa penagihan Pajak dihitung sejak tanggal:
|
(5) | Dalam hal Wajib Pajak menyatakan pengakuan Utang Pajak secara tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (2), daluwarsa penagihan Pajak dihitung sejak tanggal:
|
(6) | Dalam hal terhadap Wajib Pajak dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (2) huruf c, daluwarsa penagihan Pajak dihitung sejak tanggal penerbitan surat perintah penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. |
(7) | Dalam hal suatu dasar penagihan Pajak terdapat lebih dari 1 (satu) kondisi yang menyebabkan daluwarsa penagihan Pajak tertangguh, penangguhan daluwarsa penagihan Pajak dihitung sejak tanggal terakhir penyebab tertangguhnya daluwarsa penagihan Pajak. |
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 27 November 2020 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. SRI MULYANI INDRAWATI | |
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 27 November 2020 DIREKTUR JENDERAL PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. WIDODO EKATJAHJANA |