Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement)
(1) | Undang-Undang Pajak Penghasilan yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPh adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008. |
(2) | Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement) adalah perjanjian antara Direktorat Jenderal Pajak dan Wajib Pajak dan/atau otoritas pajak negara lain untuk menyepakati kriteria-kriteria dan/atau menentukan Harga Wajar atau Laba Wajar dimuka para pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa. |
(3) | Kriteria-kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (2), termasuk diantaranya penentuan metode transfer pricing dan faktor-faktor yang digunakan dalam analisis asumsi kritikal (critical assumptions). |
(4) | Yang dimaksud dengan Harga Wajar atau Laba Wajar adalah harga atau laba yang terjadi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa dalam kondisi yang sebanding, atau harga atau laba yang ditentukan sebagai harga atau laba yang memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha. |
(5) | Hubungan Istimewa adalah hubungan antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai hubungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang PPh atau Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang PPN. |
(6) | Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (arm's length principle/ALP) merupakan prinsip yang mengatur bahwa apabila kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa sama atau sebanding dengan kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang menjadi pembanding, maka harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa harus sama dengan atau berada dalam rentang harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang menjadi pembanding. |
(7) | Penentu Harga Transfer (transfer pricing) adalah penentuan harga dalam transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa. |
(8) | Analisa Kesebandingan adalah analisis yang dilakukan oleh Wajib Pajak atau Direktorat Jenderal Pajak atas kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa untuk diperbandingkan dengan kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa, dan melakukan identifikasi atas perbedaan kondisi dalam kedua jenis transaksi dimaksud. |
(1) | Tujuan Kesepakatan Harga Transfer adalah untuk memberikan sarana kepada Wajib Pajak guna menyelesaikan permasalahan transfer pricing. |
(2) | Kesepakatan Harga Transfer mencakup perjanjian tertulis antara Wajib Pajak dan Direktur Jenderal atau antara Direktur Jenderal Pajak dengan otoritas pajak Negara lain yang melibatkan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3a) Undang-Undang PPh. |
(3) | Ruang lingkup Kesepakatan Harga Transfer meliputi seluruh atau sebagian transaksi yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa. |
(1) | Tahapan-tahapan yang harus ditempuh dalam pembentukan Kesepakatan Harga Transfer adalah:
| ||||||||||||||||||||||
(2) | Wajib Pajak dapat mengajukan penghentian pelaksanaan pembicaraan awal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a atau menarik permohonan formal Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b sebelum surat Kesepakatan Harga Transfer diterbitkan dengan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak beserta alasan-alasannya. |
(1) | Wajib Pajak mengajukan permohonan secara tertulis kepada Direktorat Jenderal Pajak melalui Direktur Peraturan Perpajakan II dengan tembusan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak domisili untuk melakukan pembicaraan awal sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a dengan menggunakan Formulir APA-1 sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini yang dilengkapi dengan dokumen pendukung. | ||||||||||||||||||||||||
(2) | Yang dimaksud dengan Kantor Pelayanan Pajak Domisili adalah Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau domisili Wajib Pajak orang pribadi terdaftar atau tempat kedudukan Wajib Pajak badan terdaftar. | ||||||||||||||||||||||||
(3) | Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(1) | Atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), Direktur Jenderal Pajak melakukan evaluasi dan menentukan jadwal untuk pembicaraan awal dengan Wajib Pajak. |
(2) | Pembicaraan awal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan lebih dari satu kali. |
(3) | Direktur Jenderal Pajak dapat meminta keterangan kepada Wajib Pajak dan/atau melakukan peninjauan ke tempat kegiatan usaha Wajib Pajak untuk melengkapi data atau informasi yang diperlukan. |
(1) | Dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak diterimanya permohonan Wajib Pajak secara lengkap, Direktur Jenderal Pajak memberitahukan secara tertulis kepada Wajib Pajak tentang persetujuan atau penolakan untuk membahas lebih lanjut tentang Kesepakatan Harga Transfer. |
(2) | Dengan diterbitkannya penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak tidak dapat meminta untuk meneruskan pembahasan ke tahap selanjutnya. |
(3) | Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan baru sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 atas permohonan yang telah diterbitkan penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). |
(1) | Berdasarkan persetujuan Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Wajib Pajak dapat menyampaikan permohonan formal untuk membentuk Kesepakatan Harga Transfer kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Direktur Peraturan Perpajakan II. | ||||||||||||||||||
(2) | Permohonan formal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan dengan menggunakan Formulir APA-2 sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini yang harus dilengkapi dengan dokumen pendukung. | ||||||||||||||||||
(3) | Dokumen-dokumen serta penjelasan yang diperlukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
| ||||||||||||||||||
(4) | Yang dimaksud dengan asumsi kritikal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e antara lain :
|
(1) | Berdasarkan permohonan formal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), Direktur Jenderal Pajak melakukan pembahasan Kesepakatan Harga Transfer pada waktu yang telah disepakati bersama antara Direktur Jenderal Pajak dan Wajib Pajak. | ||||||||||
(2) | Pembahasan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi antara lain:
| ||||||||||
(3) | Direktur Jenderal Pajak dapat meminta Wajib Pajak untuk memberikan data dan informasi lain yang diperlukan selama pelaksanaan pembahasan Kesepakatan Harga Transfer. |
(1) | Dalam hal Wajib Pajak menganggap bahwa Kesepakatan Harga Transfer dapat menyebabkan terjadinya pengenaan pajak berganda, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak untuk mengadakan Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure/MAP) dengan otoritas pajak dari negara/jurisdiksi mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. |
(2) | Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembahasan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) tetap dilanjutkan. |
(3) | Penyampaian permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan berdasarkan PER-48/PJ/2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure) Berdasarkan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. |
(1) | Kesepakatan Harga Transfer dapat diberlakukan untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) Tahun Pajak yang dihitung sejak Tahun Pajak saat Kesepakatan Harga Transfer disepakati. | ||||||
(2) | Kesepakatan Harga Transfer dapat diberlakukan untuk Tahun Pajak sebelum Kesepakatan Harga Transfer disepakati sepanjang Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak untuk Tahun Pajak dimaksud:
| ||||||
(3) | Kesepakatan Direktur Jenderal Pajak dan Wajib Pajak mengenai Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus dituangkan secara jelas dan tegas di dalam Kesepakatan Harga Transfer. |
(1) | Berdasarkan kesepakatan yang dicapai dalam pembahasan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Direktur Jenderal Pajak dan Wajib Pajak menyusun naskah Kesepakatan Harga Transfer. | ||||||||||||||||||||||||
(2) | Naskah Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat sekurang-kurangnya:
| ||||||||||||||||||||||||
(3) | Naskah Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuat dalam jangka waktu 20 (dua puluh) hari kerja setelah pembahasan Kesepakatan Harga Transfer diselesaikan dan ditandatangani oleh Direktur Jenderal Pajak dan Wajib Pajak. |
(1) | Transaksi yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa yang telah mengikuti atau memenuhi kriteria-kriteria yang telah disepakati dalam Kesepakatan Harga Wajar antara Direktur Jenderal Pajak dan Wajib Pajak, dianggap telah memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha. |
(2) | Dalam hal Kesepakatan Harga Transfer akan diberlakukan untuk Tahun Pajak sebelum disepakatinya Kesepakatan Harga Transfer dan Surat Pemberitahuan yang dilaporkan oleh Wajib Pajak untuk Tahun Pajak dimaksud belum mencerminkan hasil Kesepakatan Harga Transfer, Wajib Pajak dapat melakukan penyesuaian (compensating adjustment) dengan membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. |
(3) | Dalam hal penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyebabkan Surat Pemberitahuan menjadi lebih bayar, maka Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. |
(4) | Dalam hal penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyebabkan Surat Pemberitahuan menjadi kurang bayar, sanksi administrasi dikenakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku atas kekurangan pembayaran pajak dimaksud. |
(1) | Wajib Pajak wajib menyampaikan laporan tahunan (annual compliance report) yang menggambarkan kesesuaian pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer dalam kegiatan atau usaha Wajib Pajak kepada Kepala KPP Domisili paling lambat 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak. | ||||||
(2) | Laporan tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat:
|
(1) | Direktur Jenderal Pajak melakukan evaluasi atas penerapan Kesepakatan Harga Transfer oleh Wajib Pajak. | ||||||||||||
(2) | Direktur Jenderal Pajak dapat meninjau kembali atau membatalkan Kesepakatan Harga Transfer dalam hal:
| ||||||||||||
(3) | Kondisi yang menyebabkan Direktur Jenderal Pajak dapat meninjau atau membatalkan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau kondisi lainnya harus dicantumkan dalam Kesepakatan Harga Transfer. | ||||||||||||
(4) | Dalam hal terjadi pembatalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Direktur Jenderal Pajak akan memberitahukan pembatalan dimaksud kepada Wajib Pajak secara tertulis. |
(1) | Kesepakatan Harga Transfer tidak menghalangi Direktur Jenderal Pajak melaksanakan pemeriksaan pajak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. |
(2) | Dalam hal Kesepakatan Harga Transfer diberlakukan untuk transaksi antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa di dalam negeri (domestic transfer pricing), maka penyesuaian (secondary adjustment) pada Wajib Pajak dalam negeri lainnya dapat dilakukan dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak. |
(1) | Buku, catatan, dokumen, atau informasi yang disampaikan oleh Wajib Pajak dalam pembentukan Kesepakatan Harga Transfer merupakan kerahasiaan Wajib Pajak yang tidak dapat diungkapkan kepada pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009. |
(2) | Dalam hal proses pembentukan Kesepakatan Harga Transfer tidak mencapai kesepakatan atau Kesekapatan Harga Transfer yang telah disepakati dibatalkan, buku, catatan, dokumen, atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikembalikan kepada Wajib Pajak dan tidak digunakan sebagai dasar untuk melakukan pemeriksaan atau penyidikan pajak. |