Pajak Penghasilan Atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu
Menimbang :
Mengingat :
Menetapkan :
Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan:
(1) | Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri yang memiliki peredaran bruto tertentu, dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dalam jangka waktu tertentu. |
(2) | Tarif Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebesar 0,5% (nol koma lima persen). |
(3) | Tidak termasuk penghasilan dari usaha yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai berikut:
|
(4) | Jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a meliputi:
|
(1) | Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yang dikenai Pajak Penghasilan final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) merupakan:
|
(2) | Tidak termasuk Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam hal:
|
(3) | Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, wajib menyampaikan pemberitahuan kepada Direktur Jenderal Pajak. |
(4) | Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3), untuk Tahun Pajak-Tahun Pajak berikutnya tidak dapat dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini. |
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. |
(1) | Besarnya peredaran bruto tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) merupakan jumlah peredaran bruto dalam 1 (satu) tahun dari Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak bersangkutan, yang ditentukan berdasarkan keseluruhan peredaran bruto dari usaha, termasuk peredaran bruto dari cabang. |
(2) | Dalam hal Wajib Pajak orang pribadi merupakan suami-isteri yang:
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf b dan huruf c Undang-Undang Pajak Penghasilan, besarnya peredaran bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan penggabungan peredaran bruto usaha dari suami dan isteri. |
(1) | Jangka waktu tertentu pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) yaitu paling lama:
|
(2) | Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhitung sejak:
|
(1) | Jumlah peredaran bruto atas penghasilan dari usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) setiap bulan merupakan dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung Pajak Penghasilan yang bersifat final. |
(2) | Peredaran bruto yang dijadikan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan imbalan atau nilai pengganti berupa uang atau nilai uang yang diterima atau diperoleh dari usaha, sebelum dikurangi potongan penjualan, potongan tunai, dan/atau potongan sejenis. |
(3) | Pajak Penghasilan terutang dihitung berdasarkan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dikalikan dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(1) | Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) yang peredaran brutonya pada Tahun Pajak berjalan telah melebihi Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah), atas penghasilan dari usaha tetap dikenai tarif Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) sampai dengan akhir Tahun Pajak bersangkutan. |
(2) | Atas penghasilan dari usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) yang diterima atau diperoleh pada Tahun Pajak-Tahun Pajak berikutnya oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a, Pasal 17 ayat (2a), atau Pasal 31E Undang-Undang Pajak Penghasilan. |
(1) | Pajak Penghasilan terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) dilunasi dengan cara:
|
(2) | Penyetoran sendiri Pajak Penghasilan terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib dilakukan setiap bulan. |
(3) | Pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib dilakukan oleh Pemotong atau Pemungut Pajak untuk setiap transaksi dengan Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini. |
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyetoran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan tata cara pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. |
(1) | Dalam hal Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini bertransaksi dengan Pemotong atau Pemungut Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b, Wajib Pajak harus mengajukan permohonan surat keterangan kepada Direktur Jenderal Pajak. |
(2) | Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat keterangan bahwa Wajib Pajak bersangkutan dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini, berdasarkan permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan permohonan dan penerbitan surat keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. |
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, bagi Wajib Pajak yang sejak awal Tahun Pajak 2018 sampai dengan sebelum Peraturan Pemerintah ini berlaku memenuhi syarat untuk menjalankan kewajiban perpajakan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu, namun tidak memenuhi ketentuan Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini, berlaku ketentuan sebagai berikut:
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2018.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 8 Juni 2018 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. JOKO WIDODO |
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 8 Juni 2018
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
YASONNA H. LAOLY
I. | UMUM Dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 4 ayat (2) huruf e dan Pasal 17 ayat (7) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Undang-Undang Pajak Penghasilan), telah diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu (Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013), yang mengatur pengenaan Pajak Penghasilan final bagi Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto usaha sampai jumlah tertentu. Dengan memperhatikan hasil evaluasi pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013, untuk memberikan kemudahan dan kesederhanaan kepada Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya, atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan jangka waktu tertentu. Pemberlakuan jangka waktu tertentu dimaksudkan sebagai masa pembelajaran bagi Wajib Pajak untuk dapat menyelenggarakan pembukuan sebelum dikenai Pajak Penghasilan dengan rezim umum. Lebih lanjut, untuk mendorong masyarakat untuk berperan serta dalam kegiatan ekonomi formal, Peraturan Pemerintah ini mengatur ketentuan mengenai penyesuaian tarif Pajak Penghasilan final. Untuk lebih memberikan keadilan kepada Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yang telah mampu melakukan pembukuan, dalam Peraturan Pemerintah ini Wajib Pajak dapat memilih untuk dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a, Pasal 17 ayat (2a), atau Pasal 31E Undang-Undang Pajak Penghasilan. Untuk menyempurnakan ketentuan Pajak Penghasilan final atas penghasilan dari Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, maka dipandang perlu untuk mengganti Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu dengan Peraturan Pemerintah ini. | |
II. | PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Contoh: Tuan A memiliki keahlian sebagai pemain piano. Dalam hal Tuan A mengajar piano untuk dan atas namanya sendiri untuk memperoleh penghasilan yang tidak terikat oleh suatu hubungan kerja, maka Tuan A menyerahkan jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas. Penghasilan Tuan A dari mengajar piano dikecualikan dari penghasilan usaha yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini. Namun demikian, dalam hal Tuan A memiliki usaha kursus piano dan mempekerjakan orang lain, maka penghasilan dari usaha tersebut bukan merupakan penghasilan jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas. Pasal 3 Ayat (1) Persekutuan komanditer disebut dengan istilah asing commanditaire vennootschap. Ayat (2) Huruf a Wajib Pajak yang berdasarkan Peraturan Pemerintah ini dikenai Pajak Penghasilan final, dapat memilih untuk tidak dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini. Selanjutnya Wajib Pajak tersebut dikenai Pajak Penghasilan atas penghasilan kena pajak nya berdasarkan tarif: a. Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan untuk Wajib Pajak orang pribadi; atau b. Pasal 17 ayat (2a) dan Pasal 31E Undang-Undang Pajak Penghasilan untuk Wajib Pajak badan. Huruf b Contoh: Huruf cTuan C seorang konsultan pajak dan bersama Tuan D sesama konsultan pajak membentuk Firma CD dan Rekan. Firma tersebut menjalankan usaha memberikan jasa konsultan pajak. Mengingat jasa yang diberikan oleh firma tersebut sama dengan jasa yang diberikan Tuan C dan Tuan D sehubungan dengan pekerjaan bebas berupa jasa konsultan pajak, maka firma tersebut tidak termasuk Wajib Pajak badan berbentuk firma yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah ini. Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Contoh 1: Tuan B seorang arsitek dan memiliki usaha toko bahan bangunan. Pada Tahun Pajak 2020, Tuan B memperoleh peredaran bruto dari memberikan jasa arsitek atas nama diri sendiri sebesar Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan dari toko bahan bangunan memperoleh peredaran bruto sebesar Rp 1.200.000.000,00 (satu miliar dua ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak. Penentuan batasan peredaran bruto tidak melebihi Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dihitung hanya atas peredaran bruto dari usaha toko bahan bangunan. Karena batasan peredaran bruto yang diterima oleh Tuan B dari usaha toko bahan bangunan tidak melebihi Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah), maka penghasilan dari usaha toko bahan bangunan dikenai Pajak Penghasilan final berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah ini. Sedangkan penghasilan dari kegiatan arsitek dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan. Contoh 2: Tuan S seorang dokter dan memiliki usaha apotek. Pada Tahun Pajak 2020, Tuan S memperoleh peredaran bruto dari memberikan jasa dokter atas nama diri sendiri sebesar Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan dari usaha apotek memperoleh peredaran bruto sebesar Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak. Meskipun jumlah peredaran bruto Tuan S sebesar Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), penentuan batasan peredaran bruto hanya berdasarkan peredaran bruto dari usaha apotek. Karena batasan peredaran bruto yang diterima oleh Tuan S dari usaha apotek tidak melebihi Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah), maka penghasilan dari usaha apotek dikenai Pajak Penghasilan final berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah ini. Sedangkan penghasilan dari jasa dokter dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan. Contoh 3: Tuan X merupakan pedagang tekstil yang memiliki tempat kegiatan usaha di beberapa pasar di wilayah yang berbeda. Berdasarkan pencatatan yang dilakukan diketahui rincian peredaran usaha di tahun 2019 adalah sebagai berikut: a. Pasar A sebesar Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah); b. Pasar B sebesar Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); c. Pasar C sebesar Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); Dengan demikian, Tuan X pada tahun 2020 tidak dapat dikenai Pajak Penghasilan final, karena peredaran bruto usaha Tuan X dari seluruh tempat usaha pada tahun 2019 melebihi Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah). Ayat (2) Contoh: Pasal 5Tuan G dan Nyonya H adalah sepasang suami isteri yang menghendaki perjanjian pemisahan harta dan penghasilan secara tertulis. Pada Tahun Pajak 2019, Tuan G memiliki usaha toko kelontong dengan peredaran bruto Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan Nyonya H memiliki usaha salon dengan peredaran bruto Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Meskipun peredaran bruto masing-masing kurang dari Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah), akan tetapi karena jumlah peredaran bruto dari usaha Tuan G ditambah peredaran bruto dari usaha Nyonya H pada Tahun Pajak 2019 adalah Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), maka atas penghasilan dari usaha Tuan G dan Nyonya H tidak dapat dikenai Pajak Penghasilan final berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah ini. Contoh 1: Pasal 6Tuan L memiliki usaha kedai kopi dan telah terdaftar sebagai Wajib Pajak sejak tanggal 16 Oktober 2018. Tuan L dikenai Pajak Penghasilan final sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini. Peredaran bruto yang diperoleh Tuan L dari usahanya: a. Tahun 2018 : Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah); b. Tahun 2019 : Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); c. Tahun 2020 : Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah); d. Tahun 2021 : Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah); e. Tahun 2022 : Rp 1.200.000.000,00 (satu miliar dua ratus juta rupiah); f. Tahun 2023 : Rp 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah); g. Tahun 2024 : Rp 1.800.000.000,00 (satu miliar delapan ratus juta rupiah). Tuan L dapat dikenai Pajak Penghasilan final berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah ini dalam jangka waktu 7 (tujuh) Tahun Pajak, yaitu sejak Wajib Pajak terdaftar sampai dengan Tahun Pajak 2024. Untuk Tahun Pajak 2025 dan Tahun Pajak-Tahun Pajak berikutnya dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan. Contoh 2: Persekutuan Komanditer (CV) JK memiliki usaha penjualan gerabah dan terdaftar sebagai Wajib Pajak pada tanggal 4 Agustus 2016. Peredaran bruto yang diperoleh CV JK: a. Tahun 2018: Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah); b. Tahun 2019: Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); c. Tahun 2020: Rp 2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah); d. Tahun 2021: Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). CV JK dikenai Pajak Penghasilan final berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah ini dalam jangka waktu 4 (empat) Tahun Pajak, yaitu sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini sampai dengan Tahun Pajak 2021. Untuk Tahun Pajak 2022 dan Tahun Pajak-Tahun Pajak berikutnya dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif Pasal 17 ayat (2a) atau Pasal 17 ayat (2a) dan Pasal 31E Undang-Undang Pajak Penghasilan. Contoh 3: PT ABC memiliki usaha bengkel mobil dan terdaftar sebagai Wajib Pajak pada tanggal 24 Januari 2019. Peredaran bruto yang diperoleh PT ABC: a. Tahun 2019 : Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah); b. Tahun 2020 : Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); c. Tahun 2021 : Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah); d. Tahun 2022 : Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). PT ABC dikenai Pajak Penghasilan final berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah ini dalam jangka waktu 3 (tiga) Tahun Pajak, yaitu sejak Tahun Pajak 2019 sampai dengan Tahun Pajak 2021. Untuk Tahun Pajak 2022 dan Tahun Pajak-Tahun Pajak berikutnya dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif Pasal 17 ayat (2a) atau Pasal 17 ayat (2a) dan Pasal 31E Undang-Undang Pajak Penghasilan. Cukup jelas. Pasal 7 Contoh: Tuan I memiliki usaha restoran dan dikenai Pajak Penghasilan final sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini sejak Tahun Pajak 2019, karena peredaran bruto Tuan I pada tahun 2018 kurang dari Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah). Pada bulan Agustus tahun 2019, peredaran bruto Tuan I telah mencapai Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Meskipun peredaran bruto Tuan I telah melebihi Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah), Tuan I tetap dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan tarif 0,5% (nol koma lima persen) sampai dengan akhir Tahun Pajak 2019. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Tuan I pada Tahun Pajak 2020 dan seterusnya, dikenai Pajak Penghasilan dengan ketentuan umum berdasarkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan. Pasal 8 Contoh: Tuan R memiliki usaha toko elektronik dan memenuhi ketentuan untuk dapat dikenakan Pajak Penghasilan final berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah ini. Pada bulan September 2019, Tuan R memperoleh penghasilan dari usaha penjualan alat elektronik dengan peredaran bruto sebesar Rp 80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah). Dari jumlah tersebut, penjualan dengan peredaran bruto sebesar Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dilakukan pada tanggal 17 September 2019 kepada Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta yang merupakan Pemotong atau Pemungut Pajak, sisanya sebesar Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) diperoleh dari penjualan kepada pembeli orang pribadi yang langsung datang ke toko miliknya. Tuan R memiliki surat keterangan Wajib Pajak dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah ini. Pajak Penghasilan yang bersifat final yang terutang untuk bulan September 2019 dihitung sebagai berikut: |
Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Contoh: Firma AS melakukan kegiatan usaha jasa konsultan hukum yang dibentuk oleh Tuan A dan Tuan S, yang berprofesi sebagai konsultan hukum. Firma AS terdaftar sebagai Wajib Pajak sejak tahun 2017. Firma AS menggunakan pembukuan berdasarkan tahun kalender. Peredaran bruto yang diperoleh Firma AS: a. Tahun 2017: Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah); b. Tahun 2018: Rp 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah); c. Tahun 2019: Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013, Firma AS pada Tahun Pajak 2018 memenuhi syarat dikenai Pajak Penghasilan final berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah tersebut. Namun demikian Firma AS tidak memenuhi ketentuan untuk dikenai Pajak Penghasilan final berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (2) huruf b Peraturan Pemerintah ini, meskipun peredaran bruto Firma AS tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah). Untuk Tahun Pajak 2018 Firma AS memenuhi kewajiban Pajak Penghasilannya sebagai berikut:
Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6214 |