Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan
1. | Undang-Undang adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang. |
2. | Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
3. | Penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan pengisian Surat Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya termasuk penilaian tentang kebenaran penulisan dan penghitungannya. |
4. | Verifikasi adalah serangkaian kegiatan pengujian pemenuhan kewajiban subjektif dan objektif atau penghitungan dan pembayaran pajak, berdasarkan permohonan Wajib Pajak atau berdasarkan data dan informasi perpajakan yang dimiliki atau diperoleh Direktur Jenderal Pajak, dalam rangka menerbitkan surat ketetapan pajak, menerbitkan/menghapus Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau mengukuhkan/mencabut pengukuhan Pengusaha Kena Pajak. |
5. | Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi adalah pembahasan antara Wajib Pajak dan petugas Verifikasi atas hasil Verifikasi yang dituangkan dalam Berita Acara Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi yang ditandatangani oleh kedua belah pihak, dan berisi koreksi baik yang disetujui maupun yang tidak disetujui. |
6. | Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
7. | Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan adalah pembahasan antara Wajib Pajak dan pemeriksa pajak atas temuan Pemeriksaan yang hasilnya dituangkan dalam Berita Acara Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan yang ditandatangai oleh kedua belah pihak, dan berisis koreksi baik yang disetujui maupun yang tidak disetujui. |
8. | Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan. |
9. | Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya. |
10. | Persetujuan Penghindaraan Pajak Berganda yang selanjutnya disebut P3B adalah perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra untuk mencegah terjadinya pengenaan pajak berganda dan pengelakan pajak. |
11. | Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure) yang selanjutnya disebut MAP adalah prosedur administratif yang diatur dalam P3B untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam penerapan P3B. |
12. | Persetujuan Bersama adalah hasil yang telah disepakati dalam penerapan P3B oleh pejabat yang berwenang dari Pemerintah Indonesia dan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B sehubungan dengan MAP yang telah dilaksanakan. |
13. | Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement) yang selanjutnya disebut APA adalah perjanjian tertulis antara:
|
(1) | Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepada Wajib Pajak diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak. |
(2) | Kewajiban mendaftarkan diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula terhadap wanita kawin yang dikenai pajak secara terpisah karena hidup terpisah berdasarkan keputusan hakim atau dikehendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta. |
(3) | Wanita kawin yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dan:
|
(4) | Wanita kawin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang ingin melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan terpisah dari hak dan kewajiban perpajakan suami harus mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak. |
(5) | Dalam hal wanita kawin yang ingin melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan terpisah dari hak dan kewajiban perpajakan suami sebagaimana dimaksud pada ayat (4) telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak sebelum kawin, tidak perlu mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak. |
(6) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendaftaran dan pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak bagi wanita kawin diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. |
(1) | Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak, dapat melakukan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak. |
(2) | Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan Pemeriksaan atau Verifikasi. |
(3) | Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak berdasarkan Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan terhadap Wajib Pajak yang memenuhi kriteria tertentu. |
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. |
(1) | Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan;
|
(2) | Pernyataan tertulis dalam pembetulan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara memberi tanda pada tempat yang telah disediakan dalam Surat Pemberitahuan yang menyatakan bahwa Wajib Pajak yang bersangkutan membetulkan Surat Pemberitahuan. |
(3) | Dalam hal Pembetulan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyatakan rugi atau lebih bayar, pembetulan Surat Pemberitahuan harus disampaikan paling lama 2 (dua) tahun sebelum daluwarsa penetapan. |
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembetulan Surat Pemberitahuan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. |
(1) | Wajib Pajak dapat membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan yang telah disampaikan, dalam hal Wajib Pajak menerima surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali, atas Tahun Pajak sebelumnya atau beberapa Tahun Pajak sebelumnya, yang menyatakan rugi fiskal yang berbeda dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (6) Undang-Undang, dengan menyampaikan pernyataan tertulis. |
(2) | Pernyataan tertulis dalam pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan yang menyatakan rugi fiskal berbeda dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara memberi tanda pada tempat yang telah disediakan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan yang menyatakan bahwa Wajib Pajak yang bersangkutan membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan. |
(3) | Pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan paling lama 3 (tiga) bulan setelah menerima Surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali. |
(4) | Jangka waktu 3 (tiga) bulan untuk melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dihitung sejak tanggal stempel pos pengiriman, atau dalam hal diterima secara langsung, jangka waktu 3 (tiga) bulan dihitung sejak tanggal diterimanya surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali oleh wajib pajak. |
(5) | Dalam hal Wajib Pajak tidak membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak memperhitungkan rugi fiskal menurut surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali dalam penerbitan surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, dan Surat Keputusan Pembetulan. |
(6) | Apabila Wajib Pajak tidak membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Direktur Jenderal Pajak menghitung kembali kompensasi kerugian dalam Surat Pemberitahuan Tahunan secara jabatan berdasarkan rugi fiskal sesuai dengan surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali. |
(7) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. |
(1) | Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat mengungkapkan dengan pernyataan tertulis mengenai ketidakbenaran perbuatannya, yaitu:
|
(2) | Pernyataan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditandatangani oleh Wajib Pajak dan dilampiri dengan:
|
(3) | Dalam hal pengungkapan ketidakbenaran perbuatan yang dilakukan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, terhadap Wajib Pajak tidak dilakukan Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan. |
(4) | Apabila setelah Wajib Pajak melakukan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) masih ditemukan data yang menyatakan lain dari pengungkapan ketidakbenaran perbuatan tersebut, terhadap Wajib Pajak tetap dapat dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan. |
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengungkapan ketidakbenaran perbuatan oleh Wajib Pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. |
(1) | Wajib Pajak dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri secara tertulis mengenai ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang, sepanjang pemeriksaan pajak belum menyampaikan surat pemberitahuan hasil Pemeriksaan. |
(2) | Laporan tersendiri secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditandatangani oleh Wajib Pajak dan dilampiri dengan:
|
(3) | Untuk membuktikan kebenaran pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemeriksaan tetap dilanjutkan dan atas hasil Pemeriksaan tersebut diterbitkan surat ketetapan pajak dengan mempertimbangkan laporan tersendiri tersebut serta memperhitungkan pokok pajak yang telah dibayar. |
(4) | Dalam hal hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) membuktikan bahwa pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang dilakukan oleh Wajib Pajak ternyata tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya, surat ketetapan pajak diterbitkan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya tersebut. |
(5) | Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diperhitungkan sebagai kredit pajak dalam surat ketetapan pajak yang diterbitkan berdasarkan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4). |
(6) | Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c merupakan bukti pembayaran sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) terkait dengan pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan. |
(7) | Dalam hal pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai tidak dapat diperhitungkan sebagai kredit pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (8) huruf i Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya. |
(8) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mengungkapkan dalam laporan tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. |
(1) | Wajib Pajak wajib membayar atau menyetor pajak yang terutang dengan menggunakan Surat Setoran Pajak ke kas negara melalui tempat pembayaran. |
(2) | Pembayaran dan penyetoran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dapat dilakukan dengan menggunakan sarana administrasi lain yang kedudukannya disamakan dengan Surat Setoran Pajak. |
(3) | Ketentuan mengenai sarana administrasi lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. |
(1) | Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara program aplikasi on-line wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia, yaitu di tempat kegiatan atau tempat tinggal Wajib Pajak orang pribadi, atau di tempat kedudukan Wajib Pajak badan. |
(2) | Dalam hal Wajib Pajak melakukan transaksi dengan para pihak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak, kewajiban menyimpan dokumen lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi dokumen dan/atau informasi tambahan untuk mendukung bahwa transaksi yang dilakukan dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa telah sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dokumen dan/atau informasi tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan tata cara pengelolaannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. |
(1) | Wajib Pajak yang diperiksa wajib:
|
(2) | Buku, catatan, dan dokumen, serta data, informasi, dan keterangan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dipenuhi oleh Wajib Pajak paling lama 1 (satu) bulan sejak permintaan disampaikan. |
(3) | Dalam hal Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas yang diperiksa tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sehingga tidak dapat dihitung besarnya penghasilan kena pajak, penghasilan kena pajaknya dapat dihitung secara jabatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(4) | Dalam hal Wajib Pajak badan yang diperiksa tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sehingga tidak dapat dihitung besarnya penghasilan kena pajak, penghasilan kena pajaknya dapat dihitung secara jabatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(5) | Dalam hal penghasilan kena pajak dihitung secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau ayat (4), Direktur Jenderal Pajak wajib menyampaikan surat pemberitahuan hasil Pemeriksaan kepada Wajib Pajak dan memberikan hak kepada Wajib Pajak untuk hadir dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan. |
(6) | Pada saat Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), pemeriksa Pajak dapat mempertimbangkan dokumen yang diberikan oleh Wajib Pajak. |
(7) | Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (6) terbatas pada:
|
(1) | Apabila pada saat Pemeriksaan ditemukan adanya indikasi tindak pidana di bidang perpajakan, Pemeriksaan ditindaklanjuti dengan Pemeriksaan Bukti Permulaan. |
(2) | Dalam hal Pemeriksaan ditindaklanjuti dengan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemeriksaan ditangguhkan sampai dengan:
|
(3) | Pemeriksaan yang ditangguhkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilanjutkan apabila:
|
(4) | Pemeriksaan yang ditangguhkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihentikan apabila:
|
(5) | Direktur Jenderal Pajak masih dapat melakukan Pemeriksaan apabila setelah Pemeriksaan dihentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terdapat data selain yang diungkapkan dalam Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang atau Pasal 44B Undang-Undang. |
(1) | Direktur Jenderal Pajak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf d Undang-Undang dapat membatalkan surat ketetapan pajak yang diterbitkan berdasarkan Pemeriksaan atau Verifikasi yang dilaksanakan tanpa melalui prosedur:
|
(2) | Surat ketetapan pajak yang dibatalkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), proses Pemeriksaan atau Verifikasi dilanjutkan dengan melaksanakan prosedur yang belum dilaksanakan, berupa:
|
(3) | Pemeriksaan yang dilanjutkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang terkait dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B ayat (1) Undang-Undang, dilanjutkan dengan penerbitan:
|
(1) | Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam hal terdapat pajak yang tidak atau kurang dibayar berdasarkan:
| ||||||||||
(2) | Keterangan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan data konkret yang diperoleh atau dimiliki oleh Direktur Jenderal Pajak yang berupa:
| ||||||||||
(3) | Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar berdasarkan hasil Pemeriksaan atau hasil Verifikasi terhadap Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap terhadap Wajib Pajak yang dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara. |
(1) | Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan berdasarkan:
|
(2) | Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan berdasarkan hasil Pemeriksaan atau Pemeriksaan ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diterbitkan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak. |
(3) | Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan berdasarkan hasil Verifikasi, Pemeriksaan atau Pemeriksaan ulang terhadap Putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diterbitkan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak. |
(4) | Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan berdasarkan hasil Verifikasi, Pemeriksaan atau Pemeriksaan ulang terhadap Putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tetap dapat diterbitkan setelah jangka waktu 5 (lima) tahun terlampaui sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak. |
(5) | Jumlah pajak yang kurang dibayar dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan hasil Verifikasi atas keterangan tertulis dari Wajib Pajak atas kehendak sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d harus sesuai dengan jumlah kekurangan bayar berdasarkan keterangan tertulis dari Wajib Pajak. |
(1) | Jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) atau ayat (3) ditambah sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar tersebut. |
(2) | Jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4) ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48% (empat puluh delapan persen) dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar tersebut. |
(1) | Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar berdasarkan:
|
(2) | Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masih dapat diterbitkan lagi apabila terdapat data baru, termasuk data yang semula belum terungkap apabila ternyata pajak yang lebih dibayar jumlahnya lebih besar daripada kelebihan pembayaran pajak yang telah ditetapkan. |
(1) | Hasil Verifikasi, Pemeriksaan, Peneriksaan ulang, atau Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17, dan Pasal 18, dituangkan dalam laporan hasil Verifikasi, laporan hasil Pemeriksaan, laporan hasil Pemeriksaan ulang atau laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan. |
(2) | Berdasarkan laporan hasil Verifikasi, laporan hasil Pemeriksaan, laporan hasil Pemeriksaan ulang atau laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat nota penghitungan. |
(3) | Berdasarkan nota penghitungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus ditindaklanjuti dengan penerbitan surat ketetapan pajak. |
(1) | Dalam hal ketetapan dan/atau keputusan yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan diketahui rusak, tidak terbaca, hilang atau tidak dapat ditemukan lagi, karena keadaan di luar kekuasaannya, Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya, menerbitkan kembali ketetapan dan/atau keputusan sebagai pengganti ketetapan dan/atau keputusan yang rusak, tidak terbaca, hilang atau tidak dapat ditemukan lagi tersebut. |
(2) | Ketetapan dan/atau keputusan yang diterbitkan kembali oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai kedudukan hukum yang sama dengan ketetapan dan/atau keputusan yang telah diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak. |
(1) | Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat ketetapan pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sebelum Wajib Pajak diberikan atau diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, apabila diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan adanya kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi Wajib Pajak. |
(2) | Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat ketetapan pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sebelum dan/atau setelah penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak atau pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, apabila setelah penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak atau pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan adanya kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi Wajib Pajak. |
(3) | Surat ketetapan pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2) diterbitkan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak, atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, kecuali terhadap Wajib Pajak dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya yang dapat mengakibatkan kerugian pada pendapatan negara berdasarkan Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. |
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penerbitan surat ketetapan pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. |
(1) | Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak berdasarkan:
|
(2) | Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan paling lama:
|
(1) | Atas permohonan Wajib Pajak, kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4c) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Tahun 1984 dan perubahannya dikembalikan, dengan ketentuan bahwa apabila ternyata Wajib Pajak mempunyai utang pajak, langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang pajak tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang. |
(2) | Pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 1 (satu) bulan sejak diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4c) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Tahun 1984 dan perubahannya. |
(1) | Wajib Pajak yang telah ditetapkan sebagai Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C ayat (3) Undang-Undang dicabut penetapannya sebagai Wajib Pajak dengan kriteria tertentu dalam hal Wajib Pajak:
|
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pencabutan penetapan Wajib Pajak dengan kriteria tertentu diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. |
(1) | Keberatan atas surat ketetapan pajak atau pemotongan atau pemungutan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal:
|
(2) | Keadaan di luar kekuasaan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(3) | Dalam hal terdapat penerbitan Surat Keputusan Pembetulan secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d dan Wajib Pajak belum mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak, Wajib Pajak masih dapat mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak tersebut dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim Surat Keputusan Pembetulan. |
(1) | Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, tidak dikenai sanksi pidana apabila kealpaan tersebut pertama kali dilakukan oleh Wajib Pajak. |
(2) | Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melunasi kekurangan pembayaran jumlah pajak yang terutang beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar yang ditetapkan melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar. |
(3) | Terhadap Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Wajib Pajak tidak dapat mengajukan:
|
(1) | Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu:
| ||||||||||
(2) | Wajib Pajak yang mengajukan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat mengajukan permohonan:
| ||||||||||
(3) | Wajib Pajak dapat mencabut pengajuan keberatan yang telah disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak sebelum tanggal diterima surat pemberitahuan untuk hadir oleh Wajib Pajak. | ||||||||||
(4) | Wajib Pajak yang mencabut pengajuan keberatan yang telah disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dapat mengajukan permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar. | ||||||||||
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pencabutan pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. |
(1) | Dalam hal pengajuan keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (9) Undang-Undang. |
(2) | Sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dikenakan terhadap Wajib Pajak dalam hal keputusan keberatan atas pengajuan keberatan Wajib Pajak menambah jumlah pajak yang masih harus dibayar. |
(3) | Dalam hal Wajib Pajak mencabut pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3) atau pengajuan keberatan tidak dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Pajak karena tidak memenuhi persyaratan pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1), ayat (2), ayat (3) atau ayat (3a) Undang-Undang, Wajib Pajak dianggap tidak mengajukan keberatan. |
(4) | Dalam hal Wajib Pajak dianggap tidak mengajukan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pajak yang masih harus dibayar dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan yang tidak disetujui dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atau Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi menjadi utang pajak sejak tanggal penerbitan surat ketetapan pajak. |
(1) | Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (5d) Undang-Undang dalam hal Putusan Banding:
|
(2) | Dalam hal Putusan Banding berupa tidak dapat diterima, pajak yang masih harus dibayar berdasarkan Surat Keputusan Keberatan menjadi utang pajak sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan. |
(1) | Direktur Jenderal Pajak wajib menyelesaikan keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang. |
(2) | Jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak tanggal surat pengajuan keberatan diterima oleh Direktur Jenderal Pajak sampai dengan tanggal Surat Keputusan Keberatan diterbitkan. |
(1) | Atas permohonan Wajib Pajak, atau karena jabatannya, Direktur Jenderal Pajak dapat membetulkan surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga, yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(2) | Kesalahan hitung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(3) | Dalam hal terdapat kekeliruan pengkreditan Pajak Masukan Pajak Pertambahan Nilai pada surat keputusan atau surat ketetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembetulan atas kekeliruan tersebut hanya dapat dilakukan apabila terdapat perbedaan besarnya Pajak Masukan yang menjadi kredit pajak dan Pajak Masukan tersebut tidak mengandung persengketaan antara fiskus dan Wajib Pajak. |
(4) | Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permohonan pembetulan diterima, harus memberi keputusan atas permohonan pembetulan yang diajukan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembetulan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. |
(1) | Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat:
| ||||||||||||
(2) | Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak apabila:
| ||||||||||||
(3) | Permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak dapat diajukan dalam hal Wajib Pajak mencabut pengajuan keberatan yang telah disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3). | ||||||||||||
(4) | Pada saat penyelesaian permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Direktur Jenderal Pajak dapat mempertimbangkan buku, catatan atau dokumen yang diberikan dalam proses penyelesaian permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar tersebut. | ||||||||||||
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengurangan, penghapusan, dan pembatalan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. |
(1) | Wajib Pajak yang dikenai sanksi administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dapat mengajukan permohonan untuk memperoleh pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf a Undang-Undang. |
(2) | Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan terhadap sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (2) dan ayat (2a) Undang-Undang, yang dikenakan melebihi jangka waktu 24 (dua puluh empat) bulan, atas permohonan tersebut dapat diberikan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi sehingga besarnya sanksi administrasi sebesar 2% (dua persen) per bulan dikenakan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan. |
(3) | Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan terhadap sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (2a) dan ayat (2b) Undang-Undang atau Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang, ketentuan pada ayat (2) berlaku untuk permohonan yang diajukan oleh Wajib Pajak setelah tanggal 31 Desember 2011 sampai dengan tanggal 31 Desember 2013. |
(4) | Direktur Jenderal Pajak secara jabatan mengurangkan atau membatalkan sanksi administrasi dalam Surat Tagihan Pajak yang diterbitkan sebagai akibat dari penerbitan surat ketetapan pajak yang diajukan keberatan, banding, peninjauan kembali, pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak dan telah diterbitkan Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, Putusan Peninjauan Kembali, Surat Keputusan Pengurangan atau Pembatalan Surat Ketetapan Pajak. |
(1) | Surat ketetapan pajak yang penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara penerbitan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dapat diajukan gugatan kepada badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf d Undang-Undang. |
(2) | Surat ketetapan pajak yang penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara penerbitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi surat ketetapan pajak yang penerbitannya tidak berdasarkan pada:
|
(3) | Termasuk dalam pengertian surat ketetapan pajak yang penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara penerbitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi surat ketetapan pajak yang menetapkan Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak tidak sesuai dengan Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak yang dilakukan Verifikasi, Pemeriksaan, Pemeriksaan ulang, atau Pemeriksaan Bukti Permulaan. |
(1) | Surat Keputusan Keberatan yang penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara penerbitan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dapat diajukan gugatan kepada badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf d Undang-Undang. |
(2) | Surat Keputusan Keberatan yang penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara penerbitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi Surat Keputusan Keberatan yang penerbitannya tidak didahului dengan penyampaian surat pemberitahuan untuk hadir kepada Wajib Pajak. |
(1) | Dalam hal terdapat Putusan Gugatan atas surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Direktur Jenderal Pajak menindaklanjuti Putusan Gugatan dengan menerbitkan kembali surat ketetapan pajak sesuai dengan prosedur atau tata cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) atau ayat (3). |
(2) | Dalam hal Direktur Jenderal Pajak menerbitkan kembali surat ketetapan pajak yang terkait dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B ayat (1) Undang-Undang sebagai akibat dari Putusan Gugatan, penerbitan kembali surat ketetapan pajak tersebut dilakukan dengan ketentuan:
|
(1) | Dalam hal Direktur Jenderal Pajak menerima Putusan Gugatan atas Surat Keputusan Keberatan yang penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara penerbitan, Direktur Jenderal Pajak menindaklanjuti Putusan Gugatan tersebut dengan menerbitkan kembali Surat Keputusan Keberatan sesuai dengan prosedur atau tata cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2). |
(2) | Dalam hal badan peradilan pajak mengabulkan gugatan Wajib Pajak atas surat dari Direktur Jenderal Pajak yang menyatakan bahwa keberatan Wajib Pajak tidak dapat dipertimbangkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (4) Undang-Undang, Direktur Jenderal Pajak menyelesaikan keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan. |
(3) | Jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung sejak Putusan Gugatan diterima oleh Direktur Jenderal Pajak. |
(1) | Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat pelaksanaan Putusan Banding setelah menerima Putusan Banding. |
(2) | Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat pelaksanaan Putusan Peninjauan Kembali setelah menerima Putusan Peninjauan Kembali. |
(3) | Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat pelaksanaan Putusan Gugatan setelah menerima Putusan Gugatan. |
(1) | Apabila pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan peninjauan kembali dikabulkan sebagian atau seluruhnya, selama pajak yang masih harus dibayar dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan yang telah dibayar menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27A Undang-Undang, kelebihan pembayaran dimaksud dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan. |
(2) | Apabila pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan peninjauan kembali sehubungan dengan Surat Ketetapan Pajak Nihil dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar dikabulkan sebagian atau seluruhnya dan menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27A Undang-Undang, kelebihan pembayaran dimaksud dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan. |
(3) | Apabila terdapat Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak yang mengabulkan sebagian atau seluruhnya sehingga menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27A ayat (1a) Undang-Undang, kelebihan pembayaran dimaksud dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan. |
(4) | Imbalan bunga juga diberikan atas pembayaran lebih sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang dan/atau bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang berdasarkan Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi atau Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi sebagai akibat diterbitkan Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali yang mengabulkan sebagian atau seluruh permohonan Wajib Pajak. |
(5) | Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan terhadap:
|
(6) | Pelaksanaan pemberian imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berlaku ketentuan sebagai berikut:
|
(1) | Dalam hal Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) yang seluruhnya tidak disetujui oleh Wajib Pajak dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan yang diterbitkan atas Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar, kelebihan pembayaran pajak berdasarkan Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali yang mengabulkan sebagian atau seluruhnya dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan yang dihitung dari jumlah kelebihan pembayaran pajak dalam Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali. |
(2) | Dalam hal Surat Ketetapan Pajak Nihil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) yang tidak disetujui oleh Wajib Pajak dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan yang diterbitkan atas Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar, kelebihan pembayaran pajak berdasarkan Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali yang mengabulkan sebagian atau seluruhnya dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan yang dihitung dari jumlah kelebihan pembayaran pajak dalam Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali. |
(3) | Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dihitung sejak tanggal penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Nihil sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali. |
(1) | Ketentuan mengenai jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang, Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang, Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang, Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang, Pasal 21 ayat (4) Undang-Undang, dan Pasal 26 ayat (3) Undang-Undang termasuk pajak yang pajak yang seharusnya tidak dikembalikan. |
(2) | Surat pelaksanaan Putusan Banding atau surat pelaksanaan Putusan Peninjauan Kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) atau ayat (2) juga diterbitkan akibat Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan pembayaran atas pajak yang seharusnya tidak dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(1) | Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan dan tidak mengajukan permohonan banding, pelunasan atas jumlah pajak yang belum dibayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) atau ayat (3a) Undang-Undang dilakukan paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan. |
(2) | Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, pelunasan atas jumlah pajak yang belum dibayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) atau ayat (3a) Undang-Undang dilakukan paling lama 1 (atu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding. |
(3) | Dalam hal Wajib Pajak menyetujui seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atau Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi, pelunasan atas jumlah pajak yang masih harus dibayar dilakukan paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang. |
(4) | Dalam hal Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak di daerah tertentu menyetujui seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atau Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi, pelunasan atas jumlah pajak yang masih harus dibayar dilakukan paling lama 2 (dua) bulan sejak tanggal penerbitan surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3a) Undang-Undang. |
(5) | Dalam hal Wajib Pajak tidak melunasi jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), pajak yang masih harus dibayar tersebut ditagih dengan terlebih dahulu menerbitkan Surat Teguran. |
(6) | Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4). |
(7) | Dalam hal Wajib Pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atau Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi dan Wajib Pajak tidak mengajukan keberatan, Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pengajuan keberatan. |
(8) | Dalam hal Wajib Pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atau Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi dan Wajib Pajak tidak mengajukan permohonan banding atas keputusan keberatan, Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pengajuan permohonan banding. |
(9) | Dalam hal Wajib Pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atau Pembahasan Akhir Hasil Verfikasi dan Wajib Pajak mengajukan permohonan banding atas keputusan keberatan, Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pelunasan pajak yang masih harus dibayar berdasarkan Putusan Banding. |
(10) | Apabila sanksi administrasi dalam Surat Tagihan Pajak dikenakan sebagai akibat diterbitkan surat ketetapan pajak, yang pajak terutangnya tidak disetujui oleh Wajib Pajak dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atau Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi dan atas surat ketetapan pajak diajukan keberatan dan/atau banding, tindakan penagihan atas Surat Tagihan Pajak tersebut ditangguhkan sampai dengan surat ketetapan pajak tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap. |
(11) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan penagihan pajak atas jumlah pajak yang masih harus dibayar diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. |
(1) | Wajib Pajak dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(2) | Seorang kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi konsultan pajak dan bukan konsultan pajak. |
(3) | Seorang kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
|
(4) | Surat kuasa khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b paling sedikit memuat:
|
(1) | Seorang kuasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 tidak dapat melimpahkan kuasa yang diterima dari Wajib Pajak kepada orang lain. |
(2) | Dalam melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakan tertentu yang dikuasakan, dengan surat penunjukan seorang kuasa hanya dapat meminta orang lain atau karyawannya untuk menyampaikan dan/atau menerima dokumen perpajakan tertentu yang diperlukan kepada dan/atau dari pegawai Direktorat Jenderal Pajak. |
(3) | Orang lain atau karyawan yang ditunjuk oleh seorang kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harus menyerahkan surat penunjukan kepada pegawai Direktorat Jenderal Pajak pada saat melaksanakan tugasnya. |
(1) | Seorang kuasa hanya mempunyai hak dan/atau kewajiban perpajakan tertentu yang dikuasakan Wajib Pajak sesuai dengan surat kuasa khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (3) huruf b. |
(2) | Dalam melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakan tertentu, seorang kuasa wajib mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(3) | Seorang kuasa tidak dapat melaksanakan hak dan/atau kewajiban Wajib Pajak yang dikuasakan kepadanya apabila dalam melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakannya:
|
(1) | Setiap pejabat dan tenaga ahli dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya. |
(2) | Untuk kepentingan negara, Menteri Keuangan berwenang memberi izin tertulis kepada pejabat dan/atau tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) supaya memberikan keterangan dan/atau memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak tertentu yang ditunjuk dalam izin tertulis Menteri Keuangan tersebut. |
(3) | Pihak tertentu yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (2):
|
(4) | Apabila pihak tertentu yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pihak tertentu tersebut dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(5) | Pejabat dan/atau tenaga ahli yang memberikan keterangan dan/atau memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak dalam rangka melaksanakan tugas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). |
(6) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian izin tertulis kepada pejabat dan/atau tenaga ahli diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. |
(1) | Dalam pelaksanaan Pemeriksaan, Pemeriksaan Bukti Permulaan, Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan, penagihan pajak, atau proses keberatan, Direktur Jenderal Pajak dapat meminta keterangan atau bukti kepada Pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang. |
(2) | Dalam hal pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terikat oleh kewajiban merahasiakan, untuk keperluan Pemeriksaan, Pemeriksaan Bukti Permulaan, Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan, penagihan pajak, dan proses keberatan, kewajiban merahasiakan tersebut ditiadakan berdasarkan permintaan secara tertulis dari:
|
(1) | Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pertukaran informasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan masalah perpajakan dengan otoritas pajak negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B sesuai dengan ketentuan P3B yang berlaku. |
(2) | Direktur Jenderal Pajak dapat meminta informasi kepada Wajib Pajak atau pihak lain mengenai hal-hal yang berkaitan dengan masalah perpajakan yang akan dipertukarkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(3) | Wajib Pajak atau pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memenuhi permintaan informasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan masalah perpajakan. |
(4) | Dalam hal Wajib Pajak atau pihak lain tidak memenuhi permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Wajib Pajak atau pihak lain dikenai sanksi sesuai dengan Undang-Undang. |
(1) | Pelaksanaan MAP dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak dan otoritas pajak negara atau yurisdiksi mitra P3B. |
(2) | Permintaan pelaksanaan MAP dapat diajukan oleh:
|
(3) | Permintaan pelaksanaan MAP oleh pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diajukan bersamaan dengan permohonan Wajib Pajak untuk mengajukan:
|
(4) | Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk meneliti permintaan pelaksanaan MAP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf c untuk menentukan dapat atau tidaknya dilaksanakan MAP. |
(5) | Dalam hal pelaksanaan MAP menghasilkan persetujuan Bersama setelah surat ketetapan pajak diterbitkan tetapi tidak diajukan keberatan atau tidak diajukan permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar, Direktur Jenderal Pajak melakukan pembetulan atas surat ketetapan pajak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Undang-Undang. |
(6) | Dalam hal pelaksanaan MAP menghasilkan Persetujuan Bersama setelah Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Keberatan tetapi tidak diajukan banding atau Wajib Pajak mengajukan banding tetapi dicabut, Direktur Jenderal Pajak melakukan pembetulan atas Surat Keputusan Keberatan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Undang-Undang. |
(7) | Apabila pelaksanaan MAP dilakukan bersamaan dengan proses banding dan sampai dengan Putusan Banding diucapkan pelaksanaan MAP belum menghasilkan Persetujuan Bersama, Direktur Jenderal Pajak menghentikan MAP. |
(8) | Dalam hal pelaksanaan MAP tidak menghasilkan Persetujuan Bersama, berlaku surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali. |
(1) | APA berlaku dan mengikat bagi:
|
(2) | Direktur Jenderal Pajak tidak dapat melakukan koreksi atas hal-hal yang disepakati dalam APA. |
(3) | Dalam hal proses APA tidak menghasilkan kesepakatan antara pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dokumen Wajib Pajak yang dipergunakan selama proses penentuan APA harus dikembalikan sepenuhnya kepada Wajib Pajak. |
(4) | Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dapat digunakan oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai dasar untuk melakukan Pemeriksaan, Pemeriksaan Bukti Permulaan, atau Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan. |
(1) | Berdasarkan hasil pengembangan dan analisis terhadap informasi, data, laporan, dan pengaduan, Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43A Undang-Undang. |
(2) | Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan secara tertutup atau secara terbuka. |
(3) | Pemeriksaan Bukti Permulaan secara tertutup dilakukan tanpa pemberitahuan kepada Wajib Pajak. |
(4) | Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka dilakukan dengan pemberitahuan secara tertulis kepada Wajib Pajak. |
(5) | Dalam melaksanakan Pemeriksaan Bukti Permulaan, pejabat yang melakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka berwenang:
|
(6) | Ketentuan mengenai tata cara penyegelan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf d diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. |
(7) | Pemeriksaan bukti permulaan harus ditindaklanjuti dengan:
|
(1) | Dalam hal berdasarkan Pemeriksaan Bukti Permulaan diduga terjadi tindak pidana di bidang perpajakan, Penyidik Pegawai Negeri Sipil Direktorat Jenderal Pajak melakukan Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 Undang-Undang. |
(2) | Dalam rangka pelaksanaan kewenangan Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang, penyidik dapat meminta bantuan aparat penegak hukum lain. |
(3) | Jenis bantuan yang diminta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa:
|
(4) | Aparat penegak hukum lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memberikan bantuan sesuai dengan permintaan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permintaan. |
(2) | Permintaan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan apabila Wajib Pajak telah melunasi jumlah kerugian pada pendapatan negara sebesar:
|
(3) | Jumlah pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan jumlah kerugian pada pendapatan negara yang dihitung berdasarkan berita acara pemeriksaan ahli sebelum dilakukan pelunasan dalam rangka pengajuan permintaan penghentian Penyidikan oleh Menteri Keuangan. |
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 29 Desember 2011 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO |
I. | UMUM Sistem perpajakan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 bertujuan untuk memberikan kepercayaan dan tanggung jawab yang lebih besar kepada Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Pemerintah, dalam hal ini aparat perpajakan, berkewajiban memberikan pelayanan, penyuluhan, dan pembinaan serta melakukan pengawasan dan penegakan hukum, agar Wajib Pajak dapat melaksanakan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009, telah diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Selanjutnya untuk lebih memberikan kemudahan dan kejelasan bagi masyarakat dalam memahami dan memenuhi hak serta kewajiban perpajakan serta untuk menyelaraskan dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, perlu mengganti tata cara pelaksanaan hak dan Pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2007 agar sesuai dengan perkembangan hukum dan masyarakat. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
II. | PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Pada dasarnya kewajiban mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak melekat pada setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif. Yang dimaksud dengan "persyaratan subjektif" adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subjek pajak dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya. Yang dimaksud dengan "persyaratan objektif" adalah persyaratan bagi subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan atau diwajibkan untuk melakukan pemotongan/pemungutan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Pada prinsipnya sistem administrasi perpajakan di Indonesia menempatkan keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis, sehingga dalam satu keluarga hanya terdapat satu Nomor Pokok Wajib Pajak. Dengan demikian, terhadap wanita kawin yang tidak dikenai pajak secara terpisah, pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakannya digabungkan dengan suami sebagai kepala keluarga. Dalam hal ini wanita kawin telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak sebelum kawin, wanita kawin tersebut harus mengajukan permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dengan alasan bahwa pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakannya digabungkan dengan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan suaminya. Ayat (4) Pada dasarnya wanita kawin yang tidak hidup terpisah atau tidak melakukan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta secara tertulis, melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya dengan menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak atas nama suaminya. Namun demikian, dalam hal wanita kawin ingin melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan secara terpisah dari suaminya, maka wanita kawin tersebut harus mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak. Contoh : Bapak Bagus yang telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak 12.345.678.9-XXX.000 menikah dengan Ibu Ayu yang belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak. Ibu Ayu memperoleh penghasilan dan ingin melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan secara terpisah dari suaminya. Oleh karena itu, Ibu Ayu harus mendaftarkan diri ke Kantor Direktorat Jenderal Pajak untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan diberi Nomor Pokok Wajib Pajak baru dengan nomor 98.765.432.1-XXX.000. Ayat (5) Apabila wanita kawin yang ingin melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan secara terpisah dari kewajiban perpajakan suaminya telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak sebelum kawin, maka Nomor Pokok Wajib Pajak yang telah dimiliki sebelum kawin tersebut digunakan dalam pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan secara terpisah dari suaminya, sehingga wanita kawin tersebut tidak perlu mendaftarkan diri lagi untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak. Contoh : Lisa memperoleh penghasilan dan telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dengan nomor 56.789.012.3-XYZ.000. Lisa kemudian menikah dengan Hengki yang telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak 78.901.234.5-XYZ.000. Apabila Lisa setelah menikah memilih untuk melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan secara terpisah dari suaminya, maka Lisa tidak perlu mendaftarkan diri lagi untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan tetap menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak 56.789.012.3-XYZ.000 dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Pada prinsipnya penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan. Namun demikian, terhadap Wajib Pajak yang memenuhi kriteria tertentu, penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dapat dilakukan berdasarkan Verifikasi. Wajib Pajak yang memenuhi kriteria tertentu pada ayat ini, antara lain :
Verifikasi dilakukan untuk mengetahui apakah Wajib Pajak benar-benar tidak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 5Ayat (1) Terhadap kekeliruan dalam pengisian Surat Pemberitahuan yang dibuat oleh Wajib Pajak, Wajib Pajak masih berhak untuk melakukan pembetulan atas kemauan sendiri, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum mulai melakukan tindakan Pemeriksaan. Yang dimaksud dengan "mulai melakukan tindakan Pemeriksaan" adalah pada saat surat pemberitahuan Pemeriksaan disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak. Kesempatan untuk melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan juga masih dapat dilakukan oleh Wajib Pajak apabila Direktur Jenderal Pajak belum mulai melakukan tindakan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka, yaitu pada saat surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak. Tindakan Pemeriksaan pada prinsipnya dilaksanakan dalam rangka menerbitkan surat ketetapan pajak. Oleh karena itu, meskipun Direktur Jenderal Pajak belum melakukan Pemeriksaan atau Pemeriksaan Bukti Permulaan, namun Direktur Jenderal Pajak telah menyampaikan surat pemberitahuan hasil Verifikasi maka Wajib Pajak tidak memiliki kesempatan lagi untuk melakukan pembetulan Surat Pemberitahuannya. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Apabila Wajib Pajak menerima surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali yang berdampak pada perhitungan rugi fiskal dalam Surat Pemberitahuan Tahunan maka Wajib Pajak dapat membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan yang terkait dengan rugi fiskal tersebut. Untuk memperjelas ketentuan ini, diberikan contoh sebagai berikut : PT Sukses telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2012 yang menyatakan :
Terhadap Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2011 dilakukan Pemeriksaan dan pada tanggal 11 Oktober 2013 diterbitkan surat ketetapan pajak yang menyatakan rugi fiskal menjadi sebesar Rp 250.000.000.000,00. Berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut, apabila terhadap Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2012 belum dilakukan Pemeriksaan atau Verifikasi, Wajib Pajak harus membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2012 sehingga penghitungan Penghasilan Kena Pajak Tahun Pajak 2012 menjadi sebagai berikut :
Demikian halnya apabila hasil Pemeriksaan Tahun Pajak 2011 rugi fiskal untuk surat ketetapan pajak misalnya menjadi sebesar Rp 170.000.000,00, Wajib Pajak juga harus membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2012 dengan cara yang sama. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Contoh penghitungan jangka waktu 3 (tiga) bulan dalam ketentuan ini adalah sebagai berikut :
Ayat (5) Dalam hal Wajib Pajak tidak membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan meskipun telah menerima surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali atas Tahun Pajak sebelumnya atau beberapa Tahun Pajak sebelumnya, yang menyatakan rugi fiskal yang berbeda dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan, Direktur Jenderal Pajak memperhitungkan rugi fiskal menurut surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali pada saat menerbitkan surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, dan Surat Keputusan Pembetulan apabila Direktur Jenderal Pajak sedang melakukan Pemeriksaan, Pemeriksaan Ulang, atau Verifikasi dalam rangka penerbitan surat ketetapan pajak, sedang memproses penyelesaian keberatan, sedang memproses penyelesaian pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak, sedang memproses penerbitan Surat Keputusan Pembetulan. Dalam hal Wajib Pajak sedang mengajukan banding atau Wajib Pajak/Direktur Jenderal Pajak sedang mengajukan Peninjauan Kembali namun belum diterbitkan Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali maka Direktur Jenderal Pajak menyampaikan rugi fiskal tersebut ke badan peradilan pajak atau Mahkamah Agung agar diperhitungkan dalam Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali. Untuk memperjelas ketentuan pada ayat ini diberikan contoh-contoh sebagai berikut : Contoh 1 : PT Makmur telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2010 yang menyatakan :
Terhadap Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2009 dilakukan Pemeriksaan dan pada tanggal 12 Oktober 2012 diterbitkan surat ketetapan pajak yang menyatakan rugi fiskal sebesar Rp 250.000.000,00. Apabila sampai dengan jangka waktu 3 (tiga) bulan, Wajib Pajak tidak membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2010, Direktur Jenderal Pajak pada saat melakukan Pemeriksaan akan memperhitungkan rugi fiskal tersebut dalam surat ketetapan pajak Tahun Pajak 2010. Demikian juga, apabila terhadap surat ketetapan pajak Tahun Pajak 2010 sedang dalam proses penyelesaian keberatan, maka rugi fiskal Tahun Pajak 2009 langsung diperhitungkan dalam Surat Keputusan Keberatan. Ketentuan ini juga berlaku dalam hal surat ketetapan pajak dalam proses penyelesaian pembetulan, pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak. Apabila atas Surat Keputusan Keberatan untuk Tahun Pajak 2010 sedang dalam proses banding di badan peradilan pajak, maka rugi fiskal Tahun Pajak 2009 disampaikan ke badan peradilan pajak untuk diperhitungkan dalam Putusan Banding. Contoh 2 : PT Jaya telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2010 yang menyatakan :
Terhadap Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2010 telah dilakukan Pemeriksaan dan telah diterbitkan surat ketetapan pajak. Atas surat ketetapan pajak tersebut telah diajukan upaya hukum dan telah diterbitkan putusan oleh pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dengan kompensasi kerugian dari Tahun Pajak 2009 tetap sebesar Rp 200.000.000,00 karena sampai dengan Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali terbit, atas Tahun Pajak 2009 belum terbit surat ketetapan pajak. Setelah ada Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali terkait dengan Tahun Pajak 2010 tersebut, diterbitkan surat ketetapan pajak yang menyatakan bahwa rugi fiskal Tahun Pajak 2009 dari sebesar Rp 200.000.000,00 menjadi sebesar Rp 230.000.000,00. Perlakuan terhadap rugi fiskal berdasarkan surat ketetapan pajak Tahun Pajak 2009 yang belum dikompensasikan sebesar Rp 30.000.000,00 (Rp 230.000.000,00 - Rp 200.000.000,00) dapat dikompensasikan pada Tahun Pajak 2011 mengingat berdasarkan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya rugi fiskal dapat dikompensasikan selama 5 (lima) tahun. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (1) Prinsip dari sistem self assessment dalam pemungutan pajak adalah memberikan kesempatan kepada Wajib Pajak untuk secara sukarela menghitung, membayar dan melaporkan pajak terutang berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Dengan demikian, meskipun terhadap Wajib Pajak sedang dilakukan tindakan penegakan hukum, Wajib Pajak tetap memiliki kesempatan untuk secara sukarela memenuhi kewajiban perpajakannya dengan mengungkapkan sendiri ketidakbenaran perbuatannya. Dalam hal Wajib Pajak melakukan perbuatan, yaitu :
Dalam rangka penerapan sistem self assessment secara konsisten, meskipun Wajib Pajak telah melakukan perbuatan sebagaimana tersebut di atas dan terhadap Wajib Pajak sedang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan, Wajib Pajak tetap memiliki kesempatan untuk mengungkapkan sendiri kesalahannya dan terhadap Wajib Pajak tidak akan dilakukan Penyidikan. Untuk memberikan kepastian hukum, yang dimaksud dengan mulai dilakukan Penyidikan sebagaimana diatur pada ayat ini adalah saat surat pemberitahuan dimulainya Penyidikan diberitahukan kepada Penuntut Umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. Dengan demikian, dalam hal pemberitahuan dimulainya Penyidikan telah dilakukan, kesempatan untuk mengungkapkan ketidakbenaran perbuatan sudah tertutup bagi Wajib Pajak. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Pengungkapan ketidakbenaran perbuatan Wajib Pajak yang diatur pada ayat ini dapat dilakukan pada saat Wajib Pajak dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan. Untuk membuktikan bahwa pengungkapan ketidakbenaran perbuatan Wajib Pajak tersebut telah sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, Direktur Jenderal Pajak meyelesaikan Pemeriksaan Bukti Permulaan yang sedang dilakukan. Yang dimaksud dengan "sesuai dengan keadaan yang sebenarnya" adalah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak seharusnya dikembalikan menurut pengungkapan Wajib Pajak jumlahnya sama atau lebih besar daripada temuan Pemeriksaan Bukti Permulaan. Apabila pengungkapan ketidakbenaran perbuatan Wajib Pajak telah sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, Pemeriksaan Bukti Permulaan tidak ditindaklanjuti dengan Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dan kepada Wajib Pajak disampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai tidak ditindaklanjutinya Pemeriksaan Bukti Permulaan dengan Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Pada prinsipnya Wajib Pajak memiliki hak untuk membetulkan Surat Pemberitahuan sebelum Direktur Jenderal Pajak melakukan Pemeriksaan. Namun demikian, dalam hal Direktur Jenderal Pajak telah melakukan Pemeriksaan, Wajib Pajak tetap diberi kesempatan untuk mengungkapkan dengan kesadaran sendiri tentang ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan sepanjang Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan surat ketetapan pajak. Untuk memberikan kepastian hukum dan menghindari kemungkinan tidak dipertimbangkannya pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan oleh pemeriksa pajak, maka pengungkapan tersebut harus dilakukan sebelum pemeriksa pajak menyampaikan surat pemberitahuan hasil Pemeriksaan. Hal ini disebabkan surat pemberitahuan hasil Pemeriksaan harus mencerminkan seluruh temuan-temuan yang dihasilkan selama pelaksanaan Pemeriksaan. Dengan demikian pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan oleh Wajib Pajak yang dilakukan setelah surat pemberitahuan hasil Pemeriksaan akan menyebabkan pengungkapan tersebut tidak tercermin dalam surat pemberitahuan hasil Pemeriksaan. Disamping itu, pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang disampaikan setelah surat pemberitahuan hasil Pemeriksaan tidak mencerminkan pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang dilandasi oleh kesadaran sendiri Wajib Pajak. Ayat (2) Surat Setoran Pajak atas pelunasan pajak yang kurang dibayar dan Surat Setoran Pajak atas pembayaran sanksi administrasi harus dilampirkan apabila pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan mengakibatkan pajak yang kurang dibayar menjadi lebih besar. Apabila pengungkapan ketidakbenaran pengisian surat Pemberitahuan tidak mengakibatkan kekurangan pembayaran pajak maka pengungkapan tersebut tidak perlu dilampiri dengan Surat Setoran Pajak. Ayat (3) Wajib Pajak yang sedang dilakukan Pemeriksaan mengungkapkan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan dalam laporan tersendiri, pemeriksa pajak harus menyelesaikan pemeriksaannya untuk membuktikan kebenaran laporan tersendiri tersebut. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Sesuai dengan sistem self assessment, Pengusaha Kena Pajak wajib melaporkan seluruh kegiatan usahanya dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai. Selain itu, kepada Pengusaha Kena Pajak juga telah diberikan kesempatan untuk melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1). Dalam pembetulan tersebut Wajib Pajak masih dapat melaporkan tambahan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai. Apabila Pebgusaha Kena Pajak sedang dilakukan Pemeriksaan, Pengusaha Kena Pajak masih mempunyai kesempatan untuk mengungkapkan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dalam laporan tersendiri. Pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan tersebut bukan merupakan pembetulan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1). Oleh karena itu, Pengusaha Kena Pajak tidak dapat melaporkan tambahan Pajak Masukan dalam pengungkapan tersebut sehingga Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai tidak dapat diperhitungkan sebagai kredit pajak. Ayat (8) Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak terkait dengan adanya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi maka pembayaran dan penyetoran pajak dapat dilakukan oleh Wajib Pajak dengan menggunakan sarana administrasi selain Surat Setoran Pajak. Sarana administrasi lain tersebut misalnya pembayaran secara elektronik, pembayaran melalui Anjungan Tunai Mandiri, atau media lainnya. Berdasarkan pada ketentuan ini maka sarana administrasi lain tersebut memiliki kedudukan yang sama dengan Surat Setoran Pajak. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "hubungan istimewa" adalah hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan Tahun 1984 dan perubahannya. Ayat (3) Cukup jelas. Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Ayat (1) Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atau Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi dianggap telah dilaksanakan apabila temuan Pemeriksaan atau Verifikasi telah dibahas sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai tata cara Pemeriksaan atau tata cara Verifikasi. Ayat (2) Untuk memberikan pedoman dalam membatalkan surat ketetapan pajak dari hasil Pemeriksaan atau Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perlu ditegaskan bahwa pembatalan tersebut tidak membatalkan seluruh kegiatan Pemeriksaan atau Verifikasi yang pernah dilaksanakan. Oleh karena itu, agar surat ketetapan pajak dari hasil Pemeriksaan atau Verifikasi merupakan suatu produk hukum yang diterbitkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. maka Direktur Jenderal Pajak melanjutkan Pemeriksaan atau Verifikasi yang telah dibatalkan dengan melaksanakan prosedur Pemeriksaan atau Verifikasi yang belum dilakukan berupa :
Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15Ayat (1) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan diterbitkan apabila sudah pernah diterbitkan surat ketetapan pajak dengan jenis pajak dan Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak yang sama dengan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan yang akan diterbitkan, kecuali surat ketetapan pajak yang telah diterbitkan sebelumnya merupakan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar dalam rangka pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang. Pada prinsipnya untuk menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan perlu dilakukan Pemeriksaan. Jika surat ketetapan pajak sebelumnya diterbitkan berdasarkan Pemeriksaan, perlu dilakukan Pemeriksaan ulang sebelum menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan. Dalam hal surat ketetapan pajak sebelumnya diterbitkan berdasarkan keterangan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf a Undang-Undang, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan harus diterbitkan berdasarkan pemeriksaan. Namun demikian, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan juga dapat diterbitkan berdasarkan hasil Verifikasi, apabila Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan tersebut diterbitkan karena adanya :
Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Dalam hal terhadap Wajib Pajak telah diterbitkan surat ketetapan pajak, kemudian atas kehendak sendiri Wajib Pajak menyampaikan keterangan tertulis mengenai data baru yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang, maka Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dengan jumlah pajak yang kurang dibayar sebesar keterangan tertulis dari Wajib Pajak. Oleh karena itu, Direktur Jenderal Pajak tidak perlu melakukan Pemeriksaan atau Pemeriksaan ulang dalam rangka menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, tetapi cukup melakukan Verifikasi. Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21Cukup jelas. Pasal 22Ayat (1) Yang dimaksud dengan "ketetapan dan/atau keputusan yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan" meliputi :
Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 23Cukup jelas. Pasal 24Ayat (1) Berdasarkan sistem self assessment, kewajiban perpajakan Wajib Pajak ditentukan oleh terpenuhinya persyaratan subjektif dan objektif. Dengan demikian, surat ketetapan pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sebelum Wajib Pajak tersebut diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, dapat diterbitkan apabila diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan adanya kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi Wajib Pajak. Contoh : Terhadap Wajib Pajak orang pribadi diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak pada tanggal 6 Januari 2011. Sampai dengan tanggal 31 Maret 2012 Wajib Pajak hanya menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2010. Dalam tahun 2012, Direktur Jenderal Pajak memperoleh data yang menunjukkan bahwa Wajib Pajak dalam Tahun Pajak 2009 memperoleh penghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak. Berdasarkan data tersebut Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat ketetapan pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak untuk Tahun Pajak 2009. Ayat (2) Penerbitan surat ketetapan pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak dapat juga dilakukan apabila setelah penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak atau pencabutan Pengukuhan Pengusahan Kena Pajak diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan adanya kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi Wajib Pajak untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sebelum atau setelah penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak atau pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak. Contoh : Terhadap Wajib Pajak orang pribadi diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak pada tanggal 6 Januari 2009. Pada tanggal 28 Desember 2011, Nomor Pokok Wajib Pajak tersebut dihapus. Dalam tahun 2013, Direktur Jenderal Pajak memperoleh data yang menunjukkan bahwa dalam Tahun Pajak 2008, Wajib Pajak memperoleh penghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak, dalam Tahun Pajak 2010, Wajib Pajak memperoleh penghasilan yang belum dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan sebesar Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan dalam Tahun Pajak 2012, Wajib Pajak memperoleh penghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak. Berdasarkan data tersebut Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat ketetapan pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak untyk Tahun Pajak 2008, 2010, dan 2012. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 25Cukup jelas. Pasal 26Cukup jelas. Pasal 27Ayat (1) Pemberian pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak merupakan bentuk kemudahan yang diberikan kepada Wajib Pajak untuk mendorong agar Wajib Pajak menjadi patuh dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya. Setelah Wajib Pajak ditetapkan sebagai Wajib Pajak dengan kriteria tertentu yang sering dikenal sebagai "Wajib Pajak Patuh" maka diharapkan Wajib Pajak tersebut selalu patuh dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya. Oleh karena itu, apabila Wajib Pajak yang telah ditetapkan sebagai Wajib Pajak dengan kriteria tertentu tersebut memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C ayat (6) Undang-Undang maka penetapan sebagai Wajib Pajak dengan kriteria tertentu dicabut dan terhadap Wajib Pajak tersebut tidak lagi diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak. Salah satu faktor yang dapat menyebabkan Direktur Jenderal Pajak mencabut penetapan Wajib Pajak dengan kriteria tertentu adalah apabila terhadap Wajib Pajak dilakukan Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. Pemeriksaan Bukti Permulaan merupakan proses yang tidak terpisahkan dari Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. Oleh karena itu, walaupun penyidikan tindak pidana di bidang Perpajakan belum dilakukan, tetapi Direktur Jenderal Pajak telah melakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan maka untuk mencegah agar tidak terjadi pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak dikembalikan maka Direktur Jenderal Pajak mencabut penetapan Wajib Pajak dengan kriteria tertentu yang telah diterbitkan. Dengan demikian, pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak masih dapat diberikan kepada Wajib Pajak apabila Direktur Jenderal Pajak belum mulai melakukan tindakan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka, yaitu pada saat surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (1) Contoh Penghitungan jangka waktu 3 (tiga) bulan dalam ketentuan ini adalah sebagai berikut: Contoh 1 : Apabila surat ketetapan pajak dikirim kepada Wajib Pajak pada tanggal 20 September 2012 maka Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan paling lama tanggal 19 Desember 2012. Contoh 2 : Apabila surat ketetapan pajak dikirim kepada Wajib Pajak pada tanggal 30 November 2012, maka Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan paling lama tanggal 28 Februari 2013. Contoh 3 : Apabila surat ketetapan pajak dikirim kepada Wajib Pajaj pada tanggal 2 Januari 2013, maka Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan paling lama tanggal 1 April 2013. Apabila terjadi suatu keadaan di luar kekuasaan Wajib Pajak maka pengajuan keberatan dapat dilakukan setelah jangka waktu 3 (tiga) bulan. Dalam hal demikian, Direktur Jenderal Pajak dapat mempertimbangkan pengajuan keberatan yang disampaikan oleh Wajib Pajak. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 29 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pengenaan sanksi pidana merupakan upaya terakhir untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak. Namun, bagi Wajib Pajak yang melanggar pertama kali ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 Undang-Undang tidak dikenai sanksi pidana, tetapi terhadap Wajib Pajak diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar. Oleh karena itu, Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan, atau menyampaikan Surat Pemberitahuan tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, tidak dikenai sanksi pidana apabila kealpaan tersebut pertama kali dilakukan Wajib Pajak. Dalam hal ini, Wajib Pajak tersebut wajib melunasi kekurangan pembayaran jumlah pajak yang terutang beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar. Ayat (3) Ketetapan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A Undang-Undang merupakan ketetapan yang diterbitkan karena kealpaan yang pertama kali dilakukan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 Undang-Undang. Ketetapan pajak tersebut bukan merupakan ketetapan pajak hasil Pemeriksaan berdasarkan Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud ketetapan pajak dalam Pasal 13 Undang-Undang dan Pasal 15 Undang-Undang. Terhadap ketetapan pajak tersebut Wajib Pajak diwajibkan untuk melunasinya. Oleh karena itu, ketetapan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A Undang-Undang tidak dapat diajukan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang ataupun diajukan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi Pasal 36 ayat (1) huruf a Undang-Undang serta pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b Undang-Undang. Pasal 30Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan "sanksi administrasi" meliputi sanksi yang terdapat dalam surat ketetapan pajak maupun dalam Surat Tagihan Pajak yang diterbitkan sebagai akibat dari penerbitan surat ketetapan pajak. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (3) Dalam penyelesaian proses keberatan, Wajib Pajak memiliki hak untuk hadir dan memberi keterangan atau memperoleh penjelasan mengenai keberatannya. Wajib Pajak dapat mencabut pengajuan keberatan yang telah disampaikan, sebelum Direktur Jenderal Pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan Untuk Hadir. Surat Pemberitahuan Untuk Hadir merupakan surat yang disampaikan kepada Wajib Pajak yang berisi mengenai pemberian kesempatan kepada Wajib Pajak untuk menghadiri pertemuan dengan pegawai pajak dalam waktu yang telah ditetapkan guna memberikan keterangan atau memperoleh penjelasan mengenai hasil penelitian keberatan. Ayat (4) Ketentuan pada ayat ini bertujuan untuk menjelaskan bahwa sanksi administrasi yang terdapat dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan masih dapat diajukan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf a Undang-Undang apabila keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dicabut oleh Wajib Pajak. Ayat (5) Pasal 31Cukup jelas. Ayat (1) Pengenaan sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) pada ayat ini dihitung dari jumlah pajak yang masih harus dibayar menurut Surat Keputusan Keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum pengajuan keberatan. Jumlah pajak yang telah dibayar sebelum pengajuan keberatan meliputi baik pembayaran atas jumlah yang disetujui maupun yang tidak disetujui dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atau Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi. Untuk memberikan penjelasan lebih lanjut diberikan contoh sebagai berikut :
Jika Surat Keputusan Kebaratan menolak pengajuan keberatan Wajib Pajak maka untuk menghitung pengenaan sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) seluruh jumlah pajak yang telah dibayar sebelum pengajuan keberatan (baik yang disetujui maupun tidak) harus dikurangkan dari jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam Surat Keputusan Keberatan. Dalam hal ini, dasar untuk menghitung sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) adalah sebesar Rp 0,00 (nol rupiah), yaitu sebesar Rp 1.000.000.000,00 (jumlah pajak dalam Surat Keputusan Keberatan) dikurangi dengan Rp 1.000.000.000,00 (jumlah yang telah dibayar sebelum pengajuan keberatan). Ayat (2) Untuk memberikan kepastian hukum tentang penambahan jumlah pajak yang masih harus dibayar akibat keputusan keberatan, dalam ayat ini dijelaskan bahwa penambahan jumlah pajak yang masih harus dibayar juga dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) seperti halnya jumlah pajak yang tidak disetujui dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atau Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Pada prinsipnya jatuh tempo pembayaran pajak yang masih harus dibayar dalam surat ketetapan pajak yang tidak disetujui dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atau Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan, apabila Wajib Pajak mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak tersebut. Namun demikian, apabila Wajib Pajak dianggap tidak mengajukan kebaratan sebagai akibat pengajuan keberatannya tidak dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Pajak karena tidak memenuhi persyaratan formal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (3a), dan Pasal 32 Undang-Undang maka jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam surat ketetapan pajak menjadi utang pajak. Dalam hal demikian, maka apabila utang pajak tersebut tidak dilunasi oleh Wajib Pajak maka Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan tindakan penagihan pajak dengan surat paksa dan Wajib Pajak tidak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (9) Undang-Undang, namun dikenai sanski administrasi berupa bunga sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang. Ayat (1) Berdasarkan ketentuan Pasal 27 ayat (5d) Undang-Undang, pengenaan sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dilakukan dalam hal terdapat putusan banding yang menolak atau mengabulkan sebagian permohonan banding. Pengenaan sanski administrasi tersebut juga dilakukan dalam hal putusan banding berupa menambah pajak yang harus dibayar atau membetulkan kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung yang menambah pajak yang masih harus dibayar. Untuk memperjelaskan ketentuan ini diberikan contoh sebagai berikut : Contoh 1 (Putusan Banding menolak) : Diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar untuk Tahun Pajak 2008 dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp 1.000.000.000,00. Dalam pembahasan akhir hasil Pemeriksaan, Wajib Pajak hanya menyetujui pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp 200.000.000,00. Wajib Pajak telah melunasi pajak yang disetujui dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tersebut sebesar Rp 200.000.000,00 dan kemudian mengajukan keberatan atas koreksi lainnya. Direktur Jenderal Pajak menolak keberatan Wajib Pajak. Selanjutnya Wajib Pajak mengajukan permohonan banding dan oleh Pengadilan Pajak diputuskan dengan amar putusan menolak banding Wajib Pajak. Dengan demikian, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sesuai dengan ayat ini, yaitu sebesar 100% x (Rp 1.000.000.000,00 - Rp 200.000.000,00) = Rp 800.000.000,00 Contoh 2 (Putusan Banding mengabulkan sebagian) : Diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar untuk Tahun Pajak 2008 dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp 1.000.000.000,00. Dalam pembahasan akhir hasil Pemeriksaan, Wajib Pajak hanya menyetujui pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp 200.000.000,00. Wajib Pajak telah melunasi pajak yang disetujui dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tersebut sebesar Rp 200.000.000,00 dan kemudian mengajukan keberatan atas koreksi lainnya. Direktur Jenderal Pajak mengabulkan sebagian keberatan Wajib Pajak dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar menjadi sebesar Rp 750.000.000,00. Selanjutnya Wajib Pajak mengajukan permohonan banding dan oleh Pengadilan Pajak diputuskan besarnya pajak yang masih harus dibayar menjadi sebesar Rp 450.000.000,00. Dalam hal demikian, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sesuai dengan ayat ini, yaitu sebesar 100% x (Rp 450.000.000,00 - Rp 200.000.000,00) = Rp 250.000.000,00. Mengingat Wajib Pajak sudah dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) maka sampai dengan diterbitkannya putusan banding tersebut Wajib Pajak tidak dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang maupun sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (9) Undang-Undang. Sisa utang pajak sebesar Rp 250.000.000,00 tersebut harus dilunasi Wajib Pajak (jatuh tempo) paling lambat 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding. Apabila sampai dengan tanggal jatuh tempo sisa utang pajak tidak dilunasi maka dilakukan tindakan penagihan pajak dengan surat paksa dan berlaku ketentuan mengenai pengenaan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang. Contoh 3 (Putusan Banding menambah) : Diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar untuk Tahun Pajak 2008, dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp 1.000.000.000,00. Dalam pembahasan akhir hasil Pemeriksaan, Wajib Pajak hanya menyetujui pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp 200.000.000,00. Wajib Pajak telah melunasi jumlah yang disetujui dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tersebut sebesar Rp 200.000.000,00 dan kemudian mengajukan keberatan atas koreksi lainnya. Direktur Jenderal Pajak menolak keberatan Wajib Pajak. Selanjutnya Wajib Pajak mengajukan permohonan banding dan oleh Pengadilan Pajak diputuskan dengan amar putusan menambah pajak yang harus dibayar menjadi sebesar Rp 1.300.000.000. Dengan demikian, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sesuai dengan ayat ini, yaitu sebesar 100% x (Rp 1.300.000.000,00 - Rp 200.000.000,00) = Rp 1.100.000.000,00. Ayat (2) Cukup jelas. Cukup jelas. Pasal 34 Ayat (1) Dalam rangka memberikan kepastian hukum agar Direktur Jenderal Pajak dapat membetulkan surat ketetapan atau surat keputusan sehubungan dengan pelaksanaan Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan, pembetulan surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga, yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat ini meliputi juga antara lain pembetulan terhadap :
Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan juga mengajukan pembetulan atas surat ketetapan pajak maka Surat Keputusan Pembetulan diterbitkan secara terpisah dengan Surat Keputusan Keberatan. Ayat (2) Pada prinsipnya kewenangan Direktur Jenderal Pajak untuk membetulkan surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, atau surat keputusan yang berkaitan dengan perpajakan dimaksudkan untuk menjalankan tugas pemerintahan yang baik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam melaksanakan tugas menghitung dan menetapkan pajak, baik dalam menerbitkan surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, atau surat keputusan yang berkaitan dengan perpajakan dapat terjadi adanya kesalahan atau kekeliruan yang bersifat manusiawi. Sifat kesalahan atau kekeliruan tersebut tidak mengandung persengketaan antara Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak. Selain itu, kewajiban perpajakan berkesinambungan dan saling mempengaruhi dari Masa Pajak ke Masa Pajak yang lain atau dari Tahun Pajak ke Tahun Pajak yang lain. Dengan demikian, dapat terjadi suatu kesalahan yang ditimbulkan karena penerbitan suatu surat ketetapan pajak, surat keputusan, atau putusan yang terkait dengan bidang perpajakan atas Masa Pajak atau Tahun Pajak yang mempengaruhi Masa Pajak atau Tahun Pajak lain, misalnya terdapat koreksi biaya penyusutan, amortisasi, kompensasi kerugian, dan sebagainya. Yang dimaksud dengan "surat keputusan yang terkait dengan bidang perpajakan" antara lain Surat Keputusan Keberatan dan Persetujuan Bersama. Sedangkan yang dimaksud dengan "putusan yang terkait dengan bidang perpajakan" meliputi Putusan Banding dan Putusan Peninjauan Kembali. Contoh : PT A menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahun Pajak 2008 dengan rugi yang dikompensasikan ke tahun berikutnya sebesar Rp 200.000.000,00 dan lebih bayar sebesar Rp 50.000.000,00. PT A menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahun Pajak 2009 dengan penghasilan neto sebesar Rp 180.000.000,00. Sisa kerugian yang belum dikompensasikan sampai dengan tahun pajak 2008 sebesar Rp 200.000.000,00 dan terdapat kredit pajak sebesar Rp 35.000.000,00. Dengan demikian Surat Pemberitahuan Tahun Pajak 2009 menyatakan lebih bayar sebesar Rp 35.000.000,00 dan masih terdapat sisa kerugian yang dapat dikompensasikan ke tahun berikutnya sebesar Rp 20.000.000,00. Terhadap Wajib Pajak PT A telah diterbitkan surat ketetapan pajak untuk Tahun Pajak 2008 dengan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebesar Rp 15.000.000,00 dan dengan rugi sebesar Rp 200.000.000,00, dan Tahun Pajak 2009 dengan Surat Ketetapan Pajak Nihil dan dengan rugi sebesar Rp 20.000.000,00. Atas surat ketetapan pajak Tahun Pajak 2008, PT A memperoleh Putusan Banding yang menyatakan bahwa permohonan banding Wajib Pajak diterima sebagian, sehingga mengakibatkan rugi yang dapat dikompensasi menjadi lebih kecil dibanding dengan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar yang pernah diterbitkan, yaitu sebesar Rp 150.000.000,00 dan lebih bayar menjadi sebesar Rp 40.000.000,00. Kerugian yang dapat dikompensasikan dalam penghitungan surat ketetapan pajak untuk Tahun Pajak 2009 menjadi semakin kecil yakni dari sebesar Rp 200.000.000,00 menjadi sebesar Rp 150.000.000,00. Oleh karena itu, berdasarkan Pasal 16 Undang-Undang, Direktur Jenderal Pajak berwenang membetulkan surat ketetapan pajak untuk Tahun Pajak 2009 yang diakibatkan karena perbedaan kompensasi kerugian berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dari rugi sebesar Rp 20.000.000,00 menjadi laba sebesar Rp 30.000.000,00 (Rugi sebesar Rp 20.000.000,00 dikurangi dengan pengurangan kompensasi kerugian sebesar Rp 50.000.000,00). Dengan demikian Surat Ketetapan Pajak Nihil Tahun 2009 yang pernah diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak harus dibetulkan secara jabatan menjadi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar. Ayat (3) Ayat (5)Kekeliruan pengkreditan Pajak Masukan Pajak Pertambahan Nilai yang dimaksud pada ayat ini merupakan kekeliruan yang sifatnya manusiawi dan tidak mengandung sengketa antara fiskus dan Wajib Pajak. Ayat (4)Dalam ketentuan ini, dapat diberikan contoh sebagai berikut : Telah diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Pertambahan Nilai atas nama PT A untuk Masa Pajak Februari 2012, dengan rincian sebagai berikut : Pajak Keluaran sebesar Rp 100.000.000,00 Pajak Masukan sebesar RP 75.000.000,00 Dari Pajak Masukan tersebut terdapat 1 (satu) Faktur Pajak sebesar Rp 7.500.000,00 yang telah terjadi kekeliruan dalam penghitungan Pajak Masukan pada saat Pemeriksaan menjadi sebesar Rp 5.700.000,00. Terhadap kekeliruan yang demikian, Direktur Jenderal Pajak secara jabatan dapat membetulkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tersebut. Namun demikian, dalam hal kekeliruan yang terjadi berupa tidak diperhitungkannya suatu Faktur Pajak sebagai Pajak Masukan pada surat ketetapan pajak, maka pembetulan atas kekeliruan berdasarkan Pasal 16 Undang-Undang tidak dapat dilakukan. Cukup jelas. Cukup jelas. Dalam rangka memberi keadilan dalam penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, Direktur Jenderal Pajak diberi wewenang untuk :
Surat ketetapan pajak yang tidak benar sebagaimana dimaksud pada huruf b meliputi suatu surat ketetapan pajak yang diterbitkan tidak sepenuhnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar dapat juga diberikan terhadap surat ketetapan pajak yang sudah diajukan keberatan namun tidak dipertimbangkan karena tidak memenuhi persyaratan formal pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (4) Undang-Undang. Surat Tagihan Pajak yang tidak benar sebagaimana dimaksud pada huruf c meliputi suatu Surat Tagihan Pajak yang diterbitkan tidak sepenuhnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada huruf a ayat ini berlaku juga untuk denda administrasi Pajak Bumi dan Bangunan. Pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak dan Surat Tagihan Pajak yang tidak benar sebagaimana dimaksud pada huruf b dan huruf c ayat ini berlaku juga untuk Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, dan Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan. Cukup jelas. Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 36 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Cukup jelas. Ayat (4) Dalam hal terdapat Surat Tagihan Pajak yang terkait dengan surat ketetapan pajak, misalnya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan terhadap Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tersebut diajukan keberatan maka apabila Surat Keputusan Keberatan berdampak pada jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sehingga berdampak juga pada jumlah sanksi administrasi dalam Surat Tagihan Pajak, Direktur Jenderal Pajak secara jabatan mengurangkan atau membatalkan Surat Tagihan Pajak tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 36 ayat (1) huruf a atau huruf c Undang-Undang. Demikian juga dalam hal terdapat Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali berdampak pada jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan jumlah sanksi administrasi pada Surat Tagihan Pajak. Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Ayat (1) Dalam rangka melaksanakan Putusan Banding dari Pengadilan Pajak, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat pelaksanaan Putusan Banding, yaitu keputusan Direktur Jenderal Pajak yang diterbitkan berdasarkan Putusan Banding dari Pengadilan Pajak dan digunakan sebagai dasar untuk melaksanakan Putusan Banding dari Pengadilan Pajak agar Putusan Banding tersebut dapat dicatat ke dalam sistem administrasi perpajakan. Ayat (2) Dalam rangka melaksanakan Putusan Peninjauan Kembali dari Mahkamah Agung, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat pelaksanaan Putusan Peninjauan Kembali, yaitu keputusan Direktur Jenderal Pajak yang diterbitkan berdasarkan Putusan Peninjauan Kembali dari Mahkamah Agung dan digunakan sebagai dasar untuk melaksanakan Putusan Peninjauan Kembali dari Mahkamah Agung agar Putusan Peninjauan Kembali tersebut dapat dicatat ke dalam sistem administrasi perpajakan. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 43 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah adanya kemungkinan Wajib Pajak memperoleh imbalan bunga yang seharusnya tidak diterima sehubungan dengan pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan peninjauan kembali. Oleh karena itu, terhadap sebagian jumlah pajak yang tercantum dalam surat ketetapan pajak yang tidak disepakati dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atau Verifikasi dan dibayar oleh Wajib Pajak sebelum mengajukan keberatan, namun dalam surat keputusan keberatan, pengajuan keberatan tersebut dikabulkan sebagian atau seluruhnya sehingga mengakibatkan kelebihan pembayaran pajak, terhadap kelebihan pembayaran pajak tersebut tidak diberikan imbalan bunga. Demikian pula, dalam hal kelebihan pembayaran pajak tersebut diakibatkan adanya Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali, kelebihan pembayaran tersebut tidak diberikan imbalan bunga. Contoh 1 : Untuk Tahun Pajak 2008, terhadap PT A diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp 1.000.000.000,00. Dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, Wajib Pajak hanya menyetujui pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp 200.000.000,00, akan tetapi Wajib Pajak telah melunasi seluruh Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tersebut sebesar Rp 1.000.000.000,00 dan kemudian mengajukan keberatan atas koreksi yang tidak disetujui. Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan keberatan dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar menjadi sebesar Rp 600.000.000,000. Dalam hal ini, Wajib Pajak memperoleh kelebihan pembayaran pajak sebesar Rp 400.000.000,00 (Rp 1.000.000,00 - Rp 600.000.000,00). Berdasarkan ketentuan pada ayat ini, atas kelebihan pembayaran pajak Rp 400.000.000,00 tidak diberikan imbalan bunga. Apabila Wajib Pajak mengajukan permohonan banding ke Pengadilan Pajak dan Putusan Banding mengabulkan sebagian permohonan Wajib Pajak sehingga jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam Putusan Banding menjadi sebesar Rp 150.000.000,00 maka kelebihan pembayaran pajak akibat Putusan Banding ini tidak diberikan imbalan bunga. Demikian halnya bagi Wajib Pajak yang menyetujui seluruh temuan Pemeriksaan dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan yang mengakibatkan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dan Wajib Pajak telah melunasi pajak yang masih harus dibayar tetapi mengajukan keberatan, dan dalam hal keberatan dikabulkan sebagian atau seluruhnya sehingga mengakibatkan kelebihan pembayaran pajak, terhadap kelebihan pembayaran pajak tersebut tidak diberikan imbalan bunga. Demikian pula, dalam hal kelebihan pembayaran pajak tersebut diakibatkan adanya Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali, Kelebihan Pembayaran tersebut tidak diberikan imbalan bunga. Contoh 2 : Untuk Tahun Pajak 2008, terhadap PT A diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp 1.000.000.000,00. Dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, Wajib Pajak menyetujui pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp 1.000.000.000,00, dan telah melunasi seluruh Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tersebut sebesar Rp 1.000.000.000,00. Namun Wajib Pajak kemudian mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak tersebut. Atas keberatan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Keberatan dengan menolak permohonan Wajib Pajak sehingga jumlah pajak yang masih harus dibayar tetap sebesar Rp 1.000.000.000,00. Wajib Pajak kemudian mengajukan banding atas Keputusan Keberatan tersebut. Atas banding Wajib Pajak, Pengadilan Pajak mengabulkan sebagian permohonan Wajib Pajak sehingga jumlah pajak yang masih harus dibayar menjadi sebesar Rp 700.000.000,00. Dalam hal ini, Wajib Pajak memperoleh kelebihan pembayaran pajak sebesar Rp 300.000.000,00 (Rp 1.000.000.000,00 - Rp 700.000.000,00). Berdasarkan ketentuan pada ayat ini, atas kelebihan pembayaran pajak sebesar Rp 300.000.000,00 tidak diberikan imbalan bunga. Contoh 3 : Diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp 1.000.000.000,00 atas Surat Pemberitahuan Tahun Pajak 2012 yang menyatakan lebih bayar sebesar Rp 2.500.000.000,00. Dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, Wajib Pajak menyetujui Pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp 250.000.000,00. Wajib Pajak melunasi jumlah yang disetujui dalam Pembahasan Hasil Pemeriksaan sebelum mengajukan keberatan. Atas keberatan yang diajukan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Keberatan yang menolak permohonan Wajib pajak. Terhadap Surat Keputusan Keberatan tersebut, Wajib Pajak mengajukan permohonan banding dan Putusan Banding menyatakan mengabulkan sebagian permohonan Wajib Pajak sehingga jumlah lebih bayar dalam Putusan Banding menjadi sebesar Rp 1.250.000.000,00. Jumlah kelebihan pembayaran pajak yang dikembalikan kepada Wajib Pajak adalah sebesar Rp 1.500.000.000,00, yaitu jumlah kelebihan pembayaran sebagaimana tercantum dalam Putusan Banding (Rp 1.250.000.000,00) ditambah dengan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar yang telah dibayar (Rp 250.000.000,00). Dalam hal ini, Wajib Pajak tidak diberikan imbalan bunga karena pada dasarnya Wajib Pajak telah menyetujui Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebesar Rp 250.000.000,00. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 44 Ayat (1) Contoh penerapan ketentuan ayat ini : Contoh 1 : Diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp 1.000.000.000,00 atas Surat Pemberitahuan Tahun Pajak 2012 yang menyatakan lebih bayar sebesar Rp 2.500.000.000,00. Dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, Wajib Pajak tidak menyetujui seluruh pajak yang masih harus dibayar sehingga tidak ada pembayaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak. Atas keberatan yang diajukan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Keberatan yang mengabulkan sebagian permohonan Wajib Pajak sehingga Surat Keputusan Keberatan menyatakan terdapat jumlah lebih bayar sebesar Rp 1.500.000.000,00. Jumlah kelebihan pembayaran pajak yang dikembalikan kepada Wajib Pajak adalah sebesar Rp 1.500.000.000,00, yaitu jumlah kelebihan pembayaran sebagaimana tercantum dalam Surat Keputusan Keberatan. Dalam hal ini, Wajib Pajak diberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dihitung dari jumlah kelebihan yang tercantum dalam Surat Keputusan Keberatan sebesar Rp 1.500.000.000,00 Contoh 2 : Diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp 1.000.000.000,00 atas Surat Pemberitahuan Tahun Pajak 2012 yang menyatakan lebih bayar sebesar Rp 2.500.000.000,00. Dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, Wajib Pajak tidak menyetujui seluruh pajak yang masih harus dibayar namun Wajib Pajak melunasi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tersebut sebelum mengajukan keberatan. Atas keberatan yang diajukan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Keberatan dengan mengabulkan sebagian keberatan Wajib Pajak sehingga jumlah lebih bayar dalam Surat Keputusan Keberatan menjadi sebesar Rp 1.250.000.000. Jumlah kelebihan pembayaran pajak yang dikembalikan kepada Wajib Pajak adalah sebesar Rp 2.250.000.000,00, yaitu jumlah kelebihan pembayaran sebagaimana tercantum dalam Surat Keputusan Keberatan (Rp 1.250.000.000,00) ditambah dengan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar yang telah dibayar (Rp 1.000.000.000,00). Dalam hal ini, Wajib Pajak diberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dihitung dari jumlah kelebihan pembayaran yang tercantum dalam Surat Keputusan Keberatan, yaitu sebesar Rp 1.250.000.000,00. Contoh 3 : Diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp 1.000.000.000,00 atas Surat Pemberitahuan Tahun Pajak 2012 yang menyatakan lebih bayar sebesar Rp 2.500.000.000,00. Dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, Wajib Pajak menyetujui pajak yang lebih bayar sebesar Rp 2.250.000.000,00. Atas keberatan yang diajukan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Keberatan yang menolak keberatan Wajib Pajak. Terhadap Surat Keputusan Keberatan tersebut, Wajib Pajak mengajukan permohonan banding dan Putusan Banding menyatakan mengabulkan sebagian permohonan Wajib Pajak sehingga jumlah lebih bayar dalam Putusan Banding menjadi sebesar Rp 1.500.000.000,00. Jumlah kelebihan pembayaran pajak yang dikembalikan kepada Wajib Pajak adalah sebesar Rp 1.500.000.000,00, sesuai dengan jumlah kelebihan pembayaran sebagaimana tercantum dalam Putusan Banding. Dalam hal ini, Wajib Pajak diberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dihitung dari jumlah kelebihan pembayaran yang tercantum dalam Putusan Banding, yaitu sebesar Rp 1.500.000.000,00. Ayat (2) Diterbitkan surat Ketetapan Pajak Nihil atas Surat Pemberitahuan Tahun Pajak 2012 yang menyatakana lebih bayar sebesar Rp 2.500.000.000,00. Dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, Wajib Pajak tidak menyetujui seluruhnya. Atas keberatan yang diajukan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Keberatan yang menolak permohonan Wajib Pajak. Terhadap Surat Keputusan Keberatan tersebut, Wajib Pajak mengajukan permohonan banding dan Putusan Banding menyatakan mengabulkan sebagian permohonan Wajib Pajak sehingga jumlah lebih bayar dalam Putusan Banding menjadi sebesar Rp 1.250.000.000,00. Jumlah kelebihan pembayaran pajak yang dikembalikan kepada Wajib Pajak adalah sebesar Rp 1.250.000.000,00, yaitu jumlah kelebihan pembayaran sebagaimana tercantum dalam Putusan Banding. Dalam hal ini, Wajib Pajak diberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan yang dihitung dari jumlah kelebihan pembayaran pajak dalam Putusan Banding. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "tanggal diterbitkannya Putusan Banding" adalah tanggal Putusan Banding tersebut diucapkan oleh hakim Pengadilan Pajak dalam sidang terbuka untuk umum. Sedangkan yang dimaksud dengan "tanggal yang diterbitkannya Putusan Peninjauan Kembali" adalah tanggal Putusan Peninjauan Kembali tersebut diucapkan oleh hakim agung. Dalam rangka menghitung jangka waktu pemberian imbalan bunga dapat diberikan contoh sebagai berikut : Contoh 1: Pasal 45Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar untuk Tahun Pajak 2010 diterbitkan tanggal 5 April 2012 dan diajukan keberatan pada tanggal 8 Juni 2012. Jika Surat Keputusan Keberatan yang mengabulkan permohonan Wajib Pajak diterbitkan pada tanggal 10 Mei 2013 maka perhitungan jangka waktu sebagai dasar pemberian imbalan bunga sesuai dengan ketentuan pada ayat ini adalah mulai dari tanggal 5 April 2012 s.d. 10 Mei 2013, yaitu selama 14 (empat belas) bulan [13 (tiga belas) bulan penuh, yaitu tanggal 5 April 2012 s.d. 4 Mei 2013 ditambah bagian dari bulan yang dihitung penuh 1 (satu) bulan yaitu tanggal 5 Mei 2013 s.d. 10 Mei 2013)]. Contoh 2 : Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar untuk Tahun Pajak 2010 diterbitkan tanggal 5 April 2012 dan diajukan keberatan pada tanggal 10 Mei 2012. Surat Keputusan Keberatan yang menolak permohonan Wajib Pajak diterbitkan pada tanggal 5 Januari 2013. Wajib Pajak mengajukan banding dan Putusan Banding yang mengabulkan seluruh permohonan Wajib Pajak diterbitkan pada tanggal 10 Maret 2014. Putusan Banding tersebut baru diucapkan oleh Hakim Pengadilan Pajak dalam sidang terbuka untuk umum pada tanggal 20 Maret 2014 dan baru diterima oleh Direktur Jenderal Pajak pada tanggal 10 Mei 2014. Dalam hal ini, perhitungan jangka waktu sebagai dasar pemberian imbalan bunga sesuai dengan ketentuan pada ayat ini adalah mulai dari tanggal 5 April 2012 s.d. 20 Maret 2014, yaitu selama 24 (dua puluh empat) bulan [23 (dua puluh tiga) bulan penuh, yaitu tanggal 5 April 2012 s.d. 4 Maret 2014) ditambah bagian dari bulan yang dihitung penuh 1 (satu) bulan, yaitu tanggal 5 Maret 2014 s.d. 20 Maret 2014]. Yang dimaksud dengan "tanggal diterbitkannya Putusan Banding" adalah tanggal diucapkannya Putusan Banding oleh hakim badan peradilan pajak dalam sidang terbuka untuk umum. Pasal 46 Ayat (1) Dalam pengertian jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah sebagaimana dimaksud pada ayat ini termasuk pajak yang seharusnya tidak dikembalikan kepada Wajib Pajak, atau jumlah sanksi administrasi berupa bunga, denda, atau kenaikan bertambah. Contoh 1 : Terhadap Wajib Pajak diterbitkan suatu Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dengan nilai sebesar Rp 80.000.000,00. Atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tersebut, bagian yang disetujui oleh Wajib Pajak dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan adalah sebesar Rp 50.000.000,00. Wajib Pajak mengajukan keberatan dengan keputusan yang menyatakan bahwa Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar menjadi sebesar Rp 70.000.000,00. Terhadap keputusan keberatan Wajib Pajak mengajukan permohonan banding. Putusan Banding menyatakan bahwa jumlah yang masih harus dibayar dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar menjadi sebesar Rp 40.000.000,00. Berdasarkan Putusan Banding tersebut Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak sebesar Rp 10.000.000,00, yakni pembayaran sebelum mengajukan keberatan dikurangi dengan jumlah yang masih harus dibayar berdasarkan Putusan Banding. Terhadap Putusan Banding tersebut, Direktur Jenderal Pajak mengajukan permohonan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. Putusan Peninjauan Kembali menyatakan bahwa Wajib Pajak harus membayar sejumlah sebagaimana dimaksud dalam Surat Keputusan Keberatan, yakni sebesar Rp 70.000.000,00. Berdasarkan Putusan Peninjauan Kembali terhadap Wajib Pajak ditagih berdasarkan jumlah pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp 30.000.000,00 yang terdiri dari jumlah pajak yang masih harus dibayar berdasarkan Putusan Peninjauan Kembali dikurangi dengan pajak yang telah dilunasi sebelum mengajukan keberatan (Rp 70.000.000,00 - Rp 50.000.000,00 = Rp 20.000.000,00) dan ditambah dengan pajak yang seharusnya tidak dikembalikan berdasarkan Putusan Banding (Rp 50.000.000,00 - Rp 40.000.000,00 = Rp 10.000.000,00). Contoh 2 : Terhadap Wajib Pajak yang menyampaikan Surat Pemberitahuan Lebih Bayar sebesar Rp 90.000.000,00. Atas Surat Pemberitahuan tersebut diterbitkan sebuah Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar dengan nilai sebesar Rp 10.000.000,00. Atas Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar tersebut, Wajib Pajak mengajukan keberatan dengan keputusan yang menyatakan bahwa Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar tetap sebesar Rp 10.000.000,00. Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, dengan Putusan Banding menyatakan bahwa Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar menjadi sebesar Rp 80.000.000,00. Berdasarkan Putusan Banding, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak sebesar Rp 70.000.000,00. Dalam hal ini Direktur Jenderal Pajak mengajukan permohonan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. Putusan Peninjauan Kembali menyatakan bahwa terhadap Wajib Pajak hanya dapat diberikan pengembalian lebih bayar sebesar Rp 10.000.000,00. Berdasarkan Putusan Peninjauan Kembali terhadap Wajib Pajak ditagih berdasarkan jumlah pajak yang seharusnya tidak dikembalikan sebesar Rp 70.000.000,00. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Ayat (10) Dalam hal Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang dan Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang diterbitkan sebagai akibat diterbitkannya surat ketetapan pajak yang pajak terutangnya tidak disetujui dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atau Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi maka sanksi administrasi dalam Surat Tagihan Pajak tersebut tetap merupakan utang pajak. Oleh karena itu, apabila terdapat pengembalian kelebihan pembayaran pajak maka utang pajak dalam Surat Tagihan Pajak tersebut dapat diperhitungkan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat (1a) Undang-Undang. Namun demikian, mengingat surat ketetapan pajak yang terkait dengan Surat Tagihan Pajak tersebut masih dalam proses pengajuan keberatan dan/atau permohonan banding maka tindakan penagihan dengan surat paksa atas Surat Tagihan Pajak tersebut ditangguhkan sampai dengan surat ketetapan pajaknya mempunyai kekuatan hukum tetap. Apabila Surat Tagihan Pajak tersebut telah dilunasi atau telah diperhitungkan dengan kelebihan pembayaran pajak dan terdapat Surat Keputusan Keberatan atau Putusan Banding yang mengabulkan permohonan Wajib Pajak, dalam hal terdapat kelebihan pembayaran pajak yang terkait dengan Surat Tagihan Pajak tersebut maka kelebihan pembayaran tersebut dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebagaimana diatur dalam Pasal 27A Undang-Undang. Ayat (11) Cukup jelas. Pasal 49 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Konsultan pajak sebagai seorang kuasa dianggap menguasai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan apabila dapat menyerahkan fotokopi surat izin praktek konsultan pajak yang dilengkapi dengan Surat Pernyataan sebagai konsultan pajak. Sedangkan seorang kuasa yang bukan konsultan pajak dianggap menguasai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan apabila dapat menyerahkan fotokopi sertifikat brevet atau ijazah pendidikan formal di bidang perpajakan yang diterbitkan oleh perguruan tinggi negeri atau swasta dengan status terakreditasi A, sekurang-kurangnya tingkat Diploma III. Seseorang yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud ayat ini, dianggap bukan sebagai seoarang kuasa dan tidak dapat melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakan Wajib Pajak yang memberikan kuasa. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Cukup jelas. Pasal 52 Cukup jelas. Pasal 53 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "pejabat" meliputi petugas pajak dan mereka yang melakukan tugas di bidang perpajakan. Yang dimaksud dengan "tenaga ahli" adalah para ahli, antara lain ahli bahasa, akuntan, pengacara dan sebagainya yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membantu pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "pihak tertentu yang ditunjuk" adalah pihak-pihak yang membutuhkan data perpajakan untuk kepentingan negara misalnya dalam rangka Penyidikan, penuntutan, atau dalam rangka mengadakan kerja sama dengan instansi lain. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas, Ayat (5) Pemberian data dan informasi perpajakan oleh pejabat atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak kepada para pihak dalam rangka pelaksanaan tugas di bidang perpajakan misalnya pelaksanaan Verifikasi, Pemeriksaan, Pemeriksaan Bukti Permulaan, penagihan pajak, gugatan, banding, Penyidikan dan proses penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan, dan dalam sidang tindak pidana di bidang perpajakan di pengadilan, tidak memerlukan izin tertulis dari Menteri Keuangan. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 54 Cukup jelas. Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "bersamaan" bukan berarti harus diajukan pada tanggal yang sama. Sebagai contoh, Wajib Pajak mengajukan MAP pada tanggal 10 Januari 2011. Sementara itu, pada tanggal 14 Januari 2011 (batas akhir pengajuan keberatan) Wajib Pajak mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak yang juga diajukan MAP. Meskipun tanggal pengajuan MAP dan tanggal pengajuan keberatan berbeda, namun berdasarkan ketentuan pada ayat ini kedua pengajuan tersebut dianggap bersamaan. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Pasal 58 Cukup jelas. Pasal 59 Cukup jelas. Pasal 60 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Tujuan Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah mendapatkan bukti permulaan tentang dugaan terjadinya tindak pidana di bidang perpajakan. Untuk mendapatkan bukti permulaan tersebut, Pemeriksaan Bukti Permulaan dapat dilakukan secara tertutup atau secara terbuka. Permeriksaan Bukti Permulaan berbeda dengan Pemeriksaan mengingat Pemeriksaan Bukti Permulaan memiliki tujuan yang sama dengan penyelidikan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang hukum acara pidana, yaitu untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan Penyidikan. Pada prinsipnya Pemeriksaan Bukti Permulaan dilakukan secara tertutup. hal ini dimaksudkan untuk mencegah kegagalan dalam mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan yang disebabkan adanya kesulitan untuk mendapatkan keterangan atau bahan bukti yang diperlukan. Dengan demikian, apabila risiko kegagalan sebagaimana tersebut di atas diperkirakan tidak terjadi maka Pemeriksaan Bukti Permulaan dilakukan secara terbuka. Selain itu, Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka juga dilakukan dalam hal Pemeriksaan Bukti Permulaan tersebut dilakukan terkait dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B Undang-Undang. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan "pihak ketiga" yaitu pihak lain yang mempunyai hubungan dengan tindakan, pekerjaan, kegiatan usaha, atau pekerjaan bebas Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan seperti bank, akuntan publik, notaris, konsultan pajak, kantor administrasi, konsultan hukum, konsultan keuangan, pelanggan, pemasok. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 61 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan hanya dapat dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Direktorat Jenderal Pajak. Dalam hal tertentu, Penyidik Pegawai Negeri Sipil Direktorat Jenderal Pajak perlu melakukan tindakan yang kewenangannya dimiliki oleh aparat penegak hukum lain. Dalam hal demikian, Penyidik Pegawai Negeri Sipil Direktorat Jenderal Pajak dapat meminta bantuan aparat penegak hukum lain. Yang dimaksud dengan "aparat penegak hukum lain" yaitu aparat penegak hukum Kepolisian Republik Indonesia dan Kejaksaan Republik Indonesia. Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan "bantuan teknis" yaitu bantuan dari Kepolisian Republik Indonesia yang antara lain berupa pemeriksaan laboratorium forensik (labfor), pemeriksaan identifikasi, dan/atau pemeriksaan psikologi. Huruf b Yang dimaksud dengan "bantuan taktis" yaitu bantuan dari Kepolisian Republik Indonesia yang antara lain berupa bantuan tenaga penyidik, pengamanan dan/atau peralatan. Huruf c Yang dimaksud dengan "bantuan upaya paksa" yaitu bantuan dari Kepolisian Republik Indonesia antara lain berupa bantuan penangkapan, dan/atau penahanan. Huruf d Yang dimaksud dengan "bantuan konsultasi" yaitu bantuan dari Kepolisian Republik Indonesia dan/atau kejaksaan Republik Indonesia yang antara lain berupa bantuan konsultasi Penyidikan, termasuk konsultasi dan gelar perkara dalam penyelesaian dan penyerahan berkas perkara kepada Penuntut Umum. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 62 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Dalam hal tindak pidana di bidang perpajakan yang disangkakan terkait dengan Pasal 38 atau Pasal 39 Undang-Undang, jumlah kerugian pada pendapatan negara yang harus dilunasi sebesar pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang seharusnya tidak dikembalikan. Sedangkan dalam hal tindak pidana di bidang perpajakan yang disangkakan terkait dengan Pasal 39A Undang-Undang, jumlah kerugian pada pendapatan negara yang harus dilunasi sebesar jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak. Jumlah pajak tersebut di atas ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda sebesar 4 (empat) kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang seharusnya tidak dikembalikan atau 4 (empat) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 63Cukup jelas. Pasal 64 Huruf a Dalam menghapus Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau mencabut pengukuhan Pengusaha Kena Pajak yang dilakukan untuk permohonan yang diterima setelah tanggal 31 Desember 2007 dan belum diselesaikan, harus mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (6), ayat (7), ayat (8) dan ayat (9) Undang-Undang dan Pasal 4 Peraturan Pemerintah ini tanpa memperhatikan Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak terjadinya hal-hal yang menyebabkan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak. Huruf b Dalam hal terdapat permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang yang diterima secara lengkap setelah tanggal 31 Desember 2007 dan belum diselesaikan, maka penyelesaian permohonan ini dilakukan dengan Verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang dan Pasal 18 Peraturan Pemerintah ini tanpa memperhatikan Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak terjadinya kelebihan pembayaran pajak. Huruf c Dalam hal terdapat kekeliruan atas Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga yang diterbitkan setelah tanggal 31 Desember 2007 dan belum diselesaikan, maka pembetulan Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang dan Pasal 34 Peraturan Pemerintah ini tanpa memperhatikan Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak terjadinya penerbitan Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga. Huruf d Dalam hal terdapat permohonan pembetulan yang diterima setelah tanggal 31 Desember 2007 dan belum diselesaikan, maka batas waktu penerbitan Surat Keputusan Pembetulan mengacu pada Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang dan Pasal 34 Peraturan Pemerintah ini tanpa memperhatikan Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak permohonan pembetulan tersebut dilakukan. Huruf e Pelaksanaan Pemeriksaan yang dilakukan berdasarkan surat perintah Pemeriksaan yang diterbitkan setelah tanggal 31 Desember 2007 dan belum diselesaikan, mengacu pada ketentuan Pasal 29, Pasal 30, dan Pasal 31 Undang-Undang serta Pasal 11 dan Pasal 12 Peraturan Pemerintah ini tanpa memperhatikan Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak yang diperiksa. Sehubungan dengan hal tersebut di atas maka permohonan pembatalan atas hasil Pemeriksaan atau surat ketetapan pajak dari hasil Pemeriksaan diproses berdasarkan Pasal 36 ayat (1) huruf d Undang-Undang dan Pasal 13 Peraturan Pemerintah ini tanpa memperhatikan Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak yang diperiksa. Huruf f Pengajuan keberatan yang diterima setelah tanggal 31 Desember 2007 dan belum diselesaikan, proses penyelesaian keberatannya dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 26 dan Pasal 26A Undang-Undang serta Pasal 33 Peraturan Pemerintah ini tanpa memperhatikan Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak yang diajukan keberatan. Sedangkan persyaratan pengajuan keberatan khususnya berupa kewajiban melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit sejumlah yang disetujui pada saat Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3a) Undang-Undang, hanya berlaku untuk pengajuan keberatan atas Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak 2008 dan setelahnya. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Terhadap pembetulan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), ayat (1a), dan ayat (6) Undang-Undang serta Pasal 5 dan Pasal 6 Peraturan Pemerintah ini yang dilakukan setelah tanggal 31 Desember 2011 untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak mana pun dilakukan berdasarkan syarat dan prosedur yang diatur dalam Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah ini. Namun demikian, sanksi yang terkait dengan pembetulan tersebut tetap berlaku sesuai dengan Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak yang Surat Pemberitahuannya dibetulkan. Huruf j Terhadap pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang dan Pasal 7 Peraturan Pemerintah ini yang dilakukan setelah tanggal 31 Desember 2011 untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak mana pun dilakukan berdasarkan syarat dan prosedur yang diatur dalam Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah ini. Namun demikian, sanksi yang terkait dengan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan tersebut tetap berlaku sesuai dengan Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak yang bersangkutan. Huruf k Terhadap pengungkapan ketidakbenaran pengisian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang dan Pasal 8 Peraturan Pemerintah ini yang dilakukan setelah tanggal 31 Desember 2011 untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak mana pun dilakukan berdasarkan syarat dan prosedur yang diatur dalam Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah ini. Namun demikian, sanksi yang terkait dengan pengungkapan pengisian tersebut tetap berlaku sesuai dengan Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak yang bersangkutan. Huruf l Cukup jelas. Huruf m Permintaan keterangan atau bukti kepada pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan, Pemeriksaan Bukti Permulaan, Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, penagihan pajak, atau proses keberatan, yang dilakukan setelah 31 Desember 2011 berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 Undang-Undang dan Pasal 54 Peraturan Pemerintah ini tanpa memperhatikan Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak yang bersangkutan. Pasal 65 Cukup jelas. Pasal 66 Cukup jelas. Pasal 67 Cukup jelas |