Tata Cara Pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement)
Menimbang :
1. | Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang selanjutnya disingkat P3B adalah perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra untuk mencegah terjadinya pengenaan pajak berganda dan pengelakan pajak. |
2. | Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra yang selanjutnya disebut Mitra P3B adalah negara atau yurisdiksi yang terikat dengan Pemerintah Indonesia dalam P3B. |
3. | Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure) yang selanjutnya disebut MAP adalah prosedur administratif yang diatur dalam P3B untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam penerapan P3B. |
4. | Pejabat Berwenang (Competent Authority) terkait pelaksanaan MAP yang selanjutnya disebut Pejabat Berwenang adalah pejabat di Indonesia atau pejabat di Mitra P3B yang berwenang untuk melaksanakan MAP sebagaimana diatur dalam P3B. |
5. | Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement) yang selanjutnya disebut APA adalah perjanjian tertulis antara:
|
6. | Harga Transfer adalah harga dalam transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa. |
7. | Naskah APA adalah dokumen yang berisi kesepakatan antara Direktur Jenderal Pajak dan Wajib Pajak dalam negeri mengenai kriteria-kriteria dalam penentuan Harga Transfer dan penentuan Harga Transfer dimuka sesuai Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha selama Periode APA serta Roll-back. |
8. | Persetujuan Bersama yang selanjutnya disebut Persetujuan Bersama adalah hasil yang telah disepakati dalam penerapan P3B oleh Pejabat Berwenang dari Pemerintah Indonesia dan Pejabat Berwenang dari pemerintah Mitra P3B sehubungan dengan MAP yang telah dilaksanakan. |
9. | APA Unilateral adalah APA antara Direktur Jenderal Pajak dan Wajib Pajak dalam negeri. |
10. | APA Bilateral adalah APA antara Pejabat Berwenang Indonesia dan Pejabat Berwenang Mitra P3B yang dilaksanakan berdasarkan permohonan Wajib Pajak dalam negeri. |
11. | Periode APA adalah tahun pajak yang dicakup di dalam APA sesuai permohonan Wajib Pajak dalam negeri atau sesuai Persetujuan Bersama paling lama 5 (lima) tahun pajak setelah tahun pajak diajukannya permohonan APA. |
12. | Roll-back adalah pemberlakuan hasil kesepakatan dalam APA untuk tahun-tahun pajak sebelum Periode APA. |
13. | Pihak Afiliasi adalah pihak yang mempunyai hubungan istimewa satu sama lain. |
14. | Transaksi Afiliasi adalah transaksi yang dilakukan Wajib Pajak dengan Pihak Afiliasi. |
15. | Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa adalah transaksi yang meliputi:
|
16. | Transaksi Independen adalah transaksi yang dilakukan antar pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa dan tidak dipengaruhi hubungan istimewa. |
17. | Penentuan Harga Transfer atau Transfer Pricing yang selanjutnya disebut Penentuan Harga Transfer adalah penentuan harga dalam Transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa. |
18. | Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha yang Tidak Dipengaruhi oleh Hubungan Istimewa (arm's length principle/ALP) yang selanjutnya disebut Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha adalah prinsip yang berlaku di dalam praktik bisnis yang sehat yang dilakukan sebagaimana Transaksi Independen. |
19. | Dokumen Penentuan Harga Transfer adalah dokumen yang diselenggarakan oleh Wajib Pajak sebagai dasar penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam Penentuan Harga Transfer yang dilakukan oleh Wajib Pajak. |
(1) | Wajib Pajak dalam negeri dapat mengajukan permohonan APA kepada Direktur Jenderal Pajak atas Transaksi Afiliasi berdasarkan:
|
(2) | APA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mencakup seluruh atau sebagian Transaksi Afiliasi selama Periode APA dan Roll-back dalam hal Wajib Pajak meminta Roll-back dalam Permohonan APA. |
(3) | Transaksi Afiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa Transaksi Afiliasi antara Wajib Pajak dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya dan/atau dengan Wajib Pajak luar negeri. |
(4) | Roll-back sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku sepanjang atas tahun pajak tersebut:
|
(5) | APA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa kesepakatan:
|
(6) | Kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a paling sedikit memuat:
|
(7) | Asumsi kritis sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf e paling sedikit memuat:
|
(8) | Penentuan Harga Transfer dimuka sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b dilakukan dengan menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sesuai kondisi yang telah terjadi dan yang diperkirakan akan terjadi selama Periode APA. |
(1) | Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), Direktur Jenderal Pajak berwenang membuat kesepakatan dengan Wajib Pajak dan bekerja sama dengan Pejabat Berwenang Mitra P3B untuk menentukan harga transaksi antara Wajib Pajak dengan pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa, yang berlaku selama suatu periode tertentu. |
(2) | Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk mengawasi kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta melakukan renegosiasi setelah periode tertentu tersebut berakhir. |
(3) | Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan hubungan istimewa sebagaimana diatur dalam Undang-Undang mengenai Pajak Penghasilan dan Undang-Undang mengenai Pajak Pertambahan Nilai. |
(1) | Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) merupakan keadaan ketergantungan atau keterikatan satu pihak dengan pihak lainnya yang disebabkan oleh:
|
(2) | Keadaan ketergantungan atau keterikatan antara satu pihak dengan pihak lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan keadaan satu atau lebih pihak:
|
(3) | Hubungan istimewa karena kepemilikan atau penyertaan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dianggap ada apabila:
|
(4) | Hubungan istimewa karena penguasaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dianggap ada apabila:
|
(5) | Hubungan istimewa karena hubungan keluarga sedarah atau semenda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dianggap ada apabila terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat. |
(1) | Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dapat mengajukan permohonan APA sepanjang:
|
(2) | Wajib Pajak dalam negeri yang mengajukan permohonan APA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menyampaikan permohonan tersebut kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar. |
(3) | Pengajuan permohonan APA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
|
(4) | Penyampaian permohonan APA sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan:
|
(5) | Direktur Jenderal Pajak menerbitkan bukti penerimaan atas penyampaian permohonan APA sebagaimana dimaksud pada ayat (4). |
(6) | Tanggal yang tercantum dalam bukti penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) merupakan tanggal penerimaan permohonan APA. |
(1) | Atas permohonan APA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2), Direktur Jenderal Pajak melakukan penelitian terhadap:
|
(2) | Direktur Jenderal Pajak menindaklanjuti hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan menerbitkan pemberitahuan tertulis dapat atau tidak dapat ditindaklanjutinya permohonan APA kepada:
|
(3) | Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan pemberitahuan tertulis, permohonan APA yang diajukan oleh Wajib Pajak dianggap dapat ditindaklanjuti. |
(4) | Dalam hal pemberitahuan permohonan APA Bilateral kepada Pejabat Berwenang Mitra P3B tidak mendapatkan jawaban tertulis dalam jangka waktu 8 (delapan) bulan sejak tanggal pemberitahuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan pemberitahuan tertulis penghentian proses APA kepada:
|
(5) | Atas permohonan APA yang dapat ditindaklanjuti sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau dianggap dapat ditindaklanjuti sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Wajib Pajak harus menyampaikan kelengkapan permohonan APA secara langsung kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Direktur Perpajakan Internasional dalam bentuk salinan cetak (hardcopy) dan salinan digital (softcopy) paling lama 2 (dua) bulan setelah:
|
(6) | Kelengkapan permohonan APA sebagaimana dimaksud pada ayat (5) paling sedikit berupa:
|
(7) | Penjelasan rinci sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf c paling sedikit memuat informasi sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(8) | Direktur Jenderal Pajak menerbitkan bukti penerimaan atas penyampaian kelengkapan permohonan APA secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (6). |
(9) | Tanggal yang tercantum dalam bukti penerimaan kelengkapan permohonan APA sebagaimana dimaksud pada ayat (8) merupakan tanggal penerimaan kelengkapan permohonan APA. |
(10) | Dalam hal kelengkapan permohonan APA sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak disampaikan oleh Wajib Pajak dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan pemberitahuan tertulis penghentian proses APA kepada:
|
(11) | Dalam hal permohonan APA tidak dapat ditindaklanjuti sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan permohonan APA dihentikan prosesnya sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (10), Wajib Pajak dapat mengajukan kembali permohonan APA sepanjang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (3). |
(1) | Atas permohonan APA yang telah memenuhi kelengkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6), Direktur Jenderal Pajak melaksanakan pengujian material. |
(2) | Dalam pengujian material sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk:
|
(3) | Dalam hal diperlukan untuk pengujian material sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak dapat melaksanakan pemeriksaan untuk tujuan lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(4) | Pemeriksaan untuk tujuan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dalam hal Wajib Pajak:
|
(5) | Pengujian material sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha. |
(1) | Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (5) diterapkan untuk menentukan Harga Transfer wajar. |
(2) | Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterapkan dengan membandingkan kondisi dan indikator harga Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa dengan kondisi dan indikator harga Transaksi Independen yang sebanding. |
(3) | Indikator harga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa harga transaksi, laba kotor (gross profit), atau laba operasi bersih (net operating profit) berdasarkan nilai absolut atau nilai rasio tertentu. |
(4) | Harga Transfer disebut memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam hal nilai indikator Harga Transfer sama dengan nilai indikator harga Transaksi Independen yang sebanding. |
(5) | Nilai indikator harga Transaksi Independen sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat berupa:
|
(6) | Titik kewajaran sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a merupakan titik indikator harga yang terbentuk dari satu atau lebih pembanding yang memiliki nilai indikator harga yang sama. |
(7) | Rentang kewajaran sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b merupakan rentang indikator harga yang terbentuk dari dua atau lebih pembanding yang memiliki nilai indikator harga yang berbeda, berupa:
|
(8) | Dalam hal Harga Transfer tidak memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4), penentuan Harga Transfer dilakukan sebagaimana penentuan harga dalam Transaksi Independen dengan menggunakan:
|
(1) | Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) wajib dilakukan:
|
(2) | Tahapan penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi:
|
(1) | Kondisi transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) merupakan karakteristik ekonomi yang relevan untuk menentukan Harga Transfer wajar, seperti:
|
(2) | Ketentuan kontraktual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan ketentuan yang dilaksanakan dan/atau berlaku bagi para pihak yang bertransaksi sesuai keadaan yang sebenarnya, baik secara tertulis atau tidak tertulis. |
(3) | Fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan aktivitas dan/atau tanggung jawab pihak-pihak yang bertransaksi dalam menjalankan kegiatan usaha. |
(4) | Aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan aset berwujud, aset tidak berwujud, aset keuangan, dan/atau aset non-keuangan yang berpengaruh dalam pembentukan nilai (value creation), termasuk akses dan tingkat penguasaan pasar di Indonesia. |
(5) | Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan dampak dari ketidakpastian dalam mencapai tujuan usaha yang ditanggung pihak-pihak yang bertransaksi. |
(6) | Karakteristik produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan karakteristik spesifik dari barang atau jasa yang secara signifikan mempengaruhi penetapan harga dalam pasar terbuka. |
(7) | Keadaan ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d merupakan karakteristik ekonomi dari tempat usaha dan pasar dari para pihak yang bertransaksi. |
(8) | Strategi bisnis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e merupakan strategi yang dijalankan perusahaan dalam menjalankan usaha di pasar terbuka. |
(1) | Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 harus dilakukan secara terpisah untuk setiap jenis Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa. |
(2) | Dalam hal terdapat dua atau lebih jenis Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa yang saling berkaitan dan mempengaruhi satu sama lain dalam penentuan Harga Transfer sehingga penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha secara terpisah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dilakukan secara andal dan akurat, penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dapat dilakukan dengan menggabungkan dua atau lebih jenis Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa tersebut. |
(1) | Transaksi Independen sebanding dengan Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa yang diuji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) sepanjang:
|
(2) | Untuk menentukan kesebandingan Transaksi Independen dan Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan analisis kesebandingan atas kondisi transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1). |
(3) | Analisis kesebandingan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui tahapan sebagai berikut:
|
(4) | Pihak yang diuji sebagaimana dimaksud pada ayat (3} huruf c merupakan pihak dalam Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa yang memiliki fungsi, aset, dan risiko yang lebih sederhana. |
(5) | Pembanding sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berupa pembanding internal atau pembanding eksternal. |
(6) | Pembanding internal sebagaimana dimaksud pada ayat (5) merupakan transaksi antara pihak yang independen dengan Wajib Pajak atau dengan Pihak Afiliasi yang merupakan lawan transaksi. |
(7) | Pembanding eksternal sebagaimana dimaksud pada ayat (5) merupakan transaksi antar pihak yang independen selain pembanding internal. |
(8) | Dalam hal tersedia pembanding internal dan pembanding eksternal dengan tingkat kesebandingan dan keandalan yang sama, pembanding internal yang dipilih dan digunakan sebagai pembanding. |
(9) | Dalam hal tersedia lebih dari satu pembanding eksternal dengan tingkat kesebandingan dan keandalan yang sama, pembanding eksternal yang berasal dari negara atau yurisdiksi yang sama dengan pihak yang diuji sesuai dengan Metode Penentuan Harga Transfer yang dipilih dan digunakan sebagai pembanding. |
(1) | Metode Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf e yang digunakan dalam penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dapat berupa:
|
(2) | Metode sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih berdasarkan ketepatan dan keandalan metode, yang dinilai dari:
|
(3) | Metode perbandingan harga antara pihak yang independen (comparable uncontrolled price method) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dengan membandingkan harga antara Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa yang diuji dan Transaksi Independen, dan sesuai untuk karakteristik Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa sebagai berikut:
|
(4) | Metode harga penjualan kembali (resale price method) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dengan mengurangkan laba kotor wajar distributor atau reseller terhadap harga jual kembali, dan sesuai untuk karakteristik Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa dan karakteristik usaha para pihak yang bertransaksi sebagai berikut:
|
(5) | Metode biaya-plus (cost plus method) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan dengan menambahkan laba kotor wajar pabrikan atau penyedia jasa terhadap harga pokok penjualan barang atau jasa, dan sesuai untuk karakteristik Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa dan karakteristik usaha para pihak yang bertransaksi sebagai berikut:
|
(6) | Metode pembagian laba (profit split method) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d angka 1 dilakukan dengan membagi laba gabungan transaksi yang relevan berdasarkan fungsi, aset, risiko, dan/atau kontribusi para pihak di dalam Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa, dan sesuai untuk karakteristik Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa dan karakteristik usaha para pihak yang bertransaksi sebagai berikut:
|
(7) | Metode laba bersih transaksional (transactional net margin method) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d angka 2 dilakukan dengan membandingkan tingkat laba bersih operasi pihak yang diuji dengan tingkat laba bersih operasi pembanding, yang dapat dipilih sepanjang tidak tersedia pembanding di tingkat harga dan laba kotor yang andal dan sebanding dan sesuai untuk karakteristik Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa dan karakteristik usaha para pihak yang bertransaksi sebagai berikut:
|
(8) | Metode perbandingan transaksi independen (comparable uncontrolled transaction) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d angka 3 dilakukan dengan membandingkan harga/laba transaksi terhadap basis tertentu antara Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan istimewa dan Transaksi Independen, dan sesuai untuk karakteristik Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa yang secara komersial dinilai berdasarkan basis tertentu, antara lain tingkat suku bunga, diskonto, provisi, komisi, dan persentase royalti terhadap penjualan atau laba operasi. |
(9) | Metode dalam penilaian harta berwujud dan/atau harta tidak berwujud (tangible asset and intangible asset valuation) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d angka 4 dilakukan sesuai dengan ketentuan perpajakan yang mengatur mengenai standar penilaian yang berlaku, dan sesuai untuk karakteristik Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa antara lain sebagai berikut:
|
(10) | Metode dalam penilaian bisnis (business valuation) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d angka 5 dilakukan sesuai dengan ketentuan perpajakan yang mengatur mengenai standar penilaian yang berlaku, dan sesuai untuk karakteristik Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa antara lain sebagai berikut:
|
(11) | Dalam hal metode sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan metode yang lain dapat digunakan dan memiliki keandalan yang setara, maka metode sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a lebih diutamakan dari pada metode yang lain. |
(12) | Dalam hal metode sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d angka 1, dan huruf d angka 2 dapat digunakan dan memiliki keandalan yang setara, metode sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b atau huruf c lebih diutamakan dari pada metode sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d angka 1, dan huruf d angka 2. |
(1) | Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha untuk Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa tertentu harus dilakukan dengan tahapan pendahuluan dan tahapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2). | ||||||||||||||||||||||||||||||
(2) | Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
| ||||||||||||||||||||||||||||||
(3) | Tahapan pendahuluan untuk transaksi jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a meliputi pembuktian bahwa jasa tersebut:
| ||||||||||||||||||||||||||||||
(4) | Tahapan pendahuluan untuk transaksi terkait penggunaan atau hak menggunakan harta tidak berwujud sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi pembuktian atas:
| ||||||||||||||||||||||||||||||
(5) | Tahapan pendahuluan untuk transaksi terkait biaya pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c meliputi pembuktian bahwa pinjaman tersebut:
| ||||||||||||||||||||||||||||||
(6) | Tahapan pendahuluan untuk transaksi pengalihan harta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d meliputi pembuktian atas:
| ||||||||||||||||||||||||||||||
(7) | Tahapan pendahuluan untuk restrukturisasi usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e meliputi pembuktian atas:
| ||||||||||||||||||||||||||||||
(8) | Tahapan pendahuluan untuk kesepakatan kontribusi biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f meliputi pembuktian bahwa kesepakatan kontribusi biaya tersebut:
| ||||||||||||||||||||||||||||||
(9) | Dalam hal Wajib Pajak tidak dapat membuktikan Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa tertentu berdasarkan tahapan pendahuluan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa tersebut tidak memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8. |
(1) | Direktur Jenderal Pajak melaksanakan perundingan APA dengan:
|
(2) | Perundingan APA Unilateral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus:
|
(3) | Perundingan APA Bilateral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai MAP. |
(4) | Direktur Jenderal Pajak membentuk delegasi perundingan APA sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(5) | Hasil perundingan APA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berisi kesepakatan atau ketidaksepakatan atas kriteria-kriteria dalam Penentuan Harga Transfer dan Penentuan Harga Transfer dimuka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5). |
(6) | Direktur Jenderal Pajak dapat tidak menyepakati APA antara lain dalam hal:
|
(7) | Hasil perundingan APA dianggap berisi ketidaksepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dalam hal:
|
(8) | Dalam hal perundingan APA menghasilkan ketidaksepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Direktur Jenderal Pajak menghentikan proses APA dan menerbitkan pemberitahuan tertulis kepada Wajib Pajak. |
(9) | Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan perundingan APA Unilateral kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Direktur Perpajakan Internasional dalam hal:
|
(10) | Atas permohonan perundingan APA Unilateral yang disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (9), Direktur Jenderal Pajak melaksanakan perundingan dengan Wajib Pajak dalam jangka waktu paling lama:
|
(11) | Dalam hal sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (10) belum dicapai kesepakatan, hasil perundingan APA Unilateral dianggap berupa ketidaksepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5). |
(12) | Hasil perundingan APA sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dituangkan dalam:
|
(13) | Naskah APA sebagaimana dimaksud pada ayat (12) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf C yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(14) | Atas hasil perundingan APA sebagaimana dimaksud pada ayat (12), Direktur Jenderal Pajak menindaklanjuti:
|
(15) | Keputusan pemberlakuan APA sebagaimana dimaksud pada ayat (14) disampaikan kepada:
|
(1) | Permohonan APA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dapat diajukan pencabutan permohonan APA oleh Wajib Pajak. |
(2) | Pencabutan permohonan APA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
|
(3) | Pencabutan permohonan APA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Wajib Pajak secara langsung kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Direktur Perpajakan Internasional. |
(4) | Atas pencabutan permohonan APA yang diajukan, Direktur Jenderal Pajak meneliti pemenuhan persyaratan pencabutan permohonan APA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan menerbitkan pemberitahuan tertulis penghentian proses APA kepada:
|
(5) | Dalam hal pencabutan permohonan APA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan setelah perundingan APA dimulai, Wajib Pajak tidak dapat mengajukan kembali permohonan APA untuk tahun pajak yang dicakup dalam permohonan APA yang dicabut. |
(1) | Wajib Pajak harus melaksanakan kesepakatan dalam APA yang dimuat dalam surat keputusan pemberlakuan APA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (14) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(2) | Kesepakatan dalam APA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus tercermin dalam kebijakan Penentuan Harga Transfer Wajib Pajak dan pelaksanaannya harus dituangkan dalam Dokumen Penentuan Harga Transfer untuk Periode APA. |
(3) | Dalam hal atas Periode APA dan/atau Roll-back:
|
(4) | Dalam hal atas Periode APA dan/atau Roll-back sedang dilakukan tindakan pemeriksaan, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Pajak Penghasilan Badan dengan memperhitungkan kesepakatan dalam APA. |
(5) | Dalam hal atas tahun pajak dalam Periode APA telah diterbitkan Surat Ketetapan Pajak, Direktur Jenderal Pajak melakukan pembetulan atas Surat Ketetapan Pajak secara jabatan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dengan memperhitungkan kesepakatan dalam APA. |
(1) | Dalam pengawasan kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), Direktur Jenderal Pajak melakukan evaluasi atas kesepakatan dalam APA yang dimuat dalam keputusan pemberlakuan APA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (14). |
(2) | Dalam evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk:
|
(3) | Berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan:
|
(1) | Peninjauan kembali APA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) huruf a juga dapat dilakukan berdasarkan permohonan peninjauan kembali APA yang diajukan oleh Wajib Pajak. |
(2) | Permohonan peninjauan kembali APA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan secara langsung kepada Direktur Jenderal Pajak melaini Direktur Perpajakan Internasional dengan mengisi secara benar, lengkap, dan jelas formulir permohonan peninjauan kembali APA sebagaimana dimaksud pada Lampiran huruf E yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(3) | Direktur Jenderal Pajak menerbitkan bukti penerimaan atas penyampaian permohonan peninjauan kembali APA secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2). |
(4) | Tanggal yang tercantum dalam bukti penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan tanggal penerimaan permohonan peninjauan kembali APA. |
(5) | Dalam peninjauan kembali APA, Direktur Jenderal Pajak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 15. |
(6) | Hasil perundingan peninjauan kembali APA dituangkan dalam pembahan Naskah APA atau Persetujuan Bersama. |
(7) | Atas pembahan Naskah APA atau pembahan Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan keputusan mengenai pembahan APA dengan mencantumkan tahun pajak dalam Periode APA yang ditinjau kembali. |
(1) | Direktur Jenderal Pajak dapat membatalkan kesepakatan dalam APA yang dimuat dalam keputusan pemberlakuan APA sebagaimana dimaksud Pasal 15 ayat (14), dalam hal berdasarkan hasil evaluasi diketahui bahwa:
| ||||
(2) | Atas kesepakatan dalam APA yang dibatalkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan:
| ||||
(3) | Dalam hal Direktur Jenderal Pajak membatalkan APA sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
|
(1) | Dalam renegosiasi kesepakatan setelah periode tertentu berakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pembaruan APA kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dengan mengisi formulir permohonan pembaruan APA sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf F yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini dengan benar, lengkap, dan jelas. |
(2) | Direktur Jenderal Pajak menerbitkan bukti penerimaan atas penyampaian permohonan pembaruan APA sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(3) | Tanggal yang tercantum dalam bukti penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan tanggal penerimaan permohonan pembaruan APA. |
(4) | Berdasarkan permohonan pembaruan APA sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak dapat menyepakati 1 (satu) kali pembaruan APA untuk 1 (satu) Periode APA sejak berakhirnya Periode APA yang telah disepakati pada APA sebelumnya. |
(5) | Permohonan pembaruan APA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan secara langsung dan diajukan dalam periode 12 (dua belas) bulan sampai dengan 6 (enam) bulan sebelum tahun pajak terakhir dalam Periode APA sebelumnya. |
(6) | Pembaruan APA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dalam hal:
|
(7) | Permohonan pembaruan APA sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dipersamakan dengan permohonan APA yang telah memenuhi kelengkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6). |
(8) | Atas permohonan pembaruan APA sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Direktur Jenderal Pajak melakukan proses pengujian material sampai dengan perundingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 sampai dengan Pasal 15. |
(1) | Kesepakatan APA tidak menghalangi Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan tindakan pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan, atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(2) | Dalam hal Wajib Pajak dilakukan tindakan pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan, atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak tidak dapat melakukan koreksi atas Penentuan Harga Transfer transaksi yang dicakup dalam kesepakatan APA, sepanjang Wajib Pajak melaksanakan kesepakatan dalam APA. |
(3) | Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku dalam hal Wajib Pajak:
|
(4) | Dalam hal proses APA tidak menghasilkan kesepakatan antara Direktur Jenderal Pajak dan Wajib Pajak atau Pejabat Berwenang Mitra P3B, dokumen Wajib Pajak yang dipergunakan selama proses APA harus dikembalikan sepenuhnya kepada Wajib Pajak. |
(5) | Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dapat digunakan oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai dasar untuk melakukan pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan, atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. |
(6) | Dalam hal Pejabat Berwenang Mitra P3B memerlukan informasi dan/atau bukti atau keterangan dari Wajib Pajak dalam perundingan APA, pelaksanaan permintaan informasi dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang mengatur mengenai MAP. |
(7) | Dalam hal pada saat perundingan diketahui bahwa Wajib Pajak sedang dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan atau sedang menjalani pidana di bidang perpajakan, Direktur Jenderal Pajak menghentikan proses APA dan menerbitkan pemberitahuan tertulis penghentian proses APA kepada:
|
(8) | Selisih antara nilai Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa yang tidak sesuai dengan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dengan nilai Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa yang sesuai dengan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dianggap sebagai dividen yang dikenai Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(9) | Ketentuan lebih lanjut mengenai:
|
(1) | Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 14 juga wajib dilakukan oleh Wajib Pajak dalam pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban di bidang perpajakan terkait Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa. |
(2) | Dalam hal:
|
(1) | Penentuan harga wajar atas Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 14 huruf b yang dilakukan oleh Wajib Pajak dalam negeri dilaksanakan dengan menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8. |
(2) | Dalam hal Wajib Pajak dalam negeri yang melakukan Transaksi yang dipengaruhi Hubungan Istimewa pada ayat (1) memenuhi ketentuan sebagai bentuk usaha tetap sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penentuan bentuk usaha tetap, Wajib Pajak dalam negeri tersebut juga ditetapkan sebagai bentuk usaha tetap. |
(3) | Bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus menyampaikan seluruh data dan/atau informasi terkait transaksi yang dilakukan oleh Pihak Afiliasi di luar negeri yang terkait dengan usaha atau kegiatan Bentuk Usaha Tetap di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(4) | Data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digunakan dalam menentukan nilai transaksi bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (2). |
(5) | Dalam hal bentuk usaha tetap tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), nilai transaksi ditentukan dengan menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha. |
(6) | Pemenuhan kewajiban perpajakan bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(7) | Pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan yang sebelumnya telah dilaksanakan Wajib Pajak dalam negeri diperhitungkan dalam pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (2). |
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 18 Maret 2020 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. SRI MULYANI INDRAWATI |