Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019
(1) | Penghasilan yang diterima Pegawai wajib dipotong sesuai ketentuan PPh Pasal 21 oleh Pemberi Kerja. |
(2) | PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditanggung Pemerintah atas penghasilan yang diterima Pegawai dengan kriteria tertentu. |
(3) | Pegawai dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
|
(4) | Klasifikasi Lapangan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a angka 1 adalah sesuai Klasifikasi Lapangan Usaha yang tercantum dalam:
|
(5) | PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dibayarkan secara tunai oleh Pemberi Kerja pada saat pembayaran penghasilan kepada Pegawai, termasuk dalam hal Pemberi Kerja memberikan tunjangan PPh Pasal 21 atau menanggung PPh Pasal 21 kepada Pegawai. |
(6) | Dikecualikan dari PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam hal penghasilan yang diterima Pegawai berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan PPh Pasal 21 telah ditanggung Pemerintah berdasarkan ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(7) | PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah yang diterima oleh Pegawai dari Pemberi Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak diperhitungkan sebagai penghasilan yang dikenakan pajak. |
(8) | Dalam hal Pegawai yang menerima insentif PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah menyampaikan SPT Tahunan orang pribadi Tahun Pajak 2020 dan menyatakan kelebihan pembayaran, kelebihan pembayaran yang berasal dari PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah tidak dapat dikembalikan. |
(9) | PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan sejak Masa Pajak April 2020 sampai dengan Masa Pajak September 2020. |
(10) | Contoh penghitungan PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(1) | Pemberi Kerja menyampaikan pemberitahuan kepada Kepala KPP tempat Pemberi Kerja terdaftar melalui saluran tertentu pada laman www.pajak.go.id dengan menggunakan format sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf C yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(2) | Pemberi Kerja menyampaikan pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk memanfaatkan insentif PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2). |
(3) | Insentif PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), mulai dimanfaatkan sejak Masa Pajak pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan sampai dengan Masa Pajak September 2020. |
(4) | Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang disampaikan oleh Pemberi Kerja sebagaimana dimaksud dalam:
|
(5) | Dalam hal Pemberi Kerja yang telah menyampaikan pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a, Kepala KPP menerbitkan surat pemberitahuan tidak berhak memanfaatkan insentif PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah menggunakan format sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf D yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(1) | Pemberi Kerja harus menyampaikan laporan realisasi PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah melalui saluran tertentu pada laman www.pajak.go.id dengan menggunakan formulir sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf E yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(2) | Pemberi Kerja harus membuat Surat Setoran Pajak atau cetakan kode billing yang dibubuhi cap atau tulisan "PPh PASAL 21 DITANGGUNG PEMERINTAH EKS PMK NOMOR .../PMK.03/2020" atas PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2). |
(3) | Laporan realisasi PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri dengan Surat Setoran Pajak atau cetakan kode billing sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh Pemberi Kerja paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. |
(1) | Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018, dikenai PPh final sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dari jumlah peredaran bruto. |
(2) | PPh final sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilunasi dengan cara:
|
(3) | Dalam hal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyerahkan fotokopi Surat Keterangan pada saat:
|
(4) | Pemotong atau Pemungut Pajak sebelum melakukan pemotongan atau pemungutan harus melakukan konfirmasi atas kebenaran Surat Keterangan yang diserahkan oleh Wajib Pajak. |
(5) | Dalam hal hasil konfirmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menyatakan:
|
(6) | PPh final sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditanggung Pemerintah. |
(7) | PPh final ditanggung Pemerintah yang diterima oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak diperhitungkan sebagai penghasilan yang dikenakan pajak. |
(8) | Dalam hal Surat Keterangan telah terkonfirmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a, untuk menerapkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) Pemotong atau Pemungut Pajak tidak melakukan pemotongan atau pemungutan pajak pada saat pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a. |
(9) | PPh final ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diberikan untuk Masa Pajak April 2020 sampai dengan Masa Pajak September 2020. |
(10) | Contoh penghitungan PPh final ditanggung Pemerintah sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf F yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(1) | Wajib Pajak mengajukan permohonan Surat Keterangan untuk dapat memanfaatkan insentif PPh final ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (6). |
(2) | Surat Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperoleh Wajib Pajak termasuk yang telah memiliki Surat Keterangan sebelum Peraturan Menteri ini berlaku dengan mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui saluran tertentu pada laman www.pajak.go.id. |
(3) | Tata cara pengajuan permohonan dan penerbitan Surat Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri yang mengatur mengenai pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018. |
(4) | Setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (9) Surat Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tetap berlaku dalam rangka pelaksanaan ketentuan Peraturan Menteri yang mengatur mengenai pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018. |
(5) | Bentuk dokumen berupa Surat Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf G yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(1) | Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu harus menyampaikan laporan realisasi PPh final ditanggung Pemerintah melalui saluran tertentu pada laman www.pajak.go.id dengan menggunakan formulir sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf H yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(2) | Laporan realisasi PPh final ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi PPh terutang atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak termasuk dari transaksi dengan Pemotong atau Pemungut. |
(3) | Insentif PPh final ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (6) diberikan berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang disampaikan oleh Wajib Pajak sepanjang Wajib Pajak tersebut telah memiliki Surat Keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) sebelum laporan disampaikan. |
(4) | Pemotong atau Pemungut Pajak harus membuat Surat Setoran Pajak atau cetakan kode billing yang dibubuhi cap atau tulisan "PPh FINAL DITANGGUNG PEMERINTAH EKS PMK NOMOR .../PMK.03/2020" atas transaksi yang merupakan objek pemotongan atau pemungutan PPh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf a. |
(5) | Laporan realisasi PPh final ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri dengan Surat Setoran Pajak atau cetakan kode billing sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan oleh Wajib Pajak paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. |
(1) | PPh Pasal 22 Impor dipungut oleh Bank Devisa atau Direktorat Jenderal Bea dan Cukai pada saat Wajib Pajak melakukan impor barang. |
(2) | Besarnya tarif PPh Pasal 22 Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan mengenai pemungutan PPh Pasal 22 sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang dan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain. |
(3) | PPh Pasal 22 Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebaskan dari pemungutan kepada Wajib Pajak yang:
|
(4) | Klasifikasi Lapangan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a adalah sesuai Klasifikasi Lapangan Usaha yang tercantum pada:
|
(5) | Pembebasan dari pemungutan PPh sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan melalui Surat Keterangan Bebas Pemungutan PPh Pasal 22 Impor. |
(6) | Wajib Pajak mengajukan permohonan Surat Keterangan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (5) melalui saluran tertentu pada laman www.pajak.go.id dengan menggunakan formulir sesuai contoh sebagaimana dimaksud dalam Lampiran huruf J yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(7) | Permohonan Surat Keterangan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (6) yang disampaikan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada:
|
(8) | Kepala KPP menerbitkan:
|
(9) | Jangka waktu pembebasan dari pemungutan PPh sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku sejak tanggal Surat Keterangan Bebas diterbitkan sampai dengan tanggal 30 September 2020. |
(10) | Wajib Pajak yang telah mendapatkan pembebasan PPh Pasal 22 Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus menyampaikan laporan realisasi pembebasan PPh Pasal 22 Impor setiap 3 (tiga) bulan melalui saluran tertentu pada laman www.pajak.go.id dengan menggunakan formulir sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf M yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(11) | Laporan realisasi pembebasan PPh Pasal 22 Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (10) disampaikan paling lambat:
|
(1) | Wajib Pajak yang:
|
(2) | Klasifikasi Lapangan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah sesuai Klasifikasi Lapangan Usaha yang tercantum pada:
|
(3) | Wajib Pajak menyampaikan pemberitahuan kepada Kepala KPP tempat Wajib Pajak terdaftar melalui saluran tertentu pada laman www.pajak.go.id dengan menggunakan format sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf C yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini untuk memanfaatkan insentif pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(4) | Pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku sejak Masa Pajak pemberitahuan pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan sampai dengan Masa Pajak September 2020. |
(5) | Contoh penghitungan pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf O yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(1) | Wajib Pajak yang memanfaatkan pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) harus menyampaikan laporan realisasi pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 setiap 3 (tiga) bulan melalui saluran tertentu pada laman www.pajak.go.id dengan menggunakan formulir sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf P yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(2) | Laporan realisasi pengurangan angsuran PPh Pasal 25 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lambat:
|
(1) | Wajib Pajak yang:
|
(2) | Klasifikasi Lapangan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah sesuai Klasifikasi Lapangan Usaha yang tercantum pada:
|
(3) | Ketentuan mengenai Klasifikasi Lapangan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku bagi Wajib Pajak pusat maupun cabang. |
(4) | Pengusaha Kena Pajak yang telah mendapatkan fasilitas KITE sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus melampirkan Keputusan Menteri Keuangan mengenai penetapan sebagai perusahaan yang mendapat fasilitas KITE, dalam Surat Pemberitahuan Masa PPN yang diajukan permohonan pengembalian pendahuluan. |
(5) | Pengusaha Kena Pajak yang telah mendapatkan izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin PDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c harus melampirkan Keputusan Menteri Keuangan mengenai izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin PDKB, dalam Surat Pemberitahuan Masa PPN yang diajukan permohonan pengembalian pendahuluan. |
(6) | Surat Pemberitahuan Masa PPN yang diberikan pengembalian pendahuluan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi Surat Pemberitahuan Masa PPN termasuk pembetulan Surat Pemberitahuan Masa PPN, untuk Masa Pajak sejak berlakunya Peraturan Menteri ini sampai dengan Masa Pajak September 2020 dan disampaikan paling lama tanggal 31 Oktober 2020. |
(7) | PKP berisiko rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan pengembalian pendahuluan berdasarkan kriteria tertentu. |
(8) | Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (7) meliputi:
|
(9) | Tata cara atas pengembalian pendahuluan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali penelitian terhadap pemenuhan kegiatan tertentu, dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak. |
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 27 April 2020 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. SRI MULYANI INDRAWATI |