Klasifikasi Objek Pajak dan Tata Cara Penetapan Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan
Menimbang :
(1) | Bumi yang berada dalam kawasan perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a meliputi permukaan bumi. |
(2) | Kawasan perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(3) | Tidak termasuk areal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi areal yang sudah diberikan Izin Usaha Perkebunan-Pengolahan. |
(4) | Areal yang secara fisik tidak terpisahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi:
|
(5) | Dalam hal terdapat areal pada kawasan perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang merupakan objek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang PBB, areal tersebut tidak dikenakan PBB. |
(6) | Dalam hal terdapat areal pada kawasan perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang dipunyai haknya dan/atau dimanfaatkan sepenuhnya secara nyata dan sah oleh selain Subjek Pajak atau Wajib Pajak, areal tersebut tidak dikenakan PBB Sektor Perkebunan. |
(1) | Bumi yang berada dalam kawasan perhutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b meliputi permukaan bumi. |
(2) | Kawasan perhutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(3) | Areal yang secara fisik tidak terpisahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi:
|
(4) | Dalam hal terdapat areal pada kawasan perhutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang merupakan objek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang PBB, areal tersebut tidak dikenakan PBB. |
(5) | Dalam hal terdapat areal pada kawasan perhutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang dipunyai haknya dan/atau dimanfaatkan sepenuhnya secara nyata dan sah oleh selain Subjek Pajak atau Wajib Pajak, areal tersebut tidak dikenakan PBB Sektor Perhutanan. |
(1) | Bumi yang berada dalam kawasan pertambangan minyak dan/atau gas bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c meliputi:
|
(2) | Kawasan pertambangan minyak dan/atau gas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(3) | Areal yang secara fisik tidak terpisahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi:
|
(4) | Permukaan Bumi Onshore dan/atau Permukaan Bumi Offshore sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b meliputi areal permukaan bumi di dalam kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), yang telah dimiliki oleh Subjek Pajak atau Wajib Pajak dengan suatu hak atas tanah dan/atau diperoleh manfaatnya oleh Subjek Pajak atau Wajib Pajak dan digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan minyak dan/atau gas bumi termasuk fasilitas dan penunjangnya. |
(5) | Tubuh bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi sebagaimana tercantum dalam Kontrak Kerja Sama. |
(6) | Dalam hal terdapat areal pada Permukaan Bumi Onshore dan/atau Permukaan Bumi Offshore sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang merupakan objek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) Undang- Undang PBB, areal tersebut tidak dikenakan PBB. |
(7) | Dalam hal terdapat areal permukaan bumi di dalam kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang tidak dipunyai haknya dan tidak diperoleh manfaatnya oleh Subjek Pajak atau Wajib Pajak, areal tersebut tidak dikenakan PBB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi. |
(1) | Bumi yang berada di dalam kawasan pertambangan untuk pengusahaan panas bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d meliputi:
|
(2) | Kawasan pertambangan untuk pengusahaan panas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(3) | Areal yang secara fisik tidak terpisahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi:
|
(4) | Permukaan Bumi Onshore dan/atau Permukaan Bumi Offshore sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b meliputi areal permukaan bumi di dalam kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), yang telah dimiliki oleh Subjek Pajak atau Wajib Pajak dengan suatu hak atas tanah dan/atau diperoleh manfaatnya oleh Subjek Pajak atau Wajib Pajak dan digunakan untuk pengusahaan panas bumi termasuk fasilitas dan penunjangnya. |
(5) | Tubuh bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi Wilayah Kerja Panas Bumi sebagaimana tercantum dalam dokumen Izin Panas Bumi, Kuasa Pengusahaan Sumber Daya Panas Bumi, Kontrak Operasi Bersama Pengusahaan Sumber Daya Panas Bumi, Izin Pengusahaan Sumber Daya Panas Bumi, atau penugasan pengusahaan panas bumi. |
(6) | Dalam hal terdapat areal pada Permukaan Bumi Onshore dan/atau Permukaan Bumi Offshore sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang merupakan objek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang PBB, areal tersebut tidak dikenakan PBB. |
(7) | Dalam hal terdapat areal permukaan bumi di dalam kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang tidak dipunyai haknya dan tidak diperoleh manfaatnya oleh Subjek Pajak atau Wajib Pajak, areal tersebut tidak dikenakan PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi. |
(1) | Bumi yang berada di dalam kawasan pertambangan mineral atau batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf e meliputi:
|
(2) | Kawasan pertambangan mineral atau batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(3) | Areal yang secara fisik tidak terpisahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi:
|
(4) | Permukaan Bumi Onshore dan/atau Permukaan Bumi Offshore sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b meliputi areal permukaan bumi di dalam kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), yang telah dimiliki oleh Subjek Pajak atau Wajib Pajak dengan suatu hak atas tanah dan/atau diperoleh manfaatnya oleh Subjek Pajak atau Wajib Pajak dan digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan mineral atau batubara termasuk fasilitas dan penunjangnya. |
(5) | Tubuh bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi wilayah sebagaimana tercantum dalam dokumen Izin Usaha Pertambangan, Izin Usaha Pertambangan Khusus, Izin Pertambangan Rakyat, Kontrak Karya, atau Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara. |
(6) | Dalam hal terdapat areal pada Permukaan Bumi Onshore dan/atau Permukaan Bumi Offshore sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang merupakan objek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang PBB, areal tersebut tidak dikenakan PBB. |
(7) | Dalam hal terdapat areal permukaan bumi di dalam kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang tidak dipunyai haknya dan tidak diperoleh manfaatnya oleh Subjek Pajak atau Wajib Pajak, areal tersebut tidak dikenakan PBB Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara. |
(1) | Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf f meliputi perairan yang digunakan untuk:
|
(2) | Perikanan tangkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan pembudidayaan ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, merupakan perikanan tangkap dan pembudidayaan ikan yang telah diberikan Surat Izin Usaha Perikanan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan. |
(1) | Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e merupakan konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada bumi:
|
(2) | Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf f merupakan konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada bumi di wilayah perairan Negara Kesatuan Republik Indonesia, meliputi:
|
(1) | Untuk menetapkan NJOP bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, bumi yang merupakan objek pajak PBB Sektor Perkebunan meliputi:
|
(2) | NJOP bumi untuk areal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(3) | NJOP bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 untuk objek pajak PBB Sektor Perkebunan merupakan penjumlahan NJOP bumi untuk Areal Produktif Perkebunan, Areal Belum Produktif Perkebunan, Areal Tidak Produktif Perkebunan, Areal Pengaman Perkebunan, dan Areal Emplasemen Perkebunan. |
(4) | NJOP bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 untuk objek pajak PBB Sektor Perkebunan ditentukan berdasarkan Nilai Perolehan Baru. |
(1) | Untuk menetapkan NJOP bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, bumi yang merupakan objek pajak PBB Sektor Perhutanan meliputi:
|
(2) | NJOP bumi untuk areal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(3) | NJOP bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 untuk objek pajak PBB Sektor Perhutanan merupakan penjumlahan NJOP bumi untuk Areal Produktif Perhutanan, Areal Belum Produktif Perhutanan, Areal Tidak Produktif Perhutanan, Areal Pengaman Perhutanan, Areal Emplasemen Perhutanan, dan Areal Perlindungan dan Konservasi Perhutanan. |
(4) | NJOP bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 untuk objek pajak PBB Sektor Perhutanan ditentukan berdasarkan Nilai Perolehan Baru. |
(1) | Pendapatan bersih hasil hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) huruf a merupakan pendapatan kotor hasil hutan dikurangi Biaya Produksi Perhutanan. |
(2) | Pendapatan kotor hasil hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan hasil perkalian jumlah produksi hasil hutan dengan harga jual hasil hutan. |
(3) | Jumlah produksi hasil hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan jumlah produksi hasil hutan kayu dan/atau jumlah produksi hasil hutan bukan kayu, yang dihitung dalam tahun terakhir sebelum Tahun Pajak PBB terutang. |
(4) | Harga jual hasil hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan harga jual rata-rata hasil hutan kayu dan/atau harga jual rata-rata hasil hutan bukan kayu, yang dihitung dalam tahun terakhir sebelum Tahun Pajak PBB terutang. |
(5) | Harga jual rata-rata hasil hutan kayu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan harga jual rata-rata hasil hutan kayu yang terjadi pada tempat penimbunan kayu (log pond atau log yard). |
(6) | Biaya Produksi Perhutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan mengalikan Rasio Biaya Produksi dengan pendapatan kotor hasil hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). |
(1) | Untuk menetapkan NJOP bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Permukaan Bumi Onshore sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a meliputi:
|
(2) | Untuk menetapkan NJOP bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Permukaan Bumi Offshore sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b berupa Areal Offshore Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, merupakan areal berupa perairan yang digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan minyak dan/atau gas bumi. |
(3) | Untuk menetapkan NJOP bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, tubuh bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c meliputi:
|
(4) | NJOP bumi untuk areal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(5) | NJOP bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 untuk Permukaan Bumi Onshore sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penjumlahan NJOP bumi untuk Areal Belum Produktif Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, Areal Produktif Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, Areal Tidak Produktif Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, Areal Pengaman Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, dan Areal Emplasemen Pertambangan Minyak dan Gas Bumi. |
(6) | NJOP bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 untuk Areal Offshore Pertambangan Minyak dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak. |
(7) | NJOP bumi untuk Tubuh Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(8) | NJOP bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 untuk objek pajak PBB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi ditentukan berdasarkan Nilai Perolehan Baru. |
(1) | Pendapatan minyak dan/atau gas bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (7) huruf b merupakan penjualan kotor (gross sales) minyak dan/atau gas bumi sebagaimana tertuang dalam Financial Quarterly Report (FQR) triwulan IV Wajib Pajak pada tahun terakhir sebelum Tahun Pajak PBB terutang. |
(2) | Dalam hal penjualan kotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan satuan mata uang selain mata uang Rupiah, penjualan kotor harus dikonversi dalam satuan mata uang Rupiah berdasarkan kurs mata uang pada tanggal 1 Januari Tahun Pajak PBB terutang sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan mengenai penetapan nilai kurs pajak. |
(1) | Untuk menetapkan NJOP bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Permukaan Bumi Onshore sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a meliputi:
|
(2) | Untuk menetapkan NJOP bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Permukaan Bumi Offshore sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b berupa Areal Offshore Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi, merupakan areal berupa perairan yang digunakan untuk kegiatan pengusahaan panas bumi. |
(3) | Untuk menetapkan NJOP bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, tubuh bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c meliputi:
|
(4) | NJOP bumi untuk areal pada Permukaan Bumi Onshore sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(5) | NJOP bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 untuk Permukaan Bumi Onshore sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penjumlahan NJOP bumi untuk Areal Belum Produktif Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi, Areal Produktif Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi, Areal Tidak Produktif Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi, Areal Pengaman Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi, dan Areal Emplasemen Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi. |
(6) | NJOP bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 untuk Areal Offshore Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak. |
(7) | NJOP bumi untuk Tubuh Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(8) | NJOP bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 untuk objek pajak PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi ditentukan berdasarkan Nilai Perolehan Baru. |
(1) | Pendapatan uap dan/atau listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (7) huruf b merupakan hasil perkalian:
|
(2) | Hasil produksi uap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan hasil produksi uap yang terjual dalam tahun terakhir sebelum Tahun Pajak PBB terutang. |
(3) | Hasil produksi listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan hasil produksi listrik yang terjual dalam tahun terakhir sebelum Tahun Pajak PBB terutang. |
(4) | Harga uap dan harga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak. |
(1) | Untuk menetapkan NJOP bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Permukaan Bumi Onshore sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a meliputi:
|
(2) | Untuk menetapkan NJOP bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Permukaan Bumi Offshore sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b berupa Areal Offshore Pertambangan Mineral atau Batubara merupakan areal berupa perairan yang digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan mineral atau batubara. |
(3) | Untuk menetapkan NJOP bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, tubuh bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf c meliputi:
|
(4) | NJOP bumi untuk areal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
|
(5) | NJOP bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 untuk Permukaan Bumi Onshore sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penjumlahan NJOP bumi untuk Areal Belum Dimanfaatkan Pertambangan Mineral atau Batubara, Areal Cadangan Produksi Pertambangan Mineral atau Batubara, Areal Tidak Produktif Pertambangan Mineral atau Batubara, Areal Pengaman Pertambangan Mineral atau Batubara, dan Areal Emplasemen Pertambangan Mineral atau Batubara. |
(6) | NJOP bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 untuk Areal Offshore Pertambangan Mineral atau Batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak. |
(7) | NJOP bumi untuk Tubuh Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(8) | NJOP bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 untuk objek pajak PBB Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara ditentukan berdasarkan Nilai Perolehan Baru. |
(1) | Pendapatan bersih mineral atau batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (7) huruf b merupakan pendapatan kotor mineral atau batubara dikurangi biaya produksi mineral atau batubara. |
(2) | Pendapatan kotor mineral atau batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan hasil perkalian hasil produksi mineral atau batubara dengan harga jual mineral atau batubara. |
(3) | Hasil produksi mineral atau batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan jumlah mineral atau batubara yang dihasilkan dalam tahun terakhir sebelum Tahun Pajak PBB terutang. |
(4) | Harga jual mineral atau batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan harga jual rata-rata:
|
(5) | Biaya produksi mineral atau batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan biaya untuk memperoleh hasil produksi mineral atau batubara dalam tahun terakhir sebelum Tahun Pajak PBB terutang. |
(6) | Biaya produksi mineral atau batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
|
(7) | Dalam hal penghitungan PBB terutang menggunakan komponen penerimaan kotor hasil operasi pertambangan sebagaimana diatur secara khusus berdasarkan Kontrak Karya atau Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara, penghitungan penerimaan kotor tersebut diperoleh dari perkalian hasil produksi mineral atau batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan harga jual mineral atau batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (4). |
(8) | Penilaian atas kewajaran biaya produksi mineral atau batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan hasil produksi dan harga jual mineral atau batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Penilai Pajak. |
(9) | Jenis mineral logam, mineral bukan logam atau batuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) mengacu pada ketentuan yang diatur oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral, atau kepala daerah. |
(1) | Dalam hal harga jual rata-rata mineral logam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4) lebih rendah dari pada HPM Logam rata-rata dalam tahun terakhir sebelum Tahun Pajak PBB terutang, harga jual mineral logam menggunakan HPM Logam rata-rata. |
(2) | Dalam hal harga jual rata-rata mineral bukan logam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4) lebih rendah dari pada HPM Bukan Logam rata-rata dalam tahun terakhir sebelum Tahun Pajak PBB terutang, harga jual mineral bukan logam menggunakan HPM Bukan Logam rata-rata. |
(3) | Dalam hal harga jual rata-rata batuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4) lebih rendah dari pada Harga Patokan Batuan rata-rata dalam tahun terakhir sebelum Tahun Pajak PBB terutang, harga jual batuan menggunakan Harga Patokan Batuan rata-rata. |
(4) | Dalam hal harga jual rata-rata batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4) lebih rendah dari pada HPB rata-rata dalam tahun terakhir sebelum Tahun Pajak PBB terutang, harga jual batubara menggunakan HPB rata-rata. |
(1) | Dalam hal tidak terdapat harga jual rata-rata mineral logam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4), harga jual mineral logam menggunakan HPM Logam rata-rata dalam tahun terakhir sebelum Tahun Pajak PBB terutang. |
(2) | Dalam hal tidak terdapat harga jual rata-rata mineral bukan logam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4), harga jual mineral bukan logam menggunakan HPM Bukan Logam rata-rata dalam tahun terakhir sebelum Tahun Pajak PBB terutang. |
(3) | Dalam hal tidak terdapat harga jual rata-rata batuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4), harga jual batuan menggunakan Harga Patokan Batuan rata-rata dalam tahun terakhir sebelum Tahun Pajak PBB terutang. |
(4) | Dalam hal tidak terdapat harga jual rata-rata batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4), harga jual batubara menggunakan HPB rata-rata dalam tahun terakhir sebelum Tahun Pajak PBB terutang. |
(1) | HPM Logam rata-rata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) atau HPB rata-rata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (4) digunakan untuk penetapan harga jual mineral logam atau batubara dengan titik serah penjualan (at sale point) secara Free on Board di atas kapal pengangkut (vessel). |
(2) | Dalam hal titik serah penjualan dilakukan selain secara Free on Board di atas kapal pengangkut (vessel) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penetapan harga jual mineral logam atau batubara dihitung berdasarkan HPM Logam rata-rata dan HPB rata-rata dengan mempertimbangkan biaya penyesuaian yang ditetapkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral. |
(1) | Kegiatan pengupasan lapisan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (6) huruf c angka 1 merupakan kegiatan pengupasan tanah pucuk (top soil) dan/atau pengupasan tanah penutup (stripping ov er burden) dalam kegiatan operasi produksi. |
(2) | Kegiatan pengambilan hasil produksi mineral atau batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (6) huruf c angka 2 merupakan kegiatan pengambilan galian tambang. |
(3) | Kegiatan pengolahan dan/atau pemurnian hasil produksi mineral atau batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (6) huruf c angka 3 meliputi kegiatan:
|
(4) | Kegiatan pengangkutan mineral atau batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (6) huruf c angka 4 merupakan kegiatan pengangkutan hasil produksi mineral atau batubara dari lokasi penambangan ke titik serah penjualan. |
(1) | NJOP bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, pada perairan yang digunakan untuk perikanan tangkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a yang terdapat hasil produksi ditentukan berdasarkan Nilai Jual Pengganti yang merupakan hasil perkalian pendapatan bersih perikanan tangkap dengan Angka Kapitalisasi. |
(2) | NJOP bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, pada perairan yang digunakan untuk pembudidayaan ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b yang terdapat hasil produksi ditentukan berdasarkan Nilai Jual Pengganti yang merupakan hasil perkalian pendapatan bersih pembudidayaan ikan dengan Angka Kapitalisasi. |
(3) | NJOP bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, pada perairan yang digunakan untuk perikanan tangkap dan pembudidayaan ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a dan huruf b yang tidak terdapat hasil produksi ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak. |
(4) | NJOP bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, pada perairan yang digunakan untuk jaringan pipa, jaringan kabel, ruas jalan tol, dan fasilitas penyimpanan dan pengolahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, atau huruf f, ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak. |
(5) | NJOP bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 untuk objek pajak PBB Sektor Lainnya ditentukan berdasarkan Nilai Perolehan Baru. |
(1) | Pendapatan bersih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2) ditentukan sebesar pendapatan kotor dikurangi biaya produksi, dalam tahun terakhir sebelum Tahun Pajak PBB terutang. |
(2) | Pendapatan kotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan hasil perkalian jumlah produksi per jenis ikan dalam tahun terakhir sebelum Tahun Pajak PBB terutang dengan harga jual rata-rata per jenis ikan per satuan berat tertentu. |
(3) | Biaya produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan hasil perkalian pendapatan kotor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan Rasio Biaya Produksi. |
(4) | Jenis ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengacu pada ketentuan yang diatur oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan. |
(1) | Luas bumi untuk perikanan tangkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a merupakan hasil perkalian jumlah kapal dengan luas areal penangkapan ikan per kapal. |
(2) | Luas areal penangkapan ikan per kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak. |
(3) | Luas bumi untuk pembudidayaan ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b merupakan luas yang tercantum dalam izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2). |
(4) | Luas bumi untuk jaringan pipa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf c merupakan hasil perkalian panjang pipa dengan dua kali diameter pipa. |
(5) | Luas bumi untuk jaringan kabel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf d merupakan hasil perkalian panjang kabel dengan dua kali diameter kabel. |
(6) | Luas bumi untuk ruas jalan tol sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf e merupakan hasil perkalian jumlah tapak dengan luas pondasi tapak. |
(7) | Luas bumi untuk fasilitas penyimpanan dan pengolahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf f merupakan luas berdasarkan izin yang dikeluarkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan. |
(1) | Luas bangunan untuk jaringan pipa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf a atau jaringan kabel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf b merupakan hasil perkalian panjang pipa atau kabel dengan diameter pipa atau kabel. |
(2) | Luas bangunan untuk ruas jalan tol sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf c merupakan hasil perkalian panjang ruas jalan tol dengan lebar ruas jalan tol. |
(3) | Luas bangunan untuk fasilitas penyimpanan dan pengolahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf d merupakan hasil perkalian panjang dengan lebar bangunan. |
(1) | Direktur Jenderal Pajak menetapkan besarnya PBB terutang melalui penerbitan:
|
(2) | SPPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun setelah berakhirnya Tahun Pajak PBB terutang. |
(3) | Penerbitan SKP PBB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai tata cara penerbitan SKP PBB. |
(4) | Direktur Jenderal Pajak menetapkan besarnya PBB terutang sebagai pemenuhan kewajiban Ipeda sebagaimana ditentukan dalam Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara Generasi I melalui penerbitan SPPT. |
(1) | SPPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) huruf a diterbitkan untuk 1 (satu) Tahun Pajak. |
(2) | Penerbitan SPPT dilakukan berdasarkan SPOP yang disampaikan oleh Subjek Pajak atau Wajib Pajak kepada Kantor Pelayanan Pajak. |
(3) | SPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus diisi dengan jelas, benar, lengkap, dan ditandatangani serta dilampiri dokumen pendukung isian SPOP. |
(4) | Dokumen pendukung isian SPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk PBB Sektor Perkebunan meliputi:
|
(5) | Dokumen pendukung isian SPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk PBB Sektor Perhutanan meliputi:
|
(6) | Dokumen pendukung isian SPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk PBB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi meliputi:
|
(7) | Dokumen pendukung isian SPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi meliputi:
|
(8) | Dokumen pendukung isian SPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk PBB Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara meliputi:
|
(9) | Dokumen pendukung isian SPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk PBB Sektor Lainnya meliputi:
|
(10) | Dalam hal terdapat dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (8), dan ayat (9) belum dapat dilampirkan, SPOP dianggap lengkap sepanjang Wajib Pajak melampirkan pernyataan tertulis yang:
|
(11) | Dalam hal SPPT dilakukan upaya hukum sehingga terbit keputusan atau putusan, berupa:
|
(12) | Dalam hal dilakukan penerbitan kembali SPPT sebagaimana dimaksud pada ayat (11), SPPT yang diterbitkan sebelumnya dinyatakan tidak berlaku. |
(13) | SPPT hasil penerbitan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (11) tidak dapat diajukan keberatan oleh Wajib Pajak. |
(14) | Dalam hal terdapat permohonan cetak ulang SPPT oleh Wajib Pajak, wakil Wajib Pajak, atau kuasa dari Wajib Pajak, dilakukan pencetakan ulang atas SPPT yang telah diterbitkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan/atau ayat (11). |
(15) | Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (14) dilakukan secara tertulis dan ditandatangani oleh Wajib Pajak, wakil Wajib Pajak, atau kuasa dari Wajib Pajak serta dilampiri dengan:
|
(16) | Ketentuan mengenai bentuk dan isi SPPT diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak. |
(1) | Penyampaian SPPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) huruf a kepada Wajib Pajak dapat dilakukan:
|
(2) | Tanggal diterimanya SPPT oleh Wajib Pajak merupakan tanggal yang tercantum dalam:
|
(3) | PBB terutang berdasarkan SPPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) huruf a harus dilunasi oleh Wajib Pajak selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT oleh Wajib Pajak. |
(4) | Dalam hal dilakukan penerbitan kembali SPPT atau penerbitan SPPT cetak ulang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (11) atau ayat (14), jatuh tempo pelunasan SPPT dihitung dari tanggal diterimanya SPPT yang diterbitkan pertama kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2) oleh Wajib Pajak. |
(5) | Dalam hal PBB terutang tidak atau kurang dibayar setelah tanggal jatuh tempo pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan STP PBB yang dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai STP PBB. |
(1) | Dalam hal terdapat pengajuan pengembalian seluruh Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi kepada Pemerintah, Wajib Pajak atau satuan kerja atau instansi yang bidang tugas dan kewenangannya menyelenggarakan pengelolaan kegiatan usaha pertambangan minyak dan/atau gas bumi menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat objek pajak terdaftar paling lambat akhir Tahun Pajak dilakukannya pengembalian dengan dilampiri:
|
(2) | Dalam hal terdapat pengajuan pengembalian seluruh Wilayah Kerja Panas Bumi kepada Pemerintah, Wajib Pajak atau kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral menyampaikan pemberitahuan secara tertulis ke Kantor Pelayanan Pajak tempat objek pajak terdaftar paling lambat akhir Tahun Pajak dilakukannya pengembalian dengan dilampiri:
|
(3) | Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak perlu mengisi dan mengembalikan SPOP untuk Tahun Pajak setelah Tahun Pajak pengajuan pengembalian Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi atau Wilayah Kerja Panas Bumi. |
(4) | Kepala Kantor Pelayanan Pajak tidak menerbitkan SPPT untuk Tahun Pajak setelah Tahun Pajak pengajuan pengembalian Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi atau Wilayah Kerja Panas Bumi kepada Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). |
(5) | Dalam hal pengajuan pengembalian seluruh Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi atau Wilayah Kerja Panas Bumi yang disampaikan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditolak oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral, Direktur Jenderal Pajak menetapkan besarnya PBB terutang sejak Tahun Pajak setelah keputusan penolakan. |
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 10 Desember 2019 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. SRI MULYANI INDRAWATI |